Pada Bab I dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan skripsi. Bab II tentang dasar teori. Bab ini berisi teori dasar dari penelitian yang dilakukan. Bab III berisi metode penelitian yang meliputi waktu, tempat dan pelaksanaan penelitian, alat dan bahan yang diperlukan, serta langkah-langkah dalam penelitian. Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan analisa/ pembahasan yang dibahas dengan acuan dasar teori yang berkaitan dengan penelitian. Bab V berisi simpulan dari pembahasan di bab sebelumnya dan saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut dari skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.PMMA (Polymethyl Metacrylate)
Polymethyl metacrylate (PMMA) adalah polimer yang mengkilap dengan struktur teratur. PMMA dapat dibentuk melalui beberapa cara salah satunya dengan mencampurkan methyl metacrylate (MMA) dan benzoil perosida (BPO). MMA adalah cairan bening dan memiliki transparansi yang tinggi sedangkan BPO bebentuk serbuk dan fungsinya sebagai katalis (Setiawan, 2011). PMMA mempunyai kerapatan 1,150-1,190 kg/m3, kurang dari setengah kerapatan kaca dan mempunyai serapan air yang sangat rendah, indeks biasnya diantara 1,49 – 1,51 (www.plasticsinfo.co.za). PMMA adalah satu dari jenis termoplastik yang paling keras dan juga memiliki daya tahan kekerasan yang sangat tinggi.
Karakteristik utama material PMMA adalah warnanya yang bening transparan. Tidak hanya transparan, PMMA juga sedikit sekali menyerap sinar yang melalui material tersebut serta dapat meneruskan 92% cahaya tampak dengan tebal 3 mm. Disinilah letak perbedaan optis yang utama antara kaca dan PMMA. Walaupun lebih bening dari PMMA, kaca memiliki absorbansi yang lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan semakin tebal kaca maka sifat transparannya semakin berkurang. Selain itu PMMA mudah untuk dibentuk, pada desain yang rumit sekalipun. Untuk perihal goresan, cara menghilangkannya sama dengan kaca yaitu dengan di polis atau dengan memanaskan permukaan (Setiawan, 2011).
PMMA banyak dimanfaatkan untuk berbagai hal. Dalam bidang transportasi PMMA telah digunakan sebagai kaca pesawat terbang. Bidang keamanan, digunakan Polisi sebagai tameng sebagai pengganti kaca yang anti pecah terhadap lemparan. Dalam dunia medispun PMMA telah digunakan sebagai pengganti lensa intraokular di mata ketika lensa asli telah dihapus pada penderita katarak (Meacock dkk, 2001). Selain itu juga sebagai semen tulang yang digunakan untuk menempelkan implan dan untuk merombak kehilangan tulang serta digunakan untuk pembuatan gigi palsu (Elshereksi, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Perbedaan yang lain antara kaca dan PMMA adalah:
1. Kaca lebih bersifat getas dibanding PMMA. PMMA lebih bersifat elastis, sehingga secara teknis dapat bertahan pada hentakan tekanan dinamik air. 2. Kaca akan berlumut, sedangkan PMMA tidak.
3. PMMA memiliki daya tahan terhadap cuaca yang sangat tinggi. Sinar matahari tidak mudah mengubah PMMA menjadi kuning, atau membuatnya hancur.
4. Harga dan berat PMMA lebih ekonomis dan ringan dibandingkan dengan kaca (www.plasticsinfo.co.za).
2.2. Pemantulan
Ketika gelombang dari tipe apapun (gelombang bunyi atau gelombang cahaya) mengenai sebuah penghalang datar seperti misalnya sebuah cermin, kemudian gelombang-gelombang baru di bangkitkan dan bergerak menjauhi penghalang tersebut. Peristiwa ini disebut pemantulan (Tipler, 2001).
Pemantulan cahaya dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Pemantulan teratur, yaitu bila cahaya mengenai permukaan yang datar seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.2.1. Pemantulan Pada Cermin Datar (Serway dan Jerwat, 2004).
Cahaya dipantulkan membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda.
2. Pemantulan baur, yaitu bila cahaya mengenai permukaan yang tidak rata seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Gambar 2.2.2. Pemantulan pada permukaan tidak rata (Serway dan Jerwat, 2004). Akibat dari permukaan yang tidak rata maka cahaya dipantulkan secara acak dan tidak beraturan.
Hukum dasar dari pemantulan cahaya adalah: Sinar datang, garis normal, dan sinar pantul terletak pada satu bidang datar. Besarnya sudut datang θi sama dengan sudut pantul θi’. Akan tetapi hukum ini hanya berlaku untuk cermin datar.
2.3. Pembiasan
Sudut atau arah perambatan sinar cahaya diukur dengan mengacu ke garis normal bidang perbatasan antara kedua bahan. Garis normal adalah sebuah garis yang mengarah tegak lurus terhadap permukaan bidang perbatasan. Sudut yang dibentuk oleh arah sinar datang ke bidang perbatasan (terhadap garis normal) dan sudut yang dibentuk oleh arah sinar meninggalkan bidang perbatasan (terhadap garis normal) secara berturut-turut disebut sebagai sudut datang dan sudut bias sinar cahaya. Penjelasan dari kedua istilah ini dapat di lihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3.1. Pembiasan Cahaya (Serway dan Jerwat, 2004).
Pada Gambar 2.3. menunjukkan bahwa sudut bias akan lebih kecil dari sudut datang ketika cahaya merambat dari bahan yang berindeks bias kecil ke bahan
udara kaca
n1 n2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
lainnya yang berindeks bias lebih besar.
Willebrord Snellius, seorang astronom berkebangsaan Belanda menemukan bahwa terdapat suatu hubungan matematis antara indeks bias kedua bahan dengan nilai sinus dari sudut-sudut sinar. Hukum Snellius menyatakan bahwa (Serway dan Jerwat, 2004):
n1sinθ1 = n2sinθ2 (2.1)
Terdapat empat variabel matematika di dalam persamaan (2.1), dimana n1 dan n2 secara berturut-turut adalah nilai indeks bias bahan pertama dan indeks bias bahan kedua, sedangkan θ1 dan θ2 secara berturut-turut adalah sudut datang dan sudut bias.
2.4.Indeks Bias
Kecepatan cahaya bergantung pada bahan tempat dimana ia merambat. Di dalam ruang hampa, cahaya merambat pada kecepatan maksimumnya yang mendekati 3x108 m/s. Ketika cahaya merambat di dalam suatu material yang bening dan jernih, kecepatannya akan turun sebesar suatu faktor yang dinamakan indeks bias. Sehingga untuk mengetahui indeks bias suatu material maka digunakan perbandingan antara kecepatan cahaya di udara hampa dengan kecepatan cahaya di material tertentu. Indeks bisa dapat di tulis dengan persamaan (Pane, 2010) :
( ) ( ) ( ) ( ) Dimana besar kecepatan cahaya di ruang hampa adalah 3 x 108 m/s.
Karena indeks bias sebenarnya merupakan nilai perbandingan (rasio) antara kecepatan cahaya di dalam ruang hampa terhadap kecepatan cahaya di dalam bahan, maka besaran indeks bias tidak memiliki satuan. Nilai indeks bias tidak pernah lebih kecil dari 1 dan untuk nilai indeks bias zat lain ditampilkan pada tabel 2.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Tabel 2.1 Indeks bias beberapa medium yang berbeda (Serway dan Jerwat, 2004)
Medium n = c / v Udara Hampa 1,0000 Udara (pada STP) 1,0003 Air 1,333 Es 1,31 Alkohol Etil 1,36 Gliserol 1,48 Benzena 1,50
Kaca Kuarsa Lebur 1,46
Kaca Korona 1,52
Pemantulan Internal Total
Sudut perambatan sinar cahaya akan bertambah jika sinar memasuki sebuah bahan dengan indeks bias yang lebih kecil. Jika sudut datang sinar (di dalam bahan pertama) menuju bidang perbatasan terus diperbesar, akan tercapai suatu titik dimana sudut bias menjadi 90 dan sinar akan merambat sejajar dengan batas antar bidang (Arkundato, 2007). Sudut datang yang menyebabkan terjadinya hal ini disebut sebagai sudut kritis.
Gambar 2.4.1. Gambar pemantulan total sempurna (Serway dan Jerwat, 2004). Udara
Kaca
Pemantulan Internal Total Sudut Kritis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Sudut kritis dapat dihitung dengan mengambil nilai sudut bias sebesar 90 dan memasukkannya ke dalam persamaan Hukum Snellius :
n1 sin θ1 = n2 sin θ2 (2.3)
Nilai dari sudut θ2 digantikan dengan sudut 90 dan besarnya sin 90 adalah 1, maka dari persamaan (2.1) dapat digunakan untuk menentukan besar sudut kritis dengan menjadikan persamaan sebagai berikut:
n1 sin θ1 = n2 sin 90 (2.4)
sin θ1 = (2.5)
Dari gambar 2.4. sinar datang dari medium rapat (kaca) ke medium kurang rapat (udara) maka sinar dibiaskan menjauhi garis normal. Sudut ic merupakan sudut kritis. Bila sudut datang lebih besar dari sudut kritis, cahaya tidak dibiaskan melainkan dipantulkan dengan sempurna.
2.5. Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA))
Serat optik memiliki diameter yang sangat kecil (dalam ukuran micrometer), sehingga tidak bisa sembarangan dalam memasukkan cahaya ke dalam serat optik. Ada syarat yang harus dipenuhi agar cahaya dapat masuk ke dalam serat optik, yaitu cahaya datang harus dalam daerah kerucut penerimaan.
Kerucut penerimaan (cone of acceptance) adalah kisaran nilai sudut datang untuk sebuah sinar yang masuk ke dalam serat optik, yang masih memungkinkannya untuk dapat merambat di dalam inti hingga mencapai ujung output. Artinya, jika sebuah sinar masuk ke serat optik dengan sudut datang yang berada di luar kisaran ini, maka sinar tersebut tidak akan keluar dari ujung serat optik atau akan hilang di tengah jalan. Daerah kisaran sudut tersebut merupakan sebuah kerucut jika divisualisasikan dalam bentuk tiga-dimensi dan karena itulah disebut dengan ‘kerucut penerimaan’(Elliott, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Gambar 2.6.1. Daerah penerimaan θmak (Telkom, 2004)
Dari gambar (2.6.1.) garis nomer dua adalah sinar datang yang menyebabkan terjadinya sudut kritis sehingga jarak dari normal sampai sinar datang nomer dua merupakan besarnya sudut maksimal. Numerical aperture dari serat optik adalah parameter yang mengukur kemampuan serat optik untuk mengumpulkan atau memerangkap cahaya.
Secara matematis untuk mendapatkan nilai numerical aperture dapat diperoleh dengan rumus:
n0 sinθmaks =n1 sinθ2 (2.6) karena θ2 = 90°-θc , maka persamaan (2.6) menjadi
n0 sinθmaks =n1 cosθc (2.7) dengan menggunakan relasi trigonometri sin2θc + cos2θc =1, maka persamaan (2.7) dapat dinyatakan dalam bentuk:
n1 sinθmaks = n2 √ (2.8) nilai sinus dari sudut kritis adalah sebesar , sehingga
√ ( ) (2.9)
Jadi,
√( ) (2.10)
n0 merupakan indeks bias udara pada ruang hampa, besarnya adalah 1. Maka persamaannya menjadi:
√( ) (2.11)
Dan untuk menghitung sudut penerimaan menggunakan persamaan:
Sudut penerimaan = arcsin ( NA ) (2.12)
θ max i nudara = 1 3 2 1 cladding cladding core n1 r (Sudut kritis) 1 2 3 900
1 Cahaya yang masuk ke clading
2 Cahaya yang masuk dengan sudut kritis
3 Cahaya yang mengalir ke dalam core
max
c
Daerah dimana sinar dapat diterima oleh serat optik
n0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2.6. Gelombang Elektromagnetik
Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dihasilkan dari perubahan medan magnet dan medan listrik secara berurutan, dimana arah getar vektor medan listrik dan medan magnet saling tegak lurus. Spektrum optik (cahaya atau spektrum terlihat atau spektrum tampak) adalah bagian dari spektrum elektromagnetik yang tampak oleh mata manusia. Radiasi elektromagnetik dalam rentang panjang gelombang ini disebut sebagai cahaya tampak. Tidak ada batasan yang tepat dari spektrum optik. Mata normal manusia akan dapat menerima panjang gelombang dari 400 sampai 700 nm, meskipun beberapa orang dapat menerima panjang gelombang dari 380 nm sampai 780 nm (atau dalam frekuensi 790-400 terahertz). Mata yang telah beradaptasi dengan cahaya biasanya memiliki sensitivitas maksimum di sekitar 555 nm, di wilayah hijau dari spektrum optik. Warna pencampuran seperti pink atau ungu seperti pada Gambar 2.7.1 tidak terdapat dalam spektrum ini karena warna-warna tersebut hanya akan didapatkan dengan mencampurkan beberapa panjang gelombang.
Gambar 2.7.1 Spektrum Gelombang
2.8. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan
Peristiwa pemantulan dan pembiasan dapat menyebabkan terjadinya polarisasi (Gambar 2.8.1.). Polarsasi adalah peristiwa terserapnya sebagian atau seluruh arah getar gelombang. Gejala polarisasi hanya dapat dialami oleh gelombang transversal saja, sedangkan gelombang longitudinal tidak mengalami gejala polarisasi. Ketika cahaya jatuh pada bidang batas antara dua medium dengan membentuk sudut datang terhadap garis normal, sebagian sinar akan dipantulkan dengan sudut pantul ( = ) dan sebagian lagi akan dibiaskan dengan sudut bias . Jika sinar bias dan sudut pantul membentuk sudut 90° yang secara matematis , maka sinar pantul terpolarisasi linier. Sudut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
datang yang menghasilkan sinar pantul terpolarisasi disebut sudut polarisasi atau sudut Brewster ( ).
Gambar 2.8.1. Polarisasi Karena Pemantulan dan Pembiasan (Serway, 2004).
Hukum Snellius untuk menyatakan pembiasan adalah:
Oleh karena
Maka Sehingga hukum Snellius diatas menjadi:
(2.13) Persamaan (2.12) disebut dengan hukum Brewster. Dalam penelitiaaan ini persamaan (2.12) akan digunakan untuk mencari indek bias PMMA dengan mengunakan metode reflektansi.
2.9. Reflektansi Dan Transmitansi
Perbandingan intensitas cahaya yang dipantulkan dengan cahaya yang datang disebut reflektansi (R), sedangkan perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan cahaya datang disebut transmitansi (T). Fresnel
ta 𝜃𝑝 𝑛 𝑛 Sinar datang Sinar pantul Sinar bias Garis Normal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
menyelidiki dan merumuskan suatu persamaan koefisien refleksi dan koefisien transmisi yang dihasilkan oleh pemantulan dan pembiasan (Pedrotti, 1993).
Transmitansi dari bahan dapat dicari dengan membandingkan intensitas sinar laser setelah melalui bahan ( ) dengan intensitas sinar laser sebelum mengenai bahan ( ).
(2.14) Transmitansi juga dapat dikaitkan dengan koefisien absorbansi suatu bahan. Keterkaitan antara koefisien absorbsi dan transmitansi digambarkan oleh persamaan (2.13), dimana adalah Transmitansi, adalah koefisien absorbsi( ), dan adalah ketebalan bahan ( )
( ) (2.15)
Sedangkan Reflektansi (R) didefinisikan sebagai perbandingan antara intensitas pemantulan dengan intensitas sumber yang dapat ditulis:
(2.16)
2.10. Absorbansi
Absorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan bentuk interaksi antara gelombang cahaya/foton dengan atom/molekul. Absorbsi terjadi saat foton masuk bertumbukan langsung dengan atom-atom pada material dan menyerap energinya pada elektron atom. Foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti, sehingga pancaran sinar yang keluar dari material berkurang dibandingkan saat masuk material. Abrobsi hanya terjadi ketika selisih kedua tingkat energi elektron tersebut ( ) bersesuaian dengan energi cahaya datang.
(2.17)
Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh bahan dari total cahaya yang dilewatkan pada bahan tersebut. Hubungan absorbansi dengan transmitansi dapat dinyatakan dengan persamaan
(2.18) 𝑇 𝐼𝐼𝑡
𝑅 𝐼𝐼𝑟
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Dimana adalah Absorbansi, adalah Transmitansi, adalah Intensitas cahaya keluar ( ), dan adalah Intensitas cahaya masuk( ).
Persamaan (2.18) juga dapat dituliskan:
(2.19) Dengan mensubtitusikan persamaan (2.15) ke persamaan (2.19) besarnya intensitas cahaya setelah melewati bahan dapat dituliskan :
( ) (2.20)
Dari persamaan (2.20) dapat diturunkan persamaan yang menyatakan koefisien absorbsi suatu bahan yang dihubungkan dengan transmitansi, yaitu:
(2.21) Dimana adalah koefisien absorbsi ( ), dan adalah ketebalan bahan ( ), dan adalah Transmitansi.
Dengan mensubtitusikan persaman (2.15) ke persamaan (2.19) sehingga diperoleh hubungan antara Absorbansi ( ), koefisien absorbsi ( ), dan ketebalan bahan ( ) yang dituliskan dengan persamaan:
(2.22) Dimana adalah koefisien absorbsi ( ), dan adalah ketebalan bahan ( ), dan adalah Absorbansi.
𝛼 𝑡l (𝑇) 𝐴 l ( )l (𝑇)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat 3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sub Laboratorium Optik Jurusan Fisika Fakultas MIPA Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Juni 2011.
3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain (Gambar 3.1) : 1. Osciloscope Digital Yokogawa
2. Large Area Visible Photo Receiver Model 2031 3. Sinar laser He-Ne merah (632 nm)
4. Sinar laser hijau (532 nm)
5. Spektrophotometer UV-VIS Lamda25 6. FTIR
7. Meja Putar berskala derajat 8. Alat Polish
9. Polish dengan grade 1000, 2400 dan 4000 10.Mesin bubut
11.Wadah sampel
3.2.2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : 1. Polymethyl metacrylate (PMMA)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 17 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) 2400 4000 1000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Gambar 3.1.1. Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk Kerucut (a) Potongan sampel tebal 2 mm, (b) Meja putar berskala derajat, (c) Photo Receiver, (d), Polish dengan grade 1000, 2400 dan 4000 (e) Sumber sinar laser merah, (f) Sumber sinar laser hijau, (g) Osciloscope Digital, dan (h) Sampel Kerucut.
3.3. Prosedur Penelitian
Perlakuan kerja dalam penelitian ini ditujukan untuk membuat kolektor surya dengan bentuk kerucut. Pada kolektor surya ini telah ditentukan sudut kemiringan dan tinggi dari sampel kerucut. Dari kemiringan dan tinggi akan digunakan untuk mengetahui sudut penerimaan (NA). Untuk mencapai tujuan di atas kegiatan penelitian ini di bagi menjadi dua tahap yaitu kajian secara matematis dan kajian secara eksperimen. Gambar 3.2 adalah diagram alir dari kegiatan penelitian ini.
Gambar 3.2.1. Diagram alir penelitian Kolektor surya bentuk kerucut
Pembuatan sampel
Pengukuran reflektansi
Pengukutan indeks bias
Perhitungan dan Pengukuran NA pada sampel
Pengkajian secara matematis
Perhitungan dengan Ms. Excel Pengukuran Absorbansi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Keterangan secara mendetil dari masing-masing langkah adalah sebagai berikut: 3.3.1. Pembuatan Sampel
Pada tahap ini dilakukan pembuatan sampel. Bahan yang dibutuhkan diantaranya Polymethyl metacrylate (PMMA) atau yang biasa dikenal dengan acrylic. PMMA pabrikan akan dipotong tipis dengan ketebalan ± 2 mm dan dibentuk kerucut dengan mesin bubut. Pemotongan PMMA tipis dilakukan untuk pengujian karasteristik absobansi, karasteristik reflektansi dan karasteristik indeks bias. Sedangkan model bentuk kerucut akan digunakan untuk pengujian NA. Model eksperimen berbentuk kerucut telah di tentukan ketinggiannya sebesar 8 cm dengan diameter permukaan ujung atas sebesar 1,6 cm dan permukaan ujung bawah berdiameter 0,8 cm. Pada bagian badan tepatnya 2 cm dari permukaan atas berdiameter 2 cm.
Gambar 3.3.1.1. Desain kerucut kolektor surya
Sampel dibentuk dengan menggunakan mesin bubut. Karena permukaan sampel belum halus maka permukaan sampel harus dipolish. Proses polish dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dari grade 1000, 2400 dan diakhiri dengan grade 4000. Proses seperti ini dilakukan bertujuan agar mempercepat halusnya sampel. Untuk permukaan yang datar proses polish dapat dipermudah dengan menggunakan mesin polish.
3.3.2. Pengukuran Absorbansi
Sampel yang digunakan merupakan potongan tipis acrylic dengan tebal sampel ±2 mm. Ketika memasukkan sampel ke alat, harus di cuci dengan alkohol agar kondisi sampel bersih. Pada UV-VIS panjang gelombang yang digunakan pada pengukuran ini adalah 350 nm-800 nm. Data absorbansi yang di gunakan
1,6 cm6 2 cm 8 cm 0,8 cm 5 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pada FTIR menggunakan Panjang gelombang Infra red. Pengolahan grafik yang dilakukan dengan menggunakan software Origin Pro 8.
3.3.3. Pengukuran Reflektansi
Pengukuran reflektansi pada penelitian ini dengan menggunakan potongan sampel, karena dalam pengukuran reflektansi hanya berlaku pada bidang datar. Pengukuran ini menggunakan meja putar berskala derajat yang akan digunakan untuk memvariasi sudut (Gambar 3.3.3.1).
Gambar 3.3.3.1. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi
Perlakuan pada pengukuran Reflektansi adalah melewatkan laser (merah dan hijau) ke sampel PMMA. Pada laser hijau pengujian dilakukan dengan menambahkan polarisator, karena laser hijau belum terpolarisasi. Dari sampel PMMA ini selanjutnya sinar akan dipantulkan kembali oleh sampel PMMA kemudian ditangkap oleh photo receifer dan diukur intensitas sinar pantulnya dengan menggunakan osciloscope digital. Pengambilan data intensitas dilakukan terhadap variasi sudut datang. Variasi sudut datang yang digunakan adalah perubahan pergeseran sudut sebesar 5° dengan rentang 5°-85°. Skema proses pengambilan data digambarkan seperti pada Gambar 3.3.3.2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 21 Sampel Laser Polarisator Photoreceiver Osciloscope Digital
Gambar 3.3.3.2 Skema pengambilan data reflektansi sampel
Nilai reflektansi akan diperoleh dengan membandingkan intensitas sinar pantul dengan intensitas sumber, seperti yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka pada persamaan (2.15).
Pengukuran reflektansi dilakukan pada mode TE dan mode TM. Data antara sudut sinar datang dan intensitas sinar pantul ini dimasukkan dalam grafik. Pembuatan grafik dilakukan dengan menggunakan Software Origin Pro 8.
3.3.4. Pengukuran Indeks Bias
Pengukuran Indeks bias dapat dilakukan dengan menggunakan reflektansi mode TM. Untuk mendapatkan indeks bias yang lebih teliti dilakukan pengukuran ulang reflektansi pada rentang sudut 52°-58° dengan ketelitian 10’12”. Data reflektansi ini dibuat grafik dengan menggunakan software Origin Pro 8. Indeks bias ditunjukkan oleh nilai tangen dari sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil. Indeks bias dihitung dengan menggunakan persamaan sudut Brewster yang secara matematis seperti pada persamaan (2.12).
Dimana θp adalah sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil, n2 adalah indeks bias sampel, dan n1 adalah indeks bias udara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
(n1=1,0003). Pada penelitian ini akan dicari indeks bias PMMA dengan cara mencari nilai θp. Setelah θp didapatkan, maka dapat digunakan persamaan (2.12) untuk menghitung indeks bias PMMA.
3.3.5. Kajian Matematis Pada Penentuan Numerical Aperture (NA)
Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dan tinggi kolektor dengan NA. Pada tahapan ini dicari rumus pencerminan dalam pandu gelombang sehingga dapat diketahui ketinggian untuk setiap pemantulan ke-i. Sudut-sudut tersebut dihubungkan dengan sudut sinar datang (θi) pada saat sebelum memasuki model kolektor. Setelah diketahui rumus dari pencerminan ke-i dan tinggi ke-m, NA dapat di cari dengan persamaan dari sudut kritis seperti pada persamaan (2.4.).
Nilai sudut kritis yang telah diketahui digunakan sebagai acuan perbandingan dengan sudut pemantulan ke-i. Ketika sudut pemantulan ke-i lebih besar maka sudut itu digunakan untuk mengetahui letak pemantulan terhadap tinggi sampel, jika posisi pemantulan lebih pendek atau sama dengan tinggi sampel maka nilai NA dapat diketahui.
3.3.6. Pengukuran Numerical Aperture (NA) Secara Eksperimen
Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima dan merambat didalam kolektor surya. Secara matematis, besar sudut penerimaan (NA) sampel dapat dihitung dalam kaitannya dengan indek bias bahan, panjang sampel, lebar sampel, sudut kemiringan sampel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Gambar 3.3.6.1. Skema pengukuran NA sampel
Gambar 3.3.6.1. adalah skema pengambilan data NA sampel. Dalam penelitian ini langkah untuk menentukan NA adalah dengan cara meletakkan sampel diatas meja putar berskala derajat, kemudian menyinari masing – masing sampel dengan laser dan dicari sudut maksimum dimana sinar masih merambat