• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada BAB 4, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat mengambangkan kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematematis lebih baik bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk kecerdasan emosional mahasiswa pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional memberikan hasil yang tidak berbeda. Secara rinci dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil analisis data diketahui kualitas peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PBL maupun PKV secara keseluruhan terkategori rendah. Pada PT level tinggi mahasiswa yang belajar menggunakan PBL dengan KAM tinggi dan sedang memiliki peningkatan KPM yang terkategori sedang, sementara mahasiswa KAM rendah memiliki peningkatan KPM terkategori rendah. Sama halnya mahasiswa yang belajar dengan PKV untuk KAM tinggi dan sedang juga memiki peningkatan KPM yang terkategori sedang, dan mahasiswa KAM rendah memiliki kualitas peningkatan KPM terkategori rendah. Untuk PT level sedang mahasiswa yang belajar dengan PBL maupun PKV secara keseluruhan memiliki peningkatan KPM terkategori rendah untuk semua kategori KAM.

2. KAM berpengaruh dalam mengembangkan KPM mahasiswa baik pada PT level tinggi, PT level sedang maupun gabungan ke dua level PT. Pada PT level tinggi peningkatan KPM mahasiswa dengan KAM tinggi dan KAM sedang lebih baik dibandingkan peningkatan KPM mahasiswa dengan KAM rendah. Sedangkan untuk mahasiswa dengan KAM tinggi dan KAM sedang tidak memberikan perbedaan yang berarti. Hal yang sama juga terjadi pada PT level sedang dan gabungan ke dua level PT. 3. Secara deskriptif umumnya peningkatan KPM mahasiswa yang belajar

melalui PBL lebih baik dari peningkatan KPM mahasiswa yang belajar menggunakan PKV. Namun secara statistik, pada gabungan kedua level PT peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PBL tidak berbeda secara signifikan dengan peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PKV. Hal yang sama juga terjadi pada PT level sedang tidak terdapat perbedaan peningkatan KPM mahasiswa yang belajar dengan PBL dan PKV. Pada PT level tinggi peningkatan KPM mahasiswa yang belajar menggunakan PBL lebih baik dari peningkatan KPM mahasiswa yang belajar menggunakan PKV.

4. Peningkatan KPM mahasiswa PT level tinggi lebih baik bila dibandingkan peningkatan KPM mahasiswa pada PT level sedang

5. Tidak terdapat interaksi antara KAM dan pembelajaran dalam meningkatkan KPM mahasiswa

6. Tidak terdapat interaksi anatara KAM dan level PT dalam meningkatkan KPM mahasiswa

7. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan level PT dalam meningkatkan KPM mahasiswa

8. Tidak terdapat interaksi antara KAM, pembelajaran dan level PT terhadap peningkatan KPM mahasiswa

9. Dikaitkan dengan level penalaran menurut Biggs dan Collis, mahasiswa PT level tinggi yang belajar dengan PBL cenderung memiliki level penalaran multistruktural menuju relational. Sedangkan mahasiswa yang belajar dengan PKV sebagian besar masih berada pada level prestructural. Pada PT level sedang mahasiswa yang belajar dengan PBL cenderung memiliki level penalaran unistructural mendekati multistructural. Sementara mahasiswa yang belajar dengan PKV, sebagian besar masih berada pada level prestructural.

10. Kualitas peningkatan KKM mahasiswa yang belajar menggunakan PBL secara keseluruhan terkategori sedang, sementara mahasiswa yang belajar dengan PKV terkategori rendah. Pada PT level tinggi peningkatan KKM mahasiswa yang belajar dengan PBL untuk KAM tinggi dan sedang terkategori sedang, sementara mahasiswa KAM rendah memiliki peningkatan KKM terkategori rendah. Untuk mahasiswa yang belajar dengan PKV peningkatan KKM mahasiswa KAM tinggi terkategori sedang, sementara mahasiswa dengan KAM sedang dan KAM rendah memiliki peningkatan KKM tergolong rendah. Pada PT level sedang peningkatan KKM mahasiswa yang belajar menggunakan PBL dengan KAM tinggi terkategori sedang, mahasiswa

KAM sedang dan KAM tinggi memiliki peningkatan KKM terkategori rendah. Sementara mahasiswa yang belajar dengan PKV memiliki peningkatan KKM terkategori rendah untuk semua kategori KAM. 11. Secara keseluruhan dan pada PT level tinggi KAM berpengaruh dalam

meningkatan KKM mahasiswa, tetapi pada PT level sedang KAM tidak berpengaruh terhadap peningkatan KKM. Berdasarkan uji lanjut secara keseluruhan maupun pada PT level tinggi mahasiswa KAM tinggi dan KAM sedang memiliki peningkatan KKM yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa dengan KAM rendah. Sementara mahasiswa KAM tinggi dan KAM sedang memiliki peningkatan KKM yang perberbedaannya tidak berarti pada taraf kepercayaan yang ditetapkan (95%).

12. Peningkatan KKM mahasiswa yang belajar dengan PBL baik secara keseluruhan, pada PT level tinggi, dan pada PT level sedang lebih baik dibandingkan peningkatan KKM mahasiswa yang belajar dengan PKV. 13. Peningkatan KKM mahasiswa pada PT level tinggi lebih baik

dibandingkan peningkatan KKM mahasiswa pada PT level sedang. 14. Tidak terdapat interaksi antara KAM dan pembelajaran dalam

meningkatan KKM mahasiswa

15. Tidak terdapat interaksi antara KAM dan level PT dalam meningkatan KKM mahasiswa

16. Tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan level PT dalam meningkatan KKM mahasiswa

17. Tidak terdapat interaksi antara KAM, pembelajaran dan level PT dalam meningkatan KKM mahasiswa

18. Meskipun peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis lebih baik untuk pembelajaran berbasis masalah, tetapi capaian mahasiswa pada kedua kemampuan itu masih kurang dari 50 % skor ideal. Kondisi ini merupakan dampak dari kebiasaan mahasiswa yang hanya dihadapkan pada soal-soal yang bersifat rutin.

19. Peningkatan KE mahasiswa pada PT level tinggi, PT level sedang maupun secara keseluruhan terkategori rendah baik yang belajar dengan PBL maupun yang belajar dengan PKV. Meskipun demikian peningkatan ini secara statistik cukup berarti.

20. Pada PT level tinggi dan PT level sedang tidak terdapat perbedaan yang berarti terhadap peningkatan KE mahasiswa yang belajar dengan PBL maupun PKV. Tetapi secara keseluruhan peningkatan KE mahasiswa yang belajar dengan PBL lebih baik dibandingkan peningkatan KE mahasiswa yang belajar dengan PKV.

B. Implikasi

Fokus dari penelitian ini adalah peningkatan kemampuan penalaran matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan kecerdasan emosional mahasiswa melalui pembelajaran berbasis masalah. Penalaran akan terjadi jika ada konflik kognitif dalam pikiran mahasiswa. Dalam pembelajaran berbasis

masalah konflik kognitif dapat terjadi ketika mahasiswa dihadapkan pada masalah diawal proses pembelajaran. Ketika dihadapkan pada masalah,mahasiswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah yaitu, (1) menggali semua informasi yang ada dalam masalah dengan menjawab pertanyaan tentang apa yang diketahui dalam soal, apa yang diperlukan dan apa yang harus dilakukan; (2) membuat beberapa pertanyaan matematika yang mungkin untuk mengarahkan dalam menjawab permasalahan; (3) membuat berbagai alternatif solusi berdasarkan pertanyaan matematika pada langkah sebelumnya; dan (4) memeriksa kembali dan memutuskan untuk memilih jawaban yang paling tepat (membuat kesimpulan atau refleksi).

Melalui konflik kognitif yang terjadi ketika dihadapkan pada masalah-masalah autentik, mahasiswa melakukan kebiasaan-kebiasaan berpikir matematis yang terpola secara sistematis dan mengaitkan masalah yang akan diselesaikan dengan pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget yang menyebutkan, pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi peserta didik membentuk pengetahuannya sendiri melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi terjadi apabila struktur pengetahuan baru dibentuk berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Hal ini terjadi dalam PBL ketika mahasiswa dihadapkan pada masalah dan berusaha menggali informasi yang terkandung dalam masalah yang diberikan. Proses akomodasi merupakan proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan (disequilibrium). Proses akomodasi dalam PBL terjadi disaat masalah yang diberikan menimbulkan konflik yang

menuntut mahasiswa untuk berpikir secara individu. Pada proses ini, mahasiswa melakukan analisis, membandingkan, mencermati pola sehingga terjadi proses internalisasi dalam diri mahasiswa yang menuntun mereka sampai pada pencapaian aktual (batas kemampuan). Kegiatan-kegiatan ini dapat menumbuhkan kemampuan penalaran mahasiswa.

Ketika mereka sampai pada batas kemampuannya akan terjadi dialok, diskusi dengan teman atau dengan dosen sampai ia mencapai keseimbangan. Untuk mencapai keseimbangan (equilibrium), melalui kegiatan diskusi akan mengakibatkan struktur pengetahuan lama dimodifikasi dan menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Kondisi equilibrium terjadi ketika mahasiswa telah menemukan penyelesaian soal atau mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diajukan dan meyakini bahwa jawaban yang ia peroleh tersebut benar. Diskusi dengan teman atau bertanya pada dosen akan menumbuhkan kemampuan komunikasi matematis. Selain itu diskusi juga akan mengurangi rasa cemas, takut salah dan ragu-ragu, karena hasil yang telah disepakati dalam kelompok akan mampu menambah keyakinan mahasiswa terhadap perolehannya. Malalui diskusi mereka berlatih untuk menjelaskan idenya, mendengarkan ide orang lain. Kegiatan ini selain memicu tumbuhnya kemampuan komunikasi matematis juga dapat memicu berkembangnya kecerdasan emosional mahasiswa. Karena dengan mendengarkan akan tumbuh empati terhadap orang lain, memahami emosi orang lain. Selain itu kegiatan diskusi juga akan menambah kepercayaan diri, yang akhirnya akan menumbuhkan kemampuan memanfaatkan emosi dalam kegiatan intelektual.

Dalam penelitian ini, agar konflik kognitif dapat terjadi maka pembelajaran dirancang dengan mengajukan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu baru dan memuat tantangan bagi mahasiswa untuk berpikir. Masalah yang diajukan berkaitan dengan penemuan konsep, dan penerapan konsep.

Melalui penelitian ini telah ditemukan bahwa mahasiswa yang belajar dengan PBL memiliki kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Penelitian ini telah menyimpulkan bahwa faktor KAM, faktor pembelajaran dan level PT berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis mahasiswa. Hal ini bermakna bahwa kemampuan akademik yang yang tercermin dari faktor KAM dan level PT juga ikut berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis mahasiswa. Artinya mahasiswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi yang belajar dengan PBL akan cenderung memperoleh dampak yang lebih baik dalam pengembangan kemampuan komunikasi matematis dan penalaran matematis.

Temuan ini kurang sesuai dengan pendapat Delisle(1977) yang menyebutkan bahwa PBL dapat digunakan pada semua mahasiswa dari berbagai tingkat kemampuan. Berdasarkan pengamatan selama proses pembelajaran, ketika diberikan masalah mahasiswa dengan kemampuan akademik tinggi terlihat langsung bekerja. Sedangkan mahasiswa dengan kemampuan rendah memerlukan perenungan yang lebih lama, bahkan seringkali tidak dapat menemukan

penyelesaiannya. Untuk itu jika PBL akan digunakan pada kelompok/mahasiswa dengan kemampuan akademik kurang, maka diperlukan perencanaan pembelajaran yang berbeda dari mahasiswa dengan kemampuan akademik tinggi.

Perbedaan itu dapat dilakukan pada bentuk konflik kognitif yang disediakan, sebaiknya untuk mahasiswa dengan kemampuan akademik kurang masalah kognitif yang diajukan lebih disederhanakan sehingga dapat didekati dengan cara-cara yang lebih sederhana. Selain itu untuk mahasiswa dengan kemampuan akademik yang kurang perlu pemberian scaffolding yang lebih intensif. Dengan perbaikan-perbaikan tersebut diharapkan pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis pada semua kondisi mahasiswa. Untuk itu diperlukan pengkajian lanjutan.

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, sebaiknya langkah-langkah PBL, yaitu melibatkan mahasiswa dalam menemukan konsep melalui pemahaman/pendefinisian masalah menggali informasi untuk menemukan fakta, melakukan dugaan untuk menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali, perlu diterapkan dalam perkuliahan lain. Karena dengan cara ini diharapkan mahasiswa akan terbiasa melakukan analisis, mencermati hubungan sebab akibat, membuat argument dan selanjutnya membuat keputusan yang semuanya akan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis (KPM), dan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa.

Hasil penelitian ini telah menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional mahasiswa yang belajar menggunakan PBL cenderung sama atau tidak berbeda

secara signifikan dengan kecerdasan emosional mahasiswa yang belajar menggunakan PKV. Kualitas peningkatan kecerdasan emosional yang ditunjukkan dalam penelitian ini tergolong rendah (sangat kecil). Hal ini berarti bahwa PBL yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini belum mampu mengembangkan kecerdasan emosional mahasiswa secara maksimal. Langkah-langkah yang dirancang dalam PBL belum mampu secara maksimal membantu mahasiswa mengelola emosinya. Secara umum mahasiswa belum dapat memanfaatkan emosi dalam kegiatan-kegiatan intelektual dan belum dapat mengubah energi negatif menjadi energi positif. Diduga hal ini merupakan salah satu penyebab masih rendahnya skor kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis mahasiswa ( kurang dari 50%). Masalah ini masih perlu dikaji lebih lanjut melalui kegiatan pembelajaran yang menggunakan PBL.

Meskipun demikian suasana yang tampak dalam ruang kelas PBL sudah menunjukkan terjadinya perubahan dalam cara belajar mahasiswa. Sebagian besar mahasiswa sudah mau ikut terlibat dalam proses pembelajaran. Hal ini berimplikasi pada perubahan pandangan mahasiswa terhadap pembelajaran. Mahasiswa telah menyadari bahwa pengetahuan itu tidak hanya diterima dari dosen tetapi perlu diusahakan mendapatkannya melalui keterlibatan dalam proses pembelajaran. Dampak dari pandangan ini adalah sikap empati, dan menghargai pandangan orang lain; mampu mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan sendiri, dan melakukan remedial, melalui self-directed learning secara kontinu memelihara suatu pembelajaran dengan pikiran terbuka, kritis dan aktif;

menghargai teman sebaya dan pengajar sebagai individu yang memiliki kebersamaan dalam proses pendidikan dengan pengetahuan, pemahaman, perasaan, dan minat. Perubahan suasana belajar yang terjadi di kelas PBL mengindikasikan adanya perubahan kecerdasan pada emosional mahasiswa.

Telah ditemukan bahwa salah satu penyebab kecilnya skor KE akhir mahasiswa adalah waktu pemberian skala KE yang bersamaan dengan waktu untuk tes. Kondisi stress dalam mengikuti tes, telah mengakibatkan mahasiswa kurang teliti dan kurang cermat dalam membaca dan memilih option skala KE. Darwis (2006) menyebutkan bahwa ”didalam kecerdasan emosional tujuan yang telah tercapai, kurang bersifat paten pada seseorang”. Artinya jika skor awal KE mahasiswa lebih baik, maka skor itu dapat berubah lebih kecil atau lebih besar pada skala KE akhir.

Tidaklah mudah mengubah kecerdasan emosional seseorang, seperti diungkapkan oleh Darwis (2006) ”kecerdasan emosional bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak melainkan pada suatu yang dahulu disebut ‘karakter’ atau ‘karakteristik pribadi’, butuh waktu yang lama untuk dapat mengubah karakter seseorang, tetapi perubahan itu bukan tidak mungkin terjadi”. Pendapat ini mengisaratkan, bahwa kecerdasan emosional tidak dapat berubah dalam waktu yang relatif singkat, tetapi perubahan itu dapat diupayakan. Artinya, agar peningkatan kecerdasan emosional dapat terjadi maka sebaiknya berbagai kegiatan yang dapat memicu peningkatan tersebut dilakukan secara terus-menerus dalam setiap perkuliahan.

Berdasarkan pendapat di atas, kecilnya peningkatan kecerdasan emosional, bukan berarti PBL tidak dapat digunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosional mahasiswa. Jika kegiatan-kegiatan dalam PBL seperti kebiasaan berbagi pendapat dalam diskusi dilakukan dalam setiap kegiatan perkuliahan, maka peningkatan kecerdasan emosional sangat mungkin terjadi.

C. Rekomendasi

Berikut diberikan beberapa saran yang berpedoman pada kesimpulan dan implikasi penelitian yang telah dikemukakan.

1. Pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan dalam ruang lingkup yang lebih luas, karena sudah terbukti pembelajaran ini mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, dan kemampuan penalaran matematis mahasiswa. Tetapi berdasarkan temuan dalam penelitian ini telah diketahui bahwa faktor level PT berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis, maka dalam penerapan pembelajaran ini pada masing-masing level PT perlu persiapan yang berbeda, terutama dari segi pemilihan masalah, dan bentuk bantuan. Karena mahasiswa kedua level PT berbeda dari segi kemampuan akademik, maka dalam membuat persiapan mengajar hendaknya juga mempertimbangkan hal tersebut. Untuk mahasiswa dari PT level sedang yang secara umum memiliki kemampuan akademik rendah, perlu dipertimbangkan untuk mencarikan soal antara agar sampai pada masalah yang setara dengan masalah autentik yang akan digunakan dalam pembelajaran.

2. Meskipun secara rata-rata kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari pada mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional, tetapi hasil yang diperoleh masih dalam kategori sedang dan rendah. Hal ini memerlukan pengkajian lanjutan. Sebaiknya selain tugas-tugas di kelas, mahasiswa juga diberi kesempatan (ditugasi) seluas-luasnya untuk mendapatkan dan menyelesaikan soal yang berkaitan dengan materi yang dipelajari di luar perkuliahan dari berbagai sumber belajar. Dengan cara ini diharapkan mahasiswa mempunyai pengalaman yang lebih banyak dalam berbagai masalah, tidak hanya dari soal yang disediakan dosen. Pengalaman ini akan membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan mengelola emosi, menjadikan tekanan sebagai energi positif untuk melakukan perbuatan bermanfaat dalam pembelajaran.

3. Telah ditemukan bahwa skor rata-rata peningkatan KE mahasiswa untuk semua pendekatan pembelajaran tergolong kecil, dan hipotesis yang diajukan sehubungan dengan kecerdasan emosional ditolak. Dalam proses pempelajaran telah terjadi perubahan suasana belajar, sebagian mahasiswa telah mendapat manfaat dalam pertumbuhan kecerdasan emosionalnya, mereka telah mampu mengubah energi negatif menjadi energi positif. Artinya PBL masih dapat dipertimbangkan dalam mengembangkan kecerdasan emosional mahasiswa dengan beberapa perbaikan. Telah disebutkan pula bahwa salah satu penyebabnya adalah pengisian skala KE dalam penelitian ini dilakukan setelah pelaksanaan ujian. Maka untuk penelitian lanjutan sehubungan dengan

peningkatan KE mahasiswa, dalam pengisian skala KE perlu mempertimbang kan kondisi mahasiswa.

4. Melalui penelitian ini, secara umum telah ditemukan bahwa kebiasaan-kebiasaan dalam PBL dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis, kemampuan komunikasi matematis dan kecerdasan emosional mahasiswa. Untuk itu disarankan sebaiknya kebiasaan-kebiasaan yang melibatkan mahasiswa dalam penemuan konsep, mencari masalah/contoh, melakukan analisis, melihat hubungan sebab-akibat, dan melakukan refleksi untuk semua jawaban yang telah ditemukan dapat diterapkan dalam setiap perkuliahan. Karena dengan cara itu diharapkan, berbagai potensi mahasiswa dapat dikembangkan secara lebih maksimal.

Dokumen terkait