• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat dan Pola Hujan Wilayah Studi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sifat dan Pola Hujan Wilayah Studi

Analisis klimatologi dilakukan untuk mengetahui pola hujan pada masing – masing wilayah studi menggunakan data hujan observasi selama 30 tahun (1981-2010). Rekapitulasi jumlah stasiun dan persentase ketersediaan data untuk analisis klimatologis ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Stasiun dan persentase ketersediaan data hujan klimatologis stasiun periode 1981- 2010

No Pola Hujan Wilayah Jumlah

stasiun Persentase ketersediaan data (%) CH rata-rata tahunan (mm) 1 Muson (Wilayah A) 1. Lampung 2. Jawa Timur 3. Kalimantan Selatan 4. Maluku bag selatan

6 3 6 3 85 – 96 94 – 99 90 – 99 93 - 99 2034 1790 2174 2021 2 Equatorial (Wilayah B) 1. Sumatera Utara 2. Kalimantan Barat 5 6 89 – 100 86 - 97 2172 3037 3 Lokal (Wilayah C) Maluku - Ambon 3 90 - 95 2464

4 Pola lain Gorontalo 3 89 – 93 1418

Berdasarkan Tabel 2, jumlah stasiun hujan yang digunakan pada masing-masing wilayah berbeda tergantung pada ketersediaan data. Wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan berturut-turut menggunakan 6, 3, dan 6 stasiun hujan dengan presentase ketersediaan data antara 85%-99%. Pada wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, jumlah stasiun yang digunakan masing-masing adalah 5 dan 6 stasiun dengan persentase ketersediaan data antara 86%-100%. Untuk wilayah Maluku, jumlah stasiun hujan yang digunakan adalah 6 stasiun dengan ketersediaan data > 90%. Pada wilayah Maluku, terdapat dua pola hujan yang berbeda, yaitu sebagian wilayah Maluku – Ambon (ditunjukkan oleh 3 stasiun) menunjukkan pola lokal, dan sebagian wilayah Maluku bagian selatan (3 stasiun) menunjukkan pola muson dengan ketersediaan data antara 90-99%. Sedangkan untuk wilayah Gorontalo mempunyai pola hujan berbeda dari pola muson, equatorial dan lokal. Pada wilayah Gorontalo digunakan 3 stasiun dengan ketersediaan data 89-99 %.

4.1.1. Pola hujan muson (Wilayah A)

Pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan sebagian Maluku terutama di bagian selatan, pola hujan menunjukkan pola hujan muson dimana terdapat satu kali puncak musim hujan dan satu kali puncak musim kemarau (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan penelitian Aldrian dan Susanto (2003) yang menunjukkan bahwa pada ketiga wilayah tersebut masuk dalam wilayah hujan A (pola hujan muson). Berdasarkan kriteria operasional yang digunakan BMKG, yaitu total hujan bulanan sebesar 150 mm atau lebih, maka pada wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, rata-rata panjang musim hujan berlangsung selama 6 bulan (November-April), dan musim kemarau berlangsung selama 6 bulan (Mei-Oktober). Puncak total hujan berlangsung pada bulan Januari, sedangkan lembah total hujan bulanan (musim kering) umumnya berlangsung pada bulan Agustus (Gambar 12). Jumlah curah hujan rata-rata tahunan pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan sebagian Maluku berturut-turut yaitu sebesar 2034 mm, 1790 mm, 2174 mm dan 2021 mm.

Gambar 12. Pola hujan muson di Kalimantan Selatan, Lampung, Jawa Timur dan sebagian wilayah Maluku.

4.1.2. Pola hujan Equatorial (Wilayah B)

Pada wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat diperoleh pola hujan equatorial dengan dua periode puncak hujan yaitu pada bulan Maret-Mei dan Oktober-Nopember (Gambar 13). Pada wilayah Sumatera Utara, puncak hujan terjadi pada bulan Mei dan Oktober dengan intensitas hujan >150 mm, sedangkan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan April dan Nopember dengan instensitas

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Jan Peb CH (m m )

4.1.1. Pola hujan muson (Wilayah A)

Pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan sebagian Maluku terutama di bagian selatan, pola hujan menunjukkan pola hujan muson dimana terdapat satu kali puncak musim hujan dan satu kali puncak musim kemarau (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan penelitian Aldrian dan Susanto (2003) yang menunjukkan bahwa pada ketiga wilayah tersebut masuk dalam wilayah hujan A (pola hujan muson). Berdasarkan kriteria operasional yang digunakan BMKG, yaitu total hujan bulanan sebesar 150 mm atau lebih, maka pada wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, rata-rata panjang musim hujan berlangsung selama 6 bulan (November-April), dan musim kemarau berlangsung selama 6 bulan (Mei-Oktober). Puncak total hujan berlangsung pada bulan Januari, sedangkan lembah total hujan bulanan (musim kering) umumnya berlangsung pada bulan Agustus (Gambar 12). Jumlah curah hujan rata-rata tahunan pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan sebagian Maluku berturut-turut yaitu sebesar 2034 mm, 1790 mm, 2174 mm dan 2021 mm.

Gambar 12. Pola hujan muson di Kalimantan Selatan, Lampung, Jawa Timur dan sebagian wilayah Maluku.

4.1.2. Pola hujan Equatorial (Wilayah B)

Pada wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat diperoleh pola hujan equatorial dengan dua periode puncak hujan yaitu pada bulan Maret-Mei dan Oktober-Nopember (Gambar 13). Pada wilayah Sumatera Utara, puncak hujan terjadi pada bulan Mei dan Oktober dengan intensitas hujan >150 mm, sedangkan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan April dan Nopember dengan instensitas

Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des Kalimantan Selatan Lampung Jawa Timur Maluku

4.1.1. Pola hujan muson (Wilayah A)

Pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan sebagian Maluku terutama di bagian selatan, pola hujan menunjukkan pola hujan muson dimana terdapat satu kali puncak musim hujan dan satu kali puncak musim kemarau (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan penelitian Aldrian dan Susanto (2003) yang menunjukkan bahwa pada ketiga wilayah tersebut masuk dalam wilayah hujan A (pola hujan muson). Berdasarkan kriteria operasional yang digunakan BMKG, yaitu total hujan bulanan sebesar 150 mm atau lebih, maka pada wilayah Lampung, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, rata-rata panjang musim hujan berlangsung selama 6 bulan (November-April), dan musim kemarau berlangsung selama 6 bulan (Mei-Oktober). Puncak total hujan berlangsung pada bulan Januari, sedangkan lembah total hujan bulanan (musim kering) umumnya berlangsung pada bulan Agustus (Gambar 12). Jumlah curah hujan rata-rata tahunan pada wilayah Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan sebagian Maluku berturut-turut yaitu sebesar 2034 mm, 1790 mm, 2174 mm dan 2021 mm.

Gambar 12. Pola hujan muson di Kalimantan Selatan, Lampung, Jawa Timur dan sebagian wilayah Maluku.

4.1.2. Pola hujan Equatorial (Wilayah B)

Pada wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Barat diperoleh pola hujan equatorial dengan dua periode puncak hujan yaitu pada bulan Maret-Mei dan Oktober-Nopember (Gambar 13). Pada wilayah Sumatera Utara, puncak hujan terjadi pada bulan Mei dan Oktober dengan intensitas hujan >150 mm, sedangkan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan April dan Nopember dengan instensitas

>250 mm. Curah hujan tahunan rata-rata selama 30 tahun di Sumatera Utara sebesar 2168 mm, dan Kalimantan Barat sebesar 3037 mm. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Hamada et al. (2002) dimana di wilayah dekat equator, fase siklus tahunan maksimum terjadi pada bulan September-Nopember terutama di wilayah Kalimantan Barat. Di wilayah equator tersebut, curah hujan tinggi sepanjang tahun dengan dua kali puncak hujan selama periode September-Januari dan April-Mei.

Gambar 13. Pola hujan equatorial di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat.

4.1.3. Pola hujan lokal (Wilayah C)

Di wilayah Maluku, hasil analisis data klimatologis menunjukan bahwa beberapa stasiun di wilayah Maluku mempunyai pola hujan lokal dengan satu kali puncak musim hujan (Gambar 14) dan pola muson (Gambar 12). Stasiun-stasiun yang mempunyai pola hujan lokal yaitu Stasiun Meteorologi (Stamet) Kairatu, Stamet Amahai, dan Stamet Pattimura-Ambon. Sedangkan stasiun dengan pola hujan muson yaitu Stamet Namlea, Saumlaki, dan Dumatubun Tual.

Puncak musim hujan di Maluku dengan tipe lokal terjadi sekitar pertengah tahun yaitu pada bulan Juni-Juli (Aldrian & Susanto 2003; Swarinoto et al. 2009). Hal ini menunjukkan pada saat wilayah lain dengan pola hujan muson mencapai lembah (musim kering), wilayah Ambon mengalami puncak hujan. Berdasarkan kriteria operasional BMKG (curah hujan pada musim hujan >150 mm/bulan), rerata panjang musim hujan di Maluku terjadi selama enam bulan yaitu pada bulan April hingga September (Swarinoto et al. 2009) dan satu palung bulan Nopember-Pebruari (Aldrian & Susanto 2003) yang ditunjukkan pada Gambar 14. Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Maluku adalah sebesar 2464 mm.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 CH (m m )

>250 mm. Curah hujan tahunan rata-rata selama 30 tahun di Sumatera Utara sebesar 2168 mm, dan Kalimantan Barat sebesar 3037 mm. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Hamada et al. (2002) dimana di wilayah dekat equator, fase siklus tahunan maksimum terjadi pada bulan September-Nopember terutama di wilayah Kalimantan Barat. Di wilayah equator tersebut, curah hujan tinggi sepanjang tahun dengan dua kali puncak hujan selama periode September-Januari dan April-Mei.

Gambar 13. Pola hujan equatorial di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat.

4.1.3. Pola hujan lokal (Wilayah C)

Di wilayah Maluku, hasil analisis data klimatologis menunjukan bahwa beberapa stasiun di wilayah Maluku mempunyai pola hujan lokal dengan satu kali puncak musim hujan (Gambar 14) dan pola muson (Gambar 12). Stasiun-stasiun yang mempunyai pola hujan lokal yaitu Stasiun Meteorologi (Stamet) Kairatu, Stamet Amahai, dan Stamet Pattimura-Ambon. Sedangkan stasiun dengan pola hujan muson yaitu Stamet Namlea, Saumlaki, dan Dumatubun Tual.

Puncak musim hujan di Maluku dengan tipe lokal terjadi sekitar pertengah tahun yaitu pada bulan Juni-Juli (Aldrian & Susanto 2003; Swarinoto et al. 2009). Hal ini menunjukkan pada saat wilayah lain dengan pola hujan muson mencapai lembah (musim kering), wilayah Ambon mengalami puncak hujan. Berdasarkan kriteria operasional BMKG (curah hujan pada musim hujan >150 mm/bulan), rerata panjang musim hujan di Maluku terjadi selama enam bulan yaitu pada bulan April hingga September (Swarinoto et al. 2009) dan satu palung bulan Nopember-Pebruari (Aldrian & Susanto 2003) yang ditunjukkan pada Gambar 14. Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Maluku adalah sebesar 2464 mm.

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des Sumatera Utara

Kalimantan Barat

>250 mm. Curah hujan tahunan rata-rata selama 30 tahun di Sumatera Utara sebesar 2168 mm, dan Kalimantan Barat sebesar 3037 mm. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Hamada et al. (2002) dimana di wilayah dekat equator, fase siklus tahunan maksimum terjadi pada bulan September-Nopember terutama di wilayah Kalimantan Barat. Di wilayah equator tersebut, curah hujan tinggi sepanjang tahun dengan dua kali puncak hujan selama periode September-Januari dan April-Mei.

Gambar 13. Pola hujan equatorial di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat.

4.1.3. Pola hujan lokal (Wilayah C)

Di wilayah Maluku, hasil analisis data klimatologis menunjukan bahwa beberapa stasiun di wilayah Maluku mempunyai pola hujan lokal dengan satu kali puncak musim hujan (Gambar 14) dan pola muson (Gambar 12). Stasiun-stasiun yang mempunyai pola hujan lokal yaitu Stasiun Meteorologi (Stamet) Kairatu, Stamet Amahai, dan Stamet Pattimura-Ambon. Sedangkan stasiun dengan pola hujan muson yaitu Stamet Namlea, Saumlaki, dan Dumatubun Tual.

Puncak musim hujan di Maluku dengan tipe lokal terjadi sekitar pertengah tahun yaitu pada bulan Juni-Juli (Aldrian & Susanto 2003; Swarinoto et al. 2009). Hal ini menunjukkan pada saat wilayah lain dengan pola hujan muson mencapai lembah (musim kering), wilayah Ambon mengalami puncak hujan. Berdasarkan kriteria operasional BMKG (curah hujan pada musim hujan >150 mm/bulan), rerata panjang musim hujan di Maluku terjadi selama enam bulan yaitu pada bulan April hingga September (Swarinoto et al. 2009) dan satu palung bulan Nopember-Pebruari (Aldrian & Susanto 2003) yang ditunjukkan pada Gambar 14. Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Maluku adalah sebesar 2464 mm.

Puncak hujan di wilayah Maluku mungkin disebabkan oleh efek orografik yaitu kemiringan arah datangnya angin pada punggung gunung arah tenggara selama bulan Juni-Juli-Agustus (Hamada et al. 2002).

Gambar 14. Pola hujan lokal di Maluku.

4.1.4. Pola hujan berbeda dengan variasi musiman tidak jelas

Pola hujan berbeda diperoleh di wilayah Gorontalo dimana pola hujan mempunyai pola yang berbeda dari pola muson, equatorial dan lokal (Gambar 15). Menurut Hamada et al. (2002), terdapat pola hujan berbeda di Indonesia yaitu ditemui di wilayah- wilayah dengan variasi musim hujan dan kemarau yang tidak jelas. Sedangkan di dalam penelitian Aldrian dan Susanto (2003), terdapat sebagian wilayah Gorontalo yang tidak masuk dalam tiga pola hujan dominan Indonesia (Gambar 1).

Gambar 15. Pola hujan wilayah Gorontalo.

Di wilayah Gorontalo, curah hujan tahunannya tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 1418 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada bulan Januari – Juni hanya berkisar 150 mm. Pada wilayah tersebut, curah hujan mengalami penurunan

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Jan CH (m m ) 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Jan CH (m m )

Puncak hujan di wilayah Maluku mungkin disebabkan oleh efek orografik yaitu kemiringan arah datangnya angin pada punggung gunung arah tenggara selama bulan Juni-Juli-Agustus (Hamada et al. 2002).

Gambar 14. Pola hujan lokal di Maluku.

4.1.4. Pola hujan berbeda dengan variasi musiman tidak jelas

Pola hujan berbeda diperoleh di wilayah Gorontalo dimana pola hujan mempunyai pola yang berbeda dari pola muson, equatorial dan lokal (Gambar 15). Menurut Hamada et al. (2002), terdapat pola hujan berbeda di Indonesia yaitu ditemui di wilayah- wilayah dengan variasi musim hujan dan kemarau yang tidak jelas. Sedangkan di dalam penelitian Aldrian dan Susanto (2003), terdapat sebagian wilayah Gorontalo yang tidak masuk dalam tiga pola hujan dominan Indonesia (Gambar 1).

Gambar 15. Pola hujan wilayah Gorontalo.

Di wilayah Gorontalo, curah hujan tahunannya tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 1418 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada bulan Januari – Juni hanya berkisar 150 mm. Pada wilayah tersebut, curah hujan mengalami penurunan

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des Maluku

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des Gorontalo

Puncak hujan di wilayah Maluku mungkin disebabkan oleh efek orografik yaitu kemiringan arah datangnya angin pada punggung gunung arah tenggara selama bulan Juni-Juli-Agustus (Hamada et al. 2002).

Gambar 14. Pola hujan lokal di Maluku.

4.1.4. Pola hujan berbeda dengan variasi musiman tidak jelas

Pola hujan berbeda diperoleh di wilayah Gorontalo dimana pola hujan mempunyai pola yang berbeda dari pola muson, equatorial dan lokal (Gambar 15). Menurut Hamada et al. (2002), terdapat pola hujan berbeda di Indonesia yaitu ditemui di wilayah- wilayah dengan variasi musim hujan dan kemarau yang tidak jelas. Sedangkan di dalam penelitian Aldrian dan Susanto (2003), terdapat sebagian wilayah Gorontalo yang tidak masuk dalam tiga pola hujan dominan Indonesia (Gambar 1).

Gambar 15. Pola hujan wilayah Gorontalo.

Di wilayah Gorontalo, curah hujan tahunannya tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 1418 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada bulan Januari – Juni hanya berkisar 150 mm. Pada wilayah tersebut, curah hujan mengalami penurunan

terjadi mulai bulan Juli hingga September, dan mulai mengalami peningkatan pada bulan Oktober (Gambar 15). Pada analisis selanjutnya, wilayah Gorontalo dengan pola hujan berbeda tidak digunakan dalam tahapan validasi dan koreksi data satelit TRMM.