• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali .1 Kerapatan

Kerapatan (density) adalah perbandingan antara massa kayu dengan volumenya. Kerapatan yang dimaksud adalah kerapatan pada saat kering udara (Haygreen dan Bowyer 1993). Hasil penelitian menunjukkan nilai kerapatan bambu lapis yang cenderung seragam dimana nilai kerapatan terendah terdapat pada bambu lapis Model Sambungan C sebesar 0,875 g/cm³ dan tertinggi pada bambu lapis Model Sambungan F sebesar 0,897 g/cm³. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan besarnya kerapatan bambu lapis kontrol yaitu 0,924 kg/cm2 seperti dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram hubungan antara kerapatan dengan model letak sambungan.

Kerapatan rata-rata bambu lapis yang diberi perlakuan sambungan adalah 0,886 g/cm³. Nilai ini lebih tinggi dibanding hasil penelitian Kliwon et al. (1993) dalam Monalisa (2008) yang menggunakan pelupuh bambu tali, Nugraha (2006), Monalisa (2008) dan Kusuma (2008) yang berturut-turut sebesar 0,64 g/cm3; 0,76 g/cm³; 0,86 g/cm3; dan 0,82 g/cm3. Hingga saat ini penentuan kualitas bambu

lapis masih belum ada batasan yang jelas tentang besarnya kerapatan yang baik sehingga tidak ada batasan yang jelas untuk nilai kerapatan bambu lapis agar dapat menghasilkan bambu lapis yang berkualitas baik.

Menurut Sulastiningsih (2005) kerapatan dipengaruhi oleh kerapatan bahan, berat labur perekat dan besarnya tekanan kempa selama proses pengempaan. Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa anyaman bambu lapis berkerapatan 0,37 g/cm³, berat labur perekat 250 g/cm2, dan besarnya tekanan kempa adalah 30 kg/cm2 selama 5 menit pada suhu ± 130ºC.

Menurut Fadli (2006), semakin tinggi nilai kerapatan akan menghasilkan sifat mekanis yang lebih baik. Bambu lapis kontrol memiliki kerapatan yang paling tinggi. Hal ini diduga karena pada bambu lapis kontrol tidak terdapat adanya sambungan, tidak terdapat perekat kertas berupa lakban diantara lapisan-lapisan vinir, sehingga perekat isocyanate dapat menyebar dan berpenetrasi lebih merata dan lebih dalam, yang semua itu akan berimplikasi pada terjadinya proses pemadatan yang lebih baik pada saat pengempaan. Dugaan ini selaras dengan pernyataan Surdiding et al. (2007) yang menyatakan bahwa jenis, kekentalan, dan cara pengaplikasian perekat mempengaruhi penyebaran dan penetrasi dari perekat itu sendiri. Sulastiningsih (2005) menyatakan bahwa nilai kerapatan panil bambu lapis akan meningkat seiring dengan semakin baiknya kualitas lapisan perekat dan pemadatan selama pengempaan.

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap kerapatan bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis Sumber DB JK KT F hit. Pr > F F tabel Keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.0045 0.0009 0.75 0.6018tn 3.106 5.064 sambungan Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Dari Tabel 2 terlihat bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan bambu lapis. Hal ini berarti bahwa berbagai model letak sambungan yang digunakan memberikan kerapatan bambu lapis yang relatif sama.

4.1.2 Kadar Air

Kadar air (moisture content) menunjukkan banyaknya air yang diikat oleh panil bambu lapis terhadap berat kering tanurnya (oven) yang dinyatakan dalam persen. Dari hasil pengujian diperoleh nilai kadar air rata-rata bambu lapis adalah 10,483% dengan nilai kadar air tertinggi terdapat pada Model Sambungan D yaitu sebesar 10,554% dan terendah pada Model Sambungan A sebesar 10,404% yang tidak terpaut jauh dengan kadar air bambu lapis kontrol sebesar 9,930%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kadar air bambu lapis yang dihasilkan cenderung seragam seperti dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Histogram hubungan antara kadar air denngan model letak sambungan.

Berpedoman pada standar SNI yang menyatakan bahwa nilai maksimal kadar air pada kayu lapis struktural adalah 14% maka kadar air semua panil bambu lapis berada dibawah nilai kadar air maksimum yang telah ditentukan. Dengan demikian, panil bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar kadar air kayu lapis. Nilai rata-rata kadar air pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha (2006) yaitu 13,91%.

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap kadar air bambu lapis maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis Sumber DB JK KT F hit. Pr > F F tabel Keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.000084 0.000017 1.44 0.2799tn 3.106 5.064 sambungan Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air bambu lapis. Hal ini berarti bahwa pada berbagai taraf model letak sambungan yang digunakan memberikan nilai kadar air yang relatif sama.

4.1.3 Daya Serap Air

Daya serap air merupakan sifat fisis yang tidak disyaratkan dalam SNI 01-5008.7-1999, namun daya serap air ini perlu diperhatikan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas bambu lapis. Pengujian daya serap air dilakukan untuk mengetahui ketahanan bambu lapis terhadap air jika digunakan untuk penggunaan eksterior atau penggunaan yang sering berhubungan langsung dengan pengaruh cuaca (kelembaban dan hujan).

Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai daya serap air seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram hubungan antara daya serap air dengan model letak sambungan

Daya serap air tertinggi terdapat pada model letak sambungan D sebesar 34,457% dan terendah pada model letak sambungan E sebesar 28,370%. Sementara itu, daya serap air pada bambu lapis kontrol adalah 32,470%.

Ditilik dari segi perekat, isocyanate memiliki karakteristik tahan air, cepat mengeras dan cepat matang pada temperatur rendah dan lebih toleran terhadap partikel maupun vinir berkadar air tinggi (Marra, 1992). Sehingga masih tingginya nilai daya serap air diduga bukan karena jenis perekat yang digunakan, melainkan karena kurang meratanya distribusi perekat sehingga perekat tidak melapisi permukaan vinir dengan baik. Hal ini berimplikasi pada tingkat penyerapan air yang lebih banyak pada bagian permukaan yang tidak terlapisi oleh perekat. Fadli (2006) menyebutkan bahwa selain absorbsi bahan baku dan ketahanan perekat terhadap air, faktor yang mempengaruhi bambu lapis terhadap penyerapan air adalah (1) volume ruang kosong yang dapat menampung air diantara anyaman-anyaman bambu, (2) saluran kapiler yang menghubungkan ruang satu dengan ruang kosong yang lain, (3) luas permukaan vinir yang tidak dapat ditutup oleh perekat, dan (4) dalamnya penetrasi perekat terhadap vinir.

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap daya serap air maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Analisis sidik ragam daya serap air bambu lapis Sumber DB JK KT hit. F Pr > F F tabel keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.007101 0.001420 0.96 0.4799tn 3.106 5.064 sambungan Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah

* : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap daya serap air bambu lapis. Hal ini berarti bahwa pada berbagai taraf model letak sambungan yang digunakan memberikan nilai daya serap air yang sama.

4.1.4 Pengembangan Tebal

Nilai pengembangan tebal bambu lapis hasil penelitian berkisar antara 4,703% - 15,389% seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pengembangan tebal terendah terdapat pada Model Letak Sambungan C, sedangkan pengembangan tebal bambu lapis tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan D. Sementara itu bambu lapis kontrol memiliki pengembangan tebal 7,888%.

Gambar 8 Histogram hubungan antara pengembangan tebal dengan model letak sambungan

Nilai rata-rata pengembangan tebal pada penelitian ini adalah 8,650%, masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata pengembangan tebal pada penelitian Nugraha (2006) yang besarnya 14,61% dengan kisaran nilai pengembangan tebal terendah 5,79% dan tertinggi 23,25%.

Haygreen et al. (1983) menerangkan bahwa semakin banyak perekat yang digunakan dalam pembuatan papan maka dimensi papan yang dihasilkan akan semakin stabil. Nilai pengembangan tebal yang bervariasi diduga dipengaruhi oleh kurang meratanya distribusi perekat pada setiap permukaan vinir sehingga setelah papan direndam dalam air selama 24 jam menyebabkan bagian permukaan papan yang tidak terkena perekat menjadi tebal akibat masuknya air ke dalam papan yang dihasilkan.

Nilai pengembangan tebal yang bervariasi juga menimbulkan pendugaan bahwa model letak sambungan mempengaruhi sifat pengembangan tebal pada bambu lapis. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap pengembangan tebal bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Analisis sidik ragam pengembangan tebal bambu lapis Sumber DB JK KT F hit. Pr > F F tabel keragaman 0,05 0,01 Model letak 5 0.020832 0.004166 3.95 0.0237* 3.106 5.064 Sambungan Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah

* : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pengembangan tebal yang dihasilkan pada model D berbeda nyata dengan seluruh model letak sambungan pada bambu lapis dalam penelitian ini. Dari grafik yang tersaji pada Gambar 8 juga terlihat bahwa Model D, yaitu peletakan sambungan yang disusun pada lapisan 1, 3, dan 5 memiliki nilai pengembangan tebal yang paling tinggi. Sementara Model C, yaitu peletakan sambungan yang disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas, memiliki nilai pengembangan tebal yang paling rendah. Sehingga dapat disarankan penggunaan model letak sambungan C untuk mendapatkan nilai pengembangan tebal yang paling baik yaitu pengembangan tebal bambu lapis yang sekecil mungkin.

4.2 Sifat Mekanis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali

Dokumen terkait