• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJ AUAN PUSTAKA

2.2.3 Sikap

2.2.3.1 Difinisi sikap dan indikator yang mempengar uhinya

Sikap merek menurut Assael dalam Afian (2007:43) dalam Imarta (2013) adalah kecenderungan yang dipelajari oleh konsumen untuk mengevaluasi merek dengan cara mendukung (positif) atau tidak mendukung (negatif) secara konsisten Evaluasi konsumen terhadap merek tertentu ini di mulai dari sangat jelek sampai sangat bagus. Sikap terhadap merek didasarkan pada skema tentang merek tersebut yang telah tertanam dibenak konsumen. seperti telah disebutkan diatas bahwa komponen sikap ada 3 yaitu: Kognitif, Afektif dan Konatif maka ketiga komponen sikap ini juga terdapat dalam sikap konsumen terhadap produk, yaitu :

a. Brand believe adalah komponen kognitif (pemikiran)

b. .Brand evaluation adalah komponen afektif yang mewakili semua

evaluasi terhadap merek oleh konsumen. Kepercayaan terhadap suatu merek adalah multi dimensional karena mereka mewakili atribut merek yang dipersepsikan oleh konsumen.

c. Kecenderungan untuk bertindak adalah komponen konatif (tindakan) dan pada umumnya komponen ini dengan melihat ”maksud untuk membeli” dari seorang konsumen adalah penting dalam mengembangkan strategi pemasaran.

Konsumen memiliki sikap terhadap beberapa kategori produk, merek, tenaga jual, toko, dan lain-lain. Sikap bukanlah sebuah elemen

psikologis yang bersifat statis, tetapi bersifat dinamis dalam arti bahwa sikap dapat berubah.

Sebagai akibatnya peningkatan sikap ini dapat menjadi sasaran pemasaran yang penting bagi perusahaan. Konsumen memiliki sikap terhadap beberapa kategori produk, merek, tenaga jual, toko, dan lain-lain. Sikap bukanlah sebuah elemen psikologis yang bersifat statis, tetapi bersifat dinamis dalam arti bahwa sikap dapat berubah.

Sikap individu terhadap suatu obyek dapat berubah bila orang tersebut

mempersepsikan bahwa obyek sikap itu berubah. Terdapat dua hal untuk menerangkan perubahan obyek, yaitu obyek itu sendiri memang telah berubah atau informasinya yang diberikan mengenai obyek telah berubah tanpa ada perubahan yang sesungguhnya pada obyek tersebut.

Keadaan yang mana obyek sungguh-sungguh mengalami perubahan dan individu menerima informasi mengenai perubahan tersebut, sebenarnya merupakan cara yang pasti untuk merubah sikap individu terhadap obyek dan memberikan informasi bahwa obyek sungguh-sungguh berubah, merupakan suatu hal yang sulit untuk dapat diterima individu. Perubahan sikap yang umum terjadi biasanya dipengaruhi oleh informasi baru

mengenai suatu obyek sikap. Jadi sebenarnya obyek tetap, sedangkan sikap berubah karena individu menerima informasi baru tentang obyek sikap tersebut.

Umar (2003;434-438) menyatakan melalui tindakan-tindakan dan belajar seseorang akan mendapatkan kepercayaan dan sikap yang pada

gilirannya akan pula mempengaruhi perilakunya. Kepercayaan merupakan suatu pemikiran deskriptif yang dimiliki oleh seorang tentang sesuatu yang didasari atas pengetahuan, pendapat dan keyakinan nyata. Sikap adalah evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang relatif konsisten terhadap sesuatu obyek atau gagasan. Sikap akan menempatkan seseorang dalam satu pikiran untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu, bergerak mendekati atau menjauhinya. Informasi yang dimaksudkan orang lain kedalam pemikiran seseorang, anggap saja misalnya seorang manajer kepada bawahannya, dapat mengubah sikap bawahan atau menggerakkannya untuk melakukan sebuah tindakan. Sang manajer perlu mendapatkan respon kognitif, afektif dan perilaku dari bawahan tersebut.

Respon kognitif, afektif dan perilaku erat hubungannya dengan lima tahap pengambilan keputusan seseorang. Respon kognitif, seseorang berada dalam tahap mempelajari yaitu tahap mengenal masalah dan tahap mencari informasi-informasi yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut selanjutnya seseorang akan berusaha untuk mencari alternatif-alternatif terbaik sebagai pilihan untuk memecahkan masalah tadi. Tahapan ini disebut dengan tahapan afektif. Setelah alternatif dipilih, orang itu akan menggunakan pilihan tadi untuk bertindak. Jika tindakannya sesuai dengan apa yang dikendaki ia akan menggunakan cara ini untuk kejadian berikutnya, atau sebaliknya, ia akan memilih alternatif yang lain karena pilihannya ternyata tidak sesuai. Kedua tindakan ini termasuk dalam respon perilaku.

Model ini digunakan untuk memperoleh konsistensi antara sikap dan perilakunya, sehingga model Fishbein memiliki dua komponen, yaitu komponen sikap dan komponen norma subyektif. Model sikap Fishbein yang diutarakan oleh Umar (2003;437) adalah sebagai berikut:

AB= ( )( ) 1 ei bi n i

= Keterangan:

AB = sikap total individu terhadap obyek tertentu

bi = kekuatan keyakinan konsumen bahwa obyek memiliki atribut i

ei = evaluasi kepercayaan individu mengenai atribut i n = jumlah kriteria atribut yang relevan

Untuk model maksud perilaku lebih lanjut Umar (2003;437) merumuskan demikian:

B – BI = wi (AB) + w2 (SN)

Keterangan:

B = perilaku

BI = maksud perilaku

AB = sikap terhadap pelaksanaan perilaku B

SN = norma subyektif

w1 - w2 = bobot yang ditentukan secara empiris, menggambarkan pengaruh relatif dari komponen

SN=

= m i 1 (NBj)(MCj) Keterangan: SN = norma subyektif

NBj = keyakinan normatif individu MCj = motivasi konsumen

m = benyaknya referen yang relevan

Dimensi sikap yang dipergunakan dalam penelitian adalah sesuai penelitian Umar Husein (2003;438) yaitu:

a. Desain/bentuk b. Ukuran

c. Kualitas d. Corak warna

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Eryudi (2003) menunjukkan bahwa desain/bentuk, ukuran dan corak warna serta kualitas/mutu berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian.

2.2.4. Equitas Merek

Kekuatan dari sebuah merek sangat bervariasi dan nilai yang dimiliki dalam pasar. Merek yang kuat mempunyai ekuitas merek yang sangat tinggi. Menurut Aaker dalam Umar (2000:424), Brand Equity adalah satu set brand asset dan liability yang berhubungan dengan sebuah merek,

nama, dan simbol yang disediakan sebuah produk atau servis bagi konsumen. Brand equity yaitu aset merek yang mampu menambah atau

Sedangkan ekuitas merek (brand equity) merupakan daya tarik yang ditambahkan kepada pelanggan yang berupa penghargaan kepada sebuah merek produk atau jasa. Nilai sebuah nama merek yang ditambahkan pada suatu produk merupakan gambaran dari ekuitas merek (Killa, 2008 ; Chang et.al., (2008), atau dapat dikatakan bahwa ekuitas merek (Brand Equity) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan

suatu merek, nama, dan simbolnya yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu barang atau jasa kepada perusahaan atau pars pelanggan perusahaan. Menurut Krisjanti (2007), yang menjadi dasar dalam ekuitas merek adalah loyalitas merek, kesadaran nama, kesan kualitas, asosiasi merek sebagai tambahan terhadap kesan kualitas dan asetaset merek lain seperti misalnya paten dan cap. Dengan demikian ekuitas merek yang tinggi akan memberikan keunggulan bersaing bagi suatu merek atau produk.

Merek adalah nama dan/atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu, untuk membedakannya dari barang-barang atau jasa yang dihasilkan kompetitor. Merek dalam pengertian hukum diartikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang mempunyai daya pembeda dan dipergunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Dalam UU No. 14 tahun 1997, diatur bahwa merek tidak boleh

menyerupai nama orang terkenal, foto, nama badan hukum, bendera, dan lambang suatu negara (Shidarta 2000 diacu dalam Savitri, 2003).

Aaker (1997) mengatakan ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitasnya merek yang berhubungan dengan sebuah merek, nama, simbol, yang menambahkan atau mengurangi nilai yang disediakan produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula (Durianto et al., 2004). Aset ekuitas merek pada umumnya menambah atau mengurangi nilai bagi para konsumen. Aset-aset ini biasanya membantu mereka dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian (Aaker, 1997).

Merek dapat memberikan jaminan kualitas bagi konsumen dengan melihat pada level mana identitas merek tertanam di benak konsumennya. Merek yang paling tahan lama adalah merek yang memiliki nilai budaya, dan kepribadian yang tercermin dari merek tersebut. Merek sebenarnya merupakan janji produsen untuk konsisten membeli featur, manfaat, dan jasa tertentu kepada konsumen. Saefulloh (2002) dalam Haerudin (2010) menyatakan bahwa jika suatu merek tidak tersimpan dalam ingatan konsumen, maka merek tersebut tidak akan dipertimbangkan dalam benak

konsumen pada saat pengambilan keputusan pembelian. Biasanya merek yang disimpan dalam ingatan konsumen adalah merek yang disukai atau merek yang dibenci, tetapi konsumen akan cenderung lebih mengingat merek yang disukainya.

Menurut Aaker (1997), ekuitas merek dapat dikelompokkan ke dalam lima katagori: (1) brand awareness (kesadaran merek); menunjukkan kesanggupan sebagai calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari produk tertentu, (2) brand association (asosiasi merek); mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis dan lain-lain, (3) perceived quality (persepsi kualitas); mencerminkan persepsi pelanggan, terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan, (4) brand loyalty (loyalitas merek); mencerminkan tingkat keterikatan dengan konsumen dengan suatu merek, dan (5) other properietary brand assets (aset-aset merek lainnya).

Keempat elemen ekuitas merek di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang ke lima secara langsung dipengaruhi oleh kualitas dari empat

elemen utama tersebut. Konsep mengenai ekuitas merek tersebut dapat dilihat pada gambar 2 yang memperlihatkan lima katagori (loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi kualitas merek, assosiasi merek dan

aset-aset merek lainnya) yang mendasari ekuitas merek dan nilai yang diciptakan ekuitas merek bagi perusahaan maupun pelanggan (Aaker, 1997).

Lebih lanjut Aaker (1997) membedakan lima tingkat sikap pelanggan terhadap merek yang terendah hingga tertinggi, yaitu:

1. pelanggan akan mengganti merek, terutama untuk alasan harga (tidak ada kesetiaan merek);

2. pelanggan puas tidak ada alasan untuk mengganti merek; 3. pelanggan puas dan merasa rugi bila berganti merek;

4. pelanggan yang menghargai merek dan menganggapnya sebagai teman;

5. pelanggan terikat kepada merek.

Kotler (1997) menjelaskan bahwa merek perlu dikelola dengan cermat agar ekuitas merek tidak mengalami penyusutan. Kotler dan Keller, (2007) menguraikan tahapan pokok dalam membangun ekuitas suatu produk yaitu sebagai berikut: Pemunculan Ide, Penyaringan Ide, Pengembangan Produk, Pengujian Pasar/Produk, Analisis Bisnis dan Komersialisasi.

Merek produk yang kuat dan bagus di persepsi konsumen, dikatakan mempunyai brand equity yang tinggi (Santoso, 2001: 234 - 235). Brand Equity mempunyai lima kategori, yaitu:

1. Brand Loyalty (loyalitas merek) 2. Brand Awarness (kesadaran merek)

3. Perceived quality (persepsi kualitas) 4. Brand Associations

5. Other proprietary brand assets (Asset-aset merek lainnya).

Empat elemen brand equity diluar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut.

2.2.5. Pengaruh citr a merek terhadap equitas merek

Citra merek berkaitan dengan kombinasi pengaruh dari asosiasi merek atau lebih khusus, persepsi konsumen mengenai merek tangible dan intangible, menguraikan asosiasi yang unik, kuat dan disukai (Sitinjak dan

Tumpal, 2005) dalam Pantawis (2011). Citra merek (brand image) yang positif dapat meningkatkan ekuitas merek yang diukur melalui intensitas pembelian dan. keinginan membayar harga premium (Sitinjak dan Tumpal, 2005). Sedangkan hasil peneiltian yang dilakukan oleh Hadi dan Sundjoto (2012) menunjukkan bahwa Citra Merek memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap Ekuitas Merek susu cair dalam kemasan Frisian Flag. Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Pantawis (2011) meunjukkan bahwa citra berpengaruh terhadap equitas merek, walaupun pengaruhnya lebih rendah jika dibandingkan dengan pengaruh sikap terhadap ekuitas merek. Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Imarta (2013) menunjukkan hasil bahwa Brand Image berpengaruh signifikan terhadap Ekuitas Merek KFC

Lebih lanjut, citra merek yang unik, kuat dan disukai akan membawa merek berada dalam posisi yang strategis dalam memori konsumen dan hal ini akan meningkatkan ekuitas merek. Chang et.al. (2008) menyatakan bahwa pembentukan ekuitas merek memerlukan merek yang familier dan positif di mata konsumen. Perusahaan harus memperhatikan tentang peningkatan nilai merek dalam pengembangan citra merek. Hasil penelitian Sitinjak dan Tumpal (2005) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara citra merek terhadap ekuitas merek. Berarti semakin tinggi citra merek, maka ekuitas merek juga akan tinggi. Akan tetapi hasil penelitian Woodside dan Walser (2009) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari citra merek terhadap ekuitas merek. Namun demikian secara teoritis, citra merek cenderung berpengaruh secara positip terhadap pembentukan ekuitas merek. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitinjak dan Tumpal (2005) yang melakukan penelitian serupa. Akan hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Woodside dan Walser (2009) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara citra merek terhadap ekuitas merek.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi citra merek, maka ekuitas merek juga akan meningkat. Citra merek berkaitan dengan kombinasi pengaruh dari asosiasi merek atau lebih khusus, persepsi konsumen mengenai merek tangible dan intangible, menguraikan asosiasi yang unik, kuat dan disukai. Citra merek yang unik, kuat dan disukai akan

membawa merek berada dalam posisi yang strategis dalam memori konsumen dan hal ini akan meningkatkan ekuitas merek. Pembentukan ekuitas merek memerlukan merek yang familier dan positif di mata konsumen. Perusahaan harus memperhatikan tentang peningkatan nilai merek dalam pengembangan citra merek. Akan tetapi hasil penelitian Woodside dan Walser (2009) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara citra merek terhadap ekuitas merek,dimana tempat penelitiannya dilakukan di India. Ini karena adanya perbedaan persepsi dibenak konsumen antara persepsi konsumen di Indonesia khususnya di kota Semarang dengan konsumen di India.selain itu kondisi geografis, ekonomi, sosial, serta pelayanannya serta faktor yang lainnya juga berbeda. Hal ini menyebabkan hasil penelitian yang dilakukan Woodside dan Walser (2009) yang menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara citra merek (brand image) terhadap ekuitas merek (brand equity), berbeda dengan hasil penelitian Sitinjak dan Tumpal (2005) yang

menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara citra merek terhadap ekuitas merek. Semakin meningkat citra merek maka semakin meningkat pula ekuitas mereknya.

2.2.6. Pengaruh sikap terhadap ekuitas mer ek

Ketika membeli suatu produk konsumen tidak hanya membeli suatu produk tetapi nilai simbolik yang terkandung di dalam produk tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Leavy dalam Mowen dan Minor, (2002) bahwa orang sering membeli produk bukan untuk manfaat fungsional

tetapi lebih pada nilai simboliknya. Nilai simbolik ini berisi identitas ataupun kepribadian yang dimasukkan produsen kedalam suatu produk atau merek. Selanjutnya nilai simbolik yang terkandung di dalam merek ini lah yang akan dipersepsikan konsumen sebagai citra merek.

Disisi lain bahwa citra yang baik dari sebuah produk dapat membantu konsumen untuk mengambil keputusan pembelian. Atau dengan kata lain, citra yang positif dari sebuah produk pada dasarnya membantu penyederhanaan keputusan konsumen dalam membeli sebuah produk. Dengan bantuan citra positif inilah konsumen dapat mengambil keputusan membeli dan merekomendasikan produk tersebut kepada orang lain.

Sikap merek merupakan evaluasi keseluruhan terhadap merek dalam konteks kualitas dan kepuasan terhadap merek (Sitinjak dan Tumpal, 2005). Chang et.al. (2008) menyatakan bahwa hubungan antara sikap dan kebiasaan konsumen dengan ekuitas merek adalah pangsa pasar dan harga. Dua jalur kepada ekuitas merek adalah secara langsung melalui sikap dan kebiasaan dan yang tidak langsung adalah melalui loyalitas merek. Sikap positif suatu konsumen terhadap merek akan memungkinkan konsumen melakukan pembelian sedangkan sikap negatif akan menghalangi konsumen dalam melakukan pembelian. Dengan demikian tampak jelas bahwa sikap merek berkaitan dengan ekuitas merek, dalam hal ini adalah pangsa pasar.

Hasil penelitian Chang et.al. (2008) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara sikap merek terhadap ekuitas merek. Artinya semakin tinggi sikap konsumen terhadap suatu merek tertentu, maka semakin tinggi pula ekuitas merek. Akan tetapi hasil penelitian Sitinjak dan Tumpal (2005) menunjukkan bahwa sikap merek tidak berpengaruh signifikan terhadap ekuitas merek secara langsung. Sedangkan secara teoritis, sikap merek cenderung berpengauh positif terhadap ekuitas merek. Mengingat hal itu maka dirumuskan

Sikap merek mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ekuitas merek. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chang et.al. (2008) yang melakukan penelitian serupa. Akan tetapi hasil penelitian Sitinjak dan Tumpal (2005) menunjukkan bahwa sikap merek tidak berpengaruh signifikan terhadap ekuitas merek secara langsung. Sikap merek merupakan evaluasi keseluruhan terhadap merek dalam konteks kualitas dan kepuasan terhadap merek. Hubungan antara sikap dan kebiasaan konsumen dengan ekuitas merek adalah pangsa pasar dan harga. Dua jalur kepada ekuitas merek adalah secara langsung melalui sikap dan kebiasaan dan yang tidak langsung adalah melalui loyalitas merek. Sikap positif suatu konsumen terhadap merek akan memungkinkan konsumen melakukan pembelian sedangkan sikap negatif akan menghalangi konsumen dalam melakukan pembelian. Dengan demikian tampak jelas bahwa sikap merek berkaitan dengan ekuitas merek, dalam hal ini adalah pangsa pasar. Dengan demikian, semakin

tinggi sikap konsumen terhadap suatu merek tertentu, maka semakin tinggi pula ekuitas merek. Namun hasil penelitian Sitinjak dan Tumpal (2005) menunjukkan bahwa sikap merek tidak berpengaruh signifikan terhadap ekuitas merek secara langsung. Dengan demikian, penelitian ini mendukung penelitian Chang et.al (2008), Dengan demikian, penelitian ini mendukung penelitian Chang et.al (2008), bahwasanya sikap merek dengan demikian kecenderungannya berpengaruh secara positif terhadap ekuitas merek. Bagi pihak Nokia (khususnya) hal ini menunjukkan adanya kecenderungan Nokia selama ini kurang menaruh perhatian pada sikap para konsumen terhadap produk Nokia, sehingga Ekuitas Merek Nokia ada kemungkinan dipersepsikan kalah dengan pesaingnya sehingga Ekuitas Merek Nokia mengalami penurunannya dan pada akhirnya potensial terjadi brand switching ke merek lain. Hal inilah yang berpotensi menurunkan market share Nokia.

2.3.Kerangka Konseptual

Dokumen terkait