BAB II PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PLURALISME
C. Sikap Pluralisme Agama
Pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas.
Paham, bagaimana melihat bentuk keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang agama-agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang benar atau semua agama benar. Menurut Kautsar Azhari Noer, yang dikutip oleh Ngainun Naim dan Achmad Sauqi menyatakan :
29 Departemen Agama RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006), h. 6
36
Secara bahasa, kata pluralis berasal dari bahasa Inggris
“plural” yang berarti “jamak”, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat, atau ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak”.30
Pluralisme adalah sikap menerima, memahami, dan menghormati serta terlibat aktif dalam realitas kemajemukan kelompok. Melalui sikap demikian, diharapkan muncul perilaku saling menghargai, kerjasama, tolong-menolong, toleransi dan seterusnya, antar komunitas yang berbeda sehingga tercipta perdamaian, ketenangan dan persatuan.
Menurut soraj Hongladarom dalam Implications of Pluralism Essays on Culture, Identity and Values menyatakan :
“The pluralism that exists within such arrangements as linguistic or cultural pluralism refers to the space within which diverse languages or cultural phenomena coexist with one another.
Hence these kinds of pluralism belong to the same species as the second sense of political pluralism alluded to above. In a society with linguistic pluralism, active measures are there to promote and support the phenomenon where different languages are given equal treatment so that citizens speaking different languages do not have to be forced to speak others which are not their own. Cultural pluralism speaks of different cultures coexisting with one another”.31
Pluralisme tidak hanya berlaku pada ranah politik dan
30 Ngainun Naim & Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 75
31 Soraj Hongladarom. Basing Political Pluralism on Epistemology: The Case of Thailand’s Southern Violence Dalam Implications of Pluralism Essays on Culture, Identity and Values. Edited by Goran Collste (Bangi: Institute of Ethnic Studies Universiti Kebangsaan Malaysia, 2011), h. 32
37 ide, akan tetapi juga berlaku pada ranah bahasa dan budaya.
Bukan saja warna politik dan ide yang mempunyai beragam orak dan warna. Akan tetapi penggunaan bahasa dan budaya juga sangat beragam. Dengan demikian, sikap pluralisme dapat dipahami sebagai suatu sikap yang memberikan perlakuan yang sama kepada mereka yang berbeda tersebut, baik pada perbedaan bahasa maupun budaya, yakni dengan tidak memaksakan suatu bahasa kepada kelompok lain yang mereka tidak dapat memahami dan tidak juga memaksakan penggunaan suatu budaya pada mereka yang telah memiliki budaya sendiri.
Pluralisme merupakan salah satu sikap untuk penyeimbang bagi umat manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan dalam berbagai bentuk dan rupa yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, serta terdapat beragam suku bangsa.
Keberagaman umat manusia adalah untuk disatukan dan diselaraskan, agar mereka hidup rukun dan damai. Budhy Munawar Rachman menyatakan :
“Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”
(negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia”.32
32 Budhy Munawar dan Rahman. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 39
38
Ajaran pluralisme dalam agama Islam terdapat pada surah Al-Hujarat ayat 13.
ۚ اوُف َراَعَتِل َلِئاَبَق َو اًبوُعُش ْمُكاَنْلَع َج َو ٰىَثْنُأ َو ٍرَكَذ ْنِم ْمُكاَنْقَلَخ اَّنِإ ُساَّنلا اَهُّيَأ اَي ريِبَخ ٌميِلَع َ َّاللَّ َّنِإ ۚ ْمُكاَقْتَأ ِ َّاللَّ َدْنِع ْمُكَم َرْكَأ َّنِإ
ٌٌArtinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.33
Dari beberapa definisi tentang pluralisme yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dipahami bahwa pluralisme minimal memiliki tiga kategori, yaitu: Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti semua agama berhak untuk ada dan hidup. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan.
Dengan bersandarkan pada beberapa definisi tentang pluralisme dan pemahaman dari Kitab Suci Al-Qur’an pada surah Al-Hujarat ayat 13 tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa sedikitnya terdapat empat tema pokok yang menjadi kategori utama dalam membahas tentang sikap pluralisme agama, yaitu: (1) Kebebasan berkeyakinan dengan tidak melakukan pemaksaan untuk memeluk salah satu agama;
(2) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain; (3) Pengakuan
33 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al-Huda, 2002), h. 518
39 tentang konsep kesatuan ajaran para Nabi dan Rasul; dan (4) Pengakuan tentang kesatuan pesan Ketuhanan.