• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dimiliki seekor ternak dan mempunyai nilai ekonomis (Hardjosubroto 2001; Noor 2008), dapat diukur dengan satuan-satuan seperti kilogram, liter, butir atau lainnya (Martojo 1992). Sifat kuantitatif dikenal dengan produksi dan reproduksi (produktivitas) seperti bobot badan, pertambahan bobot badan, ukuran-ukuran tubuh, produksi telur, daging dan susu (Martojo 1992; Hardjosubroto 2001; Noor 2008). Mansjoer (1985) menjelaskan bahwa beberapa sifat kuantitatif yang memiliki nilai ekonomis pada ayam adalah bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang cakar (shank), tarsometatarsus, lingkar cakar, warna paruh dan shank. Sifat ini dipengaruhi oleh sejumlah besar pasangan gen yang

masing-masing dapat berperan additif, dominan dan efistasis (Noor 2008), yang

bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (non genetik) (Martojo 1992). Sifat kuantitatif berlaku secara kontinyu berkisar antara minimum dan maksimum dan menggambarkan distribusi normal.

Sifat-sifat kuantitatif yang dapat diukur pada itik Alabio antara lain: bobot badan, produksi telur, puncak produksi telur, daya tunas, daya tetas, bobot tetas, dewasa kelamin, bobot badan dewasa yang kesemuanya menentukan produktivitas. Sifat kuantitatif lainnya yang tidak kalah penting adalah ukuran-ukuran tubuh yang dapat dijadikan faktor peubah pembeda dengan itik lokal lainnya. Ukuran-ukuran bagian tubuh dapat diketahui dengan cara pengukuran, sedangkan untuk mengetahui korelasi antara ukuran dan bentuk tubuh, perlu dilakukan analisis komponen utama (AKU) dan dilanjutkan dengan analisis diskriminan, sehingga dapat diketahui peubah yang merupakan faktor pembeda

dan paling banyak berpengaruh terhadap performans itik Alabio yang ada di tingkat lapang.

Morfometrik

Itik memiliki morfologi berbeda bila dibandingkan dengan unggas lainnya. Itik mempunyai kaki yang relatif pendek, ketiga jari yang terletak di bagian anterior dihubungkan oleh selaput sehingga ia dapat bergerak dalam air (Metzer et al. 2002). Paruh itik dilapisi oleh selaput lembut dan peka, sedangkan pada bagian ujung dilapisi oleh zat tanduk. Bulu itik berbentuk konkaf yang merapat erat ke permukaan tubuh, dengan permukaan bagian dalam yang lembut dan tebal. Ternak itik mempunyai dua bentuk tubuh yang berbeda, baik jantan maupun betina (Rose 1997). Kerangka itik hampir menyerupai kerangka mamalia, bagian leher membentuk huruf seperti S (Gambar 2), yang menghubungkan antara badan dengan kepala dan penyatuan antara tulang belakang dan tubuh.

Morfologi merupakan ilmu yang mempelajari ukuran dan bentuk pada spesies dalam populasi, sedangkan morfometrik adalah pengukuran bagian-bagian tubuh yang dilakukan pada spesies ternak (Mulyono & Pangestu 1996;

Ogah et al. 2009). Menurut Wiley (1981) karakter morfologi adalah tanda

struktural dari satu makhluk hidup dan merupakan sumber utama karakter

kebanyakan kelompok makhluk hidup. Ishii et al. (1996) menyatakan bahwa

ukuran dan bentuk tubuh ternak sangat berguna untuk menentukan asal usul dan hubungan filogenetik antara spesies bangsa atau tipe ternak, sekaligus digunakan untuk menentukan pertumbuhan dan menilik (judging) ternak. Ukuran dan bentuk tubuh merupakan penduga yang menyeluruh dari bentuk dan deskripsi khas dari berbagai gambaran tubuh, hal ini terbukti bermanfaat dalam menganalisis hubungan antara makhluk hidup (Wiley 1981). Suparyanto (2005) mengemukakan bahwa bentuk tubuh hanya dilihat pada kondisi besar tubuh ternak terkait dengan bobot badan. Bentuk tubuh lebih banyak memerlukan pertimbangan, antara lain proporsi setiap anggota tubuh tertentu, yang menurut pengalaman peternak akan memprediksikan munculnya sifat produksi yang baik pada keturunan berikutnya. Sifat-sifat kuantitatif penting untuk penentuan morfologi pada unggas di antaranya adalah panjang femur, tibia, tarsometatarsus, lingkar tulang tarsometatarsus, panjang jari kaki ketiga, sayap

dan paruh (maxilla) (Mansjoer et al. 1989). Panjang tibia dan tarsometatarsus

selain digunakan untuk menduga konformasi tubuh (Nishida et al. 1982), juga

mempunyai korelasi paling dominan dengan bobot badan (Mansjoer et al. 1989).

Nishida et al. (1982) menyatakan bahwa panjang tarsometatarsus merupakan

penduga yang paling tepat untuk bobot badan, karena panjang tarsometatarsus mempunyai ketelitian pengukuran sangat baik dibadingkan dengan panjang tibia. Brahmantiyo et al. (2003) menyatakan bahwa konformasi tubuh akan lebih akurat jika dilakukan pengukuran tulang masing-masing individu unggas sebagai petunjuk hubungan antara tulang yang satu dengan lainnya. Konformasi tubuh

dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk (Nishida et al. 1982). Menurut Mansjoer et

al. (1989) pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan pengukuran bobot badan. Ukuran tubuh yang penting untuk diamati dan dapat dijadikan sebagai salah satu penentu karakteristik unggas yaitu ayam antara lain; bobot badan, panjang bagian-bagian kaki, panjang sayap, paruh dan tinggi jengger (Mansjoer et al. 1989).

Keragaman ukuran tubuh ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan

lingkungan (Mansjoer et al. 1989). Mulyono & Pangestu (1996) menyatakan

bahwa keragaman fisik unggas dapat dijelaskan berdasarkan perbedaan-perbedaan ukuran dan bentuk tubuh, salah satunya dengan pengukuran morfometrik. Pengukuran morfometrik dapat digunakan untuk mengetahui ukuran dan bentuk tubuh ternak (Hayashi et al. 1982; Mulyono & Pangestu 1996; Ogah et al. 2009). Menurut Ogah et al. (2009) analisis morfometrik dapat dilakukan

dengan metode principal component analyses (PCA), atau menurut Gaspersz

(1992) diterjemahkan sebagai analisis komponen utama (AKU), yaitu salah satu metode multivariat yang populer dan banyak digunakan. AKU menghasilkan komponen utama pertama yang merupakan indikasi ukuran yang diamati (vektor ukuran), sedangkan komponen kedua menjelaskan tentang adanya indikasi dari bentuk tubuh ternak yang diamati.

Gambar 2 Kerangka tubuh itik (Koch 1973)

Menurut Hayashi et al. (1982); Mulyono & Pangestu (1996), AKU

dan penentu diskriminasi di antara populasi ternak. Nishida et al. (1982) dan Everitt & Dunn (1998), menyatakan bahwa AKU dapat digunakan untuk menganalisis keistimewaan suatu spesies, yaitu tentang konformasi tubuh. Metode AKU sudah pernah dilakukan untuk menganalisis ukuran tubuh pada itik Mojosari, Alabio dan Pegagan, dengan hasil yang diperoleh adalah panjang

sayap dan panjang femur sebagai peubah penciri bentuk tubuh (Brahmantiyo et

al. 2003), panjang leher dan sayap sebagai peubah penciri pada itik Cihateup

(Wulandari 2005). Laporan lain dikemukakan Muzani et al. (2005), bahwa

panjang leher, panjang jari ketiga, panjang tibia dan femur merupakan faktor

peubah pembeda pada itik Cirebon dan Mojosari. Perbandingan ukuran tubuh beberapa jenis itik lokal dewasa di Indonesia, disarikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Ukuran bagian-bagian tubuh itik lokal dewasa di Indonesia

Ukuran tubuh (cm)

Jenis itik Alabio

betinaa

Cihateupb Cirebonc Mojosaric Pegagand Bali betinad Panjang leher 19.60 - 20.69 17.84 - - Panjang sayap 27.40 27.04 28.02 25.49 28.50 24.27 Lingkar dada 28.30 - 28.24 37.50 - - Dalam dada 8.20 - 13.71 12.57 - - Panjang badan - - 23.27 22.28 - - Panjang dada - - 10.41 10.14 - - Panjang tibia 5.10 6.79 11.49 10.11 11.89 11.38 Panjang femur 10.10 6.88 7.05 5.59 6.88 6.48 Panjang maxilla - - 5.68 5.92 - 5.94 Panjang paruh 5.80 6.68 - - 6.56 - Lebar paruh 2.50 - - - - - Panjang punggung 18.30 - - - - -

Panjang jari ke-3 5.40 6.79 - - 6.68 -

Sumber : a) Susanti & Prasetyo (2007); b) Wulandari (2005); c) Muzani et al. (2005); d) Brahmantiyo et al. (2003)

Analisis AKU juga dapat digunakan untuk mendriskriminasikan peubah antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio. Nilai ukuran dan bentuk tubuh diperoleh berdasarkan persamaan yang dilanjutkan dengan matrik koefisien korelasi, dapat menerangkan antara nilai korelasi terbesar dan positif antara peubah satu dengan lainnya, sehingga dapat diperoleh peubah mana yang dapat dijadikan pembeda pada itik Alabio.

Dokumen terkait