• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Sinetron

Sinetron adalah kependekan dari sinema elektronik (Wirodono, 2006). Sinetron kerap kali disamakan dengan soap opera atau di Indonesia lebih dikenal dengan opera sabun ataupun drama seri. Nama sinema elektronik sendiri diberikan sebab sinetron memang ditayangkan di televisi yang merupakan salah satu perangkat elektronik rumah tangga. Wirodono (2006) berpendapat bahwa secara prinsip, sinetron tidak berbeda dengan sinema celleluoid, layar lebar, atau bioskop, namun karena dari segi teknis dan karakter media peralatannya berbeda, keduanya mesti dibedakan.

Masih menurut Wirodono (2006) keterbatasan lebar monitor televisi beserta penempatannya di dalam rumah, membuat efek gambar yang dinikmati harus pula mendapatkan penyiasatan tertentu, dari segi penikmatannya pun, baik di rumah sendiri, di ruang tamu, maupun di ruang keluarga menonton sinetron bisa jadi hanyalah salah satu dari sekian banyak perhatian dan peristiwa yang berlangsung di sekitarnya. Sinetron juga diselingi oleh iklan, sedangkan film layar lebar tentu saja ditayangkan tanpa iklan. Menurut Wirodono (2006) iklan bisa menjadi faktor pengganggu dalam proses penikmatan program (dalam hal ini sinetron). Kecuali, jika iklan memang hanya berfungsi untuk memberi kesempatan pada penonton untuk mengalihkan saluran sembari menunggu tayangan iklan lewat (Wirodono, 2006). Iklan pada sinetron biasanya akan dimanfaatkan oleh penonton untuk melakukan kegiatan lain.

2. Sejarah Perkembangan Sinetron

Sinetron lahir tahun 1980-an di TVRI (Televisi Republik Indonesia). Stasiun televisi milik pemerintah yang tidak menerima iklan ini adalah satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu (“Sinetron: Rating”, 2001). TVRI pada awalnya selain memutar paksa film-film layar lebar nasional, juga meproduksi drama televisi (Wirodono, 2006). Menurut pendapat Wirodono (2006) migrasi orang-orang film layar lebar ke dunia sinetron disebabkan oleh ketidaksiapan dalam awal pertumbuhan dunia televisi kita. Inilah yang menyebabkan besarnya pengaruh layar lebar terhadap sinetron, bukan hanya pada style atau gaya ungkap dan pola penulisan skenario, melainkan juga pada penyutradaraan serta akting pemerannya (Wirodono, 2006).

Sinetron semakin berkembang bersamaan dengan hadirnya lima stasiun televisi swasta di Indonesia : RCTI, SCTV, TPI, ANTV dan Indosiar awal tahun 1990-an, dimana saat itu terdapat regulasi yang mengharuskan setiap stasiun televisi memproduksi program lokal lebih banyak dibandingkan program non lokal (Sinetron: Rating, 2001). Sinetron menjadi unggulan program lokal dan merajai prime time hampir semua stasiun televisi (“Sinetron: Rating”, 2001). Selain regulasi tersebut pernah juga pada jaman Menteri Penerangan Harmoko, ada banyak syarat untuk meluluskan sinetron yang berhak tayang karena harus melalui izin prinsip yang dikeluarkan Deppen untuk skenario sinetron, seperti tidak menunjukkan kekumuhan, perkelahian remaja, narkoba, dan larangan prinsip seperti SARA dan politik (Wirodono, 2006).

Sinetron dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya ditayangkan saat prime time, tetapi banyak juga ditayangkan pada jam-jam diluar itu, misalnya

pada pagi hari, siang, bahkan ada yang menayangkan sinetron saat hampir tengah malam. Selain itu pernah juga berkembang trend sinetron yang ditayangkan ulang sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore atau malam hari, sepertinya hal ini termasuk strategi stasiun televisi untuk menghemat anggaran. Strategi lainnya adalah memproduksi sendiri sinetron yang akan ditayangkan. Strategi ini contohnya dilakukan oleh Indosiar, sehingga tidak perku membayar mahal untuk membeli sinetron dari production house.

3. Tema Sinetron

Latar belakang sejarah sinetron yang mengungkap banyaknya peraturan yang diberlakukan pada skenario sinetron, menurut Wirodono (2006) menjadi penyebab dan pembenar alasan masing-masing PH untuk menggarap tema-tema klasik, seperti cinta dengan pernik-perniknya, sehingga tema cinta sejati, perselingkuhan, kesetiaan, dan penghianatan menjadi tema yang dominan. Dilihat dari ceritanya sendiri, kebanyakan sinetron menggunakan resep yang hampir sama yaitu persoalan cinta yang ruwet dengan intrik keluarga dan perselingkuhan (Sinetron: Rating, 2001). Keadaan ini agak memprihatinkan sebab menurut Budi Adji, yang juga Ketua Kompetisi (Komunitas Peduli Tayangan Televisi), tayangan yang tergolong buruk diantaranya adalah sinetron bertema selingkuhan dan khayalan belaka (Ikawati 2008).

Sinetron juga kerap kali menyoroti kehidupan masyarakat kota. Hal tersebut dibenarkan oleh Wirodono (2006) yang menulis bahwa problem-problem sosial ataupun kejiwaan yang dimunculkan lewat film-film seri, drama seri, atau sinetron-sinetron (meski yang unggulan sekalipun) lebih sering merupakan

problem sosial-psikologis masyarakat kota. Problema masyarakat kota yang sering diangkat oleh sinetron Indonesia selanjutnya memang lebih banyak menyoroti kehidupan masyarakat kelas sosial atas yang seringkali menampilkan kemewahan dan gaya hidup konsumtif.

Sinetron sebenarnya mengajarkan kita dengan hedonisme dan mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba wah (“Sinetron Indonesia”, 2006). Di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda, kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa (“Sinetron: rating”, 2001). Selanjutnya kehidupan keluarga dalam sinetron digambarkan sebagai keluarga yang kaya raya, figur cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah, handphone, merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan tanpa perduli dengan karakter tokoh yang dimainkan. (“Sinetron: rating”, 2001).

4. Kritik Terhadap Sinetron

Banyak sekali kritik yang ditujukan bagi sinetrron Indonesia. Salah satunya mengenai orisinalitas ide cerita dan skenario sinetron. Entah disadari atau tidak, sinetron yang mendominasi layar kaca di Indonesia sebenarnya merupakan adaptasi (baca: jiplakan) dari berbagai tayangan drama yang populer di negeri asalnya seperti Korea, Jepang, Taiwan, dan sebagainya (“Sinetron Indonesia”, 2006). Adaptasi tersebut ada yang memang mendapat lisensi sah dari pemilik cerita aslinya, tetapi kebanyakan sama sekali tidak mengantongi ijin. Adaptasi ini sepertinya dilakukan untuk menghemat dana dan tenaga, sebab menjiplak tidak

melibatkan unsur kreativitas, idealisme, risiko pasar, dan pengorbanan waktu dan tenaga yang begitu besar (“Sinetron Indonesia”, 2006).

Sinetron juga seringkali dinilai tidak realistik dan berlebihan. Maksudnya sinetron seringkali dianggap menampilkan kemewahan dan gaya hidup konsumtif yang tidak masuk akal sehingga seringkali tampak berlebihan. Selanjutnya sinetron juga mendapat kritik sebab dinilai menampilkan stereotip bias gender dalam ceritanya. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, cengeng, tertindas, tidak mandiri dan tergantung laki-laki, sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, tegar, mempunyai kekuasaan, mandiri dan melindungi (“Sinetron: Rating, 2001). Lukmantoro (2007) bahkan menyebut bahwa sinetron cenderung merendahkan martabat perempuan.

Terakhir sinetron Indonesia juga menuai kritik mengenai bahasa Indonesia yang digunakan. Sinetron seringkali dinilai tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Tokohnya kadang dianggap terlalu sering menggunakan kata umpatan atau makian. Sinetron juga dinilai masih banyak menampilkan adegan kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, sehingga dikhawatirkan memberi dampak negatif bagi penontonnya terutama remaja dan anak-anak. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta Swasono (dalam Lukmantoro, 2007) bahkan menyesalkan sinetron dan film yang dia anggap tidak membuat perempuan menjadi lebih pintar. Selanjutnya Ia juga menilai sinetron dan film yang kebanyakan ditonton oleh perempuan, ibu, dan anak, seringkali menampilkan kriminalitas dan tingkah laku yang kurang sopan serta licik.

5. Perilaku Menonton Sinetron Pada Remaja

Remaja saat ini menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di depan televisi sebab televisi merupakan media massa audio visual yang paling murah dan mudah dijangkau, padahal acara televisi saat ini didominasi oleh sinetron. Sinetron ditayangkan hampir disetiap stasiun televisi. Waktu penayangan sinetron pun saat ini bukan hanya pada jam-jam tertentu saja, tetapi hampir di setiap waktu baik pada pagi hari, siang, sore, maupun malam. Keadaan ini membuat remaja Indonesia tidak memiliki alternatif tontonan lain yang beragam.

Hal tersebut membuat remaja menjadi penonton sinetron. Mereka dapat mengikuti lebih dari satu judul sinetron setiap harinya. Remaja juga berusaha untuk menonton sinetron setiap hari agar mereka tidak tertinggal untuk mengetahui jalan ceritanya. Jalan cerita sinetron biasanya sangat panjang. Menurut Lukmantoro (2007) sinetron selalu dibuat berdasarkan alur cerita berseri yang sangat panjang. Lukmantoro (2007) juga menyebutkan bahwa penyelesaian masalah dalam sinetron selalu ditunda-tunda. Hal tersebut selanjutnya akan membuat emosi penonton menjadi bercampur antara apakah permasalahan dalam cerita akan segera berakhir atau akan timbul permasalahan baru lagi (Lukmantoro, 2007).

Perilaku menonton sinetron ini menjadi diperkuat bila lingkungan sekitar remaja juga melakukannya. Misalnya saja ketika sampai di sekolah ternyata teman-temannya sedang membicarakan kelanjutan cerita suatu judul sinetron. Ini akan membuat remaja menjadi lebih setia menonton sinetron, bahkan yang tidak menonton pun bisa saja menjadi menonton agar tidak merasa tersisih dari teman-temannya. Contoh lain misalnya bila anggota keluarga remaja juga ada

yang menonton sinetron, maka ini juga dapat memicu remaja untuk menjadi penonton sinetron.

Selanjutnya remaja akan memperhatikan tokoh-tokoh dalam sinetron tersebut. Tidak menutup kemungkinan apabila remaja kemudian mengidolakan tokoh tadi. Mereka kemudian membandingkan perilaku mereka dengan tokoh tadi dan mulai meniru perilaku tokoh idola mereka. Apalagi bila teman-teman sebaya mereka pun melakukan hal yang sama, maka remaja akan merasa tertinggal bila tidak meniru tokoh sinetron idolanya.

Sinetron kebanyakan ditonton oleh remaja putri. Lukmantoro (2007) menyebutkan bahwa sinetron sangat disukai oleh kaum perempuan, sehingga sinetron memang sangat populer dikalangan perempuan. Selanjutnya Modleski (dalam Lukmantoro, 2007) mengatakan perempuan sangat tertarik untuk menonton opera sabun karena perempuan lebih dapat mengikuti narasi dengan pola feminim daripada pria. Menurutnya opera sabun memang dibuat berdasarkan cara berpikir dan perasaan yang dimiliki oleh perempuan.

C. HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI MENONTON SINETRON

Dokumen terkait