TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Pangkalpinang
2.4. Bioekologi Nyamuk Anopheles 1. Jenis Karakteristik Habitat
2.4.2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles
Siklus hidup nyamuk pada umumnya mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa serta menyelesaikan daur hidupnya selama 7-14 hari. Tahapan ini dibagi ke dalam dua perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air (akuatik) dan di daratan (terestrial) (Foster dan Walker 2002). Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan akuatik ke lingkungan teresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya secara komplit di lingkungan akuatik. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyamuk, terutama masa jentik (larva) dan pupa (Gambar 2).
Telur nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu
persatu di dalam air atau bergerombolan tetapi saling melepas. Telur Anopheles
mempunyai alat pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2-3 hari. Pertumbuhan larva berlangsung sekitar 7-20 hari tergantung suhu. Selain itu pertumbuhan larva juga dipengaruhi nutrien dan keberadaan predator (Service dan Thowson 2002).
Larva sering ditemukan pada kumpulan air yang dangkal. Pada umumnya
Anopheles menghindari air yang tercemar polusi, hal ini berhubungan langsung dengan kandungan oksigen dalam air. Selain itu, terdapat hubungan antara kepadatan larva dengan predator, seperti ikan pemakan larva dan lain-lain. Larva
Anopheles ada yang senang sinar matahari (heliofilik), tidak senang matahari (heliofobik) dan suka hidup di habitat yang terlindung dari cahaya matahari
(shaded). Jenis air pun memiliki peranan yang cukup penting. Larva Anopheles
lebih menyukai air yang mengalir tenang ataupun tergenang. Peningkatan suhu
akan mempengaruhi tingkat perkembangan dan distribusi larva. Larva Anopheles
berada dipermukaan air supaya bisa bernafas melalui spirakel.
Kepompong (pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan akuatik dan tidak memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-alat tubuh nyamuk seperti alat-alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada nyamuk jantan antara 1-2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
ini berkisar 25–27 °C. Pada stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2-4
hari (O’Connor dan Soepanto 1981 ) .
Tempat perindukan vektor merupakan tempat yang dipergunakan oleh
nyamuk Anopheles untuk berkembang biak untuk memulai proses siklus hidupnya
hingga menjadi nyamuk (Foster dan Walker 2002). Jenis air yang dimanfaatkan
untuk perkembangbiakan Anopheles berbeda-beda. Beberapa habitat larva dapat
hidup di kolam kecil, kolam besar dan genangan air, yang bersifat sementara atau
di rawa-rawa yang permanen. Walaupun sebagian besar Anopheles hidup di
habitat perairan tawar, tetapi ada beberapa spesies Anopheles berkembang biak di
Gambar 2 Siklus hidup nyamuk Anopheles (Sumber :WHO 1997)
Aktifitas manusia banyak menyediakan terjadinya tempat perindukan yang cocok untuk pertumbuhan vektor malaria, seperti genangan air, selokan, cekungan-cekungan yang terisi air hujan, sawah dengan aliran air irigasi. Jenis
perindukan ini merupakan tempat koloni vektor malaria seperti An. gambie dan
An. arabiens di Afrika, An. culicifacies dan An. subpictus di India, An. sinensis di
Cina, serta An. aconitus di banyak negara Asia Tenggara ( Services dan Towson
2002).
Menurut Takken dan Knols (2008), tempat perindukan vektor dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe permanen (rawa-rawa, sawah non teknis dengan aliran air gunung, mata air, kolam) dan tipe temporer (muara sungai tertutup pasir di pantai, genangan air payau di pantai, genangan air di dasar sungai waktu musim kemarau, genangan air hujan dan sawah tadah hujan rawa-rawa). Faktor faktor
yang berhubungan dengan perindukan larva Anopheles antara lain vegetasi
BAB 3
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dan April-Mei 2012 di bekas galian timah (kolong) yang ada di tiga kecamatan di Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung serta di laboratorium Entomologi Kesehatan FKH IPB.
3.2. Metode
3.2.1. Pengumpulan Larva
Pengumpulan larva dilakukan dengan cara penyidukan larva nyamuk di suatu titik yang ada di sekitar bekas galian. Penyidukan dilakukan menggunakan cidukan yang terbuat dari plastik dengan gagang panjang yang memiliki volume 500 ml. Penyidukan dilakukan di 3-4 titik dengan sepuluh kali cidukan setiap titik. Kolong yang diperiksa adalah 30% dari semua kolong yang ada dan hanya dilakukan dari kolong yang terjangkau, sedangkan kolong yang tidak terjangkau tidak diamati karena berada di tengah hutan sehingga sulit diamati.
Larva yang ditemukan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi alkohol 70%. Hal ini dilakukan untuk mematikan larva dan menjaga bentuk larva agar tidak cepat hancur. Kemudian larva dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
3.2.2. Identifikasi Larva
Untuk mempermudah identifikasi larva maka spesimen larva yang ditemukan dibuat sediaan preparat. Tahapan pembuatan slide preparat yang pertama adalah spesimen larva dimatikan dengan alkohol 70%, kemudian dibilas air biasa lalu dimasukkan dalam larutan KOH 10% di atas api untuk penipisan kitin. Spesimen kemudian dibilas dengan air 2-3 kali, jika abdomen larva mengembung dapat ditusuk dengan jarum halus, kemudian ditekan perlahan menggunakan kuas sampai isi abdomen bersih. Tahapan selanjutnya dehidrasi dengan alkohol bertingkat dari 40- 60%, lama setiap fase perendaman 10 menit.
Selanjutnya penjernihan (clearing) dilakukan dengan merendam spesimen di
dalam minyak cengkeh 60% selama 15-30 menit.
Pencucian lemak dari specimen menggunakan xylol, pencucian pertama
akan berkabut, kemudian diganti dengan larutan xylol yang baru, dilakukan
dengan media canada balsam, diteteskan 2-3 tetes, spesimen diletakkan di tengah
media canada balsam sambil diatur posisi larva agar tetap rapi, diusahakan tidak
ada bagian tubuh yang terputus. Sebelumnya xylol dioleskan pada cover glass
sebelum digunakan untuk menutup spesimen, kemudian diletakkan perlahan-lahan
di atas spesimen. Selanjutnya dilakukan pengeringan spesimen di dalam warmer
1-2 hari dan dilakukan pelabelan serta penyimpanan. Setelah pembuatan preparat
selesai, identifikasi larva dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan FKH
IPB dengan kunci identifikasi larva Anopheles spp. (O’Connor dan Soepanto
1989) atau dengan mencocokkan spesimen yang sudah ada di laboratorium Entomologi Kesehatan.
3.2.3. Pengukuran Karakteristik Habitat
Karakteristik habitat yang diamati adalah luas bekas galian timah, kekeruhan air, dasar habitat, pengukuran suhu air (dengan termometer), kadar pH (dengan menggunakan kertas lakmus), salinitas (menggunakan Salinometer), keberadaan tanaman air di pinggir kolong (seperti enceng gondok, kantung semar), keberadaan predator larva (ikan, kecebong, dll), dan umur bekas galian (wawancara).
Luas kolong dihitung dengan cara perkiraan atau estimasi panjang dan lebar kolong tersebut dalam satuan meter. Tingkat kekeruhan air kolong dibedakan menjadi tiga, yaitu jernih, kuning (keruh), dan coklat (sangat keruh). Adapun penentuan dasar habitat dilakukan dengan melihat komponen dasar dari kolong yang diperiksa, yaitu tanah, pasir atau lumpur. Contoh dasar air diambil dengan cidukan atau dapat melakukan pengamatan visual bila genangan air jernih.
Suhu air dihitung dengan menggunakan termometer raksa dengan nilai
maksimal 100 °C. Perhitungan suhu dengan cara mencelupkan termometer ke
dalam air kolong yang diperiksa kurang lebih 5 menit. Pembacaan hasil pengukuran dengan melihat batas kenaikan air raksa pada skala pengukuran yang tertera pada termometer. Pengukuran parameter pH menggunakan kertas lakmus. Kertas lakmus dicelupkan ke dalam air kolong yang diperiksa, kemudian warna yang muncul dibaca pada tabel warna pH.
Salinitas air diukur menggunakan hand refractometer. Hasil pengukuran
tanaman dilihat dengan pengamatan visual berupa alga, lumut, dan tanaman pada permukaan. Adapun pemeriksaan keberadaan predator larva dilakukan dengan penangkapan predator menggunakan cidukan, kemudian diidentifikasi. Predator larva nyamuk antara lain ikan kecil, udang kecil, berudu, dan larva capung.
3.3. Pengumpulan Data
Beberapa data diperlukan untuk menunjang hasil penelitian seperti data cuaca dan data kasus malaria di Kota Pangkalpinang. Data cuaca diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Pangkalpinang. Data yang diambil adalah data curah hujan tahun 2008 - 2011. Adapun data kasus malaria yang terjadi pada tahun 2008-2011 diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang.
3.4. Analisis Data
Data karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp.
dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Adapun
data nilai angka kesakitan malaria atau annual parasite incidence (API) dan
indeks curah hujan dilakukan uji analisis regresi linear. Pengukuran kepadatan
larva Anopheles spp. dalam setiap jenis habitat dihitung dengan cara
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Jenis dan Kepadatan Larva Anopheles spp.Dari 14 habitat potensial yang diperiksa terdapat satu habitat positif
ditemukan larva Anopheles dengan kepadatan 0.5 larva/cidukan. Habitat ini
terdapat di Kecamatan Gabek dengan karakteristik pH 4.5, suhu 30.1 °C, dan
salinitas 0‰. Larva Anopheles yang ditemukan berkembangbiak di air jernih.
Selain itu, ditemukan juga ikan yang berpotensi menjadi predator larva serta tanaman air seperti rumput dan alga. Adapun kedalaman habitat ditemukannya
larva Anopheles adalah 0.5 m, dengan lokasi di tepi habitat yang mempunyai
kedalaman 5-20 cm (Tabel 1 dan 2). Tiga belas habitat potensial lainnya tidak
ditemukan larva Anopheles spp. Hujan yang disertai panas pada bulan April-Mei
saat ditemukan larva mengakibatkan perkembangbiakan larva Anopheles
meningkat, sedangkan pada bulan Juli-Agustus tidak ditemukan larva. Hal ini kemungkinan akibat pengaruh musim kemarau yang terjadi sehingga larva
Anopheles sulit ditemukan.
Dari lima larva Anopheles yang ditemukan semuanya merupakan jenis An.
letifer. Namun larva An. letifer yang dapat dijadikan sedian preparat hanya satu larva dengan ciri-ciri jarak antara pangkal bulu klipeus dalam berdekatan, cabang bulu antena melebihi tebing batang serta ujung antena yang runcing (Gambar 3A).
Larva An. letifer memiliki abdomen tanpa bulu kipas atau hanya pada dua sampai
tiga ruas abdomen saja. Bentuk bulu kipas pada larva ini tidak sempurna (Gambar 3B, 3C).
Menurut Hodgkin (1950) tempat perindukan An. Letifer ditemukan di
dataran dekat pantai dengan kondisi air yang tergenang dan terdapat tumbuhan
disekitarnya. Larva An. letifer sangat intoleran terhadap kadar garam air, tidak
pernah ditemukan pada kondisi salinitas air lebih dari 3‰. Hal ini sesuai dengan
keadaan habitat ditemukannya larva Anopheles di Pangkalpinang yaitu terdapat
tumbuhan di sekitar kolong dengan kondisi air tergenang dan salinitas 0‰. An.
letifer merupakan vektor utama penyakit malaria di Pangkalpinang saat ini dan
merupakan vektor paling penting dari kelompok umbrosus, karena tempat
ditemukan An. sundaicus dan An. nigerrimus sebagai vektor penyakit mlaria (Dinkes 2011).
Gambar 3 Morfologi larva An. letifer. Bulu klipeus dan cabang bulu antena di
kepala An. letifer 10x (A), Bulu kipas pada abdomen ruas III-IV larva
An. letifer 40x (B), Bulu kipas pada abdomen ruas IV larva An. letifer
40x (C), Abdomen ruas III-V larva An. letifer (D), Toraks larva An.
letifer bagian dorsal (E), Ujung abdomen larva An. letifer bagian dorsal (F).
A B
C D
4.2. Jenis Habitat Potensial Perkembangbiakan larva Anopheles spp.
Pulau Bangka merupakan suatu pulau penghasil timah di Indonesia. Seiring banyaknya masyarakat yang membuka lahan timah secara ilegal menyebabkan terbentuknya lubang bekas penambangan timah seperti kolam atau danau (lubang
camuy). Kolam atau danau bekas penambangan dikenal dengan sebutan kolong.
Kolong pasca penambangan timah telah terjadi sejak penambangan timah dimulai, dan tersebar di beberapa kecamatan. Kolong tersebut tidak dimanfaatkan dan
direklamasi sehingga berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan nyamuk.
Jenis habitat potensial nyamuk Anopheles spp. yang diamati di Kota
Pangkalpinang sebanyak 14 kolong. Habitat ini tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bukit Intan, Kecamatan Gerunggang dan Kecamatan Gabek. Pada Kecamatan Bukit Intan terdapat sepuluh kolong, yaitu delapan di Desa Air Itam dan dua di Desa Air Mangkok (Gambar 4). Kecamatan Gerunggang terdapat tiga kolong yang berada di Desa Kacang Pedang (Gambar 5). Adapun di Kecamatan Gabek hanya satu kolong, yaitu di Desa Selindung (Gambar 6). Habitat yang ditemukan mempunyai ukuran yang bervariasi dari kecil sampai besar.
Kecamatan Bukit Intan memiliki kolong paling banyak dari pada Kecamatan Gerunggang dan Kecamatan Gabek. Hal ini karena di Kecamatan Bukit Intan masih banyak memiliki lahan kosong sehingga banyak masyarakat yang membuka lahan tambang secara ilegal di daerah tersebut. Kolong-kolong yang terdapat di Kota Pangkalpinang pada umumnya terletak tidak jauh dari pemukiman penduduk, ± 0.5-2 km. Masyarakat selain melakukan aktifitas menambang juga menggunakan kolong untuk mandi dan mencuci. Aktifitas masyarakat inilah yang berpotensi meningkatkan penularan penyakit malaria.
Gambar 4 Habitat potensial larva Anopheles (kolong) di Kecamatan Bukit Intan.
Kolong di Desa Air Itam (A-H), Kolong di Desa Air Mangkok (I-J)
A B
C D
E F
G H
Gambar 5 Habitat potensial larva Anopheles (kolong) di Kecamatan Gerunggang.
Kolong di Desa Kacang Pedang (A-C).
Gambar 6 Habitat potensial larva Anopheles (kolong) di Kecamatan Gabek, Desa
Selindung.
4.3. Karakteristik Habitat Potensial Perkembangbiakan Larva Anopheles