• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1. Simpulan

Hasil penelitian yang dilakukan menemukan, bahwa bari sebagai nilai dasar berkembangannya kelembagaan mabari masih menjadi ketetapan sosial dari tatanan kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Halmahera Barat, khususnya komunitas perkebunan kelapa rakyat. Meskipun, intensitas kekuatan mengikat dan pelembagaan nilai bari dan keaktifan bentuk pelaksanaan mabari beragam antar desa. Didalam konteks temuan ini, ada tiga simpulan lain yang didapat, yaitu :

a. Bari dan mabari saat ini hidup didalam konteks perkembangan sosial komunitas berkait dengan akar historis dan kultur desa atau kampong. Dari kajian di dua desa dalam konteks komunitas proses produksi kelapa diketahui nilai bari dan kehadiran kelembagaan mabari berkait dengan struktur sosial. Meskipun struktur sosial kedua desa tidak berbeda jauh, kaitan dinaminka pelembagaan bari dan struktur masyarakat kedua desa berbeda. Keduanya memiliki pelapisan sosial feodal (budaya) berdasarkan soa, tetapi saat ini akibat perubahan atas bari telah terjadi pergeseran dari pelapisan sosial feodal berdasarkan soa, menjadi pelapisan sosial berdasarkan profesi (ekonomi). Pergeseran stratifikasi sosial feodal (budaya) lebih cenderung menonjol pada Desa Susupu. Status sesorang diukur berdasarkan, kehormatan, kekuasaan politik, kekayaan dan ilmu pengetahuan. Masyarakat di Desa Susupu menempatkan posisi PNS, TNI, dan pengusaha sebagai pelapisan teratas. Oleh karena itu masih kuatnya posisi tokoh adat di Desa Lako Akelamo berpengaruh terhadap eksisnya nilai bari dan mabari di Desa tersebut. Sementara di Desa Susupu bari dan mabari memudar karena pada pelapisan sosial, tokoh adat/tokoh agama berada pada posisi yang paling bawah dalam penggolongan baru stratifikasi. Kehadiran para PNS, TNI polri yang menempati pelapisan sosial teratas itu, mempengaruhi nilai bari dan kelembagaan mabari dengan memperkenalkan praktek uang, praktek sewa, sistem kontrak lahan, dan lain-lain. Banyak dari

86

mereka yang memiliki lahan/kebun kelapa, namun banyaknya tugas tidak menyempat mereka untuk mengurus atau merawat kebun, sehingga harus menyewa tenaga petani untuk mengerjakan kebun kelapa yang mereka miliki

b. Pembangunan membawa perubahan pada komunitas telah mempengaruhi perkembangan mabari. Pembangunan yang membawa sertakan teknologi, memberikan dampak perubahan terhadap komunitas desa. Bentuk perubahan, terlihat pada organisasi pertanian masyarakat kedua desa penelitian. Tradisi fala adat gura (rumah adat kebun) menjadi hilang. Hilangnya fala adat gura sangat berpengaruh terhadap nilai bari dan mabari, karena fala adat gura bukan saja diperuntukan sebagai rumah inap para petani, namun fala adat gura juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah, penyelesaian konflik antar petani, serta merencanakan kegiatan-kegiatan mabari. Hilangnya fala adat gura, semakin menguatkan individualitas para petani dan “alur kekerabatan” antar sesama petani semakin kabur. Pembangunan dengan menghadirkan teknologi pertukangan rumah juga berakibat pada aktifitas pembuatan rumah dan tradisi mabari dalam membangun rumah menjadi hilang. Masyarakat tidak lagi menggunakan mabari pada tahapan-tahapan pembangunan rumah, tetapi pekerjaan yang dilaksanakan dengan mabari telah di gantikan dengan mesin-mesin pertukangan dengan alasan efisensi waktu dan tenaga. Keahlian yang dimiliki, telah menguatkan gejala spesialisasi pekerjaan dan variasi pekerjaan baru, dan segala sesuatu yang dikerjakan dikonpensasikan dengan uang. Hal ini telah mengubah kolektifitas menjadi hubungan produksi berdasarkan spesialisasi keahlian. Situasi ini tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai bari yang telah terpilahara sejak lama. Nilai bari lebih mengutamakan kerjasama,tolong menolong, atau pertukaran tanpa dikonpensasikan dengan bentuk materi apapun. Pada sisi lain, teknologi dan pengetahuan baru membawa apa yang dianggap sebagai simbol-simbol modernitas masyarakat, membuat tenaga medis telah menggeser pengaruh dukun dan orang pintar. Kasus ini dapat di lihat pada masyarakat di Desa Lako Akelamo. Teknologi dan pengetahuan baru juga menggeser ukuran mengenai efisiensi produksi pada petani kelapa. Bila di masa lalu, aktivitas mabari dianggap sebagai cara untuk berproduksi dengan maksimal, kini

persepsi itu mulai berubah. petani lebih memilih panen dengan menyewa tukang panjat, membersihkan kebun dengan menyewa alat pemotong rumput dan lain sebagainya. Masyarakat dua desa itu menunjukkan dua respon, menerima dan hanyut dalam gejala perubahan dengan menanggung resiko memudarnya kelembagaan lokal (mabari) seperti yang terjadi di Desa Susupu, dan di pihak lain menunjukkan gejala resistensi terhadap unsur-unsur perubahan seperti yang dilakukan di Lako Akelamo. Mereka yang menerima perubahan seperti halnya di Desa Susupu, di sebabkan oleh komunitasnya yang heterogen sehingga memiliki kontak dengan kebudayaan baru yang didatangkan dari luar, memiliki sistim dan tingkat pendidikan formal yang tinggi, sementara di Desa Lako Akelamo, memiliki penduduk yang homogen membuat mereka sulit untuk menerima kebudayaan baru yang datang, masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang rendah (SD dan SMP), terdapat sikap yang membanggakan dan mempertahankan tradisi-tradisi lama, karena terdapat anggapan bahwa perubahan yang akan terjadi belum tentu lebih baik dari yang sudah ada. Di komunitas ini juga, merupakan komunitas adat yang masih mengentalnya nilai-nilai adat istiadat.

c. Proses perkembangan bari dan mabari ditenmukan memang telah terjadi. Namun demikian, dinamika unsur-unsur perubahan menunjukkan, bahwa. kelembagaan mabari yang dilandasi nilai bari masih mempunyai manfaat besar di kalangan masyarakat dua desa lokasi penelitian, khususnya didalam konteks pengembangan kegiatan nafkah penduduk dua desa lokasi penelitian. Kerjasama yang digalang dengan mabari ternyata berkait dengan berbagai aspek pembangunan, mulai dari pengawas sosial untuk pemeliharaan solidaritas sosial, pengaturan atas pengembangan pasar, sampai pada memberi kepastian hak atas sumberdaya alam. Peran pemerintah desa pun dapat ditingkatkan dengan adanya mabari. Oleh karenanya, dapat dikatakan mabari masih berpotensi menjadi proses sosial yang mendekatkan semua pihak, sehingga perlu dipelihara dan kembali didayagunakan dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Halmahera Barat.

88

7.2. Implikasi Kebijakan

Kelembagaan mabari merupakan simpul atau mewakili gambaran masyarakat di dua desa yang hidup didasarkan pada pola kerjasama, tolong menolong, saling peduli, memiliki nilai, norma dan kepercayaan. bari sebagai nilai sosial budaya dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam pada masyarakat Halmahera Barat pada umumnya, diharapkan senantiasa terpelihara dan berkembang menjadi modal yang bernilai harganya dalam proses pembangunan.

Oleh karena itu, semestinya kebijakan pemerintah dalam bentuk implementasi program pembangunan di desa lebih intensif memanfaatkan mabari sebagai kelembagaan lokal yang ada dimasyarakat. Melembagakan nilai-nilai bari dalam setiap kebijakan dan program pemerintah daerah merupakan suatu langkah startegis untuk memberdayakan masyarakat. Internalisasi nilai-nilai bari pada setiap aspek kehidupan merupakan wujud dari upaya untuk memlihara, mempertahankan dan memperkuat kelembagaan mabari, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Halmahera Barat pada program juma’atan sebagai hari gotong royong, semestinya di rubah menjadi hari mabari, sehingga mengembalikan memori masyarakat lokal akan pentingnya nilai bari itu sendiri.

Modernisasi dan pembangunan di perdesaan juga menjadi salah satu solusi yang ampuh menyelesaikan banyak permasalahan di perdesaan. Namun modernisasi dan pembangunan yang diharapkan berkembang di daerah perdesaan adalah yang dapat menciptakan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di desa tanpa harus menghempasakan nilai-nilai lokal masyarakat yang terdapat di desa seperti bari. Modernisasi telah merubah wujud baru kelembagaan mabari, namun dengan adanya wujud baru dari kelembagaan itu, diharapkan perubahan hanya terjadi pada upaya memodernisasi kelembagaannya saja, namun nilai-nilai bari dan semangat mabari diharapkan tetap melekat dan selalu ada dalam wujud baru kelembagaan mabari itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Castles, S. 2001. Studying Social Transformation, International Political Science Review, Vol.22/I.

Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.

Dove, Michael R (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd, London

Eghenter Cristina dan Selato Bernard. 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam Penelitian Interdispliner di Pedalaman Kalimantan. The Ford Foundation. Jakarta WWF Indonesia.

Fetterman, David. Ethnography Step By Step, Newbury Park: Sage Publication, 1989.

Foucault, Michel, Power/Knowledge, ed. Colin Gordon, The Harvester Press, 1980.

Friedman, John. 1991. Empowerment; The Politics of Alternative Development. Cambridge. Blackwell.

Fukuyama, Francis, 1997, Social Capital, George Mason University: Institute of Public Policy.

Geertz, Clifford, Agricultural Involution, The Process Of Ecological Change in Indonesia, Universitas Of California Press, Berkeley-Los Angeles, 1963 Gorman, Robert, Common Property and Natural Resources Management,

University of Alaska Fairbanks

Hasbullah Jousairi, 2006, Socila Capital, Penerbit: MR-United Press Jakarta. Ibrahim Jabal Tarik, 2003, Sosiologi Pedesaan, Penertbit : Universitas

Muhammadiyah Malang

Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.

Kuntowijoyo.2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.

Lauer H. Robert. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, PT. Aneka Cipta, Jakarta

90

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian Pertama, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Nasdian Fredian Tony, 2006, Kemitraan dalam Tata Pemerintahan Desa dan Pemberdayaan Komunitas Pedesaan dalam Perpektif kelembagaan : Dalam Pembaruan Tata Pemerintaan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitaan, Editor: Dharmawan, Penerbit : PSP3 IPB

Ostrom, Ellinor, Private and Common Property Right, 2000.

Paulson, Susan, Gendered Practices and Landscape In Andes : The Shape of Asymmetrical Exchange, dalam Political Ecology Across Spaces, Scales, and Social Groups, Rutgers University Press, ed. Susan Susan Paulson and Lisa L . Gezon, 2005.

Peluso, Nancy Lee and Jesse C Ribot, A Theory of Access, Rural Sociology, June, 2003.

Sajogyo. 1982. Modernization Without Development. The Journal of Social Studies. Bacca, Bangladesh.

Sarman,M. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7

Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia, Jakarta.

Scoot, James, Weapon of The Weak : Everyday Form of Peasant Resistence, Yale University Press, 1985.

Shoemake, Ann. 2005. Komunikasi dan Komunitas di Indonesia : Pengahncuran dan Penumbuhan Kembali Modal Sosial di Maluku. Jakarta : Center for Research on Inter-Group Relations and Conflict Resolution.

Singarimbun dan Effendi, 1995, Metode Penelitian Survai, LP3S Jakarta.

Soekanto Soerjono, 1990, Struktur Dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta.

Sosrodihardjo. S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.

Spencer, Herbert.1963. ‘The Evolution of Societies’. Pp 9-13 in Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). Social Changes: Sources, Patterns and Consequences. Basic Books, New York.

Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul.

Tjondronegoro Soediono M.P, 2005 Pembangunan, Modal dan Modal Sosial, Jurnal Ikatan Sosiologi Indonesia

Uphoff, 1996. Local Institutional Development: An Analitical Sourcebook, with Cases. West Hartford : Kumarian Press

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.

Weber Max. 2002. Etika Protestan Dan Semangat Kapitalisme, Pustaka Promethea, Surabaya.

Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

92

Tabel Lampiran 2. Data Dasar Dua Lokasi Desa Penelitian

NAMA KABUPATEN Halmahera Barat

IBUKOTA Jailolo

LUAS WILAYAH 2.755 km2

JUMLAH PENDUDUK 124.644 jiwa

KEPADATAN PENDUDUK 38 jiwa/ km2

JUMLAH KECAMATAN 9

JUMLAH DESA 146

No. NAMA DESA SUSUPU LAKEAKELAMO

1 LUAS KAWASAN 22.31 28,16

2 JUMLAH PENDUDUK 1002 1384

3 JUMLAH KEP.KELUARGA 247 288

4 PENGGUNA LISTRIK 230 288

BAB.I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tidak ada masyarakat yang tidak berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Tidak jarang dalam perubahan tersebut terdapat nilai yang ditransformasikan. Bahkan, seiring perubahan tersebut tidak jarang ada inovasi budaya baru, sehingga mengikis budaya lama. Situasi ini juga dialami oleh masyarakat di dua desa, Susupu dan Lako Akelamo yang terletak di Kabupaten Halmahera Barat.. Masyarakat di dua desa itu menghadapi perubahan akibat pesatnya modernisasi dan menguatnya birokorasi pemerintahan.

Pembangunan infrastruktur, pembukaan jalan akses, yang juga mengikuti modernisasi dan penguatan birokrasi ke dua desa tersebut memasukkan informasi dan teknologi baru, sehingga makin mendorong arus perubahan. Proses yang di satu sisi, turut mempercepat perkembangan desa. Namun di sisi lain, masyarakat di dua desa itu juga menggeliat, menerima, mengadaptasi, bahkan ada juga yang melawan sumber-sumber perubahan yang ada. Dengan demikian, gejala tersebut menjadi satu bukti modernisasi di pedesaan Kabupaten Halmahera Barat sebagai sumber pembangunan dan perubahan. Meskipun demikian, menjadi naif apabila terdapat pandangan yang menilai bahwa modernisasi hanya membawa kemajuan terhadap perkembangan masyarakat. Tidak semua perubahan yang dibawa modernisasi dapat membawa perubahan yang membangunkan.

Akhir-akhir ini ada gejala di desa-desa di Kabupaten Halmahera Barat mulai mengalami pengikisan kohesivitas sosial. Kebersamaan dan solidaritas dirasakan memudar sehingga tanggung jawab sosial kolektif di masyarakat mulai berkurang. Contohnya, ada dalam keseharian masyarakat di pertemuan untuk membicarakan pembangunan desanya sendiri mulai menanyakan tentang uang saku untuk rapat. Laju perkembangan pembangunan dan globalisasi ternyata menumbuhkan tidak saja kemajuan, tetapi juga menguatkan individualitas dan sikap-sikap komersial. Artinya, dibalik menguatnya individualitas diikuti oleh menipisnya kohesifitas sosial. Masyarakat seakan-akan merapuh dari dalam tubuhnya sendiri. Satu contoh yang dialami sendiri ketika setahun lalu di RSU Boesori Ternate, melihat orang sakit menjadi sekarat di depan UGD (Unit Gawat

Darurat) karena tidak mendapatkan tindakan medis, karena hanya soal biaya administrasi yang belum diselesaikan. Begitu pun, ketika ada yang tidak dapat menebus mayat karena tak sanggup membayar biaya mobil jenazah.

Gejala melemahnya kohesifitas sosial diperkirakan berkaitan dengan melemahnya bari atau nilai-nilai sosial yang mengatur pola dan semangat hidup yang di dasarkan pada kepercayan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara anggota kelompok masyarakat yang dikenal masyarakat di Kabupaten Halmahera Barat. Untuk diketahui, Bari merupakan nilai dasar kelembagaan masyarakat yang dikenal sebagai Mabari, yang keberadaan kelembagaan tersebut sebagai pranata sosial dengan dasar proses sosial yang bersifat assosiatif. Mengikuti pandangan Ibrahim (2003), kelembagaan yang demikian merupakan unit sosial penting karena dilandasi oleh nilai-nilai sosial yang di dalamnya berbentuk kerjasama/gotong royong, dan tolong menolong.

Mabari di dua desa kajian menemukan implementasi bari sebagai nilai sosial ke dalam bentuk aktifitas masyarakat sebagai mabari. Bentuk aktifitasnya baik didalam kegiatan sosial ekonomi, maupun keagamaan masyarakat, seperti mulai dari kegiatan perkawinan, kedukaan, serta kegiatan berkebun kelapa (mulai pembukaan lahan, penanaman, hingga pemanenan). Mabari ini oleh masyarakat di dua desa kajian masih dianggap sebagai pola perilaku warisan leluhur yang dilembagakan, sehingga telah menjadi sebuah kebiasaan aktifitas sosial, dan ruang publik (public sphere) untuk mencairkan serta merajut pertentangan atau perselisihan dalam komunitas masyarakat sehingga tercipta rasa solidaritas masyarakat.

Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah pengikisan fungsi mabari berpotensi menurunkan solidaritas sosial, dan bahkan memudahkan perpecahan di kalangan masyarakat. Kejadian konflik horisontal Maluku Utara khususnya di Halmahera Barat pada dekade terakhir ini boleh menjadi bukti bari mengalami pengikisan, sehingga mabari tidak mampu menjadi peredam konflik. Meskipun selanjutnya, ternyata mabari diketahui masih berfungsi secara sosial pasca konflik. Misal, Soemake (2005) yang meneliti tentang konflik di Desa Idam Dehe Halmahera Barat memperlihatkan rekonsiliasi konflik dapat dilakukan melalui kerja sama, peningkatan tenggang rasa, sukarela dan partisipatif masyarakat. Melalui komunikasi membuat komunitas Idam Dehe yang dulunya tercabik-cabik akibat konflik ternyata dapat dipulihkan melalui pemanfaatan kembali mabari.

3

Sarana yang dipakai untuk menuju rekonsiliasi adalah kerja sama melibatkan dua komunitas yang berkonflik pada melakukan kegiatan memperbaiki atau membangun kembali sekolah yang rusak akibat konflik.

Aktifitas mabari saat ini di Kabupaten Halmahera Barat cenderung mengalami kemandekan dan hidup berbeda-beda di desa-desa. Berdasarkan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pengamatan sendirii diidentifikasi, bahwa mabari memang masih ada dan fungsinya beragam di desa-desa. Mabari sebagai lembaga lokal sering hidup menjadi komplementer dengan organisasi pemerintah desa. Lembaga ini terlihat bersifat tradisional, sehingga berbeda dengan ciri peran organisasi atau kelembagaan baru yang mengikuti perkembangan birokrasi pemerintah. Mabari mempunyai kekhasan yang khusus dalam menggalang proses sosial kerjasama, maupun dalam proses produksi—di dua desa lokasi kajian masih dapat dilihat dalam pengorganisasian perkebunan kelapa rakyat.

Berdasarkan perkembangan Mabari yang demikian, maka menjadi menarik melakukan kajian keberadaan dan perkembangan Nilai Bari dan Mabari. Hal ini penting juga karena ada bukti, bahwa mabari sebagai kelembagaan lokal dapat didayagunakan untuk menjaga solidaritas masyarakat dalam pembangunan. Bahkan, ada pandangan, bahwa pemanfaatan kelembagaan-kelembagaan lokal tersebut dapat dijadikan sarana efektif untuk percepatan pembangunan pedesaan di Kabupaten Halmahera Barat. Dengan dasar pemikiran, bahwa nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam dalam masyarakat menjadi modal yang berharga pembangunan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengungkap sejauhmana dampak perubahan sosial terhadap keberadaan nilai bari dan kelembagaan mabari.di pedesaan Kabupaten Halmahera Barat.

1.2. Perumusan Masalah

Bari sebagai nilai sosial lokal dan kelembagaan pemberdayaan masyarakat dan desa memerlukan dukungan bagi semua pihak untuk meletakan bari sebagai nilai dasar kelembagaan pemberdayaan masyarakat dan desa di Kabupaten Halmahera Barat. Didalam konteks ini, Bari dapat menjadi nilai dasar terbentuknya norma untuk mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada kepercayaan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai,

dan saling menolong diantara anggota kelompok masyarakat dalam rangka keberlangsungan proses pembangunan..

Masyarakat di Kabupaten Halmahera Barat kini cenderung menganggap Bari sebagai nilai yang tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai modernisasi. Proses ini berjalan akibat pengaruh luar terhadap perkembangan budaya masyarakat. Proses yang mendorong nilai-nilai, norma dan sikap, semangat kerja, serta paradigma berpikir masyarakat berubah dan mempengaruhi dukungan masyarakat atas bari itu sendiri. Fenomena ini apabila mengikuti pandangan Castels (2001) berkaitan dengan proses transformasi sosial di pedesaan (lokalitas) yang berjalan dengan sangat cepat pada setiap aspek kehidupan melalui keseluruhan skenario pembangunan yang menjebak masyarakat masuk dalam perangkap modernisasi ala kapitalis.

Pembangunan yang berlangsung di Kabupaten Halmahera Barat terkesan masih mengabaikan potensi sosial budaya lokal. Kebijakan-kebijakan pembangunan acap kali masih memarginalisasi nilai-nilai (kelembagaan tradisional) yang berfungsi untuk menata kehidupan masyarakat. Dengan arti lain, Masyarakat Kabupaten Halmahera Barat belum menyadari kelembagaan Mabari sebagai modal sosial yang berharga dalam proses pembangunan. Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat sebagai salah satu stakeholders pembangunan pun masih cenderung melihat nilai-nilai budaya sebagai sebuah unsur penting dari upaya pemberdayaan. Bahkan, pemberdayaan masih dilihat hanya sebagai suatu pelaksanaan proyek yang menghasilkan hal-hal yang bersifat materialistik dan terukur.

Akibatnya, mabari saat ini hidup dan berkembang beragam di desa-desa di Kabupaten Halmahera Barat. Berdasarkan kondisi ini, maka penelitian yang dilakukan ini berupaya menjawab pertanyaan umum penelitian, yaitu: bagaimana sebenarnya bari sebagai nilai dasar berkembangannya mabari masih menjadi ketetapan sosial dari tatanan kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Halmahera Barat, khususnya komunitas perkebunan kelapa rakyat ?. Didalam konteks ini, ada tiga pertanyaan khusus penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana Bari dan Mabari saat ini hidup didalam konteks perkembangan sosial komunitas ?

2. Bagaimana pembangunan membawa perubahan pada komunitas dan mempengaruhi perkembangan Mabari?

5

3. Bagaimana proses perkembangan bari dan mabari terjadi, dan dinamika unsur-unsur perubahannya?.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan memberikan kajian menyeluruh terhadap bari sebagai nilai sosial masyarakat yang mendasari kegiatan mabari kelembagaan sosial masyarakat. Penelitian diharapkan membantu menemukan kenyataan di lapangan yang akan dikaji, yaitu: Pertama : Mengetahui bari dan mabari dalam konteks situasi sosial komunitas di lokasi penelitian pada masa kini. Kedua; menggambarkan pembangunan membawa perubahan pada komunitas, dan dampaknya terhadap bari dan kelembagaan mabari pada masing-masing lokasi penelitian. Ketiga; Menggambarkan tentang proses mabari dan pola produksi petani kelapa di dua desa dan unsur-unsur perubahannya

Hasil penelitian diharapkan memberikan masukan kepada Pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan sehingga dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal dan lebih menghargai kelembagaan masyarakat lokal sebagai lembaga sosial yang efektif dalam menggerakan pembangunan di desa.

1.4. Sistematika Tulisan

Pada Bab 1 tesis ini sebagaimana telah diuraikan disampaikan mengenai latar belakang ketertarikan terhadap studi mengenai bari dan kelembagaan mabari di Kabupaten Halmahera Barat. Tema kelembagaan sosial selanjutnya dibicarakan kembali dengan mengingat semakin menipisnya kohesifitas sosial masyarakat akibat derasnya modernisasi dan penetrasi modal yang membawa serta pengaruh materialnya ke dalam kehidupan sosial masyarakat. Kondisi yang mengancam kohesifitas sosial oleh konflik demi konflik yang berimplikasi secara horisontal, sedemikian rupa merapuhkan solidaritas nasional dan mereduksinya dalam kesadaran homogenetik berdasar agama, ras, dan etnis. Dinamika mabari sebagai kelembagaan masyarakat yang berintikan nilai bari yang berintikan kebersamaan, solidaritas diungkap menjadi penting diangkat sebagai pembelajaran sosial.

Dalam bab kedua nanti akan diungkapkan beberapa teori pada tinjauan

Dokumen terkait