• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 PENGARUH JENIS KAYU DAN KADAR PEREKAT TERHADAP

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.2 Sifat Fisis Papan Komposit

1 Kerapatan

Hasil perhitungan kerapatan papan komposit memperlihatkan nilai kerapatan berkisar dari 0,51–0,68 g/cm3 seperti terlihat pada Gambar 3.8. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kerapatan papan semakin tinggi dengan bertambahnya kadar perekat yang digunakan. Nilai kerapatan yang terendah pada papan dari kayu gmelina dengan perekat 2% dan tertinggi pada papan dari kayu sengon dan akasia dengan perekat 6%, tetapi masih berada di bawah kerapatan sasaran yang ditetapkan yaitu 0,7 g/cm3. Kerapatan yang diperoleh pada kayu sengon rata-rata 98% dibandingkan dengan kerapatan sasaran, 92% pada kayu akasia dan 78% pada kayu gmelina.

0.51 0.57 0.68 0.67 0.650.63 0.65 0.68 0.61 - 0.3 0.5 0.8 1.0 2 4 6 Kadar Perekat (%) K e ra p a ta n (g/ c m 3)

sengon akasia gmelina

JIS A 5908:2003

Gambar 3.8 Kerapatan papan komposit dari jenis kayu dan kadar perekat yang berbeda

Rendahnya kerapatan yang dicapai disebabkan pada saat setelah pengempaan tebal papan rata-rata menjadi 1,1 cm pada semua jenis kayu yang digunakan sehingga ketebalan sasaran yaitu 1 cm tidak tercapai karena adanya sifat peregangan kembali (springback) pada kayu setelah dikempa. Selain itu kerapatan juga dipengaruhi oleh BJ kayu sengon yang lebih rendah yaitu 0,24 dibandingkan kayu akasia dan kayu gmelina yaitu 0,4. BJ kayu ini menunjukkan kerapatan kayu, dimana kerapatan kayu yang lebih rendah akan memiliki nisbah pengempaan (compression ratio) yang lebih besar dibandingkan kayu yang kerapatannya lebih tinggi jika dipadatkan untuk mencapai kerapatan yang sama, dalam hal ini 0,7 g/cm3. Di mana kayu sengon mempunyai nisbah pemadatan 2,9:1 sementara kayu akasia dan gmelina 1,7:1 seperti terlihat pada Gambar 3.9. Menurut Maloney (1993) kayu yang memiliki kerapatan yang rendah akan lebih mudah dikempa untuk mencapai ketebalan tertentu dan terjamin terjadinya lebih banyak kontak area antar partikel selama pengempaan dan menghasilkan rekatan yang baik. Pada umumnya nisbah pengempaan (compression ratio) pada papan adalah 1,3 : 1, tetapi pada kayu yang berkerapatan rendah, misalnya pada redwood dapat mencapai 2,9:1.

4 cm 4 cm 6,5 cm

1,09 cm 1,08 cm 1,06 cm

akasia gmelina sengon

Gambar 3.9 Perbandingan tinggi partikel kayu sebelum pengempaan

Berdasarkan hasil sidik ragam pada Lampiran 7, baik jenis kayu, maupun kadar perekat dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap kerapatan papan pada taraf α 5%. Jenis kayu sengon tidak berbeda dengan akasia

tetapi keduanya berbeda nyata dengan kayu gmelina. Sementara kadar perekat 4% dan 6% tidak berbeda tetapi keduanya berbeda nyata dengan kadar perekat 2%. Kerapatan yang diperoleh khususnya papan dari kayu sengon dan akasia relatif tidak jauh berada di bawah kerapatan sasaran, kecuali papan dari kayu gmelina.

Rendahnya kerapatan papan yang berasal dari kayu gmelina disebabkan kayu gmelina mempunyai keterbasahan yang rendah sehingga perekat sulit berpenetrasi ke dalam kayu, dan pada saat pengempaan panas perekat matang sebelum terpenetrasi. Hal ini mengakibatkan ikatan antar perekat sendiri lebih banyak dibandingkan dengan ikatan antar perekat dengan kayu menyebabkan rongga di dalam papan lebih banyak sehingga papan kurang kompak dan mengakibatkan kerapatannya lebih rendah. Tetapi dalam penelitian ini, semua data sifat papan dikonversi pada kerapatan yang sama yaitu 0,7 g/cm3, sehingga tidak terjadi perbedaan sifat papan yang disebabkan karena perbedaan kerapatan papan.

Berdasarkan standar JIS A 5908:2003, persyaratan kerapatan untuk papan berkerapatan sedang adalah 0,4–0,9 g/cm3, maka kerapatan papan yang dihasilkan memenuhi standar tersebut.

2 Kadar Air

Hasil perhitungan kadar air menunjukkan kadar air papan komposit berkisar dari 6,45%-8,24%, seperti terlihat pada Gambar 3.10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis kayu dan penambahan kadar perekat tidak menunjukan hubungan yang linier dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perbedaan kadar air papan.

6.76 7.10 7.49 7.75 8.02 6.45 7.35 7.80 8.24 - 2 4 6 8 10 12 14 2 4 6 Kadar Perekat (%) Ka d a r Ai r ( % )

sengon akasia gmelina

JIS A 5908:2003

Gambar 3.10 Kadar air papan komposit dari jenis kayu dan kadar perekat yang berbeda

Hasil sidik ragam pada Lampiran 8, menunjukkan jenis kayu dan kadar perekat maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar air papan. Hal ini disebabkan kadar air partikel kayu yang digunakan relatif sama untuk semua jenis, yaitu kadar air kering udara dalam ruangan (12-13%). Selain itu, dalam proses perekatan antara partikel kayu dengan perekat PU, tidak menggunakan air sebagai bahan pelarut perekat sehingga kadar perekat tidak berpengaruh terhadap kadar air papan. Hal ini juga dipengaruhi oleh tidak adanya air yang terbentuk sebagai produk samping pada reaksi kimia baik antara perekat PU dengan kayu, maupun antara perekat PU itu sendiri. (Petrie, 2004)

Jika dibandingkan dengan standar JIS A 5908:2003, maka kadar air papan komposit yang dihasilkan memenuhi standar yang mensyaratkan kadar air 5-13%.

3 Daya Serap Air

Daya serap air papan setelah perendaman 2 jam dan 24 jam dapat dilihat pada Gambar 3.11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kadar perekat, daya serap air papan semakin menurun. Daya serap air tertinggi setelah perendaman 2 jam pada papan dari kayu gmelina dengan perekat 2%

yaitu sekitar 116% dan terendah pada papan dari kayu akasia dengan perekat 4%, sekitar 16%. Untuk daya serap air 24 jam, tertinggi pada kayu gmelina dengan kadar perekat 2% sebesar 126% dan terendah pada kayu akasia dengan perekat 4% sebesar 49%. 90.46 81.63 72.85 100.30 87.89 29.10 16.91 18.92 62.69 94.61 126.11 113.80 97.62 115.63 49.32 52.47 55.46 116.90 - 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 p2 p4 p6 Kadar Perekat Day a S e ra p Ai r (% )

sengon 2 jam sengon 24 jam akasia 2 jam akasia 24 jam gmelina 2 jam gmelina 24 jam

Gambar 3.11 Daya serap air papan komposit dari jenis kayu dan kadar perekat yang berbeda

Berdasarkan hasil sidik ragam pada Lampiran 9 dan 10, daya serap air setelah perendaman 2 jam memperlihatkan bahwa jenis kayu, kadar perekat dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap daya serap air papan. Dimana daya serap air tertinggi pada papan dari kayu gmelina, dan tidak berbeda dengan daya serap air pada papan dari sengon tetapi berbeda nyata dengan papan dari kayu akasia. Sementara pada perendaman 24 jam memperlihatkan bahwa jenis kayu dan kadar perekat masing-masing berpengaruh nyata terhadap daya serap air, tetapi interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap daya serap air papan. Dimana daya serap air tertinggi pada kayu gmelina dan berbeda nyata dengan daya serap air papan dari kayu sengon dan terendah pada papan dari kayu akasia. Hal ini disebabkan kayu gmelina mempunyai kualitas rekatan yang

paling rendah dibandingkan kayu lainnya, mengakibatkan partikel yang tidak tertutup oleh perekat dapat mengikat air selama perendaman.

Hasil sidik ragam tersebut juga memperlihatkan daya serap air dipengaruhi oleh kadar perekat, di mana papan dengan kadar perekat 6% mempunyai daya serap air yang paling rendah sementara papan dengan kadar perekat 4% dan 2% tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan rendahnya jumlah perekat yang digunakan berimplikasi pada kurang terdistribusinya perekat pada seluruh permukaan partikel sehingga mengurangi area kontak antar partikel, area yang tidak terjadi kontak antar partikel ini dapat terisi oleh air pada saat perendaman berlangsung.

4 Pengembangan Tebal

Pengembangan tebal papan setelah perendaman 2 dan 24 jam dapat dilihat pada Gambar 3.12. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pengembangan tebal papan semakin menurun dengan bertambahnya kadar perekat yang digunakan. Nilai pengembangan tebal papan tertinggi pada kayu sengon dengan kadar perekat 2% dan pengembangan tebal setelah perendaman 24 jam terendah pada kayu akasia dengan kadar perekat 4% dan 6%.

Hasil sidik ragam pada Lampiran 11 dan 12, menunjukkan pengembangan tebal 24 jam dipengaruhi jenis kayu dan kadar perekat tapi interaksi keduanya tidak berpengaruh. Pengembangan tebal papan berbeda nyata antar jenis kayu, di mana pengembangan tebal tertinggi pada papan dari partikel kayu sengon. Tingginya pengembangan tebal pada papan dari kayu sengon dipengaruhi oleh berat jenis kayu sengon yang lebih rendah yaitu 0,24 dibandingkan kayu akasia dan kayu gmelina yaitu 0,4. Berat jenis kayu yang lebih rendah akan memiliki nisbah pemadatan (compaction ratio) yang lebih besar dibandingkan kayu yang berat jenisnya lebih tinggi jika dipadatkan untuk mencapai kerapatan yang sama, dalam hal ini 0,7 g/cm3. Dengan demikian spring back papan dari kayu sengon lebih besar sebagai akibat dari tingginya internal stress pada papan dari

kayu sengon, sehingga dapat dimengerti mengapa nilai pengembangan tebal papan dari kayu sengon lebih tinggi dari kedua jenis kayu lainnya, seperti terlihat pada Gambar 3.13. 14.66 11.18 34.00 97.07 40.38 47.01 63.39 56.48 71.21 45.11 22.98 44.84 33.26 51.62 65.00 76.80 73.02 76.07 0 20 40 60 80 100 120 2 4 6 Kadar Perekat (%) P e nge m ba ng a n Te ba l ( % )

sengon 2 jam sengon 24 jam akasia 2 jam akasia 24 jam gmelina 2 jam gmelina 24 jam

JIS A 5908:2003

Gambar 3.12 Pengembangan tebal papan komposit dari jenis kayu dan kadar perekat yang berbeda

Sengon 1,06 cm Akasia 1,09 cm Gmelina 1,08 cm Sengon 1,54 cm Akasia 1,48 cm Gmelina 1,82 cm

Gambar 3.13 Ketebalan papan komposit sebelum dan setelah perendaman 24 jam

Pengembangan tebal ini juga dipengaruhi kadar perekat dimana papan dengan kadar perekat 2% berbeda nyata dengan papan lainnya sementara papan dengan kadar perekat 4% dan 6% tidak berbeda nyata. Rendahnya kadar perekat

mengakibatkan partikel yang tidak tertutup oleh perekat juga dapat mengikat air pada saat perendaman berlangsung. Hasil penelitian Chelak dan Newman (1991) dengan menggunakan perekat MDI, menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar perekat, pengembangan tebal papan semakin kecil.

Tingginya nilai pengembangan tebal ini juga dikarenakan produk ini tidak menggunakan parafin sebagai pelindung terhadap air. Menurut Haygreen dan Bowyer (1993), parafin sekitar 0,25-2% ditambahkan untuk memberikan sifat tahan air pada papan

Nilai pengembangan papan tersebut tidak memenuhi standar JIS A 5908:2003 yang mensyaratkan pengembangan papan maksimum 12%.

Dokumen terkait