DAFTAR PUSTAKA 51 LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
C. SIRUP GLUKOSA
Sirup glukosa adalah nama dagang dari larutan hidrolisis pati. Hidrolisis dapat dilakukan dengan bantuan asam atau dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Definisi sirup glukosa menurut SNI 01-2978-1992 yaitu cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa, yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pati menjadi molekul glukosa dapat dilihat pada Gambar 4.
(C6H10O5)n + nH2O (C6H12O6)n pati Katalis dan panas glukosa
Gambar 4. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa
Kualitas sirup glukosa ditentukan berdasarkan nilai DE (Dextrose equivalent) atau derajat kemanisan. Menurut Maiden (1970), DE adalah kandungan gula pereduksi yang dinyatakan sebagai persen dekstrosa terhadap padatan kering. DE tidak menyatakan kandungan glukosa yang sebenarnya dari produk tetapi berhubungan dengan kandungan gula pereduksi dari semua jenis gula yang terdapat dalam produk. Standar mutu sirup glukosa menurut SNI 01-2978-1992 dapat dilihat pada Tabel 6.
dibedakan berdasarkan nilai DE terdiri atas empat tipe, yaitu tipe I (DE 20 – 38), tipe II (DE 38 – 58), tipe III (DE 58 – 73), dan tipe IV (DE >73).
DP (derajat polimerisasi) juga digunakan sebagai parameter pada penentuan mutu sirup glukosa. DP menunjukkan jumlah dari unit glukosa sebagai komponen individual dalam sirup. DP 1 = dekstrosa (1 unit), DP 2 = maltosa (2 unit), DP 3 = maltotriosa (3 unit) (Dziedzic dan Kearsley, 1984).
Tabel 6. Standar Mutu Sirup Glukosa
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan : 1.1Bau 1.2Rasa 1.3Warna Tidak berbau Manis Tidak berwarna 2 Air (% b/b) Max 20 3 Abu (% b/b) Max 1
4 Gula pereduksi dihitung sebagai D-Glukosa (% b/b)
Min 30
5 Pati Tidak ada
6 Cemaran Logam : 6.1 Timbal (ppm) 6.2 Tembaga (ppm) 6.3 Seng (ppm) Max 1 Max 10 Max 25 7 Arsen (ppm) Max 0,5 8 Cemaran mikroba : 8.1 Angka lempeng total 8.2 Bakteri coliform 8.3 E. coli 8.4 Kapang 8.5 Khamir Koloni/g APM/g APM/g Koloni/g Koloni/g Max 5 x 102 Max 20 Kurang dari 3 Max 50 Max 50 Sumber : SNI 01-2978-1992 1. Hidrolisis Asam
Hidrolisis asam merupakan proses pemecahan pati secara acak yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan ikatan α-1,6-D-glukosidik. Menurut Wurzburg (1986), hidrolisis dengan asam akan lebih sensitif pada ikatan α-1,4-D-glukosidik dibanding ikatan α-1,6-D-glukosidik. Namun struktur linier dengan ikatan α-(1,4) terdapat pada bagian kristalin, bagian ini tersusun sangat rapat sehingga sangat sukar dimasuki air dan atau asam, akibatnya akan lebih tahan terhadap asam. Bagian amorf walaupun tersusun oleh ikatan α- (1,6) namun merupakan daerah yang kurang padat, amorf, dan mudah dimasuki air sehingga akan memudahkan penetrasi dan hidrolisis asam terhadap granula pati.
Proses dengan hidrolisis asam lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan hidrolisis enzim karena peralatan yang digunakan tidak terlalu rumit, namun pembuatan sirup glukosa dengan cara hidrolisis yang mempergunakan katalis asam atau non enzimatis juga menimbulkan beberapa masalah. Peralatan yang diperlukan harus tahan korosi. Sirup yang dihasilkan mempunyai nilai kemanisan yang rendah karena nilai ekuivalen dekstrosanya rendah. Peningkatan ekuivalen dekstrosa disamping terjadi degradasi karbohidrat, juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang dapat mempengaruhi warna dan rasa (Berghmans, 1981).
Menurut Wilbraham dan Matta (1992), hidrolisis berarti pembelahan suatu molekul dalam air. Jika molekul terbelah, hidrogen dari air melekat pada salah satu produk, sedangkan –OH pada produk lainnya. Hidrolisis gula yang termasuk rumit, dilakukan dengan memanaskan larutan karbohidrat dengan air, dan sedikit katalis asam.
Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti asam sulfat, baik itu langsung menggunakan pendingin balik dengan mencairkan asam maupun dengan pemisahan pendahuluan dalam konsentrasi asam tertentu. Meskipun sebelumnya pemecahan dari polisakarida dengan asam sulfat merupakan tatacara standar, tapi telah ditemukan bahwa sebagian besar dari karbohidratnya dapat tersulfitasi. Hal ini dikenal sebagai salah satu kesalahan proses hidrolisis. Dengan kata lain, hidrolisis polisakarida oleh asam sulfat tidak baik digunakan.
Asam klorida merupakan asam yang dihasilkan dari gas hidroklorat (HCl) dalam air. Kegunaan HCl sangat luas, diantaranya sebagai pereaksi laboratorium, sebagai katalis dan pelarut dalam sintetis organik, serta sebagai penghidrolisis pati dan protein pada preparasi dari berbagai produk makanan (Windholz, 1983). Seperti yang dikemukakan oleh Goutara dan Wijandi (1985), bahwa sesuai dengan sifatnya, semua karbohidrat dapat dihidrolisis oleh asam. Polisakarida jika dihidrolisis akan menghasilkan sejumlah monosakarida, dan oligosakarida akan menghasilkan dua sampai enam gula monosakarida
Menurut Meyer (1975) Pengguntingan ikatan α-1,4-D-glikosidik dapat membentuk produk antara. Gugus karbon karboksil pada atom karbon keenam menyerang ion atom karbonium pada atom karbon kesatu dengan membentuk cincin 1,6 anhidro. Oksigen dari air dapat bereaksi
Selain itu pada reaksi gugus hidroksil pada atom karbon keenam dapat menyerang ion karbonium pada atom karbon kesatu dari karbon unit yang lain melalui atom oksigen. Reaksi-reaksi ini pula yang menyebabkan penurunan bobot molekul dan peningkatan percabangan.
Menurut Howling (1979), hasil hidrolisis pati mengandung campuran kotoran yang mengurangi kemurnian, warna dan stabilitas warnanya. Kotoran dapat dihasilkan dari bahan dasar pati yang digunakan, atau timbul dalam proses hidrolisis.
Pemberian karbon aktif dapat menghilangkan sebagian warna (prekursor), dan menyerap protein yang terlarut (Norman, 1981). Arang aktif bersifat sebagai adsorben yang dapat menyerap kotoran sehingga setelah diberi arang aktif dan dilakukan pengadukan secara terus menerus selama 1 jam pada suhu 80°C, kotoran yang terdapat pada larutan gula akan terikat dengan arang aktif dan diperoleh larutan yang jernih.
Menurut Sastrodipuro (1985), perubahan warna sirup menjadi kekuningan disebabkan pemanasan tinggi yang dilakukan pada lingkungan asam. Hal ini karena terbentuknya senyawa hidroksi-metil furfural. Meyer (1975), juga menyatakan pemanasan suhu tinggi pada larutan gula dapat menyebabkan karamelisasi, yaitu perubahan yang terjadi pada senyawa hidrokarbonil (seperti senyawa gula pereduksi dan gula asam) yang dipanaskan pada suhu tinggi, reaksi ini dapat terjadi tanpa adanya senyawa amino.
Hidrolisis asam mempunyai keterbatasan yaitu tidak adanya perbedaan distribusi gula dalam sirup glukosa pada tingkat hidrolisis yang berbeda, sirup yang dihasilkan mudah rusak (Howling, 1979).
2. Hidrolisis Enzim
Proses hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Produk-produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (dextrose equivalent) yang menunjukkan pesentase dari dekstrosa murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Menurut Kearsley dan Dziedzic (1995), dekstrosa murni adalah dekstrosa dengan derajat polimerisasi 1 (unit dekstrosa tunggal). Suatu produk hidrolisis pati dengan nilai DE 15, menunjukkan bahwa persentase dekstrosa murni pada produk kurang lebih sebesar 15% (bk).
Pemutusan rantai polimer pati dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu (Norman, 1981).
Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah serta dihasilkan lebih sedikit produk samping dan abu serta kerusakan warna yang dapat diminimalkan (Norman, 1981).
Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri atas tiga tahapan dalam mengkonversi pati, yaitu gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas (Chaplin dan Buckle, 1990).
Menurut Gumbira Said (1987), proses likuifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan menggunakan α-amilase yang menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau disebut dekstrin. Sedangkan menurut Fogarty (1983), likuifikasi adalah proses dispersi granula pati yang tidak larut dalam air dan diikuti dengan hidrolisis parsial dengan menggunakan enzim α-amilase termostabil. Dalam proses ini granula pati mula-mula tidak larut, dipanaskan dalam larutan air sampai mengembang dan pecah sehingga enzim dengan mudah menyerang rantai yang telah rentan.
Dalam proses likuifikasi, hal yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi substrat, penggunaan enzim yang stabil pada suhu tinggi, pengaturan suhu, pengaturan pH dan pengadukan serta pemanasan segera dan kontinu. Pengaturan pH larutan dapat digunakan NaOH dan HCl (Inglett dan Munch, 1980).
Tahap selanjutnya dari proses produksi sirup glukosa yaitu sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses dimana oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa. Pada proses sakarifikasi, oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim amiloglukosidase.
Faktor yang sangat penting diperhatikan dalam proses sakarifikasi adalah dosis enzim yang digunakan dan waktu sakarifikasi. Apabila dosis enzim atau waktu sakarifikasi kurang maka hasil hidrolisis (glukosa) yang diperoleh sangat rendah. Sebaliknya jika proses sakarifikasi terlalu lama dapat menyebabkan polimerisasi glukosa. Sakarifikasi dihentikan setelah 96 – 97% pati terhidrolisis atau DE akhir sekitar 96 – 98 (Berghmans, 1981).
Produksi sirup glukosa dari pati sagu secara enzimatis berdasarkan penelitian Akyuni (2004), dengan menggunakan α-amilase pada tahap likuifikasi diperoleh DE tertinggi yaitu 50,83 pada konsentrasi α–amilase 1,75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi diperoleh DE tertinggi yaitu 98,99 pada konsentrasi glukoamilase 0,3 U/g pati dan waktu sakarifikasi 48 jam.
A. BAHAN DAN ALAT