• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. ANALISIS DATA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Sifat Kimia

2.1. Oksigen Terlarut (DO)

Semua organisme hidup termasuk manusia sangat memerlukan oksigen dalam berbagai bentuk untuk memelihara proses metabolisme yang menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan reproduksi. Oksigen yang larut dalam air tergantung dari suhu air, difusi gas dari udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup di perairan (Sundra, 1997).

Semua gas di atmosfir larut dalam air, tetapi oksigen dikelompokkan sebagai gas yang mempunyai tingkat kelarutan rendah, karena secara kimia tidak bereaksi dengan air dan kelarutannya sebanding dengan tekanan parsial (Fardiaz, 1992). Mahida (1997) menambahkan bahwa oksigen susah dilarutkan dalam air; ia tidak bereaksi dengan air secara kimiawi. Dapat tidaknya oksigen larut di dalam air berbeda banyak sesuai dengan keadaan suhu. Faktor-faktor lain yang menguasai kadar oksigen larut dalam air alamiah ialah : pergolakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang

terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer dan prosentase oksigen dalam udara di sekelilingnya.

Berdasarkan kriteria mutu air PP RI Nomor 82 Tahun 2001, bahwa oksigen terlarut tidak tercantum pada ketentuan air tanah (air sumur), tetapi persyaratan untuk air permukaan dianjurkan ≥ 4 mg/l. Jika air sumur di wilayah penelitian memiliki kedalaman 2 – 7 m atau meningkat 0,5 – 1 m pada musim hujan, maka dapat dikategorikan sebagai air permukaan.

Hasil pengukuran secara langsung di lapangan (in situ) untuk semua lokasi pengamatan menunjukkan kadar oksigen terlarut yang rendah, yaitu berkisar antara 0,98 – 2,35 mg O2/l (Gambar 3). Rata-rata

kandungan oksigen terlarut untuk semua wilayah penelitian adalah 1,82 mg O2/l. Nilai ini masih di bawah ambang batas yang dianjurkan

atau tidak memenuhi standar air minum.

Gambar 3. Kandungan Oksigen Terlarut Rata-rata

Dari gambar terlihat bahwa meski air sumur berada semakin jauh dari TPA, namun parameter DO tidak meningkat seiring dengan bertambahnya jarak.

Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada air sumur terutama pada lokasi pengamatan ke-3 akibat tingginya kekeruhan maupun zat padat terlarut dalam air, sehingga kedua parameter ini dapat menghambat penetrasi cahaya. Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan algae, yang mampu mencukupi kebutuhan

0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 Lokasi pengamatan Ni la i DO Rata-rata

Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 82/2001

oksigen untuk organisme lain di dalam air (Riyadi, 1984). Kondisi ini ditambah karena tidak ada arus yang mengalir sehingga mengurangi difusi oksigen pada permukaan air. Ditinjau dari segi higiene, air dengan tingkat oksigen terlarut yang rendah, kurang atau tidak baik dipakai sebagai bahan baku air minum, serta kurang efisien, karena memerlukan biaya banyak untuk proses purifikasi (pemurnian).

2.2. pH

pH, menyatakan intensitas kemasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. pH merupakan parameter penting dalam analisis kualitas air karena pengaruhnya terhadap proses-proses biologis dan kimia di dalamnya (Chapman, 2000).

Air yang diperuntukkan sebagai air minum sebaiknya memiliki pH netral (+ 7) karena nilai pH berhubungan dengan efektifitas klorinasi. Air dengan pH tinggi (basa) mengakibatkan daya bunuh klor terhadap mikroba berkurang, dan sebaliknya air dengan pH rendah cenderung meningkatkan korosi (Yani et al., 1994). pH pada prinsipnya dapat mengontrol keseimbangan proporsi kandungan antara karbon dioksida, karbonat dan bikarbonat (Chapman, 2000). Lebih jauh Wardoyo (1982) menambahkan perubahan nilai pH sebesar 0,3 unit seringkali diikuti dengan perubahan yang besar dari parameter mutu air yang lain, misalnya tingkat kelarutan Fe, Cu, Ca, Mg dan proporsi kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat.

Hasil pengukuran pH air sumur dari lokasi pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar nilainya berada di bawah ambang batas kriteia mutu air yang ditentukan, yakni berkisar antara 4,74 – 6,24 dengan pH rata-rata 5,31. Gambar 4 memperlihatkan perbedaan nilai-nilai pH dari air sumur wilayah penelitian.

0 2 4 6 8 10 1 2 3 4 Titik sampling nila i pH

Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 82/2001

Gambar 4. Nilai pH

Nilai pH yang rendah pada lokasi pengamatan 1 (sumur dengan jarak 5 m dari TPA) menyebabkan minimnya kehidupan mikroorganisme sehingga pada lokasi ini tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja. Hal ini menyebabkan meningkatnya nilai Indeks Kualitas Air sehingga air sumur pada lokasi ini termasuk sedang. Rendahnya nilai pH diduga lebih disebabkan karena faktor geologis dari lokasi yang bersangkutan, karena karakteristik lindi sendiri yang dianggap sebagai sumber pencemar pada air sumur yang ada di sekitarnya memiliki nilai pH yang berada pada kisaran yang netral (Tabel 4). Namun secara umum berdasarkan parameter pH, air sumur di wilayah penelitian termasuk tidak layak untuk air minum dan keperluan rumah tangga lainnya.

2.3. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD5)

Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi zat-zat organik menjadi bentuk anorganik yang stabil (Chapman, 2000). BOD adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Pengukuran BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau

0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4

Lokasi pengam atan

BO

D

5

industri, dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut. Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah; kalau sesuatu badan air dicemari oleh zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut (Alaerts dan Santika, 1987).

Kandungan BOD dalam air sangat berkaitan dengan kandungan oksigen terlarut (DO) dan bahan-bahan organik yang ada dalam air, yaitu semakin tinggi kandungan DO maka semakin rendah kandungan BOD, sehingga limbah dan sampah yang masuk ke perairan akan semakin cepat diuraikan oleh mikroba (Wuryadi, 1981).

Hasil pengukuran BOD5 untuk seluruh contoh air sumur berkisar

antara 29,7 – 317 mg/l dengan nilai rata-rata 160,98 mg/l. Nilai ini sangat jauh di atas ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut kriteria mutu air Kelas III PP RI Nomor 82/2001. Perbedaan serta dinamika nilai BOD5 dan hubungannya dengan Kriteria Mutu Air

menurut PP RI Nomor 82/2001 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD5)

Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 82/2001 Rata-rata

2.4. Amonia, Nitrit dan Nitrat

Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis mahluk hidup. Nitrogen akan berupa nitrogen organik dan nitrogen amonia dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis mahluk hidup (Saeni, 1989).

Amonia (NH3), nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) merupakan

senyawa-senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N). Unsur N sebagai salah satu unsur makro yang penting dibutuhkan untuk petumbuhan suatu organisme. Di dalam perairan, kebanyakan senyawa-senyawa nitrogen dijumpai dalam bentuk organik dan anorganik (Mahida, 1997).

Hasil pengukuran kandungan amonia pada seluruh lokasi pengamatan didapat kisaran nilai 1,13 – 6,88 mg/l dengan nilai rata- rata 4,06 mg/l. Nilai ini melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Baku Mutu Air Kelas I berdasarkan PP RI Nomor 82 Tahun 2001.

Tingginya kandungan amonia hingga melebihi ambang batas karena kelebihan bahan organik hasil penguraian sampah oleh bakteri yang tidak dapat teroksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga bersama-sama air hujan senyawa amonia ini terangkut dan meresap ke lapisan tanah atas mencemari air sumur yang ada di sekitarnya.

Konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air akan menyebabkan kematian biota air. Hal ini dikarenakan amonia menyebabkan keadaan kekurangan oksigen pada perairan, konversi amonia menjadi nitrat membutuhkan oksigen 4,5 bagian oksigen untuk setiap bagian amonia, sehingga mengakibatkan kadar oksigen terlarut turun (Saeni, 1989).

Senyawa nitrit dalam jumlah tertentu ( < 1 mg/l ), sangat berguna untuk pertumbuhan tubuh, terutama untuk mahluk nabati perairan. Kandungan nitrit dalam jumlah berlebihan, maka di dalam tubuh dapat

sebagai racun yang dapat membentuk methemoglobin (hemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen), sehingga hemoglobin di dalam darah tidak dapat mengedarkan oksigen yang diperlukan oleh jaringan tubuh. Pembentukan methemoglobin dapat mengakibatkan methemoglobinemia. Methemoglobin yang terjadi pada bayi akan tampak tubuhnya berwarna biru, disebut sebagai blue baby disease (Melanby, 1972 di dalam Sundra, 1997).

Nitrit merupakan turunan dari amonia. Dari amonia ini, oleh bantuan bakteri Nitrosomonas sp, diubah menjadi nitrit. Nitrit biasanya tidak bertahan lama dan biasanya merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan nitrat. Keadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat (Eilbeck, WJ dan Mattock, 1992).

Hasil pengukuran kandungan nitrit pada lokasi penelitian berkisar antara 0,001 – 0,375 mg/l dengan kandungan nitrit rata-rata 0,1 mg/l. Nilai ini melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Kriteria Mutu Air Kelas I. Hal ini menandakan bahwa aktivitas proses biologis dalam perombakan bahan organik cukup tinggi dan kandungan nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Saeni, 1989), meski menurut Hammer (1986) kandungan nitrit sebesar 0,06 ppm dianggap tidak membuat kualitas air tercemar.

Tinggi rendahnya nilai kandungan nitrit ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, konsentrasi amonia/nitrat itu sendiri dan waktu retensi. Waktu retensi menunjukkan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk merombak amonia. Semakin banyak jumlah bakteri nitrifikasi maka semakin banyak kandungan nitrit yang terbentuk. Begitu juga dengan kandungan O2 terlarut, suhu, pH dan konsentrasi amonia/nitrit.

Semakin optimum faktor-faktor tersebut maka kandungan nitrit yang terbentuk akan semakin bertambah (Hammer, 1986).

Senyawa nitrat (NO3-) merupakan produk akhir hasil oksidasi zat

bernitrogen. Nitrat dibutuhkan dalam jumlah lebih besar dari nitrit untuk keperluan biologis dan nutrien tubuh (Dahuri et al., 1993). Menurut PP RI Nomor 82 Tahun 2001, batas maksimum nitrat diperbolehkan dalam air minum adalah ≤ 10 mg/l. Tood (1980) menambahkan, kadar nitrat dalam air minum lebih dari 45 mg/l dapat mengakibatkan methemoglobinemia.

Kandungan nitrat berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kandungan Nitrat

Kandungan nitrat rata-rata pada air sumur di wilayah penelitian 0,06 mg/l. Nilai ini masih berada dalam kisaran ambang batas maksimum yang diperbolehkan berdasarkan kriteria mutu air.

2.5. Fosfat

Senyawa fosfat merupakan salah satu senyawa esensial untuk pembentuk protein, pertumbuhan algae dan pertumbuhan organisme biologi perairan lainnya. Kelebihan unsur fosfat dalam perairan dapat menyebabkan eutrofikasi dan dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut. Akibat eutrofikasi akan memacu pertumbuhan populasi algae, mengakibatkan kondisi perairan bersifat anaerob. Kondisi ini

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 1 2 3 4

lok as i pe ngam atan

Ni

tr

a

t

mengakibatkan terjadinya kematian masal organisme perairan, yang diikuti terbentuknya senyawa-senyawa beracun, seperti H2S (berbau

tengik) dan amonia (NH3) (Saeni, 1991) Kandungan senyawa-senyawa

tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas air sumur, sehingga tidak layak diperuntukkan sebagai air sumur.

Kandungan senyawa fosfat pada air sumur di wilayah penelitian berkisar antara 0,0005 – 0,503 mg/l (Gambar 7). Secara umum air sumur di wilayah penelitian memiliki kandungan senyawa fosfat di bawah ambang batas maksimum, namun pada lokasi pengamatan S3 terdapat kandungan senyawa fosfat yang melebihi ambang batas maksimum yakni 0,503 mg/l. Kondisi ini menyebabkan air sumur tersebut berbau tengik akibat terbentuknya senyawa H2S.

Gambar 7. Kandungan Senyawa Fosfat

Dokumen terkait