• Tidak ada hasil yang ditemukan

Silsilah Resaseputra

SILSILAH TOKOH – TOKOH WAYANG

4.2 Silsilah Bharata

4.2.10 Silsilah Resaseputra

Wisrawa Dewi Sukesi

(Putra ke dua): Kumbakarna Dewi Kiswani

Aswanikumba Kumbaaswani Kumbakinumba

Wangsatanu Wangsajalma Kalakirna Sumaliwati Werka

Pujawati Narasuma (Styawati)

Erawati Surtikanti Banuwati

(Sumber: Buku Layang Kandha Kelir versi Jawa Timuran)

BAB V

SUMBER CERITA

5.1 Sumber Cerita

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ada penye-lenggaraan seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, dapat

dipasti-kan si dalang adipasti-kan menceritadipasti-kan lakon tentang Rama, Sinta,

Rah-wana atau Pandawa dan Kurawa. Hal ini menyatakan bahwa sumber cerita wayang kulit purwa Jawa adalah mengambil dari epos Rama-yana dan Mahabharata. Kedua epos ini berupa buku yang dibawa oleh orang-orang Hindu masuk ke bumi Indonesia sekitar abad ke-5.

Sampai sekarang cerita Ramayana dan Mahabharata ini sangat populer di hati masyarakat Indonesia, terlebih di hati para da-lang. Cerita Ramayana dan Mahabharata ini benar-benar dihayati sampai detail.

Karena buku ini dibawa orang Hindu aliran Siwa, maka to-koh pewayangan Batara Siwa atau Batara Guru diabadikan oleh pa-ra dalang Jawatimupa-ran dengan capa-ra diletakkannya tokoh tersebut di atas simpingan di sebelah kanan dalang. Demikian juga pada sim-pingan kiri dalang, di atasnya diletakkan tokoh Batari Candika atau Dewi Maut yaitu Durga yang merupakan saktinya Batara Siwa. Da-lam falsafah Jawa, saktinya sama dengan istinya.

Perlu dijelaskan keterkaitan pengabdian kedua tokoh yaitu Siwa dan Durga dalam pewayangan Jawatimuran masih tersambung dengan pernyataan adanya tokoh Semar dan Bagong yang sebelum pertunjukan dimulai telah ditancapkan di tengah-tengah layar wa-yang kulit(jagadan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pada ha-kekatnya keempat tokoh yaitu Siwa, Durga, Semar, dan Bagong adalah satu, yaitu sebagai manifestasi Sang Hyang Maha Tunggal dalam mengelola karya AgungNya. Siwa dan Durga sebenarnya adalah satu artinya suami isteri adalah dua yang menjadi satu. Se-mar dalam menjalankan karyanya menginginkan pasangan sehingga ia mencari teman. Kemudian mencipta bayangannya sendiri dan muncullah Semar bayangan yang dinamakan Bagong. Jadi Semar dan Bagong sebenarnya adalah satu. Semar sama saja dengan Ba-gong, Bagong tidak berbeda dengan Semar.

Tokoh Semar sering juga disebut Batara Ismaya adalah saudara tua Batara Siwa yang juga bernama Batara Manikmaya dari Buah Karya Sang Bapa Sang Hyang Maha Tunggal (Jawatimuran: Sang Hyang Wenang). Buah karya Sang Hyang Maha Tunggal selu-ruhnya ada tiga, yaitu Sang Hyang Punggung yang disebut Togog, Sang Puguh atau Sang Hyang Ismaya yang disebut Semar dan

Sang Hyang Siwa atau Sang Hyang Manikmaya yang disebut Batara Guru. Dalam pemberian hak kewenangan, Sang Hyang Maha Tung-gal bersabda kepada ketiga puteranya ”Heh sira puteraku sakatelune pisan, sejatine sira iku ingsun, ingsun iku sira.”

Apa yang disabdakan sebenarnya merupakan pernyataan bahwa mereka adalah satu, Sang Hyang Tunggal tidak berbeda de-ngan mereka. Jika demikian Semar sama dede-ngan Batara Siwa. Jika Batara Guru tidak berbeda dengan Semar, maka dapat disimpulkan bahwa Siwa, Durga, Semar, dan Bagong pun adalah tokoh yang sa-tu yang tidak berbeda dengan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang yang menciptakan dunia seisinya.

Sekarang kita tengok kembali tokoh Semar dan Bagong

yang ditancapkan pada jagadan bagian tengah, yang kedua

muka-nya ditutup dengan gunungan (kayon) dan masing-masing

merang-kul kayon. Hal ini melambangkan bahwa Sang Hyang Maha Tunggal (Maha Wenang/Kuasa) masih diam, belum bekerja. Sang Maha

Ku-asa (Tuhan) belum melakonkan kehidupan. Dunia masih sepi, sunyi

belum ada hidup, belum terang, masih gelap, belum ada gerak. Setelah sang dalang menduduki tempatnya, ia akan

men-ceritakan lakon melalui medium wayang. Ini sebuah lambang bahwa

Sang Hyang Maha Kuasa (Tuhan) mulai menceritakan hidup dan ke-hidupan manusia di dunia fana ini.

Pendapat ini agak berbeda sedikit dengan pendapat Ki da-lang Suleman, seorang dada-lang senior dari desa Karang Bangkal, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau berpendapat bahwa gambar Semar dan Bagong sebagai Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Kuasa yang diam tetapi mengintip (nginjen) dunia yang akan dihi-dupkan. Kemudian gambar Batara Siwa dan Batari Durga, Ki Sule-man menafsir bahwa kedua-duanya adalah yang satu dan yang menciptakan alam raya sedang meneliti dan melihat kondisi ciptaan-Nya. Bandingkan dengan kitab Purwaning Dumadi dalam Kitab Suci (alkitab) umat Kristen, “Ing dina kang kapitu bareng Gusti Allah wus mungkasi pakaryane anggone yeyasa, ing dina kang kapitu banjur kendel anggone karya samubarang kang wus kayasa iku” ( Purwa-ning Dumadi 2:2).

Tentang penciptaan ini, bandingkan pula dengan kitab

Am-biya dalam Kapustakaan Jawa tulisan Prof. Draden RM. Ng.

Purbo-caroko, ”Tatkala Tuhan mulai menciptakan dunia, mula-mula dicipta-kan cahaya, kemudian kentallah cahaya itu menjadi ratna lalu menja-di air dan buih, buih itulah yang kemumenja-dian menjamenja-di langit yang tujuh” (Kapustakaan Jawa hal 140).

Dengan berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka

pe-nancapan wayang Semar dan Bagong di tengah jagadan dan Batara

Guru serta Durga pada simpingan kanan dan kiri dalam seni pertun-jukan wayang Jawatimuran merupakan akulturasi budaya Jawa Hin-du yang perlu dilestarikan. Termasuk cerita Ramayana dan

Maha-bharata perlu dikembangkan dengan motivasi melalui seni pertunjuk-an waypertunjuk-ang kulit purwa dpertunjuk-an waypertunjuk-ang wong ypertunjuk-ang kini perlu dibpertunjuk-angun.

Pada pedalangan Jawa buku Ramayana dan Mahabharata yang sering disebut sebagai pakem cerita, telah membuat para da-lang merasa kurang pas apabila sebuah tontonan wayang kulit pur-wa dalam sajiannya tidak menggunakan salah satu di antara kedua cerita itu. Akhirnya kitab Ramayana dan Mahabharatalah yang meru-pakan sumber ceritanya.