• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Akuntansi yang Tidak Baku dan Lemahnya Pengawasan Fidusier

Dalam dokumen Tata Kelola Keuangan dan Dana Reboisasi (Halaman 36-39)

Dana Reboisasi Selama Pemerintahan Soeharto

2.8 Sistem Akuntansi yang Tidak Baku dan Lemahnya Pengawasan Fidusier

Hingga tingkat tertentu, berbagai penyalahgunaan DR selama Orde Baru difasilitasi oleh sistem akuntansi yang tidak baku dan lemahnya

pengawasan yang dilakukan Kementerian Kehutanan terhadap rekening DR. Audit Ernst & Young tahun 1999 menemukan bahwa pencatatan dan tatabuku rekening dikelola secara buruk; sistem akuntansi berbasis uang tunai melanggar aturan-aturan profesional; dan tidak ada pengawasan internal untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan dan penyimpangan dalam transaksi-transaksi yang terkait dengan rekening. Selain itu, lemahnya transparansi dan akuntabilitas eksternal di Kementerian Kehutanan tampaknya menciptakan banyak kesempatan untuk penyalahgunaan dana, korupsi dan kecurangan.

Pada tingkat mendasar, Kementerian Kehutanan ternyata tidak mempunyai sistem yang efektif untuk membereskan jumlah uang pembayaran iuran DR yang diterima dari pemilik HPH dengan besaran yang wajib dibayar oleh perusahaan- perusahaan tersebut, yaitu berdasarkan volume produksi kayu sebenarnya.21 Selain itu, tatabuku dan sistem akuntansi Kementerian Kehutanan ternyata hanya mengelola catatan sederhana tentang dana yang masuk ke dalam rekening DR. Tanda terima dari iuran DR dicatat dalam buku kas induk yang ditulis tangan, yang tidak dikaitkan secara sistematis dengan dokumen pendukung yang dapat menunjukkan sumber penerimaan atau bagaimana pengelolaan dana tersebut setelah masuk ke dalam rekening. Pada tahun 1999, Ernst & Young menggambarkan kondisi buku kas Kementerian Kehutanan untuk rekening DR sebagai berikut:

20 Pengawasan fidusier merupakan tanggung jawab pihak yang mengelola dana atau aset berharga yang dimiliki oleh orang lain, termasuk aset negara yang dimiliki oleh masyarakat.

21 Dalam menyoroti masalah ini, audit Ernst & Young menyatakan bahwa tidak adanya sistem tersebut menyebabkan hilangnya penerimaan pemerintah yang cukup besar: ‘Tampaknya tidak ada koordinasi yang baik antara Biro Keuangan yang mengurus rekening bank DR dan unit yang bertanggungjawab mengawasi pelaporan dan pengumpulan DR. Akibatnya, tidak ada verifikasi antara uang yang diterima dalam rekening bank dengan laporan yang diserahkan oleh pemilik konsesi dan/atau perusahaan pengolah kayu. Kami memandangnya sebagai kemacetan dalam proses pemantauan uang yang diterima, yang berpotensi mengarah ke hilangnya penerimaan negara karena DR yang tidak dibayar tidak ditindaklanjuti secara aktif ’ (Ernst & Young 1999).

milik Mohamad ‘Bob’ Hasan, untuk membiayai konstruksi pabrik pulp di Kalimantan Timur, disetujui melalui Keputusan Presiden 93/1996. • alokasi Rp 35 miliar—atau US$ 15 juta—untuk

membiayai partisipasi delegasi Indonesia dalam SEA Games, disetujui melalui Instruksi Menteri Sekretaris Negara R.160/1998.

• alokasi Rp 23 miliar—atau US$ 10 juta—untuk PT Gatari Hutama Air Service, milik Hutomo Mandala Putra (alias Tommy Soeharto), anak bungsu Presiden Soeharto, untuk membiayai perusahaan jasa penyewaan helikopter untuk Kementerian Kehutanan dan pembaruan helikopter perusahaan (Ernst & Young 1999). Di samping itu, DR juga digunakan untuk membiayai sejumlah proyek konstruksi yang didukung oleh Kementerian Kehutanan. Proyek- proyek ini mencakup pembangunan kompleks perkantoran Kementerian Kehutanan, Gedung Manggala Wana Bhakti di Jakarta Pusat; kantor pusat CIFOR di Bogor; dan sejumlah kompleks perumahan untuk staf Kementerian Kehutanan (Ernst & Young 1999).19

Kadang-kadang DR juga disediakan untuk menutupi kekurangan anggaran negara. Misalnya, pada bulan Agustus 1997, selama bulan-bulan awal krisis keuangan Indonesia tahun 1997–98, Rp 400 miliar dari DR dilaporkan disetorkan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada tingkat bunga yang lebih rendah dari bunga komersial. Usaha ini cukup berhasil dalam menopang nilai tukar rupiah yang merosot (van Klinken 1997).

Secara kolektif, sejumlah praktik tersebut menandakan bahwa selama pemerintahan Soeharto, ratusan juta dolar DR disalurkan untuk berbagai kepentingan di luar tujuan resmi DR— yakni reboisasi dan rehabilitasi hutan.

19 Anggaran proyek infrastruktur untuk kantor pusat CIFOR (1995/6) mencapai Rp. 43,8 miliar (Ernst & Young 1999).

prosedur pengecekan perbedaan yang

tampaknya masuk akal sebenarnya tidak tepat dan tidak dapat dipercaya. Risiko kesalahan dan kecurangan yang disengaja bertambah sangat besar ketika prosedur pencocokan tidak dilakukan dengan tepat. Masalah ini semakin besar karena kurangnya audit yang menyebabkan identifikasi perbedaan tidak dapat dilakukan. Perbedaan seperti ini bisa menjadi indikasi adanya kemungkinan penyalahgunaan dana yang harus diselidiki.

Kegagalan Kementerian Kehutanan menggunakan sistem tatabuku dan akuntansi yang lebih sehat untuk DR, dengan pengawasan internal yang efektif dan audit secara rutin, kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya kemampuan kelembagaan di kementerian ini. Dalam kenyataannya skala penerimaan yang terkait dengan iuran DR jauh lebih besar daripada penerimaan fiskal selama ini yang berasal dari dua sumber pendapatan utama lainnya yaitu Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan. Sejalan dengan pemikiran ini, US$ 300-500 juta yang diterima Kementerian Kehutanan setiap tahun dari iuran DR terlalu besar untuk diserap sebab lembaga ini tidak memiliki struktur kelembagaan ataupun sumber daya manusia yang diperlukan untuk melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan dana ini.

Pada saat yang sama, tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan Orde Baru juga berkepentingan kuat untuk memastikan bahwa DR dikelola secara fleksibel, yang sering menentang norma-norma sistem akuntansi profesional yang berlaku umum. Ketika buku kas rekening DR tidak dapat dikaitkan dengan berbagai dokumen pendukung, pejabat- pejabat Kementerian Kehutanan yang mengawasi rekening tersebut dapat menggunakan dana dengan cara yang sangat luwes, dengan sedikit bukti nyata bahwa tindakan yang mereka lakukan telah menyimpang. Demikian juga halnya, karena tidak ada mekanisme efektif untuk membereskan laporan keuangan dengan neraca dalam rekening bank khusus yang terkait dengan DR maka pejabat- pejabat senior dapat menarik dana dari rekening tersebut dengan kemungkinan terdeteksi yang sangat kecil. Walaupun praktik-praktik seperti ini tentunya dapat menimbulkan pertanyaan dalam audit yang dilakukan pihak ketiga yang

Dana Reboisasi menggunakan pedoman sistem buku kas, dan tidak ada jejak audit yang jelas dari buku kas ke ringkasan laporan. Selain itu, tidak ada rujukan dokumen transaksi di buku kas yang bisa memudahkan pencarian dokumen pendukung. Oleh sebab itu, hampir tidak mungkin untuk memastikan dan membuktikan seluruh transaksi yang tertulis dalam buku kas.

Menurut Ernst & Young (1999), ketidakmampuan Kementerian Kehutanan menggunakan metode akuntansi berbasis akrual yang standar juga menandakan bahwa sistem yang digunakan juga tidak mampu memantau transaksi dengan jangkauan beberapa tahun anggaran secara efektif.

Karena Dana Reboisasi hanya menggunakan akuntansi berbasis kas (yakni laporan menurut pengeluaran dan penerimaan tunai), maka tidak ada identifikasi/

klasifikasi transaksi ke dalam lembar neraca dan rekening laba dan rugi. Pelaporan hanya mengidentifikasi pengeluaran dan penerimaan yang berhubungan dengan tahun anggaran tertentu, (karena) akuntansi berbasis akrual tidak dilakukan. Akibatnya, transaksi atau pengeluaran yang menunjukkan catatan neraca keuangan, seperti pinjaman dan investasi yang dapat menjangkau satu tahun anggaran ke tahun berikutnya, tidak dapat diikuti dan diawasi dengan baik. Keadaan ini membuat DR rentan terhadap kerugian besar atas pinjaman dan investasi yang tidak dipantau secara aktif.

Selain itu, Kementerian Kehutanan ternyata tidak mempunyai sistem yang dapat diandalkan untuk membereskan neraca yang tercantum dalam laporan keuangan DR dan neraca dari rekening bank yang di dalamnya terdapat DR. Ernst & Young (1999) menyimpulkan bahwa tidak adanya pengawasan internal yang efektif menimbulkan risiko yang serius sehingga bisa menyebabkan hilangnya dana akibat kesalahan akuntansi atau korupsi dan kecurangan:

Karena berbagai kelemahan dalam

dokumentasi dan sistem akuntansi, banyak kesulitan yang dialami ketika ditemukan perbedaan (antara neraca yang dilaporkan dan neraca yang diakui bank) yang harus diklarifikasi. Hal ini merupakan gangguan serius dalam pengawasan internal sebab

buruk. Hal ini dimulai dari inventarisasi hutan ke perencanaan pemanenan, laporan produksi kayu, pembayaran iuran hutan, rencana pasokan kayu industri sampai ke pemantauan regenerasi hutan. Karena ketersediaan informasi yang dapat diandalkan masih sangat terbatas, maka para pengamat dari luar atau para pemangku kepentingan dalam sektor ini sangat sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan sumberdaya hutan nasional. Dalam keadaan ini, rendahnya kualitas pencatatan dokumen hutan secara umum sangat berperan dalam menimbulkan kemungkinan terjadinya kegiatan ilegal tingkat tinggi di sektor ini.

independen, audit DR semacam itu tidak pernah dilaksanakan sampai Ernst & Young melakukannya pada tahun 1999.

Dipandang dari skala yang lebih besar, kelemahan sistem akuntansi dan buruknya pencatatan yang mencirikan pengawasan DR di Kementerian Kehutanan ternyata merupakan gejala kekacauan yang lebih luas yang telah menyusupi pengelolaan hutan dalam sistem HPH di Indonesia. Sepanjang Orde Baru (dan dalam banyak hal masih berlanjut sampai sekarang) pengumpulan data yang terkait dengan setiap tahap pengusahaan kayu komersial di Indonesia memiliki pengaturan yang sangat

Dalam dokumen Tata Kelola Keuangan dan Dana Reboisasi (Halaman 36-39)