• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM

C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh

Imam Malik r.a. dan Imam al-Thufi memiliki kesamaan dan perbedaan karakteristik, baik dari segi riwayat kehidupan, perjuangan mencari ilmu, karya-karya ilmiah, dan lain sebagainya.

1. Sisi Persamaan a. Intelektualitas

Secara intelektual, Imam Malik sejak kecil telah hafal al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw. sebab beliau memiliki kecerdasan dan ingatann

144

sangat kuat. Ia juga adalah seorang yang aktif dalam mencari ilmu, sehingga beliau banyak belajar dari ulama-ulama terkemuka ketika itu. Beliau sering mengadakan pertemuan dengan para ahli hadits dan ulama.145Akhirnya beliau dinobatkan sebagai ulama terkemuka dalam bidang ilmu Hadis dan fiqh. Sepanjang hidupnya, Imam Malik tidak pernah keluar dari kawasan Madinah.

Imam Al-Thufi pun, adalah seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa para alim ulama yang masyhur di zamannya. Menurut Musthafa Zaid, dalam kitabnya al-Maslahah, al-Thufi dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki ingatan yang sangat kuat dan ketekunannya yang tinggi.

b. Pengakuan akan Maslahat Mursalah

Kedua tokoh ini telah menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu metodologi dalam melakukan penetapan suatu hukum, baik muamalah maupun adat.

2. Sisi Perbedaan Kedua Tokoh a. Tempat, dan Tahun Kelahiran

Imam Malik dilahirkan di suatu tempat bernama Zulmarwah di sebelah Utara al-Madinah al-Munawwarah yang dikenal dengan markaz ulama ahl al-hadits (kaum literalis). Sedangkan Imam al-Thufi dilahirkan di

145

Ahmad Asy-Syurbasi,Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. Sabil Huda, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991), h. 74.

Sarsar, nama sebuah desa di Baghdad, yaitu kawasan ahl al-ra’yi (kaum rasionalis).

Tahun kelahiran Imam Malik, bagi ahli sejarah, terdapat perbedaan pendapat. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95, 97 Hijriah146dan wafat pada tahun 180 H dalam usia 90 tahun. Adapun Imam Al-Thufi dilahirkan pada tahun 657 H (1259 M) dan wafat pada tahun 716 (1318 M) dalam usia 59 tahun.

Perbedaan tempat dan tahun kelahiran ini, berpengaruh terhadap pola pemikiran hukum kedua tokoh tersebut.

b. Situasi Sosial Politik dan Ijtihad

Imam Malik dalam riwayat kehidupannya, mengalami dua corak pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyyah di mana terjadi perselisihan hebat di antara dua pemerintahan tersebut.Beliau hidup pada masa tabi’in dan dikenal sebagai ImamDarul Hijrah.

Adapun Imam al-Thufi lahir setahun setelah serbuah pasukan Mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan Pada 1928 M. Ketika itu situasi integritas politik dunia Islam tercabik-cabik. Sehingga negeri Islam terpecah-pecah menjadi negara kecil.

Selain itu Imam al-Thufi hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran semangat berijtihad. Pada saat itu ulama kurang berani

146

Ahmad Asy-Syurbasi,Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. Sabil Huda, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991), h. 72.

berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum-hukum Islam langsung dari sumber pokoknya, yaitu al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kegiatan para ulama ketika itu hanya bertaklid kepada pendapat-pendapat Imam terdahulu.

Stagnasi hukum Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan pengaruh pemikiran Al-Thufi, yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang terlihat sangat liberal.

c. Popularitas

Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin al-Thufi masih terasa asing di telinga. Sedangkan Imam Malik r.a., namanya lebih popular dan familiar di telinga mayoritas muslim. Mungkin hal tersebut dikarenakan pengaruh yang ditimbulkan dari pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini.

Namun, di kalangan tokoh muslim dan peminat hukum Islam, ketokohan ulama asal Baghdad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyyah, sang guru Al-Thufi.147 d. Dalil Syara’

Dalam berijtihad Imam Malik, mengambil dari dalil yang representatif baginya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Ulama Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah Mursalah

147Najamuddin Al-Thufi; Pencetus Dalil-Dalil Umum

, (Islam Digest: Republika terbit: 18 Januari 2009.

Sedangkan Imam Al-Thufi mengatakan bahwa dalil-dalil syariat baginya adalah (1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinnah, (5). al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab, (9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13). Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin”.

BAB IV

APLIKASI MASLAHAH MURSALAH

TERHADAP PRESIDEN WANITA MENURUT

IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI

E. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara

Dalam pandangan politik hukum Islam tidak semua orang yang baik dapat menjadi seorang kepala negara. Karena jabatan ini adalah posisi yang memiliki tugas dan tanggungjawab yang sangat urgen. Sehingga Al-Mawardi dalam Ahkam Al-Sulthaniyyah, sebagaimana dikutip Cholil Nafis, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu negara adalah wajib, baik menurut akal maupun syara’.148

Menurut akal, tidak mungkin ada suatu negara tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara. Sebab kalau tidak ada masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedzaliman (tazhalim) dan tidak ada pihak yang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanazu’ dan takhasum). Sedangkan menurut syara’, kepala negara diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan tapi juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk melestarikan yang sah dalam suatu negara membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.149

148

HM. Cholis Nafis,Fiqh Politik,ed.,Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, (Jakarta: FKKU, 2003), h. 138.

149

Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada zaman primitif proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu kekuatan otot, sehingga untuk merebut kekuasaan harus jago perang dan pandai bertempur. Namun pada era modern memilih metode pemilihan umum sebagai alternatif yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan.

Dalam politik Islam, pemilihan kepala negara menggunakan beberapa metode yang harus diterapkan. Paling tidak Ada tiga tahap yang harus dilalui dalam pemilihan kepala negara atau khalifah.150

Pertama, tahap pencalonan kepala negara. Sehubungan dengan ini, kepala negara atau khalifah terdahulu atau salah satu dariahlu al-ra’yimencalonkan seorang Imam yang layak menduduki jabatan ini. Misalnya pencalonan Abu Bakar kepada Umar atau Abu Ubaidah di dalam peristiwaSaqifah.

Kedua, tahap pemilihan dan penerimaan calon. Pada tahap ini, jika calon yang diajukan lebih dari satu, anggota majelis syura’ memilih seorang saja dari mereka. Atau menyetujui saja pencalonan tersebut jika calonnya hanya satu. Misalnya, kesepakatan kaum muslimin terhadap pencalonan Abu Bakar setelah keputusan Abu Bakar dibacakan dan pemilihan, Abdurrahman bin ’Auf kepada Usman bin Affan yang disusul dengan persetujuan seluruh kaum muslimin.

150

Sa’id Harra, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-Islahy Press,tth.,h. 137-145..,h. 170-172.

Ketiga, tahap pembaiatan. Marhalah ini sebenarnya merupakan realisasi dan pembuktian dari tahap pemilihan. Karena itu tahap ini menyatu dengan tahap pemilihan.

Sementara syarat-syarat menjadi imam (pemimpin), menurut al-Mawardi, ada tujuh. Pertama, mampu bersikap adil. Kedua, mampu melakukan ijtihad dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang muncul. Ketiga, tidak cacat panca indra. Keempat, tidak cacat fisik yang menyebabkan tidak bisa bergerak dan tidak cepat berdiri. Kelima,mampu mengatur rakyat dan kebaikan-kebaikan. Keenam,memiliki jiwa pemberani. Danketujuh, memiliki jalur keturunan dari suku Quraisy.

F. Presiden Wanita Dalam Perspektif Fiqh Siyasah

Dalam Islam kepala negara adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara’. Islam menjadikan pemerintahan atau kekuasaan tersebut sebagai milik umat. Dalam teori manajemen modern, seorang pemimpin adalah orang yang mampu mengorganisasikan semua elemen yang terdapat dalam lingkup manajemen. Di sana ada manusia, aset, pasar, dan unsur-unsur pendukung lainnya. Seorang pemimpin negara yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menggunakan elemen-elemen di atas secara efektif.151

’Aisyah r.a. istri Rasulullah saw. adalah salah satu pemimpin wanita yang dikenal dalam Islam. Sebab dia pernah memimpin pasukan pada sebuah peperangan yang dikenal dengan perang Jamal. Ketika itu ’Aisyah memutuskan berangkat ke

151

Basrah dari Madinah, memimpin pasukan tentara yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki. Di antara laki-laki tersebut adalah generasi Sahahat Rasulullah, bahkan dua di antaranya termasuk dalam daftar sepuluh orang yang dijamin masuk surga, mereka adalah Thalhah dan Zubair152.

Taatkala Amar bin Yasir berusaha menentang keberangkatan Aisyah, karena kekhawatiran muncul fitnah besar, tampak disini perbedaan persepsi antara kedua kelompok generasi awal Islam mengenai kepemimpinan wanita. Untuk menghalau kepergian Aisyah ke medan Perang, Ummu Salamah pun mengirim surat kepada Aisyah berisi nasehat agar ia tidak keluar dalam kekacauan situasi waktu itu. Jawaban Aisyah yang ia kirim lewat surat balasan adalah, ”Tak ada celanya aku tinggal di rumah, tetapi yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikan manusia.”153

Abu Bakrah tampak berbeda pendapat secara tajam dengan kelompok ’Aisyah, kendatipun ia tidak berpihak kepada Khalifah Ali r.a. Ia berkata,

َﻟ

ِﻞ

َ ﻤ َﺠْ ﻟ ا َم ﺎﱠـﯾَأ ٍ ﺔَﻤِ ﻠَﻜِﺑ ُﷲ َﻲِ ﻨَ ﻌَﻔَﻧ ْﺪَﻘ

,

ﱠنَأ َﻢﱠﻠَﺳَو ِ ﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠ ﻠَﺻ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا َﻎَﻠَ ﺑ ﺎَ ﻤَﻟ

َل

ﺎَ ﻗ ىَﺮْ ﺴِﻛ َﺔَﻨ ْﺑا اْﻮُﻜَﻠَﻣ ﺎًﺳَ ﺮَﻓ

:

ًةَأَ ﺮْﻣِا ْ ﻢُھَﺮْﻣَأ اْﻮﱠﻟَو ٌمْﻮ َﻗ َﺢِﻠْﻔُ ﯾ ْﻦﻟ

)

هاور

يرﺎﺨﺒﻟا

(

Artinya: ”Sungguh Allah telah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagiku dari satu kalimat yang muncul pada perang Jamal, yaitu ketika sampai berita kepada Rasullah saw. bahwa orang persia mengangkat putri Kisra sebagai raja, maka Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak akan pernah berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita” (HR. Bukhari)154

152

Cahyadi Takariawan,Fiqih Politik Perempuan, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 102.

153

Ibid.,102.

154

Abu Bakrah tampaknya cenderung memahami larangan dalam Hadis ini secara kontekstual, yaitu segala bentuk kepemimpinan wanita atas laki-laki. Akan tetapi ijtihad ’Aisyah r.a. memimpin pasukan tersebut menunjukkan pemahaman yang berbeda dengan apa yang dipahami Abu Bakrah.155

Perbedaan pendapat antara Aisyah r.a. dan Abu Bakrah, menurut penulis, akhirnya menjadi warisan kontroversial dalam kancah pemikiran politik Islam, bahkan menjadi asal muasal terjadinya ikhtlaf diantara para ulama tentang status kepemimpinan perempuan sebagai kepala negara, sehingga paradigma ini oleh para ulama digolongkan kepada wilayah khilafiah.Ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat yang membolehkannya.

a. Pendapat Yang Tidak Memungkinkan Wanita Menjadi Presiden

Pendapat pertama ini diprakarsai oleh jumhur ulama dan Syi’ah Zaidiyyah156. Mereka melihat bahwa kepemimpinan suatu negara hanya terbatas untuk kaum lelaki tanpa wanita, karena lelaki dianggap mempunyai kelebihan dalam mengatur, kelebihan berpendapat, dan kelebihan kekuatan jiwa, dan tabiatnya. Adapun wanita kebanyakan lemah lembut. Selama lelaki memiliki hak kepemimpinan terhadap wanita, wanita tidak dapat memiliki kekuasaan umum yang menjadikannya sebagai pemegang kekuasaan, dan juga tidak boleh berpartisipasi dengan kaum lelaki dalam memegang kekuasaan. Menurut pendapat kelompok ini, nash al-Qur’an al-Karim itu sangat jelas menerangkan bahwa kepemimpinan adalah

155

Ibid.,h. 103.

156

Huzaemah Tahido,Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, (Jakarta: t.p., 1997), juz II, h. 69.

ﻮُﻣاﱠﻮَﻗ

َن

ﻮُﻣاﱠﻮَﻗ

َن

milik kaum lelaki tanpa wanita. Mereka melihatnya sebagai hujjah yang harus tetap ditegakkan.157

Pendapat-pendapat yang melarang perempuan tampil menjadi presiden atau jabatan publik, bertumpu pada landasan-landasan dan hujjah-hujjah sebagai berikut: i. al-Qur’an al-Karim

Al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi supremasi pria atas wanita antara lain dalam surat:

1). Surat Al-Nisa’ ayat 34:

اﻮُﻘ َ ﻔﻧَأﺂَﻤِﺑَ و ٍ ﺾْ ﻌَﺑ ﻰَﻠَ ﻋ ْﻢُﮭَﻀْ ﻌ َﺑ ُﷲ َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَﻤِﺑ ِ ءﺂَﺴﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻣاﱠﻮَﻗ ُل ﺎَ ﺟﱢﺮﻟ ا

ْﻢِﮭِﻟاَ ﻮْﻣَأ ْﻦِ ﻣ

….

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/

4

/

34

(

Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”

Kalimat dalam ayat tersebut di atas menyatakan bahwa pria adalah pemimpin bagi perempuan. Kata inilah yang memiliki interpretasi berbeda di kalangan mufassirin,158 apakah boleh diterjemahkan dengan “Mitra Sejajar”, sehingga pria adalah mitra sejajar bagi kaum perempuan, kalau tidak boleh diartikan demikian, memang terkesan Islam memandang pria lebih tinggi dari wanita.

157

Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), h. 106. Lihat pula: Abu al-Hasan al-Mawardi,al-Ahkam

al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978), h. 72. Perlu

dicatat di sini bahwa al-Mawardi tidak menunjukkan kompetensi wanita untuk memegang kekuasaan kecuali kekuasaan yang khusus berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

158

ﻮُﻣاﱠﻮَﻗ

َن

ُﻣاﱠﻮَﻗ

َن

و

Mufassir Rasyid Ridha, dalam tafsir “Al-Manar” mengartikan kata ss sebagai pemimpin, tetapi cara yang ditempuh bukanlah pemaksaan tapi bimbingan dan penjagaan. Selanjutnya ia mengemukakan kelebihan pria atas wanita, karena ada dua sebab, fitri dan kasbi.159 Sebab fitri (bawaan) sudah ada sejak penciptaan. Menurutnya, perempuan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung (hamalah), melahirkan (wiladah), dan mendidik anak (tarbiyah al-athfal). Sedangkan pria semenjak penciptaan sudah diberikan kelebihan kekuatan (al-quwwah) dan kemampuan (al-qudrah), menurutnya akibat kesempurnaan pria itu tentu akan berdampak kelebihan kasbi yaitu pria telah mampu berinovasi dan berusaha di segala bidang.160

Dari pendapat mufassir di atas dapat disimpulkan bahwa hanya ada pada kaum pria maka berarti prialah penanggung jawab, pendidik, pengatur, penguasa, dan lain-lain yang semakna atas isteri atau wanita dalam rumah tangga. Dan isteri atau wanita pihak yang dikuasai, yang dipimpin pria mempunyai superioritas dan wanita inferioritas. Sebab laki-laki diciptakan Allah swt. sebagai pemimpin bagi urusan wanita, penjaga atas kehormatannya, dan pemenuh kebutuhan nafkah ruhiyah serta badaniah.161

2). Surat Al-Baqarah ayat 228:

...

َو

ٌﺔَﺟَرَد ﱠﻦِﮭْﯿَﻠَ ﻋ ِلﺎَﺟﱢﺮﻠِﻟ

) ...

ةﺮﻘﺒﻟا

/

2

:

228

(

Artinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya...”

159

Rasyid Ridha,Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr,1973), v. 7, h. 69-70.

160

Ibid.,h. 71.

161

Allah swt. menyatakan kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain yakni karena pria lebih utama dari wanita, dan pria lebih baik dari wanita. Karena itulah kenabian hanya dikhususkan bagi laki-laki, begitu juga kekuasaan yang tertinggi berdasarkan sabda Nabi. Demikian pula halnya dengan posisi hakim, kepala negara, dan lain-lain.

ii. Hadist

Selain itu terdapat Hadis yang menguatkan larangan wanita menjadi presiden:

ﻦﺴﺤﻠﻟا ﻦﻋ فﻮﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻢﺜﯿﮭﻟا ﻦﺑ نﺎﻤﺜﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ

)

َل

ﺎَ ﻗ ةَﺮْ ﻜَﺑ ْﻲِﺑ َ أ ْﻦَﻋ

:

َﻟ

َﻘ

ْﺪ

َﻧ

َﻔ

َﻌ

ِﻨ

َﻲ

ُﷲ

ِﺑ

َﻜ

ِﻠ

َﻤ

ٍﺔ

َأ

ﱠـ

َمﺎ

ْﻟا

َﺠ

َﻤ

ِﻞ

,

َﻟ

َﻤ

َﺑ ﺎ

َﻠ

َﻎ

ﱠﻨﻟا

ِﺒ

ﱡﻲ

َﺻ

ﱠﻠ

ُﷲ

َﻋ

َﻠ

ْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠ

َﻢ

َأ

ﱠن

َﻓ

َﺮ

ًﺳ

َﻣ

َﻠ

ُﻜ

ْﻮ

ْﺑا ا

َﻨ

َﺔ

ِﻛ

ْﺴ

َﺮ

َﻗ ى

َل

:

ًةَأَ ﺮْﻣِا ْ ﻢُھَﺮْﻣَأ اْﻮﱠﻟَو ٌمْﻮ َﻗ َﺢِﻠْﻔُﯾ ْﻦ

)

يرﺎﺨﺒﻟا هاور

162

(

Artinya: ”Menceritakan kepada Usman bin Husaem dan Auf dari Hasan dari Abi Bakrah, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan manfa’at kepada saya dengan suatu kalimat pada waktu perang jamal, (bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda) ketika ada berita sampai kepada Nabi Muhammad saw. bahwa bangsa persia telah mengangkat anak perempuan rajanya untuk menjadi penguasa, maka Nabi Muhammad saw. bersabda”Sesuatu kaum tidak akan mendapatkan kemenangan kalau mereka menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”(HR. Al-Bukhari).

Lafaz Hadis diatas menunjukkan umum, lafadz ”qaumun” yang digarisbawahi mencakup setiap kaum, dan lafaz ”imro’ah” (wanita) itu mencakup

162

Shahih Bukhari,Kitab Maghazi,Bab Kitab al-Nabi saw. Ila Qisra wa Qasyhar, juz 7, Hadis 4425, h. 732.

setiap wanita. Maka setiap kaum atau kaum manapun yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita, maka mereka tidak beruntung.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang jabatan publik apapun termasuk di dalamnya jabatan presiden, karena akan berakibat pada ketidaksejahteraan dan ketidakberhasilan. Dipimpin wanita adalah mudarat, sedangkan mudarat itu harus dihindari. Di samping itu, hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah Hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentukikhbar -dilihat darisighatnya - Hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukummubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).163

Latar belakang turunnya Hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jinsdalam bentuknakirah) ini memberikan makna umum (’aam). Artinya kataqaumdi atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni qaumun. Selain itu, tidak ada satupun riwayat

163

yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).

Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis

dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi

‘umum al-lafzhi la bi khususi al-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz

bukan khususnya sebab).164 iii. Qiyas

Dengan berpijak pada qiyas, pendukung pendapat ini mencatat adanya perbedaan antara pria dan wanita, yang dapat dijadikan patokan pengqiyasan. Contoh-contoh perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perempuan tidak diperbolehkan mengimami khalayak umum dalam shalat lima

waktu, shalat jum’at, dan shalat ‘ied.

b. Perempuan tidak memiliki hak cerai menurut ketetapan syari’at, berbeda dengan

pria.

164

Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan Tayyib Tizini, Finding Islam: Dialog

Tradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi, (Jakarta: Erlangga,

ُﻣاﱠﻮَﻗ

َن

و

ﻰَ ﻠَﻋ َنﻮُ ﻣاﱠﻮَﻗ ُ لﺎَﺟﱢﺮﻟا

ِءﺂَﺴﱢﻨﻟا

c. Perempuan tidak diperbolehkan berpegian sendiri tanpa didampingi muhrim atau teman sesama jenis yang dapat dipercaya.

d. Perempuan tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah,

sebagaimana tersebut di dalam Hadis.

e. Perempuan tidak diperbolehkan menjadi qadhi; Al-Mawardi menerangkan bahwa jumhur berpendapat bahwa: qadhi tidak boleh perempuan, Imam Abu Hanifah membolehkan seorang perempuan menjadi qadhi, dalam masalah kesaksiannya diterima, tidak boleh perempuan menjadi qadhi bagi kesaksiannya yang tidak diterima.165

b. Pendapat Yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden

Para ulama yang berpendapat bahwa wanita boleh menjadi presiden dibangun atas dasar-dasar hujjah sebagai berikut:

i. Al-Qur’an

Pendapat ulama kontemporer yang membolehkan wanita menjadi presiden, melihat surat al-Nisa’ ayat 34 ditafsirkan bahwa kata dalam ayat oooooooooooooooooooolllllobukan berarti pria secara umum, tetapi suami karena konsideran perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata lelaki adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya

165

Abu Hasan Ali Mawardi, Abu al-Hasan al-,al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat

tidak demikian. Terlebih lagi ayat tersebut secara jelas membicarakan para isteri dan kehidupan keluarga.166

Ayat 34 surat al-Nisa’ tersebut diatas tidak tepat dijadikan alasan untuk

menolak wanita menjadi pemimpin di dalam masyarakat atau presiden. Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar167 bahwa tidak memutlakkan kepemimpinan pria terhadap wanita, karena ayat tersebut tidak menggunakan

tetapi menggunakan kata

Selain itu jalinan antara lelaki dan wanita di dalam masalah-masalah umum

merupakan jalinan hubungan ’kekuasaan’. Penyebutan kelebihan derajat dan

kepemimpinan di dalam Al-Qur’an tidak lain hanyalah dalam konteks pembicaraan

tentang kehidupan suami istri yang seharusnya dikaitkan dengan satu persoalan ini saja.168

ii. Al-Sunnah

Hadis Abu Bakrah “lan yufliha qaumun wallau amruhum imra’atan” tersebut diatas, menurut kelompok ini tidak bisa dijadikan hukum mengharamkan perempuan menjadi presiden, sebab Hadist tersebut mempunyaiasbabul wurudnya.

Hibbah Rauf Izzat mengomentari bahwa sesungguhnya Hadis tersebut harus dipahami dan dirujukkan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra, yaitu

orang-166

Hibbah Rauf Izzat,Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 106.

167

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Paramadina, 1999), h. 150-151.

168

orang Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka169. Ibn Hajar Asqalani sebagaimana dikutip oleh Hibbah, di dalam syarah Shahih al-Bukhari, menyebutkan bahwa Hadis ini merupakan bagian terakhir dari kisah Kisra yang merobek-robek surat Nabi saw.. Kemudian Kisra menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya dan anaknya membunuhnya, kemudian anak itu membunuh saudara-saudaranya. Dan ketika anak ini meninggal dunia karena diracun, sampailah kekuasaan ke tangan anak wanitanya yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin Kisra. Maka hilang dan hancurlah kerajaan mereka, sebagaimana yang didoakan Nabi saw.170

Pada zaman Nabi Muhammad saw., Siti Aisyah (istri Nabi) saja pernah menjadi pemimpin perang. Sekitar abad ke-13 dan ke-17, ada sekitar lima belas penguasa perempuan yang menguasai tahta di berbagai wilayah muslim. Di antara para penguasa Mamluk yang berasal dari Turki, terdapat dua pemegang mahkota kerajaan, yaitu Sultanah Radhiyah dan Sulthanah Syajarat al-Durr juga terdapat enam

Dokumen terkait