• Tidak ada hasil yang ditemukan

G m p t t t Biji ja kulit biji ata utama, yaitu embrio dari cadangan m dan 10% pro miniatur tan (Hardman & Gambar 1. menghubung Gam Perika proses pemb tipis, tetapi taraf tertentu testa/aleuron agung disebu au testa, mem u (a) perika organisme makanan, me otein, minera naman yang & Gunsolus Selain itu b gkan biji den

mbar 1 Biji j arp merupak bentukan bij sel-sel ini b u lapisan ini n yang seca TINJA B ut kariopsis, mbentuk din arp, berupa pengganggu encapai 75% al, minyak, d terdiri atas p s 1998). Ba biji jagung j ngan tongko agung dan b kan lapisan p i. Pada wak berkembang membentuk ara morfolo AUAN PUST Biji Jagung , dinding ov nding buah. B lapisan luar u dan kehila % dari bobot dan lainnya; plamule, aka agian-bagian juga menga l (Rooney & bagian-bagia pembungkus ktu kariopsis seiring deng k membran y gi adalah b TAKA

vari atau per Biji jagung r yang tipis angan air; (b t biji yang m dan (c) emb ar radikal, s n biji jagun andung tip c & Serna-Sald annya (Subek s biji yang masih mud gan bertamb yang dikenal bagian endo rikarp menya terdiri atas t s, berfungsi b) endosperm mengandung brio (lembag cutelum, da ng dapat di cap yaitu ba divar 2003). kti et al. 200 berubah cep da, sel-selnya bahnya umur l sebagai ku osperm. Bob atu dengan tiga bagian mencegah m, sebagai g 90% pati ga), sebagai an koleoptil ilihat pada agian yang 07) pat selama a kecil dan r biji. Pada lit biji atau bot lapisan

aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10% protein (Subekti et al. 2007).

Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85% yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 2001). Namun pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan amilopektin. Sel endosperma memiliki lapisan alueron yang merupakan pembatas antara endosperma dan bagian kulit.

Terdapat 6 tipe utama biji jagung antara lain dent corn, flint corn, flour corn, sweet corn, pop corn dan pod corn. Perbedaan utama dari masing-masing jenis ini berdasarkan kualitas, kuantitas dan susunan komposisi endospermnya. Masing-masing tipe bervariasi dalam hal warna perikarpnya, yang paling umum adalah kuning dan yang lainnya warna putih, merah atau biru. Warna biji jagung tertentu dapat menghasilkan produk-produk khas tertentu seperti blue corn flour

atau blue tortillachip atau red tortilla chip (Johnson 2000).

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) diacu dalam Hatorangan (2007), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan semi mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (semi mutiara), Pioner-2 (semi-mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara) dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan semi mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn) dan jagung manis (sweet corn).

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) diacu dalam Juniawati (2008) jenis jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan tepung mutiara. Hal ini disebabkan jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak dibandingkan endosperma kerasnya. Endosperma keras terdiri dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, sedangkan endosperma lunak susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras.

Beberapa cara pemanfaatan biji jagung untuk meningkatkan nilai gunanya antara lain melalui: (i) proses fraksinasi, yaitu pemisahan jagung menjadi komponen-komponen fraksinya yang digunakan sebagai ingredien dalam pembuatan produk pangan dengan cara penggilingan kering maupun penggilingan basah; (ii) proses konversi, yaitu mengolah lebih lanjut komponen fraksi menjadi ingredien yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi atau produk olahan industri, seperti konversi pati secara enzimatis menjadi gula atau fermentasi gula menjadi etanol, dan (iii) proses refabrikasi, yaitu mengkombinasikan produk-produk jagung dengan ingredien lain untuk menghasilkan “engineered food” atau

“refabricated food” atau produk olahan industri (Johnson 2000).

Kent dan Evers (1994) menjelaskan bahwa biji jagung dapat digunakan untuk penghasil pati, sirup dan gula, industri minuman keras dan whisky. Produk hasil penggilingan biji jagung termasuk grits, meal dan tepung (dan produk turunannya), protein, dan corn steep liquor. Makanan siap santap seperti corn flakes juga dapat dibuat dari grits jagung.

Tepung Jagung

Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya tepung jagung, minyak dan pati jagung. Secara umum terdapat dua metode pembuatan tepung jagung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci, ditiriskan dan diproses menjadi tepung menggunakan mesin penepung, sedangkan pada metode kering biji jagung yang telah disosoh langsung ditepungkan artinya tanpa perendaman (Suarni 2009). Berdasarkan hasil penelitian Suarni et al.

(2001), penepungan dengan metode basah (perendaman) menghasilkan rendemen tepung yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering (tanpa perendaman), namun kandungan nutrisi pada penepungan dengan metode kering lebih tinggi.

Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung karena kandungan seratnya tinggi sehingga membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa

pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung.

Kandungan zat gizi tepung jagung cukup baik. Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009), kadar protein tiga varietas jagung (Anoman-1, Srikandi Putih-1, dan lokal) berkisar 7,54-7,89% pada metode kering dan 6,70-7,24% pada metode basah. Kadar lemak tepung 2,05-2,38% pada metode kering lebih tinggi dibandingkan metode basah yang hanya 1,86-2,08%. Kadar lemak yang rendah akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih lama. Kadar serat kasar tepung hasil pengolahan kering (1,29-1,89%) lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah (1,05-1,06%). Kadar serat mengalami penurunan dari biji jagung menjadi tepung. Tepung jagung juga mengandung serat makanan yang dibutuhkan tubuh, bahkan jagung kuning mengandung beta karoten (provitamin A) dan jagung merah mengandung unsur Fe.

Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel 1. Kriteria fisik mutu tepung (bau, rasa, warna) harus normal, yaitu bau spesifik jagung, rasa khas jagung, warna sesuai dengan varietas jagung (putih, kuning), dan secara umum sesuai spesifik bahan aslinya.

Tepung jagung dapat digunakan dalam pembuatan berbagai produk pangan antara lain roti, muffins, donat, pancake, makanan bayi, biskuit, wafer, sereal sarapan siap saji dan juga sebagai bahan pengisi dan pengikat dalam produk olahan daging (Kent & Evers, 1994).

Tabel 1 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI)

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Bau Rasa Warna Benda asing Serangga

Pati lain selain jagung Kehalusan Lolos 80 mesh Lolos 60 mesh Air Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Timbal Tembaga Seng Raksa Cemaran arsen Angka lempeng total E.coli Kapang - - - - - - % % % (b/b) % (b/b) % (b/b) % (b/b) ml N NaOH/100 g mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g APM/g koloni/g Normal Normal Normal Tidak boleh Tidak boleh Tidak boleh Minimum 70 Maksimum 99 Maksimum 10 Maksimum 1,50 Maksimum 0,10 Maksimum 1,50 Maksimum 4 Maksimum 1 Maksimum 10 Maksimum 40 Maksimum 0,05 Maksimum 0,50 Maksimum 5 x 106 Maksimum 10 Maksimum 104 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993)

Pati Jagung

Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung komposisinya masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian.

Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80% tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam bentuk aslinya, pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta permukaan granulanya (Jobling 2004).

Pati merupakan komponen utama biji jagung yaitu sekitar 72-73% dari berat biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa dan fruktosa dengan jumlah yang bervariasi antara 1-3% dari berat biji. Pati jagung terdiri atas dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin ini memengaruhi karakteristik pati jagung. Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi berdasarkan jenis jagungnya (Shandu et al. 2004).

Terdapat 3 jenis pati jagung alami antara lain: (i) normal starch, (ii) waxy starch, dan (iii) high amylose starch. Pati normal jagung tipe dent mengandung amilosa 26-28% dan amilopektin 72-74%; tipe waxy mengandung amilopektin 99% dan amilosa 1%; dan tipe amylomaize mengandung amilopektin 20-50% dan amilosa 50-80%. Jagung jenis waxy dan amylomaize diproduksi untuk menghasilkan pati dengan sifat tertentu. Pati normal dan pati termodifikasi dari jagung jenis waxy diproduksi secara luas karena memiliki viskositas pasta, stabilitas termal dan stabilitas pH yang tinggi serta sifat-sifat lainnya (Johnson 2000).

Gabungan polimer amilosa dan amilopektin pada suhu rendah akan menurunkan ikatan air dan secepatnya membentuk gel. Kandungan amilosa yang tinggi akan membentuk gel yang kokoh (firm) dan gelap (opaque) sebaliknya jika kandungan amilopektinnya yang tinggi akan menghasilkan gel yang lembut dan pasta pati yang transparan (Mauro et al. 2003). Beberapa sifat amilosa dan amilopektin dari pati alami jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa sifat amilosa dan amilopektin pada pati normal jagung

Sifat Amilosa Amilopektin

Berat molekul (Dalton) 1-2 x 105 >2 x 107 Tingkat polimerisasi (DPN-jumlah

residu glukosa)

990 7200 Ikatan glikosida Umumnya α-D-(1,4) α-D-(1,4), α-D-(1,6)

Bentuk molekul Linier Bercabang

Kecenderungan untuk teretrogradasi Tinggi Rendah Lambda max of iodine complex 644 nm 554 nm

Afinitas iodin 20,1 g/100 g 1,1 g/100 g

Sumber: White (2001)

Bentuk granula juga merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen, yaitu untuk yang kecil 1-7 µm dan untuk yang besar 15-20 µm. Granula besar berbentuk oval

polihedral dengan diameter 6-30 µm. Granula pati yang berukuran kecil mempunyai ketahanan yang lebih rendah terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar (Singh et al. 2005). Pati jagung memperlihatkan sifat birefrinjen jika diamati di bawah mikroskop polarisasi. Granula pati mengandung daerah kristalin dan amorphous (Johnson, 2000).

Proses Nikstamalisasi

Nikstamalisasi merupakan proses tradisional Meksiko yang dikembangkan oleh peradaban Mesoamerika dan masih digunakan dalam produksi tortila dan produk-produk pangan lain yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya (Rooney & Serna-Saldivar 2003). Menurut Wikipedia (2010), nikstamalisasi merupakan proses penyiapan jagung atau biji-bijian lain, dimana biji direndam dan dimasak dalam larutan alkali, biasanya larutan kapur dan dilakukan pelepasan kulit. Lebih jelasnya nikstamalisasi menurut Johnson (2000) adalah metode pengolahan jagung secara tradisional dengan cara memasak biji jagung dalam larutan kapur 1% dengan suhu 90-110 0C selama 10-15 menit, kemudian biji jagung tersebut direndam dalam larutan yang sama selama semalam. Rooney dan Serna-Saldivar (2003) menjelaskan biji jagung yang telah mengalami proses nikstamalisasi kemudian dicuci untuk menghilangkan sisa larutan kapur dan jaringan perikarp kemudian digiling menggunakan stone grinder untuk menghasilkan adonan yang disebut “masa”. Masa merupakan bahan baku dalam pembuatan produk tradisional Meksiko seperti tamales, pozole, atoles, tortillas, corn chips, tortilla chips dan lain-lain.

Nikstamalisasi terdiri dari 2 tahap yaitu pertama, biji jagung dimasak dalam larutan alkali (kalsium hidroksida) dan kedua, perendaman biji jagung tersebut dalam larutan yang sama selama beberapa jam. Pada proses secara tradisional, biji jagung kemudian dibilas untuk menghilangkan kelebihan kalsium hidroksida (Fernández-Muñoz et al. 2006). Lamanya pemasakan sangat penting diperhatikan untuk mendapatkan tekstur optimum yang diinginkan, jika terlalu banyak jumlah pati yang tergelatinisasi akan menghasilkan tekstur yang lengket, menyebabkan kesulitan dalam penanganan adonan (Johnson 2000).

Proses nikstamalisasi ini memberikan beberapa keuntungan antara lain: memudahkan proses pelepasan perikarp dan lembaga, meningkatkan gelatinisasi granula pati, memberikan flavor dan tekstur khas yang diinginkan (Rooney & Serna-Saldivar 2003; Johnson 2000), meningkatkan aroma, memudahkan proses penggilingan, meningkatkan nilai zat gizi, dan mengurangi kandungan mikotoksin (Wikipedia 2010). Dengan adanya beberapa keuntungan dari proses nikstamalisasi menyebabkan proses ini menjadi tahap pendahuluan yang sangat penting bagi jagung yang akan mengalami proses pengolahan lebih lanjut menjadi produk pangan. Proses nikstamalisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode tradisional ataupun metode industri dalam produksi tortilla, tamales, corn chips, hominy dan lain-lain.

Perlakuan alkali-panas yang digunakan dalam proses nikstamalisasi dapat memengaruhi komponen dinding sel yaitu merubah hemiselulosa menjadi gums yang larut. Perlakuan ini memiliki beberapa fungsi seperti untuk menggelatinisasi pati, saponifikasi bagian lipid, dan juga untuk melarutkan beberapa protein yang terdapat di sekitar granula pati. Nikstamalisasi secara khas memengaruhi sifat reologi dan tekstur produk (Rooney & Serna-Saldivar 2003).

Pemasakan adalah tahapan yang kritis pada proses nikstamalisasi. Banyak variasi bahan dan proses yang menentukan tingkat pemasakan jagung termasuk kualitas karakteristik dari jagung, interaksi antara suhu pemasakan, lama pemasakan, lama perendaman, dan konsentrasi larutan kapur. Selama pemasakan, ion Ca2+ dibawa oleh air melalui tip cap, lembaga, perikarp, dan sebagian besar kalsium disimpan/tertahan dalam lembaga (Carillo et al. 2004). Indikator yang baik untuk pemasakan ini meliputi penyerapan air oleh biji, kemudahan melepas kulit ari, dan keempukan biji. Brioness-Caballero et al. (2000), melaporkan bahwa penggunaan Ca(OH)2 dalam proses nikstamalisasi jagung dapat merubah komposisi kimia dan memperbaiki sifat-sifat fisik serta struktur kristal dari jagung nikstamal. Penelitian lain melaporkan bahwa keberadaan ion Ca2+ akan berikatan dengan rantai polimer sehingga akan memberikan kontribusi terhadap daya hantar panas yang lebih baik (Fernández-Muñoz et al. 2001).

Suhu yang relatif tinggi selama pemasakan biji jagung (85-100 0C) dan nilai pH sekitar 12, memfasilitasi berbagai transformasi komponen biji (protein, lipid

dan pati), diantaranya degradasi perikarp, kehilangan protein yang larut (terutama albumin dan globulin dengan berat molekul rendah yang terdapat pada lembaga), gelatinisasi parsial pati (Reguera et al. 2000 diacu dalam Mendéz-Moñtealvo et al. 2008). Selama penggilingan, terjadi lagi gelatinisasi pati dan transformasi lain pada komponen biji karena masa merupakan campuran yang terdiri dari polimer pati (amilosa dan amilopektin) bercampur dengan pati yang mengalami gelatinisasi parsial dan granula utuh, bagian endosperm dan lipid. Semua komponen ini membentuk matrik yang heterogen dan kompleks di dalam fase kontinyu (Gomez et al. 1987 diacu dalam Mendéz-Moñtealvo et al. 2008).

Pengaruh penggunaan larutan alkali telah diteliti oleh Bryant & Hamaker (1997) pada pati dan tepung jagung. Dilaporkan bahwa pada pH larutan yang tinggi, Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH-, kemudian membentuk ikatan silang dengan pati. Interaksi Ca2+ dengan pati akan menstabilkan dinding granula pati sehingga granula pati akan lebih kuat dan keras. Rodriguez et al.

(1996) menjelaskan lebih lanjut dengan adanya Ca2+ dalam pati akan merusak ikatan antara pati dengan molekul air dan membentuk ikatan silang dengan molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati yang juga dinamakan jembatan kalsium. Fernández-Muñoz et al. (2001) menambahkan bahwa terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer pati ini memberi kontribusi pada konduktivitas panas yang lebih baik, sifat-sifat fisik, struktur, reologi serta aroma yang lebih baik.

Sifat Fungsional

Karakterisasi sifat fungsional tepung diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial. Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat melalui profil gelatinisasinya. Menurut White (2001), sifat fungsional yang umum dari pati jagung meliputi gelatinisasi, pasting, dan retrogradasi.

Granula pati yang dihasilkan setelah isolasi dari bagian biji jagung sebagian memiliki sifat kristalin dan oleh karena itu tidak larut dalam air. Pada suhu ruang,

granula dapat menyerap air sekitar 30% dari beratnya melalui ikatan hidrogen, prosesnya bersifat dapat balik (reversible). Perubahan yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) yang utama pada sifat fisik pati tidak terjadi sampai pati dicampur air dan dipanaskan, proses ini dikenal dengan gelatinisasi. Panas menghasilkan energi kinetik di dalam granula pati, memutuskan ikatan hidrogen dan menyebabkan penetrasi air ke dalam granula. Amilosa cenderung lepas dari granula dan bergabung dengan amilopektin membentuk hidrat, sehingga menghasilkan pasta yang kental dan jernih. Dari penjelasan di atas gelatinisasi dapat diartikan sebagai perubahan struktur molekul di dalam granula pati menyebabkan perubahan yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) seperti

granular swelling, native crystalline melting, kehilangan birefrinjen, dan kelarutan pati.

Menurut Sira (2000), profil gelatinisasi didefinisikan dengan fenomena sebagai berikut:

1. Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan meningkatnya suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak sehingga meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan kehilangan birefrinjen. Pati dengan kadar amilosa tinggi sulit tergelatinisasi pada suhu di atas 100 0C dan dapat membentuk film dan serat pangan dengan kelarutan lebih tinggi serta mengalami pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang heliks dapat memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan granula.

2. Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya kekacauan total pada granula.

3. Ikatan H antara gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama pendinginan menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari stuktur gel dan pati menjadi tidak larut. Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan teretrogradasi saat dibekukan.

Proses gelatinisasi secara umum terjadi pada rentang suhu yang sempit, dimana granula yang berukuran lebih besar tergelatinisasi lebih dahulu, kemudian

diikuti oleh granula yang berukuran lebih kecil. Suhu gelatinisasi untuk pati jagung sekitar 61-72 0C. Karakteristik gelatinisasi pati sangat penting diketahui dalam pemanfaatan pati. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi gelatinisasi pati antara lain keberadaan gula, lipid, garam, pH dan protein di dalam sistem (White 2001).

Istilah pasting seringkali disamakan dengan gelatinisasi. Akan tetapi dua istilah ini sebenarnya mempunyai arti yang sedikit berbeda. Pasting merupakan proses dimana pasta pati terbentuk atau fenomena yang terjadi setelah gelatinisasi. Hal ini melibatkan pembengkakan granula, pelepasan komponen molekular dari granula dan pada akhirnya mengacaukan struktur granula. Selama pembentukan pasta pada pati normal jagung, amilosa cenderung lepas ke dalam cairan di sekitarnya; oleh karena itu pasta pati yang telah dipanaskan terdiri dari granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas yang mengandung molekul amilosa yang terdispersi di dalamnya. Setelah pendinginan, pasta dapat menjadi gel atau sol tergantung pada sifat patinya (White 2001).

Pada pasta pati normal jagung yang didinginkan, molekul amilosa cenderung bergabung kembali. Molekul amilosa berikatan kembali dengan molekul amilosa lain dan molekul pati pada bagian luar granula, membentuk struktur kristalin. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi dikenal dengan istilah “retrogradasi”. Dengan perkataan lain retrogradasi pati adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai pati membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur. Pada akhirnya, jika kondisi menguntungkan, akan terbentuk struktur kristalin (White 2001).

Lebih lanjut White (2001) menjelaskan bahwa tidak semua pasta pati yang dimasak mengalami retrogradasi pada tingkat yang sama. Pati yang tidak mengandung amilosa atau molekul amilosa terlalu pendek kurang memiliki kecenderungan untuk mengalami kristalisasi kembali. Beberapa pati yang dimodifikasi secara kimia termasuk pati modifikasi dengan ikatan silang dengan berbagai bahan kimia seperti fosfat dapat menghambat proses retrogradasi. Pati normal jagung dan pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi memperlihatkan

kecenderungan yang kuat untuk mengalami retrogradasi. Makanan seperti gravies

dan sauces yang dibuat dari pati jagung, memiliki tekstur yang kental.

Menurut Daniel dan Weaver (2000), amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai yang paralel. Retrogradasi dalam waktu lama ditunjukkan pada proses kristalisasi kembali yang terjadi secara lambat pada bagian luar amilopektin. Chen (2003) menjelaskan bahwa kecepatan dan jumlah retrogradasi meningkat dengan meningkatnya jumlah amilosa. Pada pati alami, retrogradasi juga tergantung pada konsentrasi pati, suhu penyimpanan, pH, suhu proses dan komposisi adonan. Retrogradasi pada umumnya dipicu oleh konsentrasi pati yang tinggi, suhu penyimpanan rendah dan pH antara 5 sampai 7. Garam-garam anion dan kation monovalen dapat memicu retrogradasi pati.

Sifat Reologi

Reologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan. Sifat reologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya selama pengolahan dan penggunaannya. Menurut Vergnes et al. (2003), aplikasi pendekatan reologi pada produk-produk serealia pada umumnya mengalami kesulitan karena:

1. Produk serealia mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa komponen (pati, protein, air, gula, lipid) yang dapat berinteraksi dan mudah membentuk struktur yang lain, pati terdiri dari dua makromolekul, amilosa yang linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan multifase, bahan yang secara reologi kompleks.

2. Adonan dari produk serealia mempunyai sifat non-Newtonian tinggi, dengan tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar

Dokumen terkait