Sumber : Perda No 22 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Barat
A. Rencana Pola Ruang Kawasan Lindung a Kawasan Hutan Lindung
2) Sistem on site, yakni fasilitas baru dan yang diperbaharui dengan pemeliharaan umumnya secara keseluruhan menjadi tanggungjawab rumah
tangga atau kelompok masyarakat, di semua zona yang tidak terlayani off
site
3) Sistem intermediate, yakni kombinasi kedua system di atas dengan tugas pemeliharaan dibagi antara operator terpusat dan partisipasi masyarakat, di semua zona yang tidak terlayani off site
Pada sistem Off Site, yang berdasarkan hasil kajian Masterplan Air Limbah, akan direncanakan investasi atas IPAL-IPAL berikut:
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
IPAL Tegal Gundil eksisting, saat ini melayani 300 sambungan dan akan melayani 3000 sambungan;
Usulan IPAL Paledang yang melayani wilayah embrio off-site sebanyak 4900 sambungan;
Usulan IPAL Kayumanis, yang akan melayani 34,000 sambungan;
Usulan IPAL Ciluar yang akan melayani 12,300 sambungan.
Pada sistem On Site, pemilihan teknologi air limbah yang tepat bergantung pada beberapa faktor fisik dan faktor non-fisik. Teknologi yang paling tepat adalah teknologi yang memberikan tingkat pelayanan yang paling dapat diterima secara sosial dan ramah lingkungan dengan biaya yang paling ekonomis. Lebih tepatnya teknologi yang sesuai adalah:
Ramah lingkungan: air limbah ditangani sedemikian rupa sehingga tidak akan mempengaruhi manusia. Air limbah tidak dapat diakses oleh lalat, nyamuk, tikus dll. Menghindari menangani kotoran segar. Di daerah di mana orang bergantung pada air tanah sebagai sumber air minum, air tanah tidak boleh tercemar;
Nyaman: ada batasan kondisi bau dan kondisi warna. Fasilitas ini berada dalam jarak berjalan kaki dari rumah;
Mudah dioperasikan: operasi harian yang minim dan hanya membutuhkan rutinitas sederhana dan aman;
Tahan lama dan pemeliharaan yang minim: umur yang panjang secara teknis dan hanya memerlukan pemeliharaan teknis sesekali saja, yaitu setiap 1 atau 2 tahun;
Upgradable: memungkinkan untuk menambah dan melakukan perbaikan di masa depan;
Biaya yang dapat diterima: ini tidak selalu berarti bahwa sistem tersebut murah. Teknologi yang terpilih harus dalam jangkauan keuangan dan ekonomis dari anggaran kota dan rumah tangga.
Sedangkan kriteria secara teknis penggunaan teknologi system on-site adalah :
Kepadatan penduduk: sistem on-site biasanya dibatasi untuk kepadatan rendah (<150 jiwa / ha) dan menengah (150-300 jiwa / ha): di daerah ini hampir selalu ada ruang untuk pembangunan fasilitas air limbah;
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
Penghasilan: kita membedakan antara yang berpenghasilan rendah (<Rp 1,1 juta / bulan), pendapatan menengah (Rp 1,1-3.000.000 / bulan) dan pendapatan tinggi (> Rp 3 juta / bulan);
Tanah yang diminati atau tanah yang kurang diminati: di Kota Bogor tanah yang kurang diminati berarti meja air tanah yang tinggi dan / atau tanah kedap air (tanah liat).
Adapun jenis teknologi on site adalah sebagai berikut (Tabel ..) :
1: Low Cost Septic Tank (LCST) dengan limpasan;
1.1: Twin Leaching Pits (TLP);
1.2: Improved (raised/collar) Low Cost Septic Tank (LCST+) dengan limpasan;
1.5: Low Cost Septic Tank with Anaerobic Upflow Filter dan pelepasan efluen ke saluran drainase;
2: Septic Tank dengan sumur resapan (ST);
2.1: Septic Tank dengan (raised) bidang resapan yang ditinggikan (STei)
2.2:
Septic Tank dengan Anaerobic Upflow Filter
(‘Biotank’) dan pelepasan efluen ke saluran drainase (ST/AUF).Pada system intermediate, diterapkan untuk wilayah berkepadatan tinggi (lebih besar dari 300 jiwa/ha), karena solusi on-site tidak mungkin diterapkan karena keterbatasan lahan, sementara solusi off-site tidak selalu dapat beroperasia atau tidak layak secara finansial. Meskipun istilah yang digunakan dapat memberi kesan suatu sistem yang tidak penuh, sistem intermediate yang
direkomendasikan untuk Kota Bogor adalah sistem yang ‘matang’ dan
dikembangkan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan spesifik Kota Bogor.
Kepadatan penduduk: jenis tertentu dari sistem intermediate, MCK ini berlaku untuk daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah (<150 cap / ha). Sistem Intermediate yang lebih rumit biasanya adalah solusi untuk yang kepadatannya lebih tinggi (tutup> 300 / ha). Di daerah ini hampir tidak pernah ada ruang untuk pembangunan fasilitas pengolahan air limbah;
Penghasilan: kita membedakan antara yang berpenghasilan rendah (<Rp 1,1 juta/bulan atau PRAKS dan KS1), pendapatan menengah (Rp 1,1-
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
3.000.000/bulan atau KS2/KS3) dan pendapatan tinggi (> Rp 3 juta/bulan atau KS3 Plus);
Tingkat keterlibatan masyarakat diharapkan;
Cakupan fasilitas on-site eksisting
Program-program system ini telah diterapkan pada Program Sanimas di Kota Bogor.
Sehingga, serangkaian teknologi berikut sesuai dengan kondisi Kota Bogor :
3. MCK;
3.1: Communal Treatment systems (CT) – sistem pengolahan komunal;
5: Shallow Sewerage (SS) – sistem perpipaan air limbah dangkal;
6: Small Bore Sewerage (SBS) – sistem riol skala kecil.
d. Persampahan
Pengolahan sampah di Kota Bogor, berdasarkan Masterplan Persampahan Kota Bogor 2008 menggunakan kombinasi antara system reduksi dengan pengangkutan ke TPA untuk mengelola timbulan sampah. Hal ini terkait dengan pencanangan penanganan sampah dengan pendekatan ”
zero waste
” melalui pengelolaan sampah terpadu merupakan konsep yang sangat ideal, namun keberhasilannya memerlukan dukungan dan keterlibatan dari seluruh stakeholder. Paling tidak apabila pengelolaan sampah terpadu ini dapat berjalan meski tidak 100% sampah berhasil didaur ulang, residu atau sisa sampah yang harus dibuang dapat ditekan jumlahnya.Sistem reduksi dimaksudkan untuk mengurangi pengangkutan, khususnya pengangkutan ke TPA, secara garis besar terdiri atas :
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
1) Reduksi di sumber, yakni pengurangan timbulan sampah ditingkat individu. Pengurangan timbulan tersebut dilakukan dengan pemilahan sampah antara sampah yang dapat didaur ulang dengan yang tidak. Hasil pemilahan di tingkat sumber berkualitas sangat baik. Sistem reduksi yang dapat dilakukan adalah 3R skala individu menjadi program utama di kawasan ini dan bank sampah. Syaratnya adalah wilayah yang masyarakatnya mau menjalankan program ini, kawasan padat bangunan yang sulit ketersediaan lahan serta aksesibilitas pengangkutan sampah ke TPS sulit.
2) Reduksi di TPS, yakni pengurangan timbulan sampah di tingkat TPS. Pengurangan ini dilakukan dengan pemilahan sampah yang dapat didaur ulang atau dengan yang tidak. Hasilnya pemilihan di tingkat TPS, berkualitas sedang-baik. Reduksi di TPS akan mengurangi beban pengangkutan di TPA dan mengurangi biaya operasional pengangkutan. Sistem reduksi yang dapat dilakukan adalah 3R skala kawasan (skala beberapa RW)
3) Reduksi di TPA, yakni pengurangan sampah di tingkat TPA, dilakukan dengan pemilahan sampah, sehingga akan mengurangi tumpukan sampah di TPA.
Teknologi sederhana digunakan dalam pemilahan dan reduksi sampah baik yang akan dillaksanakan di sumber, TPS, maupun di TPA sehingga dimungkinkan terbentuknya program daur ulang sampah organik dan organik, baik untuk tingkat rumah tangga maupun untuk tingkat komunal. Bentuk pemilahan sampah di antaranya dalam bentuk program composting dan bank sampah. Perlu digarisbawahi bahwa reduksi yang dapat menimbulkan nilai ekonomi sampah, bukanlah tujuan utama. Core bisnis utama persampahan adalah pelayanan kebersihan, sedangkan reduksi sampah adalah untuk mengurangi beban pelayanan kebersihan disamping menghasilkan keuntungan financial.
Teknologi TPA yang akan digunakan adalah sistem sanitary land fill di TPA Regional (Nambo) pengganti TPA Galuga. TPA regional Nambo merupakan bentuk konsorsium sistem penanganan sampah oleh pihak swasta yaitu Perusahaan Pengelolaan Persampahan Jabodetabek (JWMC) atau PT. Kebersihan Jabodetabek (PTKJ) yang melibatkan daerah pelayanan se- Jabodetabek. Kewenangan yang diberikan pada masing-masing daerah pengguna dalam kerjasama ini adalah mengangkut sampah dari TPS-TPS yang ada ke Stasiun Peralihan Antara (SPA), sementara dari SPA diangkut oleh perusahaan
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
menuju TPA. Dengan demikian penyediaan stasiun peralihan antara (SPA) merupakan salah satu kunci keberhasilan konsep ini.
TPPAS Kayu Manis merupakan fasilitas pendukung TPA Regional Nambo, sebagai Stasiun Peralihan Antara (SPA), yang sebelumnya direncanakan di Ciluar. Sebelum beroperasinya TPA Regional Nambo, maka untuk mengurangi beban operasional TPA Galuga, maka tindakan reduksi pada no.3 di atas dilakukan di TPPAS Kayu Manis. Dengan pemilahan sampah di TPPAS Kayu Manis, maka sampah yang diangkut ke TPA Galuga atau TPA Regional Nambo jika sudah beroperasi akan berkurang.
Di sisi lain ah satu kendala pengelolaan sampah Kota Bogor adalah tidak terdapatnya tempat pembuangan akhir (TPA) dalam batas administrasi. keberadaan TPA Galuga milik Kota Bogor yang kini lokasinya berada di wilayah kabupaten dihadapkan pada pembatasan ijin pemakaian. Dalam kondisi terbatasnya lahan untuk lokasi TPA di dalam wilayah kota, maka perpanjangan ijin penggunaan TPA Galuga merupakan alternatif yang dapat dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Namun demikian untuk jangka panjang sampai tahun 2029, penggunaan TPA Regional Nambo merupakan alternatif lain yang bisa digunakan dalam rangka penanganan persampahan Kota Bogor secara konvensional.
Adapun zona prioritas penanganan sampah secara umum adalah :
1) Jenis kawasan : Permukiman, Komersial, Jalan, Pasar, Industri, Lain – lain, Fasum
2) Kepadatan penduduk lebih dari 100 jiwa per ha dengan aksesibiltas kawasan sulit
3) Daerah rawan persampahan (hasil studi EHRA)
Kelemahan penanganan program adalah belum ditetapkannya satuan wilayah pelayanan sampah, misalkan tingkat terendah adalah RW, serta belum terdatanya pelayanan sampah per satuan wilayah, minimal tingkat RW yang dilengkapi dengan keberadaan lokasi TPS, frekuensi pengangkutannya.
e. Penataan Bangunan dan Lingkungan
Rencana induk pada bidang PBL yang telah disusun oleh Pemerintah Kota Bogor adalah Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK) tahun 2009
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
1) Sistem Proteksi Kebakaran
Kota Bogor yang merupakan kawasan permukiman padat penduduk mempunyai resiko bencana kebakaran yang tinggi yang tidak dapat diakases oleh mobil pemadam kebakaran. Menurut RISPK bahwa strategi penanganan kebakaran untuk perumahan padat penduduk adalah dengan membangun Sistem Ketahanan Kebakaran Lingkungan (SKKL). Sistem ini meliputi Standar Operasi dan Prosedur (SOP), penyediaan sarana, penyediaan sumberdaya manusia.
Untuk penanganan kebakaran secara umum adalah meningkatkan sarana prasarana penunjang kebakaran, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pemahaman masyarakat tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
2) Ruang Terbuka Hijau
Menurut Masterplan RTH Kota Bogor tahun 2008, bahwa rencana pengelolaan RTH di Kota Bogor yakni :
Penetapan kawasan yang di konservasi dan dilindungi dengan kebijakan
bukan dimana boleh membangun, tetapi ”Dimana Tidak Boleh Membangun” (Where Not to Build Policy).
Pengembangan dan Pembangunan RTH pada kawasan lindung dan daerah resapan air (catchment area) serta kawasan lereng lebih 40%. Distribusi pembangunan RTH kota di 6 (enam) Wilayah Kecamatan kota
Bogor, dimana diutamakan pengembangan, pembangunan dan peningkatan kualitas RTH Taman Lingkungan/Kecamatan pada area yang sudah tersedia dan sesuai dengan tata ruang kota.
Pembangunan RTH Taman melalui para pembangun (developer) perumahan dan properti lainnya sesuai dengan kewajiban SIPPT atau melakukan penentuan kepada pengembang untuk membangun kawasan hijau, jalur hijau sesuai rencana (site plan) yang telah disetujui.
Pembangunan pertamanan kota Bogor diarahkan pada RTH publik yang pada umumnya dikelola oleh pemerintah daerah/kota. Secara umum RTH Pertamanan kota di dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu RTH Taman dan RTH Jalur (Jalur Hijau)
Meningkatkan kualitas RTH yang ada dan memfungsikan kembali (refungsionalisasi) RTH yang telah beralih fungsi.
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019
Mengendalikan perubahan lahan yang telah ditetapkan sebagai RTH, dengan menerapkan peraturan Koefisien Dasar Hijau (KDH).
Menambah atau mengadakan RTH taman, terutama didaerah padat penduduk untuk fungsi interaksi sosial warga dan ekologis dengan cara membeli atau hibah lahan dari masyarakat.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan RTH, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki dan menyadari pentingnya RTH.
RENCANA PROGRAM INVESTASI JANGKA MENENGAH
KOTA BOGOR 2015-2019