• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN FREKUENSI MENONTON SINETRON DENGAN SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN FREKUENSI MENONTON SINETRON DENGAN SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI SKRIPSI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN FREKUENSI MENONTON SINETRON DENGAN

SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Cicilia Agnes Oktavia Pastora

029114132

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Cicilia Agnes Oktavia Pastora (2008). Hubungan Frekuensi Menonton Sinetron Dengan Sikap Konsumtif Pada Remaja Putri. Yogyakarta; Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi: Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja putri. Latar belakang penelitian ini adalah bahwa sinetron saat ini disiarkan sepanjang hari oleh hampir semua stasiun televisi, padahal sinetron banyak mendapat kritik. Kritik tersebut diantaranya adalah sinetron selalu menampilkan kemewahan duniawi, mengandung unsur kapitalis, dan mengajarkan gaya hidup konsumtif. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan yang positif antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja putri.

Definisi sikap konsumtif yang digunakan adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk bersikap boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Frekuensi menonton sinetron sendiri dapat dimaknai sebagai tingkatan seberapa sering seseorang itu menonton acara sinetron yang ditayangkan di televisi.

Subyek penelitian adalah 60 orang remaja putri berusia antara 15 sampai dengan 20 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket frekuensi menonton sinetron dan skala sikap konsumtif. Koefisien reliabilitas skala sikap konsumtif adalah sebesar 0,962. Analisis data penelitian dilakukan menggunakan statistik nonparametik karena data yang diperoleh tidak berdistribusi normal. Analisis dilakukan dengan bantuan SPSS 15.0 for Windows

menggunakan koefisien korelasi Spearman.

Hasil analisis data penelitian diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,354 pada taraf signfikansi (p) 0,01. Nilai koefisien korelasi yang positif menunjukkan bahwa frekuensi menonton sinetron mempunyai hubungan yang positif dengan sikap konsumtif, sehingga semakin tinggi frekuensi menonton sinetronnya maka sikap konsuntif juga akan semakin tinggi.

(6)

ABSTRACT

Cicilia Agnes Oktavia Pastora (2008). The Correlation between Frequency of Watching Sinetron and Consumptive Attitude on Female Teenagers. Yogyakarta: Faculty of Psychology; Department of Psychology: Sanata Dharma University.

The aim of this research was to find out the correlation between frequency of watching sinetron and consumptive attitude on female teenagers. The background of this research was the fact that now sinetron is broadcasted by almost all of the TV station everyday, although it also receives many criticisms. Some of the critics say that sinetron only conveys the luxury of the world. It has capitalist aspects, and it teaches a consumptive lifestyle. The hypothesis presented in this thesis was that there was a positive correlation between frequency of watching sinetron and consumptive attitude on female teenagers.

The definition of consumptive attitude used in this thesis is the attitude to consume everything unwisely, to put the will before the need, and not to have a priority scale. It also can be defined as a luxurious lifestyle. The frequency of watching sinetron can be defined in terms of how often someone watches sinetron

on television.

The subjects of this research were fifteen-year-old through twenty-year-old female teenagers. The numbers of the subjects were sixty teenagers. The data gathering method was by distributing watching sinetron frequency questioners and consumptive attitude scale. The consumptive attitude scale reliability coefficient was 0.960. The data analysis was done using statistics non-parametric method because the data gathered was not distributed normally. The analysis was conducted using SPSS 15.0 for Windows. Spearman correlation coefficient was used.

The result of the data research analysis was the correlation coefficient (r) was 0.354 at the level of significant (p) 0.01. Because of the correlation coefficient was positive, it meant that there was a positive correlation between the frequency of watching sinetron and consumptive attitude on female teenagers. The higher the frequency of watching sinetron, the higher consumptive attitude on female teenagers would be.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, karena

tanpa anugerah dan pertolongan-Nya skripsi ini tidak akan dapat saya selesaikan.

Mulai dari merencanakan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini, saya telah

mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, baik langsung ataupun tidak

langsung. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Bapak P. Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma, atas ijin dan kesempatan yang diberikan

kepada saya untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniarti Murtisari, S.Psi., M.Psi., selaku

Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan

dan saran yang diberikan selama saya menempuh pendidikan dan selama

proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Maria Magdalena Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi., M.Si., selaku

Dosen Pembimbing Akademik, atas segala perhatian dan dorongan

semangat yang tidak pernah henti.

4. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Psi., selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah dengan sabar memberikan banyak petunjuk serta bimbingan

dan juga mengajarkan kedisiplinan sehingga saya dapat menyelesaikan

skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si, atas saran yang diberikan selama

proses penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

telah mengasuh, mendampingi serta memberikan bekal ilmu selama saya

menempuh masa perkuliahan.

7. Para karyawan dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Mbak Nani, dan Pak Gik, untuk

(9)

8. Papa dan Mama tersayang, Bapak Yohannes Pastora dan Ibu Sri Lestari,

untuk segala kepercayaan, kesabaran, pengertian, dukungan, dorongan

semangat, dan doa yang tidak pernah berhenti.

9. Kak Monik-ku yang paling cantik, terima kasih buat abstract-nya, juga Adri yang sudah membantu selama proses pengambilan data. Terima kasih

juga atas semua yang telah kita bagi dan lewati selama ini.

10. Mbak Fajar dan Mas Ncop yang sudah membantu selama proses

pengambilan data dan selama persiapan ujian, terima kasih juga Mbak

buat semua cerita-ceritanya.

11. Sahabat-sahabatku yang cerewet, Delia dan Ririn untuk dorongan

semangatnya, Iban (Kapan mau SMS dan telepon lagi???), Mia juga Dewi

untuk persahabatannya.

12. Kembaranku Friska, Winda (miss you..), Sutrie untuk segala kesabarannya membantu selama ini, Katrin, Ohaq (Mana traktirannya?), Ayu dan jagoan

kecilnya, juga teman-teman dan sahabat yang tidak mungkin disebutkan

satu persatu, atas segala pengalaman, dan suka duka yang telah kita lewati.

13. Ana dan Kowok yang selalu memberi semangat lewat telepon dan

SMS-nya.

14. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak

langsung, juga semua subjek yang telah bersedia berpartisipasi dalam

penelitian ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkatNya kepada semua

pihak yang telah memberikan semua bantuan tersebut di atas.

Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga dengan senang hati

saya menerima saran demi perbaikan. Semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 10 Oktober 2008

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Pernyataan Keaslian Karya... iv

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Halaman Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xii

Daftar Lampiran... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Sikap Konsumtif ... 12

1. Definisi Sikap Konsumtif ... 12

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif ... 14

3. Aspek-aspek Sikap Konsumtif ... 21

4. Perilaku Konsumtif pada Remaja... 22

B. Sinetron ... 24

1. Definisi Sinetron... 24

(11)

3. Tema Sinetron ... 26

4. Kritik Terhadap Sinetron ...27

5. Perilaku Menonton Sinetron pada Remaja ...29

C. Hubungan Antara Frekuensi Menonton Sinetron dengan Sikap Konsumtif Pada Remaja Putri... 30

D. Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Variabel Penelitian... 35

C. Definisi Operasional ... 35

D. Subjek Penelitian ... 38

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 39

F. Pengujian Alat Ukur... 42

G. Metode Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 46

A. Pelaksanaan Penelitian... 46

B. Hasil Penelitian ... 46

1. Deskripsi Data Penelitian... 46

2. Uji Asumsi ... 49

3. Uji Hipotesis ... 51

C. Pembahasan ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I Blue Print Skala Sikap Konsumtif ... 41

Tabel II Blue Print Skala Sikap Konsumtif Pada Saat Uji Coba ... 44

Tabel III Blue Print Nomor Aitem Baru Setelah Uji Coba... 44

Tabel IV Deskripsi Data Skor Skala Sikap Konsumtif... 46

Tabel V Deskripsi Data Frekuensi Menonton Sinetron ... 47

Tabel VI Deskripsi Sekolah Subjek ... 48

Tabel VII Hasil Uji Normalitas ...49

Tabel VIII Hasil Uji Linearitas ... 50

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Penelitian ... 66

Lampiran 2. Skala Uji Coba... 67

Lampiran 3. Reliability dan Aitem Total Statistik (Sebelum Pengguguran Item 78 Lampiran 4. Item Total Statistics (Setelah Pengguguran Item) ... 80

Lampiran 4. Skala Penelitian ... 82

Lampiran 6. Data Penelitian ... 91

Lampiran 7. Uji Normalitas dan Linearitas ... 93

Lampiran 8. Uji Nonparametric Correlations ... 94

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan remaja Indonesia saat ini tidak terpisahkan dari media

massa. Mereka mendengarkan radio dalam perjalanan menuju sekolah. Mereka

juga mengakses internet, membaca tabloid, majalah, koran, serta novel, dan

komik. Sepulang dari sekolah mereka menyaksikan beragam acara yang disiarkan

di televisi seperti sinetron, reality show, kuis, ataupun infotainment. Terkadamg

sambil belajar di kamarnya remaja juga mendengarkan radio dan di akhir pekan

mereka pergi menonton film di bioskop bersama teman-teman sebaya mereka.

Menggunakan dan menikmati beragam media massa memang sudah

menjadi bagian hidup sehari-hari para remaja. Mereka takut dikatakan kurang

pergaulan apabila tidak mengikuti tren dan beragam informasi yang disajikan oleh

media massa. Remaja juga menjadikan media massa sebagai sarana mencari

hiburan atau sekedar untuk mengisi waktu senggang sambil mengusir rasa jenuh

setelah belajar di sekolah, sehingga tidaklah mengherankan apabila disebagian

besar waktunya remaja melaluinya bersama atau dekat dengan beragam media.

Data yang disampaikan Bauer (2005) mendukung hal tersebut. Ia

menulis bahwa di Kanada aktivitas anak-anak dan remaja yang berhubungan

dengan media (termasuk TV, radio, internet, dan permainan komputer), mencapai

5,5 jam per hari. Sementara itu menurut data yang dimiliki Dr Sigman, anak-anak

(15)

dari setengah waktunya dengan menonton TV dan bermain komputer (‘Televisi

dan komputer”, 2008). Selanjutnya Santrock (2003) dengan lebih jelas

menyatakan bahwa remaja menghabiskan sepertiga atau lebih waktu terjaga

mereka dengan beberapa bentuk media massa, baik sebagai fokus utama atau

sebagai latar belakang melakukan kegiatan lain.

Televisi dan radio merupakan media massa yang murah meriah.

Remaja tidak perlu mengeluarkan banyak uang, bahkan sama sekali tidak perlu

mengeluarkan uang untuk dapat menikmati televisi dan radio. Ini tentu berbeda

dengan media massa yang lainnya. Majalah dan tabloid harus dibeli setiap jangka

waktu tertentu agar dapat dinikmati, begitu pula dengan novel ataupun menonton

film di bioskop.

Televisi dan radio juga menyuguhkan informasi dan acara yang cukup

beragam, seperti acara musik, kuis, film, drama seri, reality show, berita, sampai

infotainment; meskipun begitu televisi tampaknya tetap lebih populer

dibandingkan radio. Penyebabnya sudah pasti karena sifat televisi yang dapat

menyajikan informasi secara audio visual. Bentuk informasi audio visual inilah

yang menjadi daya tarik khas yang hanya dimiliki oleh televisi. Hal ini sejalan

dengan pendapat Wirodono (2006) yang menulis bahwa televisi adalah media

yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis media ini, sebagai

media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk

menikmatinya.

Remaja sendiri dapat menghabiskan waktu berjam-jam menonton

televisi, bahkan Santrock (2003) menyatakan bahwa remaja menonton televisi

(16)

Beberapa remaja sedikit atau sama sekali tidak menonton televisi, yang lain

menonton selama 8 jam sehari. Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Yayasan

Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), waktu menonton TV pada anak Indonesia

sangat tinggi, mencapai 30-35 jam seminggu (“Sayang Anak, Sayang Anak….”,

2005). Lebih lanjut data Badan Pusat Statistik tahun 2003 yang dimuat dalam

majalah Reader’s Digest Indonesia edisi September 2005, memberikan persentase

jumlah anak usia 10 tahun keatas yang menonton TV. Data tersebut menyebutkan

bahwa persentase anak usia 10 tahun keatas yang menonton TV pada tahun 1998

mencapai 88,72% dan pada tahun 2000 mencapai 87,97%.

Penelitian lain yang meneliti kebiasaan menonton pada remaja

dilakukan oleh Muizzudin pada tahun 1997. Hasil penelitian yang dapat diakses

dari perpustakaan digital ITB ini, memang subjeknya baru terbatas pada 70 orang

remaja yang bertempat tinggal di Kabupaten Dati II Blitar. Hasilnya sebanyak

31.43% responden menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 jam/hari untuk menonton

TV, sebagian besar menonton dalam waktu tak menentu (tergantung acara yang

diminati). Pada waktu hari libur lebih dari separuh responden (57.14%)

menghabiskan waktu 3 - 4 jam/hari, dengan motif menonton untuk memperoleh

hiburan (58.9%). Lembaga survei AGB Nielsen memberi data yang mendukung

hasil penelitian Muizzudin. Hasil survei lembaga tersebut yang dapat dilihat

dalam AGB Nielsen Newsletter edisi Agustus 2008, dilakukan pada April – Juni

2008 di 10 kota besar di Indonesia dan memperoleh hasil bahwa waktu menonton

TV remaja usia 15-19 tahun rata-rata 2 jam 47 menit per harinya, padahal menurut

(17)

menikmati hiburan layar kaca maksimal dua jam sebagai batasan rata-rata per

hari.

Siaran televisi di Indonesia saat ini diisi oleh TVRI dan 10 stasiun

televisi swasta yang mengudara secara nasional. Jumlah tersebut belum temasuk

stasiun televisi lokal, seperti Jogja TV dan TATV yang mengudara di wilayah

Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, juga Jak-TV dan O-Channel di Jakarta, dan

masih banyak lagi yang lainnya. Selama sekitar 20 jam mengudara, sebuah stasiun

televisi setidaknya membutuhkan sekitar 25 hingga 30 program acara, di luar

acara-acara tayang ulang (Wirodono, 2006). Acara-acara yang disiarkan biasanya

terdiri dari acara berita yang bermaksud memenuhi kebutuhan penontonnya akan

berbagai informasi, dan acara-acara yang bermaksud menghibur penontonnya,

seperti kuis, infotainment, sinetron, film, reality dan talk show, serta acara musik.

Selanjutnya Wirodono (2006) menjelaskan bahwa acara film (sinetron,

film kartun, film impor, maupun drama komedi) mencapai antara 50-60%, jauh

lebih tinggi dari lainnya (kecuali di Metro TV, komposisi berita mencapai

50-60%, dan selebihnya adalah film dokumenter dan talk-show. Penayangan film,

khususnya impor, hanya sekitar 3%). Sementara itu survei yang dilakukan oleh

AGB Nielsen pada periode 10-16 Desember 2006 untuk mendata 100 program

televisi dengan rating tertinggi di Indonesia, menghasilkan temuan bahwa sepuluh

peringkat teratas ternyata dihuni oleh tayangan sinetron. Tayangan sinetron

(drama series) mendominasi daftar tersebut dengan 43%, sedangkan tayangan

berita hanya 2% (“Sinetron Indonesia”, 2006). Data tersebut didukung oleh

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), seperti yang dilansir

(18)

mendominasi tayangan televisi, sedangkan, tayangan yang mengandung edukasi

hanya 0,07 persen (Nainggolan, 2008).

Banyaknya stasiun televisi di Indonesia seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, tidak menjamin akan munculnya banyak acara yang berkualitas dan

beragam. Acara-acara yang saat ini disiarkan oleh stasiun televisi umumnya

menggarap tema yang seragam, sehingga menimbulkan kesan bahwa setiap

stasiun televisi tidak memiliki ciri khas yang benar-benar membedakannya dari

stasiun televisi yang lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Wirodono (2006)

yang menyatakan bahwa salah satu ciri khas televisi sebagai media adalah

persoalan ketidakmatangan media ini. Selanjutnya ia juga menulis tidak adanya

karakter yang jelas dan matang pada akhirnya tercermin pada masing-masing

stasiun televisi.

Salah satu contohnya adalah acara reality show yang bertujuan

mengorbitkan seseorang menjadi bintang. Sebut saja AFI yang dibuat oleh

Indosiar, kemudian diikuti oleh Indonesian Idol dan Saatnya Jadi Idola di RCTI,

serta KDI di TPI, Sing Like A Star di Global TV, dan masih banyak lagi

acara-acara reality show sejenis yang mengajak pemirsanya untuk berpartisipasi melalui

SMS. Begitu pula dengan sinetron. Keberhasilan sebuah sinetron yang

ditayangkan di satu stasiun televisi, kemudian akan diikuti oleh stasiun-stasiun

televisi lainnya yang ikut menyiarkan sinetron-sinetron bertema sama. Tren

sinetron remaja misalnya, saat muncul sebuah sinetron yang mengangkat tema

dari rubrik-rubrik majalah remaja atau memakai judul lagu yang sudah lebih dulu

tren, maka hampir semua stasiun televisi kemudian akan menayangkan sinetron

(19)

bertema religi, cerita rakyat, ataupun menyadur dari drama seri luar negeri, maka

hampir disetiap stasiun televisi kita dapat menyaksikan sinetron yang juga

mengangkat tema-tema tersebut.

Sinetron Indonesia saat ini menuai banyak kritik dari berbagai

kalangan. Salah satu hal yang seringkali dikritik adalah bahwa sinetron seringkali

tidak realistis dan berlebihan. Misalnya anak-anak sekolah dalam sinetron

seringkali digambarkan menggunakan berbagai aksesoris yang tidak sepantasnya

digunakan di sekolah atau berdandan berlebihan seperti akan pergi ke pesta.

Anak-anak SMP dan SMA tidak jarang digambarkan membawa mobil mewah

atau diantar sopir pribadi ke sekolah.

Memang sebagian besar sinetron Indonesia menyoroti atau

mengangkat tema kehidupan masyarakat kota. Wirodono (2006) juga berpendapat

demikian, menurutnya kita bisa melihat problem-problem sosial ataupun kejiwaan

yang dimunculkan lewat film-film seri, drama seri, atau sinetron-sinetron (meski

yang unggulan sekalipun) lebih sering merupakan problem sosial-psikologis

masyarakat kota. Problema masyarakat kota yang sering diangkat oleh sinetron

Indonesia selanjutnya memang lebih banyak menyoroti kehidupan masyarakat

kelas sosial atas.

Ada juga beberapa judul sinetron yang sukses menggarap tema

kehidupan masyarakat sosial kelas bawah, seperti ‘Si Doel Anak Sekolahan’ dan

‘Bajaj Bajuri’, tetapi pada akhirnya keduanya harus menyerah ketika berbenturan

dengan keterbatasan kreativitas sehingga penonton menjadi bosan atau

(20)

sosial kelas bawah cenderung dihindari karena tidak diminati oleh pemasang

iklan.

Akibat sering menggarap kehidupan masyarakat kota dan kelas sosial

atas, sinetron Indonesia cenderung menampilkan kemewahan. Tokoh dalam

sinetron biasanya digambarkan tinggal di rumah atau apartemen mewah, memiliki

mobil yang juga mewah, dan mempunyai perusahaan sendiri. Tokoh yang

menggunakan pakaian, sepatu, dan tas serba mahal, serta perhiasan berlebihan

sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam sinetron. Tampaknya

memperlihatkan dan mengumbar kemewahan duniawi sudah menjadi salah satu

ciri khas sinetron (“Sinetron Berseri”, 2007). Di tengah krisis ekonomi dan politik

yang melanda, kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa (“Sinetron:

rating”, 2001).

Kehidupan keluarga dalam sinetron digambarkan sebagai keluarga

yang kaya raya, figur cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah

mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah,

handphone, merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan (“Sinetron:

rating”, 2001). Nina M Armando, Sekretaris Utama Yayasan Pengembangan

Media Anak (YPMA) dan Dosen Universitas Indonesia dalam

www.entertainment.kompas.com bahkan mengatakan bahwa kapitalistik masih

menjadi unsur yang tak pernah lepas dari sinetron. Kenyataan tersebut membuat

sinetron seringkali dinilai kurang berkualitas. Sugiyatma dan Wahyuni (2006)

mengatakan bahwa tayangan film/sinetron sebagai hiburan kosong dan kurang

(21)

Remaja pun terkena imbasnya. Mereka menjadi terbiasa menyaksikan

kehidupan kota besar beserta hingar-bingar dan kemewahannya lewat sinetron,

padahal menurut Sinta Indra Astuti, MSi, dosen Unisba Bandung, para remaja dan

anak-anak masih sangat rentan terhadap siaran berbagai media, terutama sinetron

(”Sinetron Remaja”, 2008). Menurutnya mereka belum memiliki bekal yang

cukup untuk mengkritisi sebuah produk seperti sinetron dan gampang meniru

setiap adegan yang ada didalam sinetron.

Sugiyatma dan Wahyuni (2006) mendukung pendapat tersebut dengan

menyatakan bahwa tidak mengherankan kalau anak-anak dan remaja sangat

mudah meniru apa yang ditayangkan televisi, karena itulah yang disebut modern

menurut pandangannya. Begitu pula dengan Lina dan Rosyid (1997), mereka

mengatakan bahwa pada kenyataannya banyak dijumpai kecenderungan di

kalangan remaja Indonesia untuk meniru gaya hidup mewah, dan sikap yang

sedang mewabah di Negara-negara maju.

Ketika seorang remaja menonton sinetron dan menyaksikan salah satu

tokohnya menggunakan handphone keluaran terbaru misalnya, ia mungkin saja

menjadi ingin memiliki handphone tersebut dan meminta kepada orang tuanya

untuk membelikan, padahal handphone milik remaja itu sendiri masih bisa

berfungsi baik. Contoh lainnya ketika remaja menyaksikan tokoh dalam sinetron

mengenakan tas dan sepatu mahal model terbaru, maka ia kemudian juga membeli

tas dan sepatu yang sama dengan yang dipakai tokoh tersebut agar tidak dikatakan

ketinggalan jaman oleh teman-temannya, padahal di rumah ia sudah memiliki 10

buah tas dan 10 pasang sepatu yang masih bagus. Hal ini bisa berlangsung terus

(22)

Perilaku konsumtif seringkali dialami oleh remaja putri. Wahyono

(dalam Lina dan Rosyid, 1997) mendukung pernyataan tersebut dengan

mengatakan kenyataan menunjukkan bahwa gerakan gaya hidup mewah atau

konsumtif ini juga dilakukan oleh kaum muda dan remaja putri. Hasil penelitian

Yuliana pada tahun 2006 yang dapat diakses melalui

www.library.gunadarma.ac.id juga mendukung hal tersebut. Penelitian tersebut

memperoleh hasil bahwa remaja putri memiliki perilaku konsumtif terhadap

barang yang berdiskon.

Perilaku konsumtif yang berlebihan pada remaja bisa mendatangkan

berbagai permasalahan. Remaja dapat tumbuh menjadi pribadi yang terbiasa

hidup boros dan jauh dari kebiasaan menabung. Perilaku konsumtif juga dapat

membuat remaja menjadi materialistik sehingga mereka selalu melihat segala

sesuatu dari segi materi saja. Dampak lainnya yang dapat timbul dari perilaku

konsumtif disampaikan oleh Tambunan (2008) yang mengatakan bahwa

terkadang orang tua sebagai sumber dana, tidak mampu memenuhi tuntutan

remaja sehingga masalah ini dapat menjadi masalah ekonomi keluarga.

Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa perilaku konsumtif ini akan

terus mengakar dan berkembang menjadi gaya hidup, tetapi bila kemudian tingkat

finansial kurang mendukung, maka seseorang tersebut dapat menggunakan

cara-cara yang tidak sehat seperti bekerja berlebihan sampai melakukan korupsi. Masih

menurut Tambunan (2008) pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki

dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial, dan etika. Salah satu

contohnya adalah meningkatnya angka kriminalitas. Memang menurut Kepala

(23)

Hendarsono Danuri, kecenderungan motif ekonomi dan budaya konsumtifisme

memang saling bertautan memancing praktik kriminal (Kompas, 2008).

Anggarasari (1997) bahkan mengatakan bahwa sikap hidup konsumtif merupakan

salah satu masalah sosial yang cukup serius, sebab akan membawa dampak

negatif bagi masyarakat Indonesia.

Dampak perilaku konsumtif yang demikian kompleks membuat

peneliti tertarik untuk meneliti masalah konsumtifitas ini di kalangan remaja dan

membuat masalah ini menjadi penting untuk diteliti. Berdasarkan latar belakang

tersebut dan melihat makin maraknya perilaku konsumtif di kalangan remaja,

maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara frekuensi

menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara frekuensi menonton sinetron dengan

sikap konsumtif pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan

antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat yang bersifat

teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. Kedua manfaat yang dimaksud adalah

(24)

1. Manfaat Teoritis

Bagi para peneliti, penelitian ini diharapkan dapat

merangsang penelitian baru yang hendak mengkaji topik yang

berkaitan dengan media massa televisi dan sikap konsumtif pada

remaja, sehingga dapat menambah khasanah ilmu Psikologi

terutama Psikologi Media Massa dan Psikologi Konsumen.

2. Manfaat Praktis

Bagi subjek penelitian, hasil penelitian ini kiranya berguna

sebagai sumber informasi dan refleksi untuk lebih kritis dalam

menyaksikan acara televisi khususnya sinetron, sehingga

diharapkan dapat lebih mengontrol sikap konsumtifnya.

Bagi orang tua dan pendidik, hasil penelitian ini kiranya

berguna sebagai sumber informasi untuk membantu mereka lebih

memahami dan mendampingi remaja dalam menghadapi berbagai

informasi yang disampaikan media massa dan dalam pergaulan

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SIKAP KONSUMTIF

1. Definisi

Sikap, menurut Gagne dan Briggs (dalam Aiken, 2002) adalah sebuah

keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk bereaksi

mengenai sesuatu, baik itu objek, orang, maupun kejadian tertentu. Konsumtif

sendiri menurut Retno Widiastuti (2003), anggota Pengurus Harian YLKI

(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) adalah sebuah perilaku yang boros,

yang mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam arti yang lebih

luas konsumtif adalah perilaku bekonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih

mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas, juga

dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah (Widiastuti, 2003).

Selanjutnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga memberikan batasan

konsumtivisme, yaitu kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi

tanpa batas, dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada

kebutuhan (Mahdalela, dalam Lina dan Rosyid, 1997).

Sembiring (2007) mendukung pendapat tersebut, menurutnya

konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang

yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau

kegunaan ketika membeli barang melainkan membertimbangkan prestise yang

melekat pada barang tersebut, oleh karena itu arti kata konsumtif (consumtive)

(26)

secara berlebihan. Evanita, Afnidarti, dan Armida (tanpa tahun) dalam penelitian

mereka yang dipublikasikan melalui situs resmi Kementrian Negara

Pemberdayaan Perempuan, menulis bahwa seseorang yang melakukan tindakan

dalam bentuk pembelian barang atau jasa tanpa pertimbangan rasional dapat

digolongkan orang yang konsumtif dan tindakannya disebut dengan perilaku

konsumtif.

Tambunan (2007) juga memberikan definisi konsumtif. Menurutnya

konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi

barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai

kepuasan yang maksimal. Ia lebih jauh menerangkan bahwa konsumtif biasanya

digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai

uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi

kebutuhan pokok. Hal senada juga dikemukakan oleh Lina dan Rosyid (1997).

Mereka menulis bahwa predikat konsumtif biasanya melekat pada seseorang bila

orang tersebut membeli sesuatu diluar kebutuhan yang rasional, sebab pembelian

tidak lagi didasarkan pada faktor kebutuhan, tetapi sudah pada taraf keinginan

yang berlebihan.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa sikap

konsumtif adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang

untuk berperilaku yang boros dalam arti mengkonsumsi barang atau jasa yang

sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan cenderung tanpa batas dan

didasarkan pada pertimbangan yang tidak rasional, yaitu untuk memenuhi

(27)

kebutuhan dan kegunaannya, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan

sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif

Tinjauan mengenai perilaku konsumtif perlu ditelusuri melalui

pemahaman mengenai perilaku konsumen (Lina dan Rosyid, 1997). Perilaku

konsumen sendiri dalam membeli barang sebenarnya dipengaruhi oleh banyak

faktor. Faktor-faktor tersebut menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) dapat

dibedakan menjadi dua yaitu:

I. Faktor-faktor lingkungan eksternal

faktor-faktor ini terdiri dari:

a. Kebudayaan

Kebudayaan menurut Stanton (dalam Dharmmesta dan Handoko,

2000) adalah simbol dan fakta yang komplek, yang diciptakan oleh

manusia, diturunkan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan

pengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang ada. Kebudayaan

yang tercermin dalam cara hidup, kebiasaan, dan tindakan dalam

permintaan bermacam-macam barang di pasar sangat mempengaruhi

perilaku konsumen (Engel, Kollet, dan Blackwell, 1994). Tidak adanya

homogenitas dalam kebudayaan suatu daerah, misal karena banyaknya

kolompok etnis, akan membentuk pasar dan peilaku konsumen yang

(28)

b. Kebudayaan khusus

Kebudayaan yang khusus ada pada suatu golongan masyarakat yang

berbeda dari kebudayaan golongan masyarakat lain maupun

kebudayaan seluruh masyarakat, tentu saja mengenai beberapa bagian

yang tidak pokok, hal ini dinamakan kebudayaan khusus (subculture)

(Dharmmesta dan Handoko, 2000). Menurut Dharmmesta dan

Handoko (2000) kebudayaan-kebudayaan khusus ini memainkan

peranan penting dalam pembentukan sikap konsumen dan merupakan

petunjuk penting mengenai nilai-nilai yang akan dianut oleh seseorang

konsumen. Kebudayaan khusus yang berbeda dengan kebudayaan

khusus lain akan menyebabkan berbedanya pula perilaku

konsumennya.

c. Kelas sosial

Pengertian kelas sosial dalam hal ini adalah sama dengan istilah

lapisan sosial, sedangkan lapisan sosial sendiri menurut ahli sosiologi

Pitirim A. Sorokin, adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke

dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarki) (Dharmmesta dan

Handoko, 2000). Engel, Kollet, dan Blackwell (1994) mengatakan

bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelas dapat mempengaruhi

pola konsumsinya dan sifat kepemilikan produk yang membedakan

dengan kelas sosial yang lain. Dharmmesta dan Handoko (2000)

mendukung pendapat tersebut, menurut mereka keanggotaan seseorang

dalam suatu kelas dapat mempengaruhi perilaku pembeliannya. Lebih

(29)

perilaku konsumen antara kelas sosial yang satu akan sangat berbeda

dengan kelas lain, karena golongan sosial ini menyangkut aspek-aspek

sikap yang berbeda-beda.

d. Kelompok sosial dan kelompok referensi

Kelompok-kelompok sosial tersebut adalah kesatuan sosial yang

menjadi tempat individu-individu berinteraksi satu sama lain, karena

adanya hubungan diantara mereka (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Bentuk-bentuk kelompok sosial yang terjadi di dalam masyarakat

terdiri dari:

1) Kelompok yang berhubungan langsung (face to face group)

Yaitu kelompok yang anggotanya saling kenal-mengenal secara

erat, seperti misalnya keluarga, teman dekat, tetangga, kawan

sekerja dan sebagainya, keanggotaannya untuk sebagian besar

dipengaruhi oleh jabatannya, tempat kediamannya, dan usia

(Dharmmesta dan Handoko, 2000). Menurut Dharmmesta dan

Handoko (2000) kelompok ini mempunyai pengaruh langsung

terhadap pendapat dan selera orang.

2) Kelompok primer dan kelompok sekunder (primary groups

dan secondary groups)

Kelompok-kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang

ditandai dengan ciri-ciri adanya saling mengenal antara

anggota-anggota serta kerja sama yang erat yang bersifat

pribadi (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Kelompok primer

(30)

menjadi anggotanya, sedangkan pada kelompok sekunder

anggotanya tidak perlu mengenal secara pribadi, meski begitu

kelompok sekunder akan tetap memiliki ciri kelompok primer

(Dharmmesta dan Handoko, 2000).

3) Kelompok formal dan informal (formal group dan informal

group)

Kelompok formal adalah kelompok-kelompok yang

mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan dengan sengaja

diciptakan untuk mengatur hubungan antar anggota-anggotanya

(Dharmmesta dan Handoko, 2000). Sebaliknya kelompok

informal tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu

(Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Kelompok referensi (reference group) adalah kelompok sosial yang

menjadi ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk

membentuk kepribadian dan perilakunya (Dharmmesta dan Handoko,

2000). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) kelompok referensi

ini juga mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembeliannya, dan

sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku.

Engel, Kollet, dan Blackwell (1994) sendiri berpendapat bahwa

kelompok referensi remaja salah satunya adalah kelompok teman

sebaya, dimana tekanan konformitas dari kelompok benar-benar dapat

(31)

e. Keluarga

Setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan yang berbeda,

meskipun begitu keluarga memainkan peranan terbesar dan terlama

dalam pembentukan sikap dan perilaku manusia (Dharmmesta dan

Handoko, 2000).

II. Faktor-faktor internal.

a. Motivasi

Dharmmesta dan Handoko (2000) mengemukakan bahwa motif adalah

keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu

untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu

tujuan. Motif-motif manusia dalam melakukan pembelian terdiri dari:

1) Motif pembelian primer dan selektif

Motif pembelian primer (primary buying motive) adalah motif

yang menimbulkan perilaku pembelian terhadap

kategori-kategori umum (biasa) pada suatu produk, seperti membeli

televisi atau pakaian (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Sedangkan motif pembelian selektif (selective buying motive)

adalah motif yang mempengaruhi keputusan tentang model dan

merek dari kelas-kelas produk, atau macam penjual yang

dipilih untuk suatu pembelian (Dharmmesta dan Handoko,

2000).

(32)

Motif rasional menurut Dharmmesta dan Handoko (2000)

adalah motif yang didasarkan pada kenyataan-kenyataan seperti

yang ditunjukkan oleh suatu produk kepada konsumen.

Berbeda dengan motif rasional, motif emosional adalah motif

pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi

individu, seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan,

kenyamanan, kesehatan, keamanan, dan kepraktisan

(Dharmmesta dan Handoko, 2000).

b. Proses belajar

Belajar menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) dapat didefinisikan

sebagai perubahan-perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil akibat

adanya pengalaman. Proses belajar pada suatu pembelian terjadi

apabila konsumen ingin menanggapi dan memperoleh suatu kepuasan,

atau sebaliknya, tidak terjadi apabila konsumen merasa dikecewakan

oleh produk yang kurang baik (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

c. Kepribadian dan konsep diri

Dharmmesta dan Handoko (2000) mendefinisikan kepribadian sebagai

organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang

mendasari perilaku individu. Menurut Hawkin, Coney, dan Bert (1980)

kepribadian sangat berpengaruh pada perilaku pengambilan keputusan

untuk membeli produk: minuman, mobil, warna pakaian, dan kegiatan

yang bersifat rekreasional. Sedangkan konsep diri menurut Theodore

M. New Combe (dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000)

(33)

dalam kerangka kehidupannya dalam suatu masyarakat yang

menentukan. Dharmmesta dan Handoko (2000) berpendapat konsep

diri mempunyai implikasi dan aplikasi (penerapan) yang luas pada

perilaku konsumen.

d. Sikap

William G. Nickels (dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000)

memberikan definisi dari sikap yang diterapkan pada pemasaran

sebagai suatu kecenderungan yang dipelajari untuk bereaksi terhadap

penawaran produk dalam masalah-masalah yang baik ataupun kurang

baik secara konsekuen. Lebih jauh Engel, Kollet, dan Blackwell (1994)

menyatakan bahwa sikap merupakan keseluruhan evaluasi atau reaksi

perasaan positif dan negatif terhadap suatu produk yang didasarkan

pada pengalaman masa lalu, keadaan sekarang, dan harapan di masa

datang.

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif disampaikan oleh

Tuti Indra Fauziansyah (dalam Herawati, 2008) seorang Psikolog dari Iradat

Konsultan, yang mengungkapkan bahwa beberapa tahun belakangan ini, yang

dibangun oleh pemerintah adalah karakter masyarakat yang materialistis.

Menurutnya menjamurnya pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan, membuat

orang jadi konsumtif, begitu pula perlakuan orang-orang yang terlibat

didalamnya. Perlakuan terhadap orang yang dipandang kaya akan berbeda dengan

perlakuan yang didapat oleh orang-orang kalangan menengah ataupun bawah.

Fauziansyah (dalam Herawati, 2008) menambahkan bahwa orang kaya atau

(34)

istimewa, maka tak heran jika orang berlomba-lomba agar bisa masuk kalangan

tersebut, atau paling tidak terlihat demikian.

3. Aspek-Aspek Sikap Konsumtif

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa sikap konsumtif

adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk

berperilaku yang boros dalam arti mengkonsumsi barang atau jasa yang

sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan cenderung tanpa batas dan

didasarkan pada pertimbangan yang tidak rasional, yaitu untuk memenuhi

keinginan dan prestise yang tergambar dari sebuah barang daripada pertimbangan

kebutuhan dan kegunaannya, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan

sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Berdasarkan definisi tersebut maka

dapat terungkap mengenai aspek-aspek sikap konsumtif yang terdiri dari:

a. Boros

Perilaku konsumtif selalu ditandai dengan perilaku boros. Boros dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) didefinisikan sebagai

berlebihan memakai, mengeluarkan uang atau barang, tidak hemat.

Intinya boros adalah berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang

atau jasa yang sebenarnya kurang dibutuhkan atau bahkan tidak

dibutuhkan.

b. Tidak ada skala prioritas

Skala prioritas berarti kita mendahulukan untuk memenuhi kebutuhan

yang lebih mendesak terlebih dahulu. Gilarso (2004) menyatakan

(35)

mempertahankan hidup. Ia juga menambahkan bahwa untuk

kesejahteraan hidup, pemenuhan kebutuhan sekunder kerap kali tidak

kalah pentingnya dengan kebutuhan hidup dasar. Mendahulukan

kebutuhan sekunder hingga menyebabkan kebutuhan pokok menjadi

terabaikan atau tidak dapat terpenuhi berarti tidak adanya skala

prioritas.

c. Gaya hidup bermewah-mewah

Gaya hidup bermewah-mewah dapat diartikan sebagai gaya hidup

yang mementingkan kemewahan diatas segalanya. Misalnya saja lebih

mementingkan merek-merek mahal dan ternama dalam membeli

barang. Gaya hidup bermewah-mewah biasanya hanya bertujuan agar

dipandang oleh orang lain. Samuel Mulia (dalam Herawati, 2008)

seorang pengamat gaya hidup bahkan mengatakan bahwa orang kaya

zaman sekarang tidak ragu menyebut dirinya kaya raya. Menurutnya

hal ini berbeda dengan zaman dulu, orang enggan disebut kaya, karena

saat itu belum umum jika sebuah media mengekspos harta seseorang.

4. Perilaku Konsumtif Pada Remaja

Pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja (Tambunan,

2007), padahal pada usia tersebut seorang remaja cenderung berperilaku

konsumtif. Hal ini disebabkan karena remaja menurut Lina dan Rosyid (1997)

memiliki kecenderungan untuk meniru gaya hidup mewah dan perilaku yang

(36)

remaja juga memiliki sifat suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung

boros dalam menggunakan uangnya.

Pendapat tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Munandar

(2001). Menurutnya sifat remaja antara lain tidak berpikir hemat, kurang realistis,

dan juga impulsif. Remaja juga sangat memperhatikan trend mode dan

perkembangan teknologi sebab mereka tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman

oleh teman-teman sebayanya. Munandar (2001) menulis remaja lebih banyak

tertarik pada ‘gejala mode’, terutama pada remaja putri dan bahkan belakangan ini

remaja putra pun mulai tertarik. Sifat-sifat remaja tersebut membuat mereka

memiliki kecenderungan untuk berperilaku konsumtif. Tidaklah mengherankan

apabila kemudian remaja banyak membeli barang hanya demi gengsi agar tidak

dikatakan kuno ataupun agar dipandang eksklusif oleh teman-temannya.

Wanita biasanya cenderung lebih konsumtif daripada pria. Lina dan

Rosyid (1997) menulis hal ini disebabkan konsumen wanita cenderung lebih

emosional, sedang konsumen pria lebih nalar. Remaja putri sendiri menurut

Munandar (2001) tidak mudah terbujuk penjual, lebih tertarik pada warna dan

bentuk bukan pada kegunaannya, mementingkan status sosial, senang hal-hal

romantis, mudah minta pendapat orang lain, kurang tertarik pada hal teknis

sebuah barang, senang belanja hingga sulit menentukan pilihan, dan cepat

merasakan suasana toko. Sifat-sifat remaja putri tersebut membuat banyak orang

(37)

B. SINETRON

1. Definisi

Sinetron adalah kependekan dari sinema elektronik (Wirodono, 2006).

Sinetron kerap kali disamakan dengan soap opera atau di Indonesia lebih dikenal

dengan opera sabun ataupun drama seri. Nama sinema elektronik sendiri

diberikan sebab sinetron memang ditayangkan di televisi yang merupakan salah

satu perangkat elektronik rumah tangga. Wirodono (2006) berpendapat bahwa

secara prinsip, sinetron tidak berbeda dengan sinema celleluoid, layar lebar, atau

bioskop, namun karena dari segi teknis dan karakter media peralatannya berbeda,

keduanya mesti dibedakan.

Masih menurut Wirodono (2006) keterbatasan lebar monitor televisi

beserta penempatannya di dalam rumah, membuat efek gambar yang dinikmati

harus pula mendapatkan penyiasatan tertentu, dari segi penikmatannya pun, baik

di rumah sendiri, di ruang tamu, maupun di ruang keluarga menonton sinetron

bisa jadi hanyalah salah satu dari sekian banyak perhatian dan peristiwa yang

berlangsung di sekitarnya. Sinetron juga diselingi oleh iklan, sedangkan film layar

lebar tentu saja ditayangkan tanpa iklan. Menurut Wirodono (2006) iklan bisa

menjadi faktor pengganggu dalam proses penikmatan program (dalam hal ini

sinetron). Kecuali, jika iklan memang hanya berfungsi untuk memberi

kesempatan pada penonton untuk mengalihkan saluran sembari menunggu

tayangan iklan lewat (Wirodono, 2006). Iklan pada sinetron biasanya akan

(38)

2. Sejarah Perkembangan Sinetron

Sinetron lahir tahun 1980-an di TVRI (Televisi Republik Indonesia).

Stasiun televisi milik pemerintah yang tidak menerima iklan ini adalah

satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu (“Sinetron: Rating”, 2001). TVRI pada

awalnya selain memutar paksa film-film layar lebar nasional, juga meproduksi

drama televisi (Wirodono, 2006). Menurut pendapat Wirodono (2006) migrasi

orang-orang film layar lebar ke dunia sinetron disebabkan oleh ketidaksiapan

dalam awal pertumbuhan dunia televisi kita. Inilah yang menyebabkan besarnya

pengaruh layar lebar terhadap sinetron, bukan hanya pada style atau gaya ungkap

dan pola penulisan skenario, melainkan juga pada penyutradaraan serta akting

pemerannya (Wirodono, 2006).

Sinetron semakin berkembang bersamaan dengan hadirnya lima

stasiun televisi swasta di Indonesia : RCTI, SCTV, TPI, ANTV dan Indosiar awal

tahun 1990-an, dimana saat itu terdapat regulasi yang mengharuskan setiap

stasiun televisi memproduksi program lokal lebih banyak dibandingkan program

non lokal (Sinetron: Rating, 2001). Sinetron menjadi unggulan program lokal dan

merajai prime time hampir semua stasiun televisi (“Sinetron: Rating”, 2001).

Selain regulasi tersebut pernah juga pada jaman Menteri Penerangan Harmoko,

ada banyak syarat untuk meluluskan sinetron yang berhak tayang karena harus

melalui izin prinsip yang dikeluarkan Deppen untuk skenario sinetron, seperti

tidak menunjukkan kekumuhan, perkelahian remaja, narkoba, dan larangan

prinsip seperti SARA dan politik (Wirodono, 2006).

Sinetron dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya ditayangkan

(39)

pada pagi hari, siang, bahkan ada yang menayangkan sinetron saat hampir tengah

malam. Selain itu pernah juga berkembang trend sinetron yang ditayangkan ulang

sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore atau malam hari,

sepertinya hal ini termasuk strategi stasiun televisi untuk menghemat anggaran.

Strategi lainnya adalah memproduksi sendiri sinetron yang akan ditayangkan.

Strategi ini contohnya dilakukan oleh Indosiar, sehingga tidak perku membayar

mahal untuk membeli sinetron dari production house.

3. Tema Sinetron

Latar belakang sejarah sinetron yang mengungkap banyaknya

peraturan yang diberlakukan pada skenario sinetron, menurut Wirodono (2006)

menjadi penyebab dan pembenar alasan masing-masing PH untuk menggarap

tema-tema klasik, seperti cinta dengan pernik-perniknya, sehingga tema cinta

sejati, perselingkuhan, kesetiaan, dan penghianatan menjadi tema yang dominan.

Dilihat dari ceritanya sendiri, kebanyakan sinetron menggunakan resep yang

hampir sama yaitu persoalan cinta yang ruwet dengan intrik keluarga dan

perselingkuhan (Sinetron: Rating, 2001). Keadaan ini agak memprihatinkan sebab

menurut Budi Adji, yang juga Ketua Kompetisi (Komunitas Peduli Tayangan

Televisi), tayangan yang tergolong buruk diantaranya adalah sinetron bertema

selingkuhan dan khayalan belaka (Ikawati 2008).

Sinetron juga kerap kali menyoroti kehidupan masyarakat kota. Hal

tersebut dibenarkan oleh Wirodono (2006) yang menulis bahwa problem-problem

sosial ataupun kejiwaan yang dimunculkan lewat film-film seri, drama seri, atau

(40)

problem sosial-psikologis masyarakat kota. Problema masyarakat kota yang

sering diangkat oleh sinetron Indonesia selanjutnya memang lebih banyak

menyoroti kehidupan masyarakat kelas sosial atas yang seringkali menampilkan

kemewahan dan gaya hidup konsumtif.

Sinetron sebenarnya mengajarkan kita dengan hedonisme dan

mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba wah (“Sinetron

Indonesia”, 2006). Di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda,

kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa (“Sinetron: rating”, 2001).

Selanjutnya kehidupan keluarga dalam sinetron digambarkan sebagai keluarga

yang kaya raya, figur cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah

mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah,

handphone, merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan

tanpa perduli dengan karakter tokoh yang dimainkan. (“Sinetron: rating”, 2001).

4. Kritik Terhadap Sinetron

Banyak sekali kritik yang ditujukan bagi sinetrron Indonesia. Salah

satunya mengenai orisinalitas ide cerita dan skenario sinetron. Entah disadari atau

tidak, sinetron yang mendominasi layar kaca di Indonesia sebenarnya merupakan

adaptasi (baca: jiplakan) dari berbagai tayangan drama yang populer di negeri

asalnya seperti Korea, Jepang, Taiwan, dan sebagainya (“Sinetron Indonesia”,

2006). Adaptasi tersebut ada yang memang mendapat lisensi sah dari pemilik

cerita aslinya, tetapi kebanyakan sama sekali tidak mengantongi ijin. Adaptasi ini

(41)

melibatkan unsur kreativitas, idealisme, risiko pasar, dan pengorbanan waktu dan

tenaga yang begitu besar (“Sinetron Indonesia”, 2006).

Sinetron juga seringkali dinilai tidak realistik dan berlebihan.

Maksudnya sinetron seringkali dianggap menampilkan kemewahan dan gaya

hidup konsumtif yang tidak masuk akal sehingga seringkali tampak berlebihan.

Selanjutnya sinetron juga mendapat kritik sebab dinilai menampilkan stereotip

bias gender dalam ceritanya. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah,

cengeng, tertindas, tidak mandiri dan tergantung laki-laki, sementara laki-laki

digambarkan sebagai sosok yang kuat, tegar, mempunyai kekuasaan, mandiri dan

melindungi (“Sinetron: Rating, 2001). Lukmantoro (2007) bahkan menyebut

bahwa sinetron cenderung merendahkan martabat perempuan.

Terakhir sinetron Indonesia juga menuai kritik mengenai bahasa

Indonesia yang digunakan. Sinetron seringkali dinilai tidak menggunakan bahasa

Indonesia yang baik. Tokohnya kadang dianggap terlalu sering menggunakan kata

umpatan atau makian. Sinetron juga dinilai masih banyak menampilkan adegan

kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, sehingga

dikhawatirkan memberi dampak negatif bagi penontonnya terutama remaja dan

anak-anak. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta

Swasono (dalam Lukmantoro, 2007) bahkan menyesalkan sinetron dan film yang

dia anggap tidak membuat perempuan menjadi lebih pintar. Selanjutnya Ia juga

menilai sinetron dan film yang kebanyakan ditonton oleh perempuan, ibu, dan

anak, seringkali menampilkan kriminalitas dan tingkah laku yang kurang sopan

(42)

5. Perilaku Menonton Sinetron Pada Remaja

Remaja saat ini menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di

depan televisi sebab televisi merupakan media massa audio visual yang paling

murah dan mudah dijangkau, padahal acara televisi saat ini didominasi oleh

sinetron. Sinetron ditayangkan hampir disetiap stasiun televisi. Waktu penayangan

sinetron pun saat ini bukan hanya pada jam-jam tertentu saja, tetapi hampir di

setiap waktu baik pada pagi hari, siang, sore, maupun malam. Keadaan ini

membuat remaja Indonesia tidak memiliki alternatif tontonan lain yang beragam.

Hal tersebut membuat remaja menjadi penonton sinetron. Mereka

dapat mengikuti lebih dari satu judul sinetron setiap harinya. Remaja juga

berusaha untuk menonton sinetron setiap hari agar mereka tidak tertinggal untuk

mengetahui jalan ceritanya. Jalan cerita sinetron biasanya sangat panjang.

Menurut Lukmantoro (2007) sinetron selalu dibuat berdasarkan alur cerita berseri

yang sangat panjang. Lukmantoro (2007) juga menyebutkan bahwa penyelesaian

masalah dalam sinetron selalu ditunda-tunda. Hal tersebut selanjutnya akan

membuat emosi penonton menjadi bercampur antara apakah permasalahan dalam

cerita akan segera berakhir atau akan timbul permasalahan baru lagi (Lukmantoro,

2007).

Perilaku menonton sinetron ini menjadi diperkuat bila lingkungan

sekitar remaja juga melakukannya. Misalnya saja ketika sampai di sekolah

ternyata teman-temannya sedang membicarakan kelanjutan cerita suatu judul

sinetron. Ini akan membuat remaja menjadi lebih setia menonton sinetron, bahkan

yang tidak menonton pun bisa saja menjadi menonton agar tidak merasa tersisih

(43)

yang menonton sinetron, maka ini juga dapat memicu remaja untuk menjadi

penonton sinetron.

Selanjutnya remaja akan memperhatikan tokoh-tokoh dalam sinetron

tersebut. Tidak menutup kemungkinan apabila remaja kemudian mengidolakan

tokoh tadi. Mereka kemudian membandingkan perilaku mereka dengan tokoh tadi

dan mulai meniru perilaku tokoh idola mereka. Apalagi bila teman-teman sebaya

mereka pun melakukan hal yang sama, maka remaja akan merasa tertinggal bila

tidak meniru tokoh sinetron idolanya.

Sinetron kebanyakan ditonton oleh remaja putri. Lukmantoro (2007)

menyebutkan bahwa sinetron sangat disukai oleh kaum perempuan, sehingga

sinetron memang sangat populer dikalangan perempuan. Selanjutnya Modleski

(dalam Lukmantoro, 2007) mengatakan perempuan sangat tertarik untuk

menonton opera sabun karena perempuan lebih dapat mengikuti narasi dengan

pola feminim daripada pria. Menurutnya opera sabun memang dibuat berdasarkan

cara berpikir dan perasaan yang dimiliki oleh perempuan.

C. HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI MENONTON SINETRON

DENGAN SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA

Sinetron seperti telah dijelaskan sebelumnya, umumnya menggarap

tema yang sama yaitu seputar percintaan, intrik keluarga, maupun perselingkuhan.

Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan sinetron remaja yang belakangan semakin

banyak beredar di televisi. Sinetron remaja tersebut biasanya merupakan hasil

adaptasi dari film seri luar negeri, maupun hasil adaptasi dari rubik-rubrik majalah

(44)

konflik kehidupan masyarakat perkotaan kelas atas. Keadaan itu membuat

kebanyakan sinetron selalu menampilkan kemewahan dan gaya hidup kelas atas

yang cenderung konsumtif dan tidak masuk akal.

Fenomena sinetron yang demikian dapat menjadi contoh yang kurang

baik bagi remaja yang menontonnya. Apalagi sifat sinetron yang ditayangkan

setiap hari bahkan ada yang diulang dua kali dalam sehari, tentu saja membuat

remaja cenderung ingin menonton sinetron setiap hari untuk mengetahui

kelanjutan ceritanya. Padahal menurut Rakhmat (2001) perulangan pesan yang

berkali-kali ini dapat memperkokoh dampak media massa. Ia juga menulis

dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan (consonance of

journalist), yang menyebabkan siaran berita cenderung sama, sehingga dunia

yang disajikan pada khalayak juga dunia yang sama. Rakhmat (2001) melanjutkan

bahwa pada akhirnya khalayak tidak mempunyai alternatif yang lain, sehingga

mereka membentuk persepsinya berdasarkan informasi yang diterimanya dari

media massa.

Hal yang sama juga berlaku pada sinetron. Keseragaman tema sinetron

membuat penonton tidak memiliki alternatif tontonan lain. Sinetron juga disiarkan

hampir setiap hari, maka tidak mengherankan apabila kemudian remaja menjadi

terbiasa melihat kemewahan dan barang-barang mahal yang digunakan tokoh

dalam sinetron, seperti tas dan sepatu bermerek yang tentu saja tidak murah,

handphone keluaran terbaru dengan berbagai teknologinya, mobil-mobil mewah,

dan aksesoris mahal yang dikenakan oleh pemain dalam sinetron.

Fenomena ini menjadi makin memprihatinkan karena sinetron-sinetron

(45)

remaja. Aktris-aktris muda tersebut dengan kemewahan dan gaya hidup kelas atas

yang ditampilkan, dapat membuat remaja kemudian berpikir bahwa

barang-barang mewah dan gaya hidup kelas ataslah yang saat ini sedang tren.

Hal ini menjadi masalah ketika kemudian remaja menjadi ingin meniru

gaya hidup mewah yang ditampilkan aktris-aktris tersebut dalam sinetron, sebab

remaja pada dasarnya selalu ingin mengikuti perkembangan tren dan mudah

meniru adegan dalam sinetron yang menampilkan gaya hidup mewah tadi. Tidak

menutup kemungkinan apabila kemudian remaja menganggap tren dan gaya hidup

mewah yang ditampilkan dalam sinetron sebagai suatu hal yang penting, sebab

menurut Rakhmat (2001) media massa dapat mempengaruhi persepsi khalayak

tentang apa yang dianggap penting. Remaja juga dapat menjadikan aktris-aktris

sinetron tadi menjadi kelompok referensinya yang tentu saja akan mempengaruhi

perilaku remaja terutama perilaku membelinya, sebab kelompok referensi

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku membeli seseorang.

Remaja yang ingin mengikuti perkembangan tren dan meniru perilaku

aktris-aktris dalam sinetron tadi, tentu saja menjadi ingin memiliki apa yang

dimiliki oleh para aktris tersebut. Misalnya, ketika ia melihat tokoh remaja dalam

sinetron pergi ke sekolah dengan membawa motor atau mobil mewah keluaran

terbaru, maka mereka akan meminta kepada orang tua mereka untuk dibelikan

motor atau mobil seperti yang digunakan tokoh dalam sinetron. Contoh lain ketika

tokoh tersebut menggunakan handphone keluaran terbaru sehingga membuat

teman-temannya kagum, maka remaja juga akan minta dibelikan handphone yang

(46)

Keadaan tersebut dapat dijelaskan menggunakan teori peniruan. Teori

ini memandang seseorang sebagai individu yang secara otomatis cenderung

berempati dengan perasaan orang-orang yang diamatinya dan meniru perilakunya

(Rakhmat, 2001). Pertama kita membandingkan perilaku kita dengan orang yang

kita amati yang berfungi sebagai model (Rakhmat, 2001), kemudian kita mulai

meniru perilakunya. Rakhmat (2001) bahkan menulis bahwa melalui televisi,

orang meniru perilaku idola mereka, apalagi menurutnya televisi, film, dan komik

secara dramatis mempertontonkan perilaku fisik yang mudah dicontoh. Hal

tersebut didukung oleh Sinta Indra Astuti, MSi, dosen Unisba Bandung, dalam

www.entertainment.kompas.com, yang mengatakan bahwa remaja gampang

meniru setiap adegan yang ada didalam sinetron.

Remaja kemudian dapat menjadi boros demi memiliki barang-barang

yang mereka inginkan agar terlihat mirip tokoh sinetron idolanya. Remaja juga

dapat menjadi terbiasa hidup bemewah-mewah serta cenderung mudah membeli

barang karena keinginan dan mengesampingkan membeli barang yang sebenarnya

ia butuhkan. Saat inilah remaja menjadi terjebak dalan perilaku konsumtif. Tidak

menutup kemungkinan apabila kemudian orang tua sebagai sumber dana tidak

memiliki cukup dana untuk mewujudkan keinginan remaja. Hal inilah yang

(47)

D. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian sebelumnya maka peneliti mengajukan hipotesis

sebagai berikut:

Ada hubungan yang positif antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap

konsumtif pada remaja putri. Semakin tinggi frekuensi menonton sinetron pada

remaja putri, maka sikap konsumtifnya juga akan semakin tinggi. Sebaliknya,

semakin rendah frekuensi menonton sinetron, maka sikap konsumtifnya juga akan

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk

menemukan bagaimana hubungan antara dua variabel.

B. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel bebas : frekuensi menonton sinetron

2. Variabel tergantung : sikap konsumtif

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Frekuensi Menonton Sinetron

Frekuensi menonton sinetron adalah tingkatan seberapa tinggi atau

seberapa sering seseorang itu menonton acara sinetron yang ditayangkan di

televisi. Frekuensi menonton sinetron ini akan diukur dengan menggunakan

angket. Agket akan berisi pertanyaan mengenai berapa jam subjek menonton

sinetron dalam seminggu. Subjek diminta untuk memilih salah satu dari alternatif

jawaban yang telah disediakan. Setiap alternatif jawaban berisi kisaran atau

rentang jumlah jam. Semakin tinggi jumlah jam menonton sinetron yang dipilih

subjek berarti frekuensi menonton sinetronnya semakin tinggi, dan sebaliknya

semakin rendah jumlah jam yang dipilih subjek berarti frekuensi menonton

(49)

2. Sikap Konsumtif

Sikap konsumtif remaja adalah sikap remaja yang cenderung boros

dalam mengkonsumsi, tidak mempertimbangkan skala prioritas, dan lebih

mengutamakan kemewahan. Sikap konsumtif ini akan diukur dengan

menggunakan skala yang dibuat berdasarkan aspek-aspek sikap konsumtif, yaitu:

a. Boros

Boros adalah perilaku remaja yang berlebih-lebihan dalam hal jumlah,

baik itu dalam membeli maupun dalam menggunakan suatu barang,

misalnya tercermin dari keinginan remaja untuk membeli banyak

barang hanya sekedar untuk menambah koleksi, atau membeli banyak

barang hanya karena ada potongan harga, ataupun mengkonsumsi

barang dalam jumlah banyak melebihi jumlah yang ia butuhkan.

b. Tidak ada skala prioritas

Skala prioritas berarti selalu mendahulukan memenuhi kebutuhan yang

sifatnya merupakan kebutuhan pokok dan lebih mendesak untuk segera

dipenuhi, daripada memenuhi kebutuhan lain yang sifatnya kurang

dibutuhkan atau yang pemenuhannya bisa ditunda. Tidak adanya skala

prioritas berarti remaja tidak mempertimbangkan bahwa ia memang

sangat membutuhkan barang tersebut, tetapi lebih berdasarkan

pertimbangan karena ia menyukainya atau menginginkannya meskipun

ia tidak atau kurang membutuhkannya. Tidak adanya skala prioritas

juga dapat membuat remaja memutuskan untuk menunda untuk

membeli barang yang memang ia butuhkan atau menunda memenuhi

(50)

misalnya menomorduakan untuk membeli barang-barang yang dapat

menunjang kuliahnya dan mendahulukan membeli barang yang kurang

ia butuhkan. Contoh lainnya adalah ketika remaja menunda membeli

sepatu yang dibutuhkannya dan lebih memilih membeli asesoris yang

kurang ia perlukan tetapi sangat disukainya.

c. Gaya hidup bermewah-mewah

Gaya hidup bermewah-mewah maksudnya remaja dalam

kehidupannya sehari-hari selalu ingin kelihatan mewah didepan orang

lain. Hal tersebut diwujudkan remaja dengan menjaga penampilannya

seperti menggunakan barang-barang yang kelihatan mewah, bermerek,

ataupun kelihatan mahal, dan juga dengan membeli barang hanya

karena barang tersebut terlihat mewah bukan karena mutu atau

kegunaannya.

Skor yang akan didapat dari skala sikap konsumtif akan menunjukkan

tinggi rendahnya sikap konsumtif remaja. Semakin tinggi skor yang didapat dari

skala, berarti remaja tersebut sikap konsumtifnya semakin tinggi, dan sebaliknya

semakin rendah skor yang didapat, berarti remaja tersebut semakin rendah sikap

Gambar

Tabel I Blue Print Skala Sikap Konsumtif ...........................................................41
Blue PrintTabel I Skala Sikap Konsumtif
Blue PrintTabel III Nomor Aitem Baru Setelah Uji Coba
Tabel IVDeskripsi Data Skor Skala Sikap Konsumtif
+6

Referensi

Dokumen terkait

"Refleksi Kritis Prestasi Olahraga Indonesia di Asian Games 2014 dan Tantangan MenghadapiAsian Games 2018. dalam Perspektif llmu

Kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam mencakup kepala madrasah dan guru yang mempunyai peran yang sangat urgen dalam memberdayakan ummat. Tujuannya adalah untuk

Tampak hubungan ekspresi positif dan negatif C-erbB2 dengan derajat keganasan histopatologik, terlihat C-erbB2 yang positif pada derajat 1 (5 kasus), meningkat pada derajat

Dinas Bina Marga dan Pengaiaran Kabupaten Kampar Tahun Anggaran 2013. bersama ini kami mengundang saudara untuk dapat hadir

dengan adanya zat terlarut misalnya saja gula yang ditambahkan ke dalam air maka titik beku larutan ini tidak akan sama dengan 0ºC melainkan akan menjadi lebih rendah di bawah

Mengenai hasil dari penelitian ini antara lain penerapan bentuk-bentuk perlindugan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan atas dampak negatif video

telah Allah ajarakan kepada Nabi Adam pada saat di surge yang nantinya menjadi. pengetahuan bagi Adam ketika dia hidup di

To assess oxidative stress, antioxidant enzyme marker can be used, for example catalase en- zyme with the highest activity in the role of catalysis peroxide into