• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mu’jir dan Musta’jir, yaitu melakukan ijab dan qabul ialah: Ungkapan, pernyataan dan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.100

Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sedangkan qobul ialah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab.101 Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.102

97 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: Almahira, 2008), hal. 40

98 Haroen,…. hlm 117

99 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah ( Jakarta, Pena Ilmu dan Amal, 2006), jilid 4, hlm. 205

100 Suhendi,… hlm 116

101 Ibid., hlm 117

102 Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya, Ass-syifa, 2005), hlm. 378

Shighat ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir, yaitu ijab qabul sebagai manifestasi dari perasaan suka sama suka, dengan catatan keduanya terdapat kecocokan atau kesesuaian. Qabul diucapkan selesai pernyataan ijab tanpa jeda, seperti halnya dalam jual beli. Contoh pernyataan ijab dan qabul, misalnya mu’jir mengucapkan, “Aku sewakan bejana ini kepadamu selama setahun dengan uang sewa sekian,” lalu penyewa berkata, “Aku terima,” atau “Aku sewa.” Menurut pendapat ashah, ijarah sah dengan ucapan, “Aku menyewakan manfaat barang ini kepadamu,” dan tidak sah dengan redaksi, “Aku jual manfaat barang ini kepadamu,” karena istilah “jual beli” digunakan untuk mengalihkan hak kepemilikan atas barang, tidak berlaku dalam pengalihan manfaat. Sebaliknya jual beli pun tidak sah dengan redaksi ijarah.103

3) Upah (Ujrah)

Ujrah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.104 Upah atau sewa tidak boleh sama dengan jenis manfaat ma’qud ‘alaih. Apabila upah atau sewa sama dengan jenis manfaat barang yang disewa, maka ijarah tidak sah.105

Dalam hal sewa menyewa barang yang berwujud (ijarah’ain/penyewaan barang), disyaratkan upah harus diketahui jenis, kadar dan sifatnya, layaknya harga dalam akad jual beli, karena ijarah merupakan akad yang berorientasi keuntungan, yaitu tidak sah tanpa menyebutkan nilai kompensasi layaknya jual beli. Uang sewa menjadi hak milik mu’jir yang dilindungi hukum dan sepanjang waktu, begitu akad

103 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: Almahira, 2008), hal. 41

104 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal. 117-118.

105 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 327.

ijarah disepakati. Artinya ketika masa penyewaan telah habis, kompensasi tersebut tetap menjadi haknya, jadi kepemilikan mu’jir atas uang tersebut sebagai hasil penyewaan barang telah berkekuatan hukum tetap.106

Ujroh yaitu diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir.

Dengan syarat, sebagai berikut:

a) Jumlahnya diketahui secara jelas dan detail.

b) Pegawai khusus seperti hakim tidak boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah.

c) Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap.107

4) Manfaat

Salah satu cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, batasan waktu, dan jenis pekerjaan.108 Segala sesuatu yang berkaitan dengan harta benda boleh diakadkan ijarah, asalkan memenuhi persyaratan dibawah ini:

a) Harta benda dalam ijarah dapat dimanfaatkan secara langsung dan harta bendanya tidak cacat yang berdampak terhadap penghalangan fungsinya.

Tidak bolehkan akad ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak lain, bukan pihak keduanya.

106 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: Almahira, 2008), hal. 42

107 Muhammad Rawwas Qal Ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada:1999), hlm. 178

108 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih ( Bandung, Pustaka Setia , 2010), cet 4, hlm.86

b) Pemilik menjelaskan secara transparan tentang kualitas, kuantitas manfaat barang, tanpa ada yang disembunyikan tentang keadaan barang tersebut.

c) Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki ialah harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.

d) Manfaat dari Objek ijarah tidak bertentangan dengan Hukum Islam. seperti menyewakan menyewakan tempat untuk melakukan maksiat.

e) Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda, seperti: sewa warung Untuk usaha, sepeda untuk dikendarai, dan lain-lain. Tidak dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon duren untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil susunya, telurnya, keturunannya, ataupun bulunya.109

e. Macam-Macam Ijarah

Dilihat dari segi obyeknya, akad al-ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam, yaitu: yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan (jasa). Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk syaratdipergunakan, maka para ulama fiqih sepakat

109 Ibid., hlm. 127

menyatakan boleh dijadikan obyek sewa menyewa. Al-ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para ulama fiqih, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu.110

Praktek sewa-menyewa terkadang sering diartikan bahwa yang bisa dijadikan objek sewa-menyewa adalah barang/benda, padahalselain itu juga ada objek menyewa yang dibolehkan dalam syara’ untuk dijadikan objek sewa-menyewa. Berikut adalah macam-macam sewa-menyewa:

1) Ijarah ‘ala al-manafi

Ijarah yang objek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadikan objeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara’.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan ada. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa sewa tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut.

Sementara itu ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ijarah ini sudah tetap dengan sendirinya sejak akad ijarah terjadi. Karena itu, menurut

110 Syaikhu, Ariyadi dan Norwili, Fikih Muamalah Memahami Konsep Dan Dialektika Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit K-Media, 2020)., hlm. 142

mereka sewa sudah dianggap menjadi milik barang sejak akad ijarah terjadi.

Karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat dari benda yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak mengganggu dan merusak barang yang disewakan.

Namun demikian ada akad ijarah ‘ala al’manafi yang perlu mendapatkan perincian lebih lanjut, yaitu:

a. Ijarah al-‘ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan.

Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) member izin untuk ditanami tanaman apa saja.

b. Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari, harus diseratai rincian pada saat akad.

2) Ijarah ‘ala al-‘amaal

Ijarah yang objek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah.

Karena itu, pembahasannya lebih dititikberatkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir). Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir musytarak.

Pengertian ajir khass adalah pekerjaan atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan

secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir.111

Menurut Wahbah az-Zuhaili, pekerjaan menyusukan anak kepada orang lain dapat digolongkan dalam akad ijarah khass ini. Jumhur (kesepakatan) ulama mengatakan seorang suami tidak boleh menyewa istrinya untuk menyusukan anaknya karena pekerjaan tersebut merupakan kewajiban istri. Bahkan Imam Malik menambahkan, suami dapat memaksa istrinya untuk menyusukan anaknya (jika dia menolak).112

f. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, maka bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiah berpendirian bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak bilamana terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan berpindah dalam hukum.

Adapun jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.

Akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus bilamana seorang meninggal dunia. Berdasarkan pendapat ulama Hanafiah, bilamana seorang meninggal dunia maka akad al ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.

Akan tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karna

111 Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 85

112 Ibid, hlm. 87

termasuk harta (al-maal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad al ijarah.113

Sementara itu, berdasarkan pendapat Sayyid Shabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bilamana ada hal-hal sebagai berikut:114

1) Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa

2) Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya bangunan gedung

3) Rusaknya barang yang diupahkan seperti bahan baju yang dupahkan untuk dijahit

4) Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan selesainya pekerjaan

5) Berdasarkan pendapat hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagang, dan kehabisan modal.

Para ulama fikih menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir apabila115: 1) Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang

dijahitkan hilang.

2) Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.

Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada

113 Nasrun haroen. Fiqih Muamalah,(Jakarta:Gaya Media Pratama.2007). cet: ke-2., hlm 236.

114 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, ( Jakarta, Pena Pundi Aksara: 2006), hlm 24

115 Nasrun haroen. Fiqih Muamalah.… hlm. 237-238

pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati para ulama fiqih.

3) Menurut ulama Hanafiah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al-ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yang mengikat kedua belah pihak yang berakad.

4) Menurut ulama Hanafiah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad al-ijarah itu hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.

g. Akibat Hukum Akad Ijarah116

Akibat hukum dari ijarah yang shahih adalah tetapnya hak milik atas manfaat bagi musta’jir (penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi mu’jir (yang menyewakan). Hal ini oleh karena akad ijarah adalah akad

116 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Sinar Grafika Offset; 2010).

mu’awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat. Dalam ijarah fasidah, apabila musta’jir telah menggunakan barang yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku (ujratul mitsli).

Menurut Hanafiah, kewajiban membayar ujratul mitsli berlaku apabila rusaknya akad ijarah tersebut karena syarat yang fasid, bukan karena ketidakjelasan harga, atau tidak menyebutkan jenis pekerjaannya. Dalam hal ijarah fasidah karena dua hal disebutkan terakhir ini, maka upah atau uang sewa harus dibayar penuh.

Menurut Imam Zufar dan Syafi’i, dalam ijarah fasidah, upah atau uang sewa harus dibayar penuh, seperti halnya dalam jual beli.

g. Hak dan Kewajiban Akad Ijarah

Perjanjian/akad termasuk akad sewa menyewa/ijarah menimbulkan hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya. Berikut hak-hak dan kewajiban para pihak dalam akad sewa-menyewa117:

1) Ijarah ‘ala al manfa’ah

a) Pihak pemilik objek perjanjian sewa-menyewa atau pihak yang menyewakan.

(1) Ia wajib menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa (2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang itu

dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan

(3) Memberikan si penyewa kenikmatan/manfaat atas barang yang disewakan selama waktu berlangsungnya sewa-menyewa

117 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 2010), hlm. 73-74

(4) Menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang

(5) Ia berhak atas uang sewa yang besarnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan

(6) Menerima Kembali barang obyek perjanjian di akhir masa sewa.

b) Pihak penyewa

(1) Ia wajib memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian/akad sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan.

(2) Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan (3) Ia berhak menerima manfaat dari barang yang disewanya

(4) Menerima ganti kerugian, jika terdapat cacat pada barang yang disewa

(5) Tidak mendapatkan gangguan dari pihak lain, selama memanfaatkan barang yang disewa.

Masing-masing pihak dalam sebuah akad/perjanjian harus saling memenuhi prestasi. Dalam konteks sewa-menyewa ini berupa memberikan sesuatu (menyerahkan barang sewa/membayar uang sewa), berbuat sesuatu (memelihara barang yang disewakan sehingga dapat dimanfaatkan, bagi penyewa adalah menjadi bapak rumah yang baik), dan tidak berbuat sesuatu (penyewa dilarang menggunakan barang barang sewaan untuk kepentingan lain diluar yang

diperjanjikan, sedangkan bagi yang menyewakan dilarang selama waktu sewa mengubah wujud atau tataan barang yang disewakan).118

Adanya wanprestasi bisa menyebabkan adanya pembatalan akad, dan dalam hal tertentu bisa menimbulkan tuntutan ganti kerugian bagi pihak yang dirugikan.

Dapat pula ada tuntutan ganti rugi dan pembatalan perjanjian sekaligus.119 2) Ijarah a’ala al a’mal

a) Hak-hak yang diterima pekerja adalah:120

(1) Mereka para pekerja harus diperlakukan sebagai manusia, tidak sebagai binatang beban

(2) Mewujudkan ketercukupan

(3) Kemuliaan dan kehormatan haruslah senantiasa melekat pada mereka

(4) Mereka harus menerima upah yang layak dan segera dibayar (5) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

b) Kewajiban yang dilakukan pekerja adalah:121

(1) Mengetahui hal-hal yang diwajibkan dalam suatu pekerjaan sehingga orang melakukan pekerjaan dapat memenuhi hal-hal yang diperlukan dan ia pun dapat menekuni pekerjaanya dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya

(2) Menunaikan janji

118 Ibid., hlm. 74

119 Ibid., hlm. 74-75

120 Muhammad Sharif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta : Kencana, 2012., hlm. 192.

121 Jaribah Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar Group, 2003). hlm. 674

(3) Beritiqad baik dalam melakukan aktifitas pekerjaanya (4) Berusaha mewujudkan keamanan

(5) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

h. Risiko dalam Akad Ijarah

Dalam hal perjanjian menyewa, risiko mengenai obyek akad sewa-menyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang sewa-menyewakan), sebab si penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat dari barang yang disewakan. Oleh karena itu, dalam hal terjadi kerusakan barang maka risiko ditanggung oleh pemilik barang, kecuali yang terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan dari penyewa.122

Selama waktu sewa, jika barang yang disewakan musnah seluruhnya karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka akad sewa-menyewa tersebut gugur.

Kemudian jika masih ada salah satu bagian yang tersisa, maka si penyewa dapat memilih berupa pengurangan harga sewa atau membatalkan akad.123

3. Pendapatan

a. Pengertian Pendapatan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia pendapatan adalah hasil kerja (usaha atau sebagianya).124 Sedangkan pendapatan dalam kamus manajemen adalah uang yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan organisasi lain dalam bentuk upah,

122 Ibid., hlm. 76

123 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 2004), hlm. 382

124 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka,1998), hlm. 185.

gaji, sewa, bunga, komisi, ongkos, dan laba.125 Menurut Reksoprayitno pendapatan dapat diartikan sebagai total penerimaan yang diperoleh pada periode tertentu.126

Pendapatan adalah pendapatan uang yang diterima dan diberikan kepada subjek ekonomi berdasarkan prestasi-prestasi yang diserahkan yaitu berupa pendapatan dari profesi yang dilakukan sendiri atau usaha perorangan dan pendapatan dari kekayaan. Besarnya pendapatan seseorang bergantung pada jenis pekerjaannya.127

Pendapatan atau upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi pekerjaan kepada pekerja atau jasanya sesuai perjanjian. Penghasilan (income) baik meliputi pendapatan maupun keuntungan pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang bisa dikenal dengan sebutan seperti penjualan, penghasilan jasa, bunga, deviden, royalty dan sewa.128

Yang termasuk dalam pendapatan menurut Mardiasmo :

1) Imbalan atau pengantian yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa.

Pendapatan yang tergolong sebagai imbalan adalah gaji, upah, bonus, komisi, uang pension, dll.

2) Hadiah. Dapat berarti uang atau barang yang berasal dari pekerjaan, undian, penghargaan, dll.

125 BN Marbun, Kamus Manajemen (Jakarta: Pustaka Sinar Harahap, 2003), hlm. 230.

126 Reksoprayitno, Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: Bina Grafik, 2004), h. 79.

127 Sadono Sukirno, Teori Pengantar Mikro Ekonomi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 47

128 Al-Musa, Ensiklopedi Fiqh Muamalah: Dalam Pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta:

Maktabah Hanif, 2017), h.316

3) Laba Usaha. Pendapatan yang berasal dari laba usaha adalah pendapatan yang diperoleh dari selisih penjualan barang dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membuat barang, yaitu : biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dll.

4) Keuntungan Penjualan. Pendapatan yang berasal dari selisih penjualan barang yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang-barang tersebut.

5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6) Bunga dari pengembalian utang kredit.

7) Deviden dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU).

8) Royalti. Pendapatan yang diterima dari balas jasa terhadap hak cipta yang di gunakan oleh pihak lain.

9) Sewa. Pemindahan hak guna terhadap hak milik kepada orang lain dalam kurun waktu tertentu.

10) Penerimaan atau pembayaran berkala.

11) Keuntungan karena pembebasan utang.

12) Keuntungan karena kurs mata uang asing.

13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva 14) Premi Asuransi129

Beberapa indikator pendapatan, yaitu sebagai berikut:130

1) Pendapatan yang diterima perusahaan harus memberikan keuntungan sehingga perusahaan dapat menutupi semua kewajiban dan meningkatkan usahanya

129 Ibid., hlm. 110

130 Soediyono, Ekonomi Makro Pengantar Analisa Pendapatan Nasional Edisi Revisi (Yogyakarta: Libertty, 1998), hlm. 99

2) Pendapatan yang diterima perusahaan harus memenuhi kepuasan hati para pemilik perusahaan

3) Pendapatan tersebut bersumber dari kegiatan operasi perusahaan

4) Pendapatan tersebut harus dapat membalas jasa dan pekerjaan yang telah dilakukan perusahaan

b. Pendapatan dalam Perspektif Ekonomi Islam

Istilah pendapatan atau keuntungan adalah sinonim dengan istilah laba (Indonesia), profit (inggris), dan riba (arab). Pendapatan adalah uang yang diterima dan diberikan kepada subjek ekonomi berdasarkan prestasi-prestasi yang diserahkan yaitu berupa pendapatan dari profesi yang dilakukan sendiri atau usaha perorangan dan pendapatan dari kekayaan.131

Konsep pendapatan di dalam Islam tercantum pada Al-Qur’an dijelaskan dengan Surat Al-Baqarah (2) Ayat 29:

َََع بَسََنُهاَوَسَفَِءاَمَسلاَ َلَِإَ ىَوَ ت ساََُثَا عيَِجََِض رَ لْاَ ِفَاَمَ مُكَلََقَلَخَيِذَلاََوُه

َِِّلُكِبََوُهَوَ َ تاَواََسَ

َ ميِلَعَ ء يَش َ

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al-Baqarah (2):29)132

Maka tidak ada alasan kekayaan sumber daya tersebut tetap terkonsentrasi pada beberapa pihak saja. Oleh karena itu, Islam menekankan keadilan distributive dan menerapkan dalam system ekonominya program untuk redistribusi pendapatan

131 Djojohadikusumo Sumitro, Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indoseia, 2005), hlm. 27.

132 Departemen Agama RI, Al- Jumanatul, Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:

JART, 2004) h.3

dan kekayaan sehingga setiap individu mendapatkan jaminan standar kehidupan yang manusiawi dan terhormat.

Profit merupakan salah satu unsur penting dalam perdagangan yang didapat melalui proses pemutaran modal dalam kegiatan ekonomi. Islam sangat mendorong pendayagunaan harta melalui berbagai kegiatan ekonomi dan melarang untuk menganggurkannya agar tidak habis dimakan zakat.133

Program Islam untuk redistribusi kekayaan terdiri dari tiga bagian. Pertama, ajaran Islam mengarahkan untuk memberikan pembelajaran atau pemberdayaan kepada para penganggur untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa memberi penghidupan bagi mereka, serta untuk memberikan upah yang adil bagi orang-orang yang sudah bekerja.

Kedua, ajaran Islam menekankan pembayaran zakat untuk redistribusi pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin yang yang karena ketidakmampuan atau cacat (secara fisik atau mental, atau faktor eksternal yang diluar kemampuan mereka, misalnya pengangguran), tak mampu untuk memperoleh kehidupan standar yang terhormat dengan tangan mereka sendiri.

Dengan redistribusi ini maka akan tercapai kondisi sebagaimana disebutkan oleh Al Qur`an dalam surat Al-Hasyr (59) ayat 7:

َ مُك نِمَِءاَيِن غَ لْاََ ينَبَ ةَلوُدََنوُكَيَ َلَّ يَك

Artinya: “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu.” (Q.S Al Hasyr(59):7)

133 Isnaini Harahap dkk, Hadis-Hadis Ekonomi, (Jakarta: Kencana,2015) h.91

Ketiga, pembagian harta warisan dari orang yang telah meninggal kepada beberapa orang sesuai aturan Islam sehingga menguatkankan dan mempercepat distribusi kekayaan dalam masyarakat. Konsep Islam tentang keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan, juga konsep keadilan ekonomi tidak mengharuskan semua orang mendapat upah dalam jumlah yang sama tanpa memperdulikan kontribusinya bagi masyarakat. Islam mentoleransi adanya perbedaan dalam pendapatan karena setiap orang tidak memiliki karakter, kemampuan dan pelayanan kepada masyarakat yang sama.134

Menurut konsep islam, nilai-nilai keimanan, akhlak, dan tingkah laku seorang pedagang Muslim memegang peranan utama dalam memengaruhi penentuan kadar keuntungan dalam transaksi atau muamalah. Husein Syahatah memberikan beberapa kriteria umum Islami yang dapat memberi pengaruh dalam penentuan batas keuntungan yang diinginkan oleh pedagang. Diantara kriteria-kriteria tersebut yaitu:135

1) Kelayakan dalam penetapan laba

Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikemukakan Syahatah berkata,

“Wahai para saudagar! Ambillah (laba) yang pantas, maka kamu akan selamat(berhasil) dan jangan kamu menolak laba yang kecil karena itu akan menghalangi kamu dari mendapatkan (laba) yang banyak.” Pernyataan ini menjelaskan bahwa batasan laba ideal (yang pantas dan wajar) yang dapat

134 Arininoer Maliha,”Pengaruh Modal, Tenaga Kerja dan Bahan Baku Terhadap Tingkat Pendapatan Industri Kue” (Skrispi Program Ekonomi Syariah Universitas Universitas Islam Negerii Lampung, 2018), hlm. 57-58.

135 Isnaini Harahap dkk, Hadis-Hadis Ekonomi,..hlm. 102.

Dalam dokumen BAB II KERANGKA TEORITIS A. Landasan Teori (Halaman 39-65)

Dokumen terkait