• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Jat

2.1.2 Sifat Fisik dan Kegunaan

Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jari mempunyai berat jenis antara 0,62-0,75 dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,85%-5,2% (Sumarna 2001). Sifat fisis kayu jati ditentukan oleh bentuk anatominya maupun susunan kimia dari kayunya. Misalnya: mengenai berat jenisnya atau kepadatannya, kekerasannya, daya lenting/pir, kelenturan dan kestabilannya (Cordes 1992)

Karena sifatnya yang baik, kayu jati merupakan jenis kayu yang paling banyak dipakai untuk berbagai keperluan, terutama di Pulau Jawa. Kayu jati praktis sangat cocok untuk segala jenis kontruksi seperti tiang, balok dan gelagar pada bangunan rumah dan jembatan, rangka atap, kosen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, mebel, alat-alat yang memerlukan perubahan bentuk yang kecil, kulit dan dek kapal, lantai (papan dan parket) dan sirap. Jati merupakan kayu yang paling baik untuk pembuatan kapal dan biasa untuk papan kapal, terutama untuk kapal yang berlayar di daerah tropis. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dan lain- lain dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan kimia. Selain itu, kayu jati dapat dipakai sebagai obat kolera dan kejang usus (Martawijaya et al. 1981)

2.2 Penaksiran Produksi Kayu

Inventarisasi hutan biasanya dianggap sinonim dengan taksiran kayu. Di dalam artian ini inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya (Husch 1987)

Kegiatan inventarisasi bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan. Untuk keperluan tersebut di Perum Perhutani kegiatan inventarisasi hutan dilaksanakan dengan cara pengambilan contoh sistematik dengan mempergunakan petak ukur lingkaran sebagai satuan contoh. Kesalahan yang disyaratkan adalah maksimal 15%, yaitu penyimpangan dua kali simpangan baku, tidak lebih dari 15% dari volume rata-rata. Berdasarkan ketentuan ini maka intensitas sampling sekurang-kurangnya 2,5% dan tergantung dari biaya, tenaga dan fasilitas yang tersedia (Direktorat Jenderal Kehutanan 1974)

Penaksiran volume suatu tegakan lebih dapat dilakukan dari pengukuran- pengukuran yang dipandang mewakili seluruh tegakan daripada peninjauan volume individu pohon-pohon. Tujuannya adalah untuk membuat suatu penaksiran tegakan secara cepat tanpa mengukur semua pohon atau menentukan volume-volumenya. Volume-volume yang diperoleh dalam cara ini bermanfaat jika diperlukan penaksiran volume seluruhnya, tanpa dibagi data spesies, ukuran, atau kelas-kelas kualitas (Husch 1987)

Departemen Kehutanan (1992) menjelaskan bahwa inventarisasi hutan dengan sampling, khususnya untuk mengetahui potensi tegakan, dua informasi penting yang diperlukan adalah luas rata-rata dan volume kayu per hektar. Masalah yang muncul adalah apa atau bagaimana bentuk sampel yang akan diukur serta beberapa jumlah pohon yang akan diambil sebagai sampel tersebut, dan bagaimana memilihnya di lapangan. Dari sini lalu muncul apa yang disebut “petak ukur” dan cara menempatkannya. Untuk hutan alam klimaks atau hutan tanaman yang sudah tua, biasanya diambil luas petak ukur lingkaran 0,1 ha, yaitu dengan jari-jari 17,8 m. Untuk menghindari kesulitan penepatan sampel secara acak (random), di kehutanan biasanya dipakai penepatan sampel sistematik, yaitu penepatan sampel yang dilakukan menurut aturan dengan keajegan tertentu, yang

ditetapkan sebelumnya. Dari segi statistik, penepatan sampel secara sistematik ini tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, rumus-rumus yang dipakai dalam sampling sistematik ini diambil dari rumus penepatan sampel secara acak. Untuk inventarisasi hutan, penepatan sampel secara sistematik mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan penepatan secara random, sebagai berikut:

1. Pelaksanaannya lebih cepat dan lebih mudah

2. Letak sampel dijamin lebih tersebar merata diseluruh bagian populasi

3. Dapat memberi manfaat lain, misalnya untuk pemetaan atau stratifikasi potensi tegakan.

2.3 Daur

Daur adalah periode waktu yang diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan tegakan hutan sampai masak tebang dalam kondisi tertentu (Davis 1966). Menurut Simon (1993), daur atau rotasi adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu.

Istilah daur mempunyai makna suatu jangka waktu antara waktu penanaman hutan sampai hutan tersebut dianggap masuk untuk dipanen. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur. Untuk hutan tak seumur, istilah yang mempunyai arti sama adalah siklus tebang (cutting cycle).

Lahirnya istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal. Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan dari semua umur yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur 1 tahun sampai akhir daur. Oleh karena itu, menentukan panjang daur merupakan salah satu faktor kunci dalam pengelolaan hutan seumur. Sesuai dengan definisinya, masalah penentuan panjang daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan waktu yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang, atau siap dipanen. Lamanya waktu tersebut bergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan, dan pertimbangan ekonomi. Dari sinilah lahir beberapa macam atau cara dalam menentukan panjang daur (Departemen Kehutanan 1992)

Menurut Osmaston (1968), faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya daur adalah sebagai berikut:

1. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.

2. Karakteristik jenis, dimana harus diperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas kayu terbaik.

3. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhatikan ukuran yang dapat diperoleh.

4. Respon tanah terhadap penggunaan pembukaan lahan yang berulang-ulang, hal ini erat hubungannya dengan batuan induk dan pelapukan tanah.

Departemen Kehutanan (1992) menyatakan bahwa ada lima macam daur, sebagai berikut:

1. Daur fisik

Yaitu jangka waktu yang berhimpitan dengan periode hidup suatu jenis untuk kondisi tempat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami. Kadang-kadang juga didefinisikan sama dengan umur, sampai pohon tersebut masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan. Jadi, daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu hutan.

2. Daur silvikultur

Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan yang baik, dan dapat menjamin permudaan sesuatu, dengan kondisi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan daur fisik. Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai batas yang amat lebar.

3. Daur tehnik

Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur fisik atau panjang bergantung pada tujuan pengelolaannya. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan, sering kali amat panjang.

4. Daur volume maksimum

Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur ini merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume maksimum ini berhimpitan dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata tahunan (MAI, mean annual increment) mencapai maksimum.

5. Daur pendapatan maksimum

Daur ini juga dikenal sabagai daur “bunga hutan” maksimum (the highest forest rental), yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih maksimum. Disini, pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil akhir, setelah dikurangi dengan seluruh biaya. Daur ini pada umumnya hampir sama panjang dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan bersih diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur. 6. Daur finansial

Yaitu daur yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (land expectation value) dan dari hasil finansial.

2.4 Nilai Harapan Lahan

Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu. Di kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan secara periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk waktu yang akan datang perlu didiskonto pada tahun perhitungan.

Penentuan daur finansial optimal dalam kajian ini didekati dengan nilai finansial berdasarkan pendekatan Nilai Harapan Lahan. Pendekatan ini dikemukakan oleh Davis (1966). Rumus yang digunakan, sebagai berikut:

Keterangan : Se = Nilai Harapan Lahan (Rupiah/hektar)

a = Hasil bersih panen/penebangan akhir daur (Rupiah) w = Daur (Tahun)

i = Biaya atas modal (Persen)

Menurut Davis (1966), nilai harapan lahan baru sebatas nilai lahan kosong. Oleh karena itu, nilai lahan dengan tegakan yang tumbuh di atasnya dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan: PNW = Present Net Worth/Nilai keuntungan bersih saat ini NR = Nilai pendapatan bersih tegakan (yang dipanen nanti) SEV = Nilai harapan lahan/Nilai lahan kosong

Menurut Chapman dan Meyer (1947), faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tegakan, sebagai berikut:

1. Jenis pohon, kualitas, ukuran dan kerapatan tegakan. 2. Kemudahan untuk dicapai (aksesibilitas).

3. Persaingan permintaan akan kayu dengan jumlah penjualan kayu dan jumlah jenis kayu lain yang tersedia.

4. Permintaan pasar.

5. Bentuk dari penjualan kayu. 6. Jangka waktu penjualan.

Menurut Haeruman (1977), masalah yang timbul sewaktu mengadakan penilaian stumpage, sebagai berikut:

1. Pengaruh ketidaktelitian dalam penentuan harga jual dan ongkos produksi. 2. Pengaruh perhitungan volume terhadap biaya per unit yang diturunkan dari

biaya-biaya tetap.

3. Penerapan keadaan pasar atau tawar-menawar, karena keadaan keyataan pasar adalah validitas terakhir.

Menurut Davis (1966), terdapat tiga dasar untuk melakukan penilaian tegakan, sebagai berikut:

1. Nilai biaya, yang didasarkan kepada biaya historis, pemindahan tempat dan pemulihan.

2. Nilai pendapatan, yang diestimasi sebagai nilai sekarang dari keseluruhan pendapatan di masa yang akan datang atau penghasilan lain yang diharapkan dari suatu pemulihan.

3. Nilai pasar, harga pasar adalah sebagai pedoman untuk penilaian hutan yang merupakan perbandingan yang sangat penting.

2.5 Biaya

Menurut Lembaga Penelitian Ekonomi Kehutanan (1964), biaya didefinisikan sebagai semua pengorbanan tenaga dan material selama satu periode dalam suatu perusahaan. Biaya dibagi dalam dua bagian yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap tidak tergantung pada tingkat kegiatan perusahaan, artinya biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh naik atau turunnya kegiatan perusahaan sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah sesuai dengan naik turunnya kegiatan perusahaan (Slot dan Minnaar 1995)

Beberapa faktor yang mempengaruhi atau menentukan biaya menurut Elias (1987), adalah sebagai berikut:

1. Besarnya kapasitas produksi dari bermacam-macam alat produksi yang digunakan untuk memproduksi barang.

2. Nilai produksi barang

3. Lamanya pemakaian kekayaan yang diperlukan untuk memproduksi barang tersebut.

4. Harga dari kekayaan tersebut.

2.6 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis kelayakan proyek, agar dapat melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar perhitungan biaya-manfaat. Analisis kepekaan (sensitivitas) adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Hal ini dibutuhkan dalam analisis proyek, biasanya didasarkan pada proyek yang mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa

yang akan datang, proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan utama, sebagai berikut:

1. Perubahan harga jual produk 2. Keterlambatan pelaksanaan proyek 3. Kenaikan biaya

4. Perubahan volume produksi

Jadi, analisis kepekaan dilakukan untuk melihat sampai seberapa persen penurunan akan peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan (Gittinger 1986).

BAB III

Dokumen terkait