• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Ketiga indeks larva di dearah Pasir Kuda yaitu CI, HI dan BI menunjukkan pola perubahan yang mirip dengan kecenderungan menurun selama periode pengamatan. Angka CI di daerah tersebut termasuk dalam kategori DF= 6-9: kepadatan populasi larva nyamuk tinggi (density figure), sedangkan untuk angka HI dan BI tergolong dalam kategori DF = 2-5: kepadatan sedang. 2. Bak mandi dari bahan semen berwarna biru lebih disukai sebagai

perkembangbiakan larva nyamuk Aedes spp.

3. Kedua jenis nyamuk tidak memiliki korelasi terhadap curah hujan. Nyamuk Ae. albopictus berkorelasi nyata dengan suhu, sedangkan Ae aegypti tidak berkorelasi nyata.

5.2 Saran

Bak mandi berbahan semen sebaiknya dilapisi dengan pelapis yang licin misalnya keramik berwarna cerah yang celah antar ubin disemen secara merata. Gerakan PSN dan 3M plus dan aktivitas petugas jumantik perlu lebih digiatkan baik untuk TPA maupun non TPA. Kebersihan lingkungan perlu ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup bersih.

36

DAFTAR PUSTAKA

Akram W, Jin LJ. 2004. Effect of habitat characteristics on the distribution

and behavior of Aedes albopictus [Scientific Note]. J Vec Ecol December: 379-382.

Bentley MD, Day JF. 1989. Chemical ecology and behavioral aspects of mosquito oviposition. Ann Rev Entomol 34: 401-421.

Braks MA, Nildimar H, Honóriob A, Lourenço-De-Oliveirab R, Steven A, Julianoc L, Lounibos P. 2003. Convergent habitat segregation of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) in Southeastern Brazil and Florida. J Med Entomol 40 (6):785-794.

Chan KL, Ho BC, Chan YC. 1971. Aedes aegypti (L.) and Aedes albopictus (Skuse) in Singapore City. Bull Wld Hlth Org 4: 629-633.

Clements AN. 1963. The Physiology of Mosquitoes. Di dalam: Widi Rumini, Beberapa aspek biologi Aedes (S) albopictus (Skuse) laboratorium dan pemencarannya di lapangan. Bogor.

Chareonviriyaphap T, Akratanakul P, Nettanomsak S, Huntamai S. 2009. Larval habitats and distribution patterns of Aedes aegypti (linnaeus) and Aedes albopictus (skuse), in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 34 (3): 529-535.

Christopher, SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure of Aedes aegypti (L). The Yellow Fever Mosquito. Cambridge at the University Pr. De Lamballerie X, Leroy E, Charrel RN, Ttsetsarkin K, Higgs S, Gould EA. 2008.

Chikungunya virus adapts to tiger mosquito via evolutionary convergence: a sign of things to come. Virology Journal 5: 33.

[DINKES]. 2010. Data distribusi kasus penyakit chikungunya di Bogor tahun 2008-2009, Dinas Kesehatan Kota Bogor.

Freitas M de, Marques WA, Peres RC, Cunha SP, de Oliveira RL. 2007. Variation in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) container productivity in a slum and a suburban district of Rio de Janeiro during dry and wet seasons. Mem Inst Oswaldo Cruz 102 (4): 489-496.

Gubler DJ. 1971. Studies on the comparative oviposition behavior of Aedes (stegomyia) albopictus and Aedes (stegomyia) polynesiensis marks. J Med Entomol 8 (6): 675-682.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam: Hama Pemukiman Indonesia. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama dan Pemukiman (UKPHP).

37

Hadi UK, Agustina E, Sigit SH. 2006. Sebaran jentik nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor. [terhubung berkala]. [1 Agustus 2012].

Hadi UK, Sigit SH, Gunandini DJ, Soviana S, Sugiarto FX. 2008. Pengaruh penggunaan repelen masal jangka panjang pada suatu pemukiman terhadap keberadaan nyamuk Aedes aegypti (L). J Entomol Indonesia 5 (1): 27-35.

Lounibos LP, Mavhado-Allison CE. 1993. Field test of mosquito ovipositional cues from venezuelan phytotelmata. Florida Ento 76 (4): 594-599.

Marisa 2007. Toleransi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap temefos dan malation di wilayah endemik Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Pan ZM, Yan ZQ & Tang XM. 2005. Study of the breeding state of the natural mosquito population in guangzhou. J Vector Bio Control 13: 2003-2005. Powers AM & Logue CH. 2007. Changing patterns of chikungunya virus:

re-emergence of a zoonotic arbovirus. J Gen Viro 88: 2363–2377. Sembel DT. 2009. Entomologi Kedokteran. Andi Offset: Yogyakarta.

Simardabc F, Nchoutpouenab E, Totoab JC, Fontenille D. 2005. Geographic distribution and breeding site preference of Aedes albopictus and Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Cameroon, Central Africa. J Med Entomol 42 (5): 726-731.

Soedarmo SSP. 2009. Demam Berdarah (dengue) pada Anak. Jakarta, UI Pr. Taviv Y, Saikhu A, Sitorus H. 2010. Pengendalian DBD melalui pemanfaatan

pemantau jentik dan ikan cupang di Kota Palembang. Bul Penelit Kesehat. 38 (4): 215 -224.

Vezzani D, Schweigmann N. 2002. Suitability of Container from Different Sources as Breeding Sites of Aedes aegypti (L.) in a Cemetery of Buenos Aires City, Argentina. Bioline International 6 : 789-792.

[WHO]. World Health Organization. 1972. Vector control in international health. Geneva. 26-28.

Widagdo L, Husodo BT, Bhinuri. 2008. Kepadatan jentik Aedes aegypti sebagai indikator keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk (3M plus): di Kelurahan Srondol Wetan, Semarang. Makara Kesehatan 12 (1): 13 – 19.

38

Ziegler SA, Lu L, da Rosa AP, Shu-Yuan X, Tesh RB. 2007. An Animal model for studying the pathogenesis of chikungunya virus infection. J Trop Med Hyg 79 (1): 133-139.

13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit chikungunya merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV) yang termasuk dalam famili Togaviridae, genus Alphavirus (Powers & Logue, 2007). Menurut Ziegler et al. (2007) chikungunya berasal dari bahasa Swahilli yang berarti nyeri pada persendian dan pertama kali terisolasi di Tanzania pada tahun 1952.

Penularan pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah penderita chikungunya dan selanjutnya menginfeksi darah manusia yang sehat. Gejala yang ditimbulkan pada penderita adalah demam, nyeri sendi (arthalgia) pada pergelangan tangan dan kaki, nyeri otot (myalgia), muntah dan menggigil. Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa minggu, lebih dari 6 bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Ziegler et al., 2007).

Kasus chikungunya di Bogor cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Kejadian kasus chikungunya pada tahun 2008 sebanyak 1328 orang, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus hanya 260 orang, tetapi pada bulan Januari - Oktober 2010 terjadi peningkatan penderita chikungunya, yaitu 331 penderita. Kasus terakhir terjadi di kelurahan Pasir Kuda, yaitu sebanyak 41 penderita pada bulan September 2010. Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit chikungunya di daerah tersebut, studi tentang perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. sebagai vektor penyakit chikngunya perlu dilakukan. (Dinkes Kota Bogor, 2010)

Pengendalian vektor merupakan strategi penanggulangan penyakit chikungunya yang paling efektif. Pengamatan terhadap sifat-sifat dan perilaku nyamuk, cara berkembang biak dan tempat perkembangbiakan di setiap daerah endemik penyakit chikungunya perlu diketahui dengan baik (Hadi & Koesharto, 2006). Tingkat kerawanan penyebaran penyakit chikungunya di suatu wilayah dipengaruhi oleh ketersediaan habitat dan kepadatan nyamuk Aedes spp. Daerah yang mempunyai habitat potensial perkembangbiakan nyamuk dapat memicu

14

tingginya angka kepadatan populasi nyamuk sehingga kemungkinan kejadian kasus chikungunya juga akan tinggi pula (Freitas et al., 2007)

Larva Ae. aegypti dapat ditemukan di dalam tempayan, bak mandi, kaleng dan ban bekas di sekitar rumah dan tempat-tempat lain yang berisi air jernih. Untuk meminimumkan terjadinya transmisi virus melalui nyamuk, penyuluhan tentang pemberantasan sarang nyamuk (PSN 3M) yaitu menguras, menutup, dan mengubur wadah penampung air perlu dilakukan. Menurut Widagdo et al. (2008) keberhasilan PSN 3M dipengaruhi oleh karakteristik sosial seperti pendidikan, pekerjaan, jumlah penghuni rumah dan pendapatan rata-rata. Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. albopictus dan Ae. aegypti yang sering ditemukan meliputi ban bekas, kaleng bekas dan wadah plastik, onderdil mobil bekas, rongga tembok, ketiak daun, lubang pohon, dan kolam yang berbatu (Simardabc et al., 2005). Penduduk di Indonesia menyediakan wadah-wadah penampungan air dari bahan yang beragam antara lain kaca, semen, logam, keramik, tanah dan plastik, sedangkan bentuk wadah dapat berupa ember plastik, bak semen, drum kaleng, akuarium dan tempayan tanah. Air yang ditampung dapat berupa air hujan, air tanah, atau air PAM yang disimpan dalam waktu kurang lebih satu minggu.

Wadah-wadah penampungan air tersebut dapat menjadi tempat perindukan larva. Di Korea Selatan, nyamuk Aedes spp. memiliki preferensi tertentu terhadap jenis wadah TPA, non TPA maupun tempat wadah alamiah sebagai tempat perindukan (Akram & Jin 2004). Vezzani & Schweigmann (2002) melaporkan bahwa warna wadah juga mempengaruhi nyamuk Aedes spp. betina untuk bertelur.

Studi di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor menunjukkan bahwa wadah berbahan semen lebih banyak dijumpai larva nyamuk Aedes spp. (Hadi et al 1., 2006). Kajian tempat perindukan nyamuk Aedes spp. penyebab penyakit chikungunya di daerah endemik perlu dilakukan sebagai informasi dasar dalam pelaksanaan PSN 3M.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada berbagai jenis, bahan dan warna wadah di dalam maupun di luar rumah, berdasarkan indeks larva serta hubungannya dengan faktor suhu dan

15

curah hujan di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor selama bulan basah Desember 2010 – Maret 2011.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan bermanfaat untuk membantu pemberantasan vektor nyamuk chikungunya dan demam berdarah, khususnya dalam mengarahkan gerakan PSN 3M.

1.4 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran

Sasaran penelitian adalah daerah endemik penyakit chikungunya (Dinkes Kota Bogor 2010) dengan data kependudukan sebagai berikut:

Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan tersebut termasuk wilayah kerja dari Puskesmas Pancasan dengan luas wilayah 116,5 ha. Kelurahan Pasir Kuda berbatasan dengan:

Sebelah Barat : Kelurahan Ciomas, Sebelah Timur : Kelurahan Pasir Mulya

Sebelah Selatan : Kelurahan Cikaret dan Mekar Jaya Sebelah Utara : Kelurahan Pasir Jaya.

Penduduk Kelurahan Pasir Kuda berjumlah 13.832 jiwa (7037 laki-laki dan 6759 perempuan) dengan jumlah Kepala Keluarga 3624 KK, yang tersebar di 11 RW dan 54 RT. Penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, buruh, dan sebagian kecil terdiri atas petani dan pedagang.

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel larva di RW 03 dan RW 04 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat

16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Aedes aegypti

Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus berperan dalam penularan penyakit demam chikungunya. Penyebab penyakit chikungunya adalah virus chikungunya yang tergolong dalam grup arbovirus. Kedua spesies Aedes spp. ini termasuk dalam subgenus Stegomya.

2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp.

Telur

Telur Aedes spp. memiliki bentuk oval dengan salah satu ujung lebih tumpul daripada bagian ujung lainnya, berwarna hitam, berukuran 1 mm. Telur diletakkan satu persatu oleh induknya di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur tahan sampai berbulan-bulan pada suhu 2o- 42oC. Dalam keadaan kering, telur tahan sampai enam bulan. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung sekurang-kurangnya selama sembilan hari. Tiga hari sesudahnya, nyamuk betina yang menghisap darah manusia dapat bertelur hingga 100 butir. Telur dapat menetas menjadi larva setelah dua hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa setelah enam sampai delapan hari (Soedarmo, 2009).

Menurut Clements (1963) nyamuk Ae. albopictus memiliki kecenderungan meletakkan telurnya pada wadah air yang terbuka dengan permukaan dasar yang kasar. Saat meletakkan telur, nyamuk ini lebih menyukai wadah air yang berwarna gelap. Peletakan telur biasanya dilakukan pada siang hari disaat intensitas cahaya matahari yang rendah (Gubler, 1971). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hadi & Koesharto (2006) yang menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti berkembang biak dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di dalam rumah, sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih banyak berkembang biak pada wadah-wadah air di luar rumah.

17 Larva

Menurut Hadi & Koesharto (2006) larva Ae. aegypti memiliki bentuk silindris dengan kepala membulat, dilengkapi dengan antena pendek yang halus. Abdomen terdiri atas delapan segmen dan pada segmen terakhir terdapat pekten yang bergerigi serta sifon sebagai alat untuk bernapas. Bagian kepala dilengkapi dengan rambut yang berbentuk sikat yang berfungsi sebagai alat untuk mengambil makanan. Perbedaan antara kedua jenis larva nyamuk Aedes spp. hanya dapat dilihat dibawah mikroskop dengan melihat bentuk pekten sifon dan comb pada ruas terkahir abdomen. Larva nyamuk akan tumbuh menjadi pupa setelah 6-8 hari.

Tempat perindukan nyamuk ini biasanya ada di dalam atau sekitar rumah dalam radius 100 m dari rumah. Kebiasaan hidup stadium pradewasa Ae. aegypti adalah pada bejana buatan manusia berisi air jernih yang berada di dalam rumah dan tidak terkena cahaya matahari langsung serta tidak berhubungan langsung dengan tanah (Hadi & Koesharto, 2006). Umumnya Ae. albopictus lebih menyukai tempat perindukan berup wadah non TPA contohnya yaitu pada potongan-potongan pangkal bambu, tempurung kelapa dan wadah-wadah air seperi kaleng bekas dan ban bekas di lapang ataupun tempat perindukan alamiah seperti ketiak daun yang dibuktikan pada penelitian yang pernah dilakukan di Brazil. Penelitian dilakukan dengan meletakkan ovitrap di daerah perkotaan dan pedesaan. Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan daripada perkotaan yang pada umumnya tidak memiliki pekarangan atau kebun di sekitar rumah (Braks et al., 2003). Tempat perindukan nyamuk Ae. albopictus di Cina yang memiliki iklim sub tropis pun sama dengan daerah tropis diantaranya terdapat di kolam-kolam ukuran kecil, bak mandi, guci, kaleng bekas, pecahan botol, ban bekas, drum bekas, vas bunga dan talang air di luar rumah (Pan et al., 2005).

Pupa

Menurut Hadi & Koesharto (2006) pupa Aedes spp. merupakan stadium tidak makan dan berbentuk seperti koma yaitu abdomen melengkung ke bawah

18

dan mengarah ke anterior, juga memiliki sefalotoraks yang dilengkapi dengan kutikula yang tebal dan dilengkapi dengan terompet pernapasan. Pupa yang baru menetas berwarna keputihan, kemudian secara bertahap akan menjadi kecokelatan dan sesaat sebelum menjadi imago, pupa berubah warna menjadi kehitaman. Gerakan yang dihasilkan adalah gerakan vertikal setengah lingkaran. Pupa jantan lebih kecil dibandingkan pupa betina. Di dalam air pupa masih bisa aktif bergerak, dan memerlukan waktu 1-2 hari untuk menjadi nyamuk dewasa.

Nyamuk yang baru muncul dari pupa akan mencari pasangan. Setelah perkawinan, nyamuk betina akan segera mencari darah untuk perkembangan telurnya. Nyamuk betina yang sudah menghisap darah akan bertelur setelah menghisap darah.

Dewasa

Menurut Gubler (1971) pupa jantan tumbuh dan berkembang lebih cepat dari pada pupa betina. Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa akan berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya. Nyamuk dewasa memiliki dua pasang sayap. Pasangan sayap yang pertama tipis dan terletak pada mesothorax. Pasangan sayap kedua berukuran kecil terdapat di metothorax dan disebut halter yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh pada waktu serangga terbang. Serangga ini memiliki antena yang lebih panjang daripada kepala dan thoraxnya. Antena terdiri atas delapan ruas, yang hampir sama besarnya kecuali ruas yang pertama dan kedua yang dekat dengan kepala. Struktur tubuh nyamuk Ae. aegypti memiliki dua strip putih keperakan pada bagian dorsal skutum membentuk garis sejajar di bagian dorsal tengah dan diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih, sedangkan nyamuk Ae. albopictus hanya memiliki satu garis putih tebal pada bagian dorsal skutumnya.

Perilaku nyamuk Aedes spp. sama seperti perilaku nyamuk pada umumnya, yaitu mempunyai dua cara beristirahat yaitu istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu sebelum dan sesudah mencari darah. Tempat-tempat istirahat yang disukainya yaitu tempat yang lembab, teduh dan aman.

19

Perilaku nyamuk untuk beristirahat berbeda-beda tergantung jenisnya. Ada nyamuk masuk ke rumah hanya untuk menghisap darah lalu beristirahat di luar rumah ada pula nyamuk yang sebelum maupun sesudah mengisap darah hinggap di dinding untuk beristirahat. Menurut Marisa (2007) tempat yang lebih disukai Ae. aegypti untuk beristirahat adalah pada barang-barang yang menggantung dan memiliki permukaan licin seperti pakaian, gorden, tas atau alat-alat rumah tangga, tempat yang gelap, berbau apek dan lembab. Nyamuk Ae. albopictus lebih memilih beristirahat di luar rumah, seperti rumput-rumputan dekat tempat perindukan yang tidak terpapar sinar matahari, tanaman hias di halaman rumah (Chan et al., 1971).

Menurut Hadi & Koesharto (2006) nyamuk yang telah kenyang darah tidak memerlukan darah lagi hingga saat peletakkan telurnya. Nyamuk Aedes aktif menggigit pada pukul 07.30 dan pukul 17.30 - 18.30 WIB. Nyamuk betina menghisap darah sebanyak 12 kali dengan selang waktu tiga hari. Aktivitas menghisap darah pada sore hari lebih tinggi 2,4 kali dari pada pagi hari.

2.3 Vektor Penyebaran Penyakit Chikungunya

Penyebab penyakit chikungunya adalah virus chikungunya yang tergolong dalam grup arbovirus. Virus chikungunya (CHIKV) termasuk dalam kelompok famili Togaviridae (kelompok A arbovirus) genus Alphavirus dan tergolong genom RNA positif. Selain menyerang manusia dalam berbagai umur, juga dapat menyerang burung, orang utan, dan jenis mamalia lainnya. Penyebaran penyakit ini tersebar luas di daerah tropis terutama di Afrika, India, dan Asia Tenggara (Powers & Logue, 2007). Menurut Soedarmo (2009) gejala awal penderita chikungunya mirip dengan DBD yaitu ruam (bintik-bintik merah pada kulit), sakit kepala yang parah, kedinginan, demam dengan suhu tubuh di atas 40oC, sakit pada persendian, mual, dan muntah-muntah, Gejala chikungunya dibedakan dengan DBD, yaitu pada DBD terjadi pendarahan pada gusi, melena (berak darah) dan shock, sedangkan pada penderita penyakit chikungunya tidak pernah terjadi pendarahan

Laju penyebaran penyakit ini ditentukan oleh jenis dan populasi nyamuk. Penyebaran penyakit ini akan semakin cepat. Distribusi geografi virus

20

chikungunya telah meluas hampir di seluruh dunia meliputi benua Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia (De Lamballerie et al., 2008). Dengan demikian strategi yang menentukan dalam penyebaran penyakit chikungunya adalah dengan pengendalian vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya yaitu secara kimiawi atau biotik. Pengendalian secara kimiawi yaitu dengan penggunaan insekitisida sedangkan pengendalian biotik dilakukan dengan menggunakan predator pemakan larva nyamuk. Penelitian Taviv et al., (2010) yang melaporkan bahwa pengendalian vektor chikungunya adalah melakukan pengendalian biotik dengan pemanfaatan ikan cupang (Ctenops vittatus) di suatu wadah TPA yang diikuti dengan peningkatan frekuensi kunjungan juru pemantau jentik dapat menurunkan indeks CI, HI dan BI di suatu wilayah.

2.4 Indeks Larva

Indeks larva digunakan sebagai indikator penilaian untuk mengetahui angka kepadatan larva di suatu wilayah. Populasi larva dapat diukur dengan pemeriksaan terhadap semua tempat air (TPA) baik di dalam dan luar rumah terhadap jumlah rumah yang diamati (Soedarmo, 2009). Menurut WHO (1992) terdapat tiga indeks larva yaitu Container Index (CI) atau indeks kontainer yaitu persentase kontainer yang positif larva Aedes spp. dari total kontainer yang diperiksa; House Index (HI) atau indeks rumah menggambarkan persentase rumah yang ditemukan larva Aedes dari sejumlah rumah yang diperiksa dan Breteau Index (BI) atau indeks Breteau adalah jumlah kontainer yang positif mengandung larva dalam sejumlah rumah yang diperiksa.

21

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lapangan dan laboratorium. Pengambilan sampel larva nyamuk dilakukan di RW 03 (RT 02, 04, 06); RW 04 (RT 01, 02, 04) Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor dengan target minimal 30 sampel rumah untuk setiap RT. Adapun untuk identifikasi jenis larva dilakukan di Laboratorium Entomologi, FKH IPB. Waktu Penelitian berlangsung sejak bulan Desember 2010 hingga Maret 2011.

3.2 Pengamatan Larva

3.2.1 Pengumpulan Larva

Pengumpulan larva dilakukan dengan melakukan survei dan penangkapan atau lokasi larva di setiap rumah dan di lingkungan sekitar rumah pada semua tempat penampungan air (TPA) seperti bak mandi, ember dan wadah non TPA seperti potongan bambu, ketiak tanaman, ban bekas, dll. Pengumpulan larva dilakukan mulai pukul 06.00 – 18.00 WIB. Larva dikumpulkan dari setiap wadah menggunakan pipet plastik kemudian dimasukkan ke dalam plastik bening ukuran 15x4 cm dan diberi label keterangan untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.

3.2.2 Identifikasi Larva

Identifikasi spesies Aedes spp. dilakukan di laboratorium dengan pengamatan di bawah mikroskop stereo perbesaran 20x. Ciri utama morfologi larva Aedes adalah tidak berkaki, bentuk dadanya lebih lebar dari kepalanya terdapat sepasang hair tuft pada anterior sifon, segmen perut terdiri atas sembilan ruas dengan batas garis yang tegas dan ruas terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) berbentuk silinder. Kunci identifikasi spesies larva menggunakan pedoman Hadi & Koesharto (2006) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

22

(A) (B)

Gambar 2 Comb scales larva Ae. aegypti berbentuk trisula (A) dan Ae. albopictus berbentuk gerigi halus atau fringe (B) (Hadi & Koesharto, 2006)

3.2.3 Pengukuran Indeks Larva

Data larva yang telah terkumpul sejak bulan Desember 2010-Maret 2011 selanjutnya ditabulasi kemudian digolongkan pada setiap kategori jenis, bahan dan warna wadah untuk selanjutnya dihitung dengan rumus-rumus pengukuran CI, HI dan BI.

3.2.4 Pengumpulan Data Sekunder

Data curah hujan dan suhu di Kota Bogor pada saat pengambilan sampel, diambil dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun Pengamatan Darmaga. Data cuaca dari lembaga ini telah mencakup wilayah Kota Bogor termasuk wilayah Kelurahan Pasir Kuda.

3.3 Analisis Data

3.3.1 Analisis Kepadatan Larva

Jumlah populasi larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus dari setiap sampel digunakan untuk perhitungan data angka kepadatan larva. Analisis data kepadatan larva meliputi Container index (CI), House Index (HI) dan Breteau Index (BI) mengikuti formula perhitungan yang digunakan oleh Hadi et al. (2008) sebagai berikut:

Container Index (CI)

x

100%

House Index (HI)

x 100%

B

23

Breteau Index (BI)

x

100%

Data indeks larva selama pengamatan disajikan dalam bentuk grafik poligon, sedangkan jenis, bahan dan warna wadah disajikan berdampingan dengan data indeks larva dalam bentuk histogram. Menurut kategori WHO (1972)

Dokumen terkait