• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.8 SIFAT- SIFAT MATERIAL KOMPOSIT POLIMER

2.8.2 Sifat Mekanik

� 100 % (2.12) dengan:

Mb

M

= Massa sampel dalam keadaan basah (gr)

k = Massa sampel dalam keadaan kering (gr)

Prosedur pengujian daya serap air ini mengacu pada ASTM C-20-00-2005. Pengujian ini bertujuan untuk menentukan besarnya persentase air yang terserap oleh sampel yang direndam dengan perendaman selama 24 jam.

2.8.2 Sifat Mekanik

a. Kekuatan tarik

Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan. Hubungan tegangan-regangan pada tarikan memberikan nilai yang cukup berubah tergantung pada laju tegangan, temperatur, lembaban, dan seterusnya. Kekuatan tarik diukur dengan menarik sekeping sampel dengan dimensi yang seragam.

Kemampuan maksimum bahan dalam menahan beban disebut "Ultimate Tensile Strength" disingkat dengan UTS. Untuk semua bahan, pada tahap sangat awal uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear

zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke, yaitu rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan

Gambar 2.10 Kurva Tegangan dan regangan (Nurmaulita, 2010)

Kurva pada Gambar 2.10 menunjukkan bahwa, bila sebuah bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula (tepatnya hampir kembali ke kondisi semula) yaitu regangan “nol” pada titik O. Tetapi bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku dan terdapat perubahan permanen dari bahan tersebut. Terdapat konvensi batas regangan permamen (permanent strain) sehingga disebut perubahan elastis yaitu kurang 0.03%, tetapi sebagian referensi menyebutkan 0.005% .

Titik Luluh atau batas proporsional merupakan titik dimana suatu bahan apabila diberi suatu beban memasuki fase peralihan deformasi elastis ke plastis, yaitu titik sampai di mana penerapan hukum Hook masih bisa ditolerir. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis.

Gambar.2.11 Uji Tarik ASTM D 638M

Tegangan tarik σ, adalah gaya yang diaplikasikan, F, dibagi dengan luas

penampang A; yakni:

�= (2.13)

Dalam satuan dyne per sentimeter kuadrat (CGS) atau Newton per meter kuadrat

(MKS). Perpanjangan tarik ε adalah perubahan panjang sampel dibagi dengan

panjang awal:

�= ∆�

( 2.14)

Perbandingan tegangan terhadap perpanjangan disebut modulus tarik E � =

(2.15)

Modulus tarik E menggambarkan ukuran ketahanan terhadap tegangan tarik.

b. Kekuatan lentur

Pengujian kekuatan lentur (UFS) dimaksudkan untuk mengetahui ketahanan polimer terhadap pembebanan. Dalam metode ini metode yang digunakan adalah metode tiga titik lentur. Pengujian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui keelastisan suatu bahan.

Gambar. 2.12 Bentuk dan ukuran sampel pada pengujian kuat lentur (Nurmaulita, 2010)

Pada permukaan bagian atas cupilkan yang dibebani akan terjadi kompresi, sedangkan pada permukaan bawah sampel akan terjadi tarikan. Pada pengujian ini terhadap sampel uji diberikan pembebanan yang arahnya tegak lurus terhadap sampel seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.12. Jika batang uji diberikan pembebanan pada kedua ujungnya dan beban tekuk (P) diberikan

ditengah, tegangan tekuk maksimum (σ) pada titik nol di tengah adalah:

�= 3�� 2��2 (2.16) dengan: P = beban patah (kgf) L = jarak span (10 cm ) b = lebar (mm) d = Tebal (mm)

kekuatan tekuk berubah menurut ukuran batang uji L/d. Modulus Young pada lenturan Ef = 3 4�2� (2.17)

didapat dari persamaan:

Dimana P adalah beban lentur, δ adalah defleksi dan P/ δ didapat dari gradient garis lurus pada kurva beban terhadap defleksi.

Umumnya pada bahan polimer modulus elastis untuk tekan berbeda dengan untuk tarik, tegangan tekan yang besar terjadi pada bagian yang mengalami tegangan tekan. Kekuatan tekan jauh lebih besar dari pada kekuatan tarik, hal ini yang menyebabkan patah karena tekukan pada bagian yang mengalami tegangan tarik.

c. Kekuatan Impak

Kekuatan impak adalah suatu kriteria penting untuk mengetahui kegetasan bahan polimer. Pengujian impak Charphy (Gambar 2.13) dalam hal ini sering dipakai. Untuk melihat pengaruh takikan ada cara pengujian dengan takikan pada batang

uji. Umumnya kekuatan impak bahan polimer lebih kecil dibandingkan bahan logam.

Pengujian impak ini dilakukan untuk mengetahui ketangguhan sampel terhadap pembebanan dinamis. Sampel uji berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 60 mm sesuai dengan standart ASTM D – 256. Kemudian sampel diletakkan pada alat penumpu dengan jarak span 40 mm. Godam pada posisi awal dengan sudut 160o

Prinsip pengujian impak ini adalah menghitung energi yang diberikan beban dan menghitung energi yang diserap oleh spesimen. Saat beban dinaikkan pada ketinggian tertentu, beban memiliki energi potensial, kemudian saat menumbuk spesimen energi kinetik mencapai maksimum. Energi yang diserap spesimen akan menyebabkan spesimen mengalami kegagalan. Bentuk kegagalan itu tergantung pada jenis materialnya, apakah patah getas atau patah ulet

, kemudian godam dilepaskan secara tiba-tiba sehingga menumbuk sampel, sebelum dilakukan pengujian sampel terlebih dahulu dilakukan percobaan tanpa sampel penguji. Hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya energi yang hilang akibat gesekan pada porosnya dan gesekannya dengan udara. Setelah penumpukan sampel hingga sampel patah/retak maka pengukuran dilakukan dengan membaca skala yang ditunjukkan oleh jarum penunjuk skala.

Kekuatan impak yang dihasilkan (Is) merupakan perbandingan antara energy serap (Es) dengan luas penampang (A). Kekuatan impak dapat dihitung dengan persamaan: ��= �� (2.18) dengan: Is = Kekuatan impak (kJ/m2 Es = Energi serap (J) ) A = Luas permukaan (mm2)

Gambar 2.13 Ilustrasi skematis pengujian impak dengan benda uji Charpy

2. 3. 3 Sifat Termal

Bahan polimer termasuk yang sangat mudah menyala seperti seluloid dan yang dapat habis terbakar sendiri secara spontan walau api dipadamkan setelah penyalaan, seperti pada polikarbonat. Sifat mampu nyala bahan polimer dapat ditentukan dengan beberapa cara, diantaranya:

a. Dengan membakar bahan yang diletakkan mendatar

Cara ini ditetapkan dalam JIS-K6911-1970 dan ASTM-D635-1974. Seperti ditunjukkan Gambar 2.14, nyala api dari alat pembakar bunsen dipegang pada sudut 30o

1. Mampu nyala: terbakar lebih lama dari 180 detik dengan nyala.

, menyalakan spesimen yang diletakkan mendatar untuk waktu selama 30 detik, dan api dijauhkan. Waktu yang diperlukan agar specimen menyala disebut waktu penyalaan dan panjang specimen yang terbakar disebut jarak bakar. Harga-harga tersebut dipakai untuk menyatakan kemampuan nyala dari bahan.

2. Habis terbakar sendiri: jarak bakar lebih dari 25 mm tetapi kurang dari 100 mm

Dalam ASTM, laju bakar menyatakan jarak bakar persatuan waktu, yang dipakai sebagai kemampuan nyala (Surdia, 1995).

Gambar 2.14 Skema krja alat uji nyala (Surdia, 1995)

b. Oleh indek oksigen

JIS-K7201-1972 dan ASTM-D2863-1974 menentukan kemampuan nyala dengan indek oksigen (O.I), yaitu konsentrasi oksigen minimum di dalam campuran oksigen dan nitrogen dalam persen volume yang dibutuhkan untuk membakar bahan.

�.�= (2 )

(�2 )+(�2 )� 100% (2.19) Di mana, O2 adalah laju aliran oksigen dan N2 adalah laju aliran nitrogen

c. Oleh kepekatan asap

Kepekatan asap adalah penting dalam hal terjadi kebakaran, ASTM-D2843_1970 menetapkannya dengan jalan mempergunakan sumber cahaya dalam sebuah ruang yang mempunyai volume tertentu, yang intensitas penyinarannya terinduksi oleh pembakaran

Metode pengujian kemampuan nyala yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membakar bahan yang diletakkan mendatar (point a) dan cara ini ditetapkan dalam JIS-K6911-1970 dan ASTM-D635-1974.

Dokumen terkait