Sifat Kualitatif
Sifat fenotipik adalah penampilan individu yang nampak dari luar, yang dapat dibedakan menjadi sifat kualitatif dan kuantitatif (Hardjosubroto 2001).
Sifat-sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur, tetapi dapat dibedakan dengan jelas seperti warna bulu, ada tidaknya tanduk, cacat/kelainan, atau adanya protein-protein tertentu dalam darah (Martojo 1992), fluoresens bulu, warna paruh dan shank (Sarengat 1990; Suparyanto 2003; 2005). Sifat kualitatif ekspresinya dikontrol sepenuhnya oleh sepasang gen atau lebih (Martojo 1992;
Warwick et al. 1995; Noor 2008), sedikit dipengaruhi lingkungan (Hardjosubroto
2001).
Sifat kualitatif pada pola warna bulu memiliki pengaruh terhadap performans ternak unggas termasuk itik (Suparyanto 2003). Bulu merupakan ciri khusus yang dimiliki bangsa unggas dan berguna menjaga suhu tubuh atau
sebagai insulator (Nasroedin 1995), sehingga dapat terlindung dari cuaca
lingkungan yang buruk. Bulu unggas dikategorikan menjadi bulu kontur, plumulae dan filoplumulae. Bulu kontur adalah bulu penutup tubuh keseluruhan, plumulae
bulu di bawah bulu kontur yang memiliki tangkai (rachis) dan bendera lunak.
Hardjosubroto (2001) mengemukakan pada ternak dikenal beranekaragam corak dan warna bulu. Pola dan warna bulu sangat berperan dalam penentuan
kemurnian suatu bangsa atau breed. Adanya berbagai variasi warna dan corak
bulu disebabkan oleh peran aktif berbagai gen. Gen-gen yang mempengaruhi pewarnaan bulu dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu gen penentu warna belang, kombinasi warna, intensitas warna dan pemudaran warna (Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Warna bulu pada unggas sebenarnya bukanlah sifat produksi yang memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi dapat menjadi sangat penting dalam pemuliaan (breeding) untuk tujuan tertentu (Lancester 1990; Appleby 2004; Hoffmann 2005). Perbedaan sifat kualitatif hampir seluruhnya ditentukan oleh perbedaan genetik (Hardjosubroto 2001), sedangkan perbedaan lingkungan pengaruhnya relatif kecil bahkan tidak ada, sehingga variasi sifat kualitatif juga
merupakan variasi genetik (Martojo 1992; Warwick et al. 1995; Newman 1999).
Menurut Lancester (1990) variasi warna bulu itik dikontrol oleh gen putih resesif (c) yaitu bentuk resesif dari gen warna. Variasi warna bulu pada unggas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu warna yang dihasilkan oleh adanya pigmen dengan ukuran granul dan warna struktural menunjukkan bulu mematah, menyerap, membelok atau memantulkan cahaya optimal. Pewarisan warna bulu merupakan suatu kompleksitas genetik dan terpenting dalam interaksi inter maupun intra alel (Hardjosubroto 2001). Oleh karena itu, ekspresi warna bulu adalah sifat
multigenik dan dipengaruhi oleh aksi gen dominan, epistasis dan interaksi gen (Smyth 1993).
Warna dasar yang penting dari itik liar (mallard) hanya dua, yaitu warna
abu-abu atau grey (G) umumnya merupakan varitas dari warna buff
(kekuning-kuningan) dan carrier normal (D) hasil dilusi melanin (hitam) oleh gen d terkait
kelamin (sex linkage) (Lancester 1990), yang akan menghasilkan warna coklat lurik-lurik lebih terang sebagaimana dilihat pada pola warna bulu itik Khaki Campbell (Suparyanto 2005). Lancester (1990) mengemukakan bahwa pola mallard pada itik jantan dicirikan dengan kepala dan leher berwarna belang hitam kehijau-hijauan, yang dipisahkan warna merah sampai pada leher dan dibatasi dengan cincin putih. Punggung dan pinggang berwarna hitam kehijau-hijauan, kaki atas bagian sisi dan perut berwarna abu-abu kebiru-biruan.
Satu gen pada lokus D sebagai pengontrol pelunturan pigmen yang menyebabkan menurunnya penyerapan cahaya dan pelunturan warna (Noor 2008). Fungsi gen putih (c) untuk meniadakan produksi pigmen (Suparyanto 2003), kecuali pigmen untuk mata, warna hitam (E) dengan pemunculan warna
hitam pada bulu penutup tubuh, dilusi khaki (d) yang bertindak merubah warna
hitam menjadi coklat, pola Runner (R) secara lokal (spot) akan meniadakan
pigmen pada leher, sayap dan perut, biru keabuan (Bl) mengurangi produksi pigmen hitam, warna terang (Li) mengurangi garis-garis pada bagian kepala
(Smyth 1993). Pola retriksi (MR) akan mengurangi pigmen spot pada sayap
dorsal, sedangkan dusky (md) berperan untuk meniadakan pigmen hitam dan membuat gelang putih pada leher (Campo 1997), seperti pada itik Alabio jantan dewasa yang memiliki kalung putih pada bagian lehernya, disebabkan adanya
peran gen dusky (md). Pola bulu sayap terdapat warna hitam dan putih yang
memantulkan cahaya hijau kebiru-biruan mengkilap. Permukaan sayap ventral
berwarna putih, sedangkan permukaan dorsal berwarna abu kecoklat-coklatan.
Warna bagian kepala pada itik betina coklat kekuning-kuningan, kadang-kadang ditemukan warna gelap pada beberapa daerah tertentu. Warna gelap terdapat pada bagian belakang paruh sampai mata, belakang leher, punggung, bagian sayap ventral berwarna putih, sedangkan bulu primer kebanyakan coklat dengan totot-totol hitam atau coklat belang. Secara teori dapat dijelaskan bahwa gen putih resesif (c/c) sangat efektif dalam menutup atau menghalangi hadirnya pheomelanin (Campo 1997). Pheomelanin adalah pigmen dasar suatu mahluk hidup yang memberikan warna merah coklat, salmon dan buff pada bulu unggas,
dan aktivitas pheomelanin akan muncul bila unggas telah mengalami pergantian bulu menjelang dewasa. Daftar gen yang mempunyai pengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas, ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Daftar gen yang berpengaruh terhadap warna kulit dan bulu unggas
Warna Dominan Resesif Keterangan
Bulu lurik (barred) B*) - Terpaut kelamin
Bulu perak (silver) S*) - Terpaut kelamin
Bulu hitam C -
Bulu putih (inhibitor) I -
Kulit dan kaki putih W -
Kulit dan kaki terang H -
Bulu normal Sk*) - Terpaut kelamin
Pertumbuhan bulu lambat Fr -
Bulu terbalik K*) - Terpaut kelamin
Bulu leher tidak tumbuh Na -
Bulu tidak lurik - b*) Terpaut kelamin
Bulu emas (gold) - S*) Terpaut kelamin
Bulu putih - c
Bulu berwarna - I
Kulit dan kaki kuning - w
Kulit dan kaki gelap - h
Bulu sutera - sk*) Terpaut kelamin
Pertumbuhan bulu cepat - k*) Terpaut kelamin
Bulu normal - fr
Bulu leher normal - na
Sumber: Hardjosubroto (2001)
Menurut Sarengat (1990), pola warna bulu yang terdapat pada itik lokal
Indonesia dibedakan menjadi sembilan macam adalah: 1) warna branjangan,
yaitu warna coklat muda yang dihiasi lurik-lurik hitam, 2) warna jarakan adalah
warna coklat tua yang dihiasi lurik-lurik hitam (jika terdapat kalung di lehernya
disebut jarakan belang), 3) warna bosokan yaitu ketika masih muda berwarna
hitam, tetapi setelah dewasa berubah menjadi coklat tua, 4) warna gambiran
yaitu hitam dan putih, 5) warna lemahan perpaduan antara coklat muda
keabu-abauan, 6) warna jalen dan putihan yaitu putih mulus dengan paruh dan kaki
berwarna kuning jingga atau kehijauan, 7) warna pudak adalah bulu putih tetapi
paruh dan kakinya berwarna hitam, 8) warna irengan bulu hitam kelam, dan 9)
warna jambul yakni warna bulu itik yang dominan hitam dan ada bulu jambul di
Smyth (1993), membagi kelompok tipe-tipe bulu berdasarkan penampilan
corak bulu pada unggas, yaitu: stripping, pencilled, buttercup, single laced,
double laced, spangling, motling dan tricolor pattern. Ekspresi dari sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen (polygen), baik dalam keadaan homozigot maupun heterozigot (Noor 2008), dipengaruhi oleh lingkungan (Martojo 1992; Warwick et al. 1995). Lingkungan dapat berpengaruh langsung terhadap fenotipe seekor ternak melalui pakan, penyakit dan pengelolaan, tetapi tidak dapat mempengaruhi genotipe hewan (Martojo 1992; Hardjosubroto 2001). Penampilan warna bulu dominan, corak dan fluoresens bulu serta warna paruh,
kaki dan shank yang seragam pada itik Alabio merupakan salah satu ciri khas.
Warna bulu walaupun tidak memiliki nilai ekonomis tinggi, tetapi sangat penting dalam upaya pemuliaan untuk tujuan komersial. Pengaruh pasangan gen dan lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan pada penampilan fenotipik itik Alabio.
Warna kulit unggas menjadi perhatian para breeder, karena mempunyai
kepentingan ekonomis, yang berhubungan langsung dengan selera konsumen. Menurut Smyth (1993), selera konsumen di suatu wilayah atau negara berbeda-beda. Sebagai contoh konsumen di Inggris lebih menyukai unggas yang memiliki warna kulit putih, sementara di Amerika konsumen lebih memilih kulit unggas yang berwarna kuning. Pada sisi lain, segmen pasar bagi kalangan konsumen menengah ke atas di Indonesia, penampakan dan kekompakan produk yang ditawarkan sangat berpengaruh terhadap preferensi konsumen. Karkas yang memiliki warna putih atau terang tingkat penerimaan dan nilai jual akan lebih baik, dibanding dengan karkas yang penampakkannya berwarna coklat atau gelap (Suparyanto 2003). Perbedaan warna kulit dapat diamati berdasarkan
warna paruh dan shank. Warna paruh dan shank saling berhubungan satu
sama lainnya. Variasi warna kulit termasuk paruh dan shank ditentukan oleh tiga faktor, yaitu struktur kulit, pigmen yang terkandung dalam kulit dan genetik. Faktor genetik menurut Smyth (1993) antara lain adalah gen warna kulit putih
(W+) bersifat dominan terhadap warna kuning (w) dan terletak pada otosomal.
Penampilan gen W+ dan w dapat optimal jika didukung melanin dan xanthopyll
dalam jumlah mencukupi. Pigmen melanin dan dermis disebabkan oleh gen id+
yang diwariskan secara sex linkage (Noor 2008).
Menurut Suparyanto (2003) munculnya warna putih pada kulit, paruh, kaki dan shank maupun organ tubuh lainnya merupakan sinergi dan derajat variasi
melanin pada berbagai jaringan. Pada bangsa itik Peking dan itik White Campbell keberadaan xanthopyll dalam pakan yang diberikan berpengaruh terhadap warna
kuning pada kaki dan paruh (Smyth 1993). Deposisi xanthopyll dalam pakan
seperti jagung kuning, alfalfa maupun tepung daun yang dikonsumsi unggas berdampak terhadap warna kulit, kaki, shank dan lemak abdominal (Lancester
1990). Warna kulit putih adalah tipe liar sebagai alel W+ otosomal. Gen W+ dapat
menghalangi masuknya xanthopyll ke dalam jaringan kulit, paruh, kaki dan
shank, sehingga warna kuning tidak muncul (Hardjosubroto 2001). Warna kulit
putih yang terkait dengan sex linkage, disebabkan oleh adanya mutasi gen y
resesif yang berfungsi mengeliminir pigmen xanthopyll pada kaki dan kulit
(Suparyanto 2003). Variasi warna paruh dan shank ditentukan oleh tiga faktor
utama, yaitu struktur paruh dan shank, pigmen yang terkandung dalam paruh
dan shank serta faktor genetik (Hardjosubroto 2001). Pigmen utama pada paruh dan shank adalah melanin dan xanthopyll (Noor 2008). Melanin merupakan protein kompleks yang bertanggung jawab untuk memunculkan warna biru dan
hitam (Smyth 1993). Warna kuning pada paruh dan shank tidak diproduksi oleh
tubuh unggas sendiri seperti halnya melanin, melainkan diproduksi oleh
xanthopyll atau karetenoid yang bersumber dari tumbuhan (jagung kuning, tepung alfalfa dan ganggang) (NRC 1994). Unggas mendapatkan sumber xanthopyll dari pakan yang dikonsumsinya (Suparyanto 2005).
Warna paruh, kaki dan shank itik Alabio yang dominan adalah kuning
gading tua dan kuning gading muda, terutama yang dipelihara secara intensif. Warna tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki itik Alabio sebagai itik petelur dan membedakan dengan galur itik lokal lainnya di Indonesia. Warna kuning
pada paruh, kaki dan shank pada itik Alabio, salah satunya disebabkan oleh
peran gen dan xanthopyll yang bersumber dari pakan yang dikonsumsinya.
Penampakan warna paruh dan shank berdasarkan genotipe dan fenotipe pada
Tabel 3 Penampakan warna paruh dan shank Karoten (xanthopyll) Derma melanin Epidermal melanin Genotipe Fenotipe
W+ Id E W+ W+ id id E E Putih berulas hitam
W+ Id e+ W+ W+ id id e+ e+ Putih
W+ Id+ E W+ W+ id+ id+ E E Hitam berulas putih
W+ Id+ e+ W+ W+ id+ id+ e+ e+ Biru berulas puith
W Id E w w id id E E Kuning berulas hitam
W Id e+ w w id id e+ e+ Kuning
W Id+ E w w id+id+ E E Hitam berulas kuning
W Id+ e+ w w id+ id+ e+ e+ Hijau berulas kuning
Sumber : Smyth (1993)