• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 PEMBAHASAN

4.3 Dinamika Perkembangan Pertanian Kopi

4.3.2 Siklus Panen Kopi

Tanaman kopi memiliki siklus waktu dalam menuai hasil panennya. Petani kopi di Desa Garahan menyatakan apabila dalam tahun ini buahnya lebat, maka tahun berikutnya buahnya akan cenderung berkurang, dan tahun berikutnya lagi baru lebat lagi. Dengan kondisi demikian, petani kopi memahami resiko yang mereka hadapi. Memang dengan hasil panen yang cenderung menurun ini, belum tentu berdampak pada meningkatnya harga. Karena harga kopi ditentukan oleh para tengkulak dengan mengikuti harga internasional, karena kopi merupakan komoditas ekspor. Bapak Aminullah menyatakan:

“tanaman kopi itu ada siklus panennya, yaitu kalau tahun ini lebat, maka tahun depan akan cenderung menurun. Karena ranting yang sudah dibuahi dengan lebat itu akan terhambat pada pembuahan berikutnya. Baru tahun

depannya lagi bisa lebat lagi.”

Petani kopi sendiri merasa lebih khawatir akan hasil panen yang sedikit walaupun dengan kemungkinan harga yang tetap meningkat. Mereka merasa lebih tenang apabila hasil panennya melimpah. Petani kopi mengaku ada kepuasan tersendiri saat hasil panen kopi mereka melimpah, walaupun belum tentu harganya juga akan naik, karena permasalahan harga tidak bisa diprediksi, sedangkan mengenai hasil panen sudah pasti terlihat jelas. Seperti diungkapkan Bapak Mudhar:

“memang itu siklus dari tanaman kopi, tapi tetap saja petani merasa lebih

tidak tenang dengan buah kopi yang tidak lebat yang mengakibatkan hasil panen juga berkurang. Apalagi dengan tidak adanya jaminan akan harga yang akan lebih baik saat hasil panen berkurang. Juga Ada rasa kepuasan

tersendiri kalau hasil panen melimpah.”

Setelah musim panen raya kopi tiba, para petani kopi di Desa Garahan berbondong-bondong memanen tanaman kopi mereka. Ada yang dijual

gelondonganatau dengan model tebasan, yaitu menjual buah kopi dengan beserta kulitnya langsung dari kebun kopi. Ada juga yang menjual dengan dikupas dan dikeringkan terlebih dahulu. Sebagian petani kopi menilai, menjual kopi dengan dikupas dan dikeringkan lebih dahulu memberikan lebih banyak hasil, namun masih memerlukan tenaga dan waktu tambahan dari para petani kopi sendiri. Sedangkan apabila dijual dengan model tebasan, maka biaya panen ditanggung oleh pembeli.

Pendapatan dari usaha pertanian kopi memang relatif, tergantung luas lahan tanaman kopi. Dijelaskan sebelumnya bahwa lahan tanaman kopi milik petani di Desa Garahan kebanyakan lebih dari 2 hektare, sedangkan luas tanaman kopi dari informan dalam penelitian ini paling sedikit 3 hekater. Dengan mekanisme tebasan, maka satu hektare tanaman kopi bisa dijual dengan harga Rp 23 Juta sampai Rp 27 Juta. Jadi, dengan luas tanaman kopi 3 hektare saja, petani bisa memperoleh pendapatan antara Rp 69 Juta sampai Rp 81 Juta.

Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan perawatan menurut para petani berkisar antara Rp 3,5 Juta sampai Rp 4 Juta per hektare. Dengan demikian, petani kopi masih memiliki keuntungan sampai Rp 24 juta dalam satu hektare tanaman kopi mereka dalam satu tahun. Kebutuhan sehari-hari atau kebuthan primer menurut petani berada pada angka Rp 50 ribu. Seperti diungkapkan Bapak Hairun:

“kalau kebutuhan dapur (makan) dan pendidikan anak sehari-hari paling tidak Rp 50 ribu mas. Itu dulu yang kami utamakan, kalau ada lebihnya kan bisa untuk belanja kebutuhan yang lain. Terutama pada saat panen raya kopi.”

Kebutuhan ada yang dapat diprediksi dan ada juga yang tidak dapat diprediksi. Kebutuhan sehari-hari para petani itu apabila harga bahan kebutuhan dapur (makanan) relatif stabil. Tidak ada kenaikan harga yang cukup signifikan. Seperti juga dungkapkan Bapak Yatim:

“harga barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, minyak dan lain-lain itu juga tidak menentu mas. Kalau harganya relatif stabil, maksudnya tidak ada kenaikan yang tinggi, mungkin sehari butuh sekitar Rp 50 ribu saja untuk belanja dapur. Memang pastilah itu dulu yang kami utamakan. Keuntungan usaha pertanian kopi para petani bisa mencapai Rp 24 Juta per hektare dalam satu tahun, sehingga untuk petani kopi yang memiliki lahan tanaman kopi seluas 3 hektare saja bisa mendapatkan keuntungan Rp 72 Juta dalam satu tahun. Sementara kebutuhan sehari-hari mereka sebanyak Rp 50 ribu, sehingga dalam satu tahun hanya sekitar Rp 18 Juta. Dengan pendapatan tersebut, petani masih saya berhutang kepada tengkulak, seperti untuk biaya perawatan tanaman kopi mereka.

Selain kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan dapur, kebutuhan utama lainnya para petani kopi adalah kebutuhan perawatan. Baru kebutuhan diluar kebutuhan tersebut, atau bisa dikatakan kebutuhan sekunder. Kebutuhan perawatan tanaman kopi yang hampir tidak pernah terputus selama satu tahun ini menjadi tantangan tersendiri bagi para petani kopi, sehingga petani lebih

mengedepankan membeli barang kebutuhan sekunder lebih dahulu. Bapak Mudhar:

“perawatan tanaman kopi itu kan tidak ada berhentinya. Kalau nunggu

selesai perawatan jelas tidak mungkin. Makanya sembari melakukan perawatan tanaman kopi, biar pendapatan dari usaha kopi ini terlihat ya dibelikan barang-barang seperti sepeda motor atau kalau untuk istri ya dibelikan perhiasan dulu.

Kalau di kemudian hari membutuhkan tambahan modal untuk biaya perawatan, bisa meminjam terlebih dahulu bisa kepada tengkulak atau ke bank. Pilihan lainnya menjual barang-barang yang sebelumnya di beli. Bapak Yatim mengatakan:

“kalau berkaitan dengan meminjam atau menjual apa yang ada dulu apabila dibutuhkan sewaktu-waktu, terutama untuk perawatan tanaman kopi ya tidak masalah. Kan kita sudah sempat menikmati barang yang sudah dibeli, kalau untuk hutang ya nunggu musim panen baru dibayar. Kebutuhan sekunder seperti membeli sepeda motor atau bahkan tersier seperti perhiasan dan lain sebagainya. Ini yang menjadi pengeluaran petani dengan jumlah yang cukup besar. Sehingga pada waktu-waktu tertentu, mereka tetap berhutang kepada tengkulak, terutama untuk melakukan perawatan tanaman kopi.

Dokumen terkait