Ransum yang digunakan selama penelitian berupa rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30:70 serta air minum diberikan ad libitum.
Konsentrat terdiri dari onggok, bungkil kelapa, CaCO3, garam, premix, urea dan
beberapa sumber minyak (minyak jagung, minyak ikan lemuru, minyak ikan lemuru terproteksi). Ransum yang diberikan mengandung kadar Total Digestible Nutrient
(TDN) berkisar 66,03%-77,33% dan kadar protein kasar (PK) berkisar 16,32%- 18,27%. Rumput lapang dan konsentrat yang digunakan selama penelitian ditunjukan pada Gambar 5. Secara lengkap kandungan premix yang digunakan tercantum pada Tabel 7. Komposisi bahan pakan yang digunakan dalam ransum tercantum pada Tabel 8 dan kandungan nutrien zat makanan tercantum pada Tabel 9.
(a) (b) Gambar 5. (a) Rumput Lapang, (b) Konsentrat Tabel 7. Kandungan Premix Merk “Legantor F-1 Cuctomix” per 1 kg
Komponen Jumlah Komponen Jumlah Vitamin A (IU) 500.000 Cholinechloride (mg) 5.000
Vitamin D (IU) 100.000 L-lysine (mg) 3.750
Vitamin B (mg) 150 DL-Methionine (mg) 5.000
Vitamin B1 (mg) 50 Mg Sulfat (mg) 1.700
Vitamin B2 (mg) 250 Fe Sulfat (mg) 1.250
Vitamin B12 (meg) 250 Mn Sulfat (mg) 2.500
Vitamin K (mg) 50 Cu Sulfat (mg) 25
Niacinamide (mg) 375 Zn Sulfat (mg) 500
Ca-d-Panthotenate (mg) 125 K-Iodine (mg) 5
20 Tabel 8. Komposisi Bahan Pakan dan Harga Ransum Perlakuan
Bahan Pakan Ransum Penelitian*
M0 MJ MIL MILT ……….% BK………. Onggok 17,00 17,00 17,00 17,00 Bungkil Kelapa 50,50 49,00 49,00 49,00 CaCO3 1,50 1,50 1,50 1,50 Garam 0,25 0,25 0,25 0,25 Premix 0,15 0,15 0,15 0,15 Urea 0,60 0,60 0,60 0,60 Rumput Lapang 30,00 30,00 30,00 30,00 Minyak Jagung - 1,50 - -
Minyak Ikan Lemuru - - 1,50 -
Minyak Ikan Lemuru Terproteksi - - - 1,50 Harga (Rp/kg) 1770,5 2079, 25 1779,25 1854,25 Keterangan : *)M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL=
Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi.
Tabel 9. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan
Zat Makanan* Ransum Penelitian*
M0 MJ MIL MILT ……….% BK………. Bahan Kering 67,90 67,97 66,40 68,09 Abu 8,68 7,69 8,08 7,53 Protein Kasar 18,27 16,71 16,32 16,32 Lemak Kasar 3,84 5,21 6,36 9,32 Serat Kasar 14,91 15,50 15,24 15,03 Beta-N 54,30 54,81 53,98 51,80 TDN** 66,03 69,99 71,74 77,33
Keterangan : *) Hasil Analisa Laboratorium PAU, IPB (2012). **) Perhitungan TDN berdasarkan TDN tercerna (Ici et al., 2012). M0 = Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi.
21 Prosedur
Pembuatan Minyak Ikan Lemuru Terproteksi
Bahan yang digunakan untuk membuat minyak ikan lemuru terproteksi terdiri dari minyak ikan lemuru, onggok, asam klorida (HCl), kalium hidroksida (KOH) dan aquades. Proses yang dilakukan adalah minyak ikan lemuru dipanaskan terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan larutan HCl (0,2M) dikocok lalu ditambahkan dengan aquades dan adonan diaduk hingga suhunya sampai 700C, bila sudah mencapai suhu tersebut maka ditambahkan dengan larutan KOH (0,2M), kemudian diaduk hingga rata. Adonan yang telah tercampur rata kemudian didinginkan lalu adonan tersebut dicampur dengan onggok super dan diaduk hingga halus dan merata serta sampai campuran adonan tersebut tidak ada yang menggumpal. Tahap terakhir yaitu adonan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 320C hingga kering. Hasil pengeringan tersebut merupakan minyak ikan lemuru terproteksi atau Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Perbandingan minyak ikan lemuru dan onggok 1:5 b/b.
Pembuatan Ransum
Bahan pakan yang dipakai dalam pembuatan ransum terdiri dari onggok, bungkil kelapa, CaCO3, garam, premix, urea, minyak jagung, minyak ikan lemuru
dan minyak ikan lemuru terproteksi. Pembuatan ransum dimulai dengan cara mencampurkan bahan-bahan terkecil dahulu yaitu sumber vitamin dan mineral (CaCO3, garam, premix dan urea). Sumber energi dan protein dicampur (onggok dan
bungkil kelapa). Pada perlakuan yang mengandung minyak terlebih dahulu onggok dicampurkan dengan minyak yang digunakan masing-masing perlakuan, lalu dicampur dengan bungkil kelapa yang sebelumnya dicampur dengan mineral. Semua bahan pakan dicampur hingga rata dan tidak ada yang menggumpal.
Pemeliharaan
Pemeliharaan domba ekor tipis betina lepas sapih dilakukan selama 12 minggu (±3 bulan) dalam kandang individu. Sebelum digunakan domba ditimbang terlebih dahulu. Domba ditimbang setiap dua minggu sekali untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Pakan diberikan pada pagi, siang dan sore hari. Pakan yang diberikan sebesar 3% sampai 4% dari BB dengan rasio hijauan : konsentrat
22 yaitu 30:70 dan air minum diberikan ad libitum setiap pagi dan sore. Konsumsi pakan dan sisa pakan dihitung setiap pagi hari.
Rancangan dan Analisis Data Perlakuan
Perlakuan yang diberikan adalah empat jenis ransum dengan sumber minyak yang berbeda, yaitu:
M0 : ransum kontrol (tanpa minyak)
MJ : ransum mengandung 1,5% minyak jagung MIL : ransum mengandung 1,5% minyak ikan lemuru
MILT : ransum mengandung 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan berlaku sebagai kelompok dengan pengelompokan berdasarkan bobot badan domba kecil (7,00±0,33kg), sedang (9,15±0,53kg), dan besar (11,80±1,82kg).
Model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalahsebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991):
Yij = µ + τi + ßj+ εij Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai rataan umum
τi = Pengaruh pemberian ransum ke-i (1, 2, 3, 4)
βj = Efek kelompok ke-j (1,2,3,4)
εij = Pengaruh galat ransum ke-i (1, 2, 3, 4) dan ulangan ke-j (1, 2, 3, 4)
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Konsumsi Pakan. Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang setiap hari dihitung dengan cara menghitung pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan (g/ekor/hari). Dilakukan setiap hari selama penelitian.
23 Konsumsi pakan = Jumlah pakan yang diberikan (g/hari) – sisa pakan (g/hari)
Konsumsi Zat Makanan. Konsumsi zat makanan merupakan jumlah zat makanan yang dikonsumsi (Bahan Kering atau BK, Protein kasar atau PK, Serat Kasar atau SK, Lemak Kasar atau LK dan Total Digestible Nutrient atau TDN) dihitung dari konsumsi pakan dikali dengan persentase zat makanan.
KBK = Konsumsi Pakan (g) x % Bahan Kering Pakan
KPK = Konsumsi Bahan Kering (g) x % Protein Kasar Pakan KSK = Konsumsi Bahan Kering (g) x % Serat Kasar Pakan KLK = Konsumsi Bahan Kering (g) x % Lemak Kasar Pakan KTDN = Konsumsi Bahan Kering (g) x % Protein Kasar Pakan Keterangan : KBK = Konsumsi Bahan Kering (g)
KPK = Konsumsi Protein Kasar (g) KSK = Konsumsi Serat Kasar (g) KLK = Konsumsi Lemak Kasar (g)
KTDN = Konsumsi Total Digestible Nutrient (g)
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari). Pertambahan bobot badan (PBB) domba diperoleh dari selisih bobot badan saat penimbangan dengan bobot minggu sebelumnya dibagi lamanya penelitian.
PBB g/ekor/hari Bobot badan akhir gLama penelitian hari Bobot badan awal g
Efisiensi Pakan. Efisiensi pakan dihitung dari pertambahan bobot badan dibagi konsumsi bahan kering. Semakin tinggi nilai yang diperoleh semakin efesien pakan yang diberikan.
Efisiensi pakan Konsumsi pakan g/hari/ekorPBB g/hari/ekor
Income Over Feed Cost (IOFC) (Rp/kg PBB). Income Over Feed Cost adalah pendapatan yang didapat setelah dikurangi biaya pakan.
IOFC = [PBBH (kg) x Harga per kg BH (Rp)] – [Jumlah Konsumsi BK (kg) x Harga pakan (Rp)] (Mayulu et al., 2009).
24 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
25 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan ternak percobaan yang seragam dalam umur dan bobot badan dan terdapat beberapa ternak terserang penyakit yaitu cacingan. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan melihat recording umur domba dan menimbang ternak lalu membuat range bobot badan domba (besar, sedang, kecil) sebagai ulangan. Untuk domba yang terserang cacingan diberikan obat merk “Kalbazen” dengan menggunakan pipet suntikan. Ternak diberikan vitamin minyak ikan pada masa adaptasi untuk merangsang nafsu makan. Pemberian obat dilakukan dengan cara memberikan langsung kepada ternak melalui oral (mulut) Gambar 6.
Selama penelitian berlangsung ternak mengalami kenaikan bobot badan dan mengalami kenaikan konsumsi bahan kering yang normal. Pada akhir periode penelitian minggu ke 10-12 terjadi penurunan konsumsi pakan yang diakibatkan karena pada periode tersebut domba betina mengalami masa birahi.
Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian
26 Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dan zat yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tilman et al., 1998). Rataan konsumsi bahan kering ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataaan Konsumsi Bahan Kering Domba dengan Ransum Perlakuan
Peubah Perlakuan ±SEM
M0 MJ MIL MILT
………..g/ekor/hari……….. Konsumsi Bahan Kering
Hijauan (g/ekor/hari) 115,89 119,61 120,14 107,31 8,87 Konsentrat (g/ekor/hari) 285,87 302,21 277,49 267,26 2,06 Total BK ransum (g/ekor/hari) 401,76 421,82 397,63 374,57 2,94 (g/kg BB0,75) 63,35 60,67 57,03 59,16 1,37 (% BB) 3,20 3,19 3,01 3,18 0,03 Hijauan:Konsentrat 29:71 28:72 30:70 29:71 Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum
mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Berdasarkan analisis ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang ditambah minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi memiliki palatabilitas yang sama dengan ransum tanpa minyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chruch dan Pond (1988), palatabilitas bahan pakan dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Hartati et al. (2007) menunjukkan bahwa penambahan mineral seng pada PPG (Pakan Padat Gizi) mengandung 1,50% minyak lemuru tidak berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering.
Konsumsi bahan kering berkisar 374,57-421,82 (g/ekor/hari) atau 57,03- 63,35 g/kg BB0,75 atau 3,01%-3,20% dari bobot badan. Konsumsi bahan keringuntuk perlakuan M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 401,76; 421,82; 397,63; dan 374,57 (g/ekor/hari).
27 Maulidina et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering ransum domba betina calon induk yang menggunakan bungkil kelapa, onggok dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) konsumsi bahan kering berkisar 450,29-517,21 (g/ekor/hari) atau 3,20%-3,49% bobot badan. Shaliha et al. (2012) juga melaporkan bahwa jumlah konsumsi bahan kering yang dikonsumsi oleh domba jantan yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi bahan keringnya 422-500 (g/ekor/hari) atau 59-68 g/kg BB0,75 atau 3,1%-3,5% dari bobot badan.
Kearl (1982) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 15 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 (g/ekor/hari) mengkonsumsi bahan kering sebesar 530-560 (g/ekor/hari) atau 58,9-64,4 g/kg BB0,75. Menurut NRC (1985), domba dengan bobot tubuh 10-20 kg dengan pertambahan bobot tubuh domba 200-250 g/hari membutuhkan bahan kering 0,5-1 kg atau 5% dari bobot hidup.
Konsumsi bahan kering dalam penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Maulidina et al. (2011), Shaliha et al. (2012), Kearl (1982) maupun NRC (1985). Hal ini diduga karena adanya perbedaan jenis bahan pakan dalam ransum yang dapat menimbulkan perbedaan palatabilitas, kandungan nutrisi dan kecernaan, yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Hamdan et al., 2004). Scollan et al. (2001) melaporkan bahwa ransum dengan minyak ikan cenderung mengurangi konsumsi pakan. Chillard dan Doreau (1997) juga melaporkan bahwa asupan jagung dan konsentrat yang dilengkapi dengan minyak ikan menurunkan konsumsi bahan kering pada sapi perah.
Imbangan konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat agak sedikit berbeda dari yang diharapkan yaitu 30:70 dikarenakan pemberian yang terpisah antara hijauan dan konsentrat. Sehingga, ternak lebih menyukai konsentrat daripada hijauan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ternak lebih memilih pakan yang kualitas baik. Ratio hijauan dan konsentrat untuk perlakuan M0 (29:71), MJ (28:72), dan MILT (29:71) sedangkan untuk MIL (30:70) merupakan rasio yang tepat untuk perbandingan yang diharapkan pada perlakuan ini.
28 Pola Konsumsi Bahan Kering (BK)
Pola konsumsi rataan bahan kering selama penelitian terlihat pada Gambar 7. Rataan konsumsi bahan kering pada dua minggu pertama untuk M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 207,74; 216,81; 215,65; 194,20 (g/ekor/hari), kemudian meningkat masing-masing sebesar 534,54; 555.66; 485,47; dan 479,72 (g/ekor/hari).
Gambar 7 . Grafik Pola Konsumsi Bahan Kering Mingguan
M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru
Secara umum, rataan konsumsi bahan kering penelitian tidak berbeda nyata, tetapi dari pola konsumsi bahan kering menunjukan bahwa ransum MJ mempunyai konsumsi lebih baik dan lebih tinggi dari ketiga ransum perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena panambahan sumber minyak nabati lebih disukai ternak dibandingkan dengan penambahan sumber minyak yang berasal dari hewani. Penambahan minyak ikan menyebabkan bau amis dalam ransum, sehingga menyebabkan palatabilitas menurun. Sudarman et al. (2008) menyatakan bahwa penambahan sabun-Ca yang berasal dari minyak ikan dalam ransum diduga menyebabkan adanya bau amis dalam ransum yang tidak disukai domba yang mengakibatkan palatabilitas ransum berkurang.
Ransum yang ditambah minyak ikan lemuru terproteksi (MILT) lebih rendah sejak dari awal yaitu 194,20 menjadi 479,7 (g/ekor/hari). Khusus untuk MIL pada
0 100 200 300 400 500 600 2 4 6 8 10 12 Rataan Konsum si Bahan Kering (g/ekor/hari) Minggu Ke- M0 MJ MIL MILT
29 minggu ke 10-12 terjadi penurunan konsumsi bahan kering harian kemungkinan disebabkan oleh adanya beberapa ekor domba yang menunjukan gejala birahi. Birahi menyebabkan konsumsi rendah sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering menurun. Tanda-tanda berahi yang paling penting adalah domba kelihatan tidak tenang dan nafsu makan biasanya turun (Ginting dan Sitepu, 1989).
Konsumsi Protein Kasar (PK)
Rataan konsumsi protein kasar ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataaan Konsumsi Protein Kasar Domba dengan Ransum Perlakuan
Peubah Perlakuan ±SEM
M0 MJ MIL MILT
………..g/ekor/hari……….. Konsumsi Protein Kasar
Hijauan (g/ekor/hari) 10,17 10,50 10,25 9,42 0,77 Konsentrat (g/ekor/hari) 63,87 61,12 54,28 52,25 4,32 Total (g/ekor/hari) 74,04 71,62 64,82 61,66 5,06 Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum
mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi protein kasar. Nilai konsumsi protein kasar dari tiap perlakuan yaitu M0, MJ, MIL dan MILT masing- masing 74,04; 71,62;, 64,82; dan 61,66 (g/ekor/hari).
Kebutuhan protein dalam pakan harus diperhitungkan dengan baik. Rataan konsumsi protein kasar perhari dari masing-masing perlakuan yaitu berkisar antara 62,76-71,03 (g/ekor/hari).
Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan NRC (1985), domba dengan bobot tubuh 10-20 kg membutuhkan protein 127-167 (g/ekor/hari) untuk pertumbuhan, perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa atau potensi genetik ternak dan tingkat produksi, pertambahan bobot badan domba NRC
30 (1985) yaitu 200-250 g/hari, sedangkan pertambahan bobot badan dari penelitian ini adalah 81,32-88,64 (g/ekor/hari). Hasil ini mendekati dengan yang dilaporkan Maulidina et al. (2011) yaitu domba dengan bobot tubuh 10-25 kg dengan pertambahan bobot tubuh 50-100 g/hari membutuhkan protein 67,08-86,63 (g/ekor/hari). Shaliha et al. (2012) juga melaporkan bahwa jumlah konsumsi protein yang dikonsumsi oleh domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi protein kasar berkisar 67-80 (g/ekor/hari). Menurut Kearl (1982) bahwa domba dengan bobot badan 15 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 (g/ekor/hari) mengkonsumsi protein kasar sebesar 49-58 (g/ekor/hari).
Peningkatan konsumsi protein kasar dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan yaitu semakin tinggi kandungan protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi. Boorman (1980) menyatakan semakin tinggi kandungan protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi. Tingginya protein terkonsumsi diharapkan dapat meningkatkan jumlah protein yang teretensi dalam tubuh ternak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk memenuhi hidup pokok dan produksi.
Konsumsi Serat Kasar
Rataan konsumsi serat kasar ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataaan Konsumsi Serat Kasar Domba dengan Ransum Perlakuan
Peubah Perlakuan ±SEM
M0 MJ MIL MILT
………..g/ekor/hari……….. Konsumsi Serat Kasar
Hijauan (g/ekor/hari) 32,20 33,23 33,38 29,82 2,47 Konsentrat (g/ekor/hari) 26,87 30,92 27,38 25,59 2,10 Total (g/ekor/hari) 59,07 64,16 60,76 55,37 4,53 Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum
mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
31 Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi serat kasar. Sejalan dengan konsumsi zat makananan lainnya, konsumsi bahan kering yang tidak berbeda nyata juga menyebabkan konsumsi serat yang tidak berbeda antar perlakuan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsumsi serat, yaitu kandungan serat kasar di dalam ransum, hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Suparjo et al. (2011) bahwa konsumsi serat kasar dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum, karena serat yang terkonsumsi akan semakin tinggi jika kandungan serat kasar ransum juga tinggi dan begitu juga sebaliknya.
Konsumsi serat kasar domba betina lepas sapih yang diperoleh pada penelitian sebesar 55,37-64,16 (g/ekor/hari). Rataan konsumsi serat kasar untuk perlakuan M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 59,07; 64,16; 60,76; 55,37 (g/ekor/hari).
Hasil yang diperoleh tersebut lebih rendah dari hasil penelitian Shaliha et al.
(2012) yang menggunakan domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan kandungan serat kasar sebesar 21,27%-22,25% konsumsi serat kasarnya sebesar 94- 106 (g/ekor/hari). Perbedaan konsumsi serat kasar ransum pada penelitian ini disebabkan karena kandungan serat kasar ransum pada penelitian ini lebih rendah yaitu berkisar 14,91%-15,50%. Konsumsi serat kasar sangat dipengaruhi oleh kandungan serat yang terkandung didalam ransum. Kandungan serat kasar didalam pakan dapat mempengaruhi kecernaan didalam ransum, karena menurut Tilman et al. (1991) semakin banyak serat kasar yang terdapat di dalam suatu bahan pakan, maka semakin tebal dinding sel dan akibatnya semakin rendah daya cerna dari bahan makanan.
Menurut Maynard dan Loosli (1993) domba dan ternak ruminansia lainnya membutuhkan serat kasar sekitar 18% didalam ransum. Ternak ruminansia mempunyai kemampuan untuk mencema serat kasar dengan bantuan mikroba. Kecukupan konsumsi serat kasar akan berpengaruh pada pertumbuhan. Walaupun demikian, semakin tinggi konsumsi serat kasar bukan berarti akan menghasilkan pertumbuhan ternak dan produksi yang lebih baik. Hal ini dikarenakan serat kasar bersifat menurunkan daya cerna.
32 Konsumsi Lemak Kasar
Rataan konsumsi lemak kasar ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataaan Konsumsi Lemak Kasar Domba dengan Ransum Perlakuan
Peubah Perlakuan ±SEM
M0 MJ MIL MILT
………..g/ekor/hari……….. Konsumsi Lemak Kasar
Hijauan (g/ekor/hari) 2,12 2,19 2,20 1,96 0,16 Konsentrat (g/ekor/hari) 13,43a 20,12ab 23,06b 33,51c 2,69 Total (g/ekor/hari) 15,55a 22,31ab 25,26b 35,47c 2,77 Huruf kecil superskrip dalam baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01).
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam yang tertera di Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan sumber minyak yang digunakan pada penelitian ini sangat nyata mempengaruhi konsumsi lemak kasar (P<0,01). Konsumsi lemak kasar berkisar 15,55-35,47 (g/ekor/hari). Rataan konsumsi lemak kasar untuk perlakuan M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 15,55; 22,31; 25,26; 35,47 (g/ekor/hari).
Ransum MILT menghasilkan konsumsi lemak kasar paling tinggi jika dibandingkan dengan MIL, MJ dan M0. Hal ini dikarenakan ransum MILT memiliki kandungan lemak kasar lebih tinggi dibandingkan M0, MJ, dan MIL (Tabel 6). Haddad dan Younis (2004) menyimpulkan konsumsi lemak kasar dapat meningkat sejalan dengan penambahan jumlah lemak dalam ransum.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Haddad dan Younis (2004) yang menyebutkan bahwa penambahan lemak dalam ransum sebesar 0%; 2,5%; dan 5% pada ransum domba awwasi jantan lepas sapih pada periode pembesaran signifikan dapat meningkatkan konsumsi lemak kasar secara linier sebesar 21%; 59%; dan 67%. Shaliha et al. (2012) juga melaporkan bahwa jumlah konsumsi lemak kasar yang dikonsumsi oleh domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi bahan keringnya berkisar 28-31 (g/ekor/hari).
33
Machmuler et al. (2000) menyebutkan hijauan dapat menyumbang komponen
lemak dalam pakan domba. Ransum penelitian ini terdiri atas hijauan yang mengandung 1,83%. Oleh karena itu, selain dari lemak konsentrat, tinginya lemak hijauan yang mendorong tingginya tingkat konsumsi lemak, meskipun konsumsi lemak hijauan tidak berbeda nyata. Menurut Parakkasi (1999), komponen asam lemak hijauan terdiri atas asam lemak tak jenuh.
Konsumsi Total Digestible Nutrient (TDN)
Rataan konsumsi Total Digestible Nutrient ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rataaan Konsumsi Total Digestible Nutrient dengan Ransum Perlakuan
Peubah Perlakuan ±SEM
M0 MJ MIL MILT
………..g/ekor/hari……….. Konsumsi TDN
(g/ekor/hari) 267,30 292,67 280,49 279,40 2,04 Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum
mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi Total Digestible Nutrient. Rataan konsumsi Total Digestible Nutrient untuk perlakuan M0, MJ, MIL dan MILT masing-masing sebesar 267,30; 292,67; 280,49 dan 279,40 (g/ekor/hari). Aboenawan (1991) menyatakan bahwa semakin tinggi Total Digestible Nutrient suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan.
Rataan konsumsi Total Digestible Nutrient berkisar 279,67-292,67 (g/ekor/hari). Kisaran tersebut belum mencukupi kebutuhan pokok konsumsi Total Digestible Nutrient menurut NRC (1985) untuk domba dengan bobot badan 10-20 kg sebesar 400-800 (g/ekor/hari). Perbedaan ini dimungkinkan adanya perbedaan faktor genetik dengan domba yang digunakan dalam penelitian. Konsumsi Total Digestible Nutrient domba pada penelitian ini tercukupi jika berdasarkan Kearl (1982) yaitu berkisar 290-380 (g/ekor/hari), dan Shaliha et al. (2012) yaitu berkisar 277-327 (g/ekor/hari).
34 Konsumsi bahan kering dan kandungan energi dapat menjadi faktor tinggi rendahnya konsumsi energi, karena menurut NRC (1985) jumlah konsumsi energi merupakan korelasi antara konsumsi bahan kering dengan kandungan energi ransum, selain itu Lallo (1996) melaporkan bahwa konsumsi energi akan meningkat sejalan dengan peningkatan kandungan energi pakan.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan merupakan indikator kecepatan pertumbuhan seekor ternak selama penelitian. Rataan pertambahan bobot badan ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan Pertambahan Bobot Badan Domba dan Efisiensi Pakan
Peubah Perlakuan ±SEM
M0 MJ MIL MILT Bobot awal (kg/ekor) 9,20 9,53 10 8,53 0,66 Bobot akhir (kg/ekor) 16,93 17,60 17,47 15,93 1,15 Pertambahan Bobot Badan
(kg/ekor) 7,73 8,07 7,47 7,40 0,55 (g/ekor/hari) 84,94 88,64 82,05 81,32 0,006 Efisiensi Pakan 0,21 0,21 0,21 0,22 0,65 Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum
mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa zat makanan utama yang dibutuhkan oleh ternak untuk tujuan pertumbuhan adalah energi, oleh karena konsumsi Total Digestible Nutrient
antar perlakuan dalam penelitian ini tidak berbeda nyata, maka pertambahan bobot badan yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rataan pertambahan bobot badan domba berkisar 81,32-88,64 (g/ekor/hari). Rataan pertambahan bobot badan untuk perlakuan M0, MJ, MIL dan MILT yaitu masing-masing 84,94; 88,64; 82,05 dan 81,32 (g/ekor/hari).
35 Rataan pertambahan bobot badan masih berada di antara pertambahan bobot badan domba pada penelitian. Maulidina et al. (2011) dengan ransum menggunakan bungkil kelapa, onggok dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) pertambahan bobot badannya yaitu sebesar 82,74-104,87 (g/ekor/hari). Shaliha et al. (2012) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi protein kasar berkisar 67-80 (g/ekor/hari). Mathius et al. (1998) juga melaporkan ransum yang menggunakan bahan pakan bungkil kedelai yang mendapat