• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN LITERATUR

2.5. Sistem Kota

2.5.1 Aksesibilitas dan mobilitas

Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui suatu sistem jaringan (Tamin, 1997).

Faktor yang menyatakan tingkat aksesibilitas adalah waktu tempuh, meskipun ada juga yang menyatakan dengan faktor jarak. Suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan mempunyai aksesibilitas rendah atau sebaliknya, karena terdapat faktor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh. Dari sisi jaringan transportasi, kualitas pelayanan transportasi pasti berbeda-beda baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan jalur evakuasi, tidak ada ketentuan yang baku tentang ukuran jalur evakuasi namun secara umum yang harus diperhatikan adalah apakah jalur

tersebut dapat dilalui dengan baik dan cepat, untuk jalur evakuasi di luar bangunan hendaknya bisa memuat dua kendaraan jika saling berpapasan tidak menghalangi proses evakuasi. Kemudian ada tempat pengungsian sementara yang merupakan tempat aman dan tempat pengungsian akhir.

Yang menjadi perhatian tentang jalur evakuasi adalah jalur evakuasi cukup lebar bisa dilewati 2 kendaraan atau lebih, harus menjauh dari sumber ancaman dan efek dari ancaman, harus baik dan mudah di lalui, harus disepakati bersama oleh masyarakat, aman dan teratur.

2.5.2 Pola permukiman dan alokasi lahan

Pertumbuhan kota, selain memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat juga dapat menyebabkan bencana karena mendorong lebih banyak orang yang tinggal di wilayah yang berbahaya dan rentan bencana. Pendatang dan penduduk kumuh rentan terutama karena mereka sering bertempat tinggal ditempat yang berbahaya seperti di kanal atau pinggiran saluran dan sering tidak memiliki pelayanan dasar yang memadai (Inoghuci, 2003).

Sebagaimana kota di Indonesia, pola permukiman penduduk cenderung berada di sepanjang pinggir jalan dan di sepanjang bantaran sungai dan umumnya membentuk kelompok-kelompok bangunan hunian maupun tempat usaha yang cenderung tidak teratur. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya penduduk.

Munculnya pola pemukiman yang mengabaikan bahaya dan berada di kawasan rawan bencana, dan juga berada pada daerah dataran rendah yang terlalu dekat dengan kemiringan lereng yang curam karena pada kawasan tertentu gempa

bumi yang terjadi dapat disertai dengan longsor atau banjir, memberikan resiko yang besar ketika terjadi bencana (Eisner and Gallion,1994). Budaya masyarakat Indonesia khususnya kaum petani yang menetap di wilayah rawan bencana tentunya memerlukan pemahaman sosial dan antropologi budaya lokal agar strategi penempatan pemukiman mereka di daerah bebas ancaman gempa berhasil dengan efektif.

Secara teoritis luasan kawasan penggunaan lahan telah terpolakan dalam’’teori tata guna lahan perkotaan’’. Teori ini mencakup atas penggunaan lahan bagi perumahan, industri, perbelanjaan/niaga dan sebagainya. Pola tata guna lahan ini dikemukaan oleh B.W. Burgess dengan teori ’’pola konsentrik/terpusat (consentric zone theory)”, Hummer Hoyt dengan ’’teori sektor (sector theory)’’ dan R.D. Mc Kenzic dengan teori ’’pusat lipat ganda (multiple nuclei theory).

Mereka membuat suatu pola penggunaan lahan di perkotaan. Teori-teori tersebut digambarkan seperti pada gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Pola Tata Guna Lahan Sumber: Kivell, Philip, 1993

Pada gambar 2.3 dapat dijelaskan pola jalur terpusat (consentrdic zone) oleh Burgess menjelaskan bahwa penggunaan lahan di perkotaan mempunyai atau pola

bahwa pusat kota merupakan sumbu yang dikelilingi (dilingkari) oleh lahan-lahan yang sesuai dengan penggunaannya.

Pola consentric zonedapat diterangkan sebagai berikut:

1. Pusat Kota Central Business Distric (CBD) terdiri dari bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan.

2. Merupakan jalur alih, yang terdapat rumah-rumah sewaan, kawasan industri dan perumahan buruh.

3. Jalur wisma buruh yang yang terdapat kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik/industri (lower class residential).

4. Jalur madya wisma, yang terdapat kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja (kantoran) dan kaum madya (medium class residenial). 5. Di luar lingkaran terdapat jalur ’’pendugdag’’ atau ’’penglajon’’ dimana

terdapat masyarakat golongan madya dan golongan atas atau (high class residential).

Teori sektor oleh H. Hoyt dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Sektor ini terdapat pusat kota atau CBD.

2. Kawasan ini terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan. 3. Sektor ini dekat dengan pusat kota pada bagian sebelah menyebelahnya

terdpata kawasan murbawisma yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh (low income housing).

4. Sektor ini agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan. Terdapat sektor madya wisma atau perumahan kaum madya (middle income housing).

5. Sektor ini terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas (high income housing).

Teori pusat lipat ganda atau Multiple Nucleimerupakan teori R.D. Mc kenzic dengan keterangan sebagai berikut:

1. Pusat kota atau CBD.

2. Kawasan niaga dan industri ringan.

3. Kawasan murbawisma, tempat tinggal kualitas rendah. 4. Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah. 5. Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi.

6. Kawasan industri berat.

7. Pusat niaga, perbelanjaan lain di pinggiran.

8. Upakota (sub urban), untuk kawasan madyawisma dan adiwima. 9. Upakota (sub urban) kawasan industri.

2.5.3 Jaringan lalan dan struktur ruang kota

Pada kota yang memiliki pola jaringan jalan berbentuk grid, untuk kawasan yang memiliki kepadatan tinggi tingkat kemudahan dalam mitigasi sangat sulit hal ini disebabkan pada setiap siku jalan (persimpangan) menjadi titik-titik kemacetan karena penuhnya kendaraan dari setiap blok-blok bangunan yang akan melalui siku jalan dan memperlambat laju kendaraan disana seperti yang terlihat pada gambar 2.4.

Demikian juga sebaliknya untuk kawasan yang berkepadatan rendah tingkah mitigasinya lebih mudah karena kepadatan lalulintas relatif lebih kecil. Kemudahan dalam proses mitigasi turut menentukan tingkat resiko dan korban yang ditimbulkan ketika suatu daerah dilanda bencana. Jaringan-jaringan yang saling menghubungkan dan memberikan lebih dari satu jalur menuju tempat evakuasi (Coburn, et.al, 1994).

Gambar 2.4 Tingkatan Kesulitan Proses Evakuasi Sumber: Shuici, 2005

Jalur-jalur jalan untuk mitigasi perlu disesuaikan dengan struktur bangunan yang ada sehingga masyarakat dapat mengamankan diri menuju tempat tempat penyelamatan sementara atau permanen dengan cepat (Darwanto, 2005).

Pelebaran jalan-jalan di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi untuk memudahkan proses evakuasi (Coburn, et.al, 1994). Selain pelebaran jalan maka perlu adanya jalan-jalan baru dari daerah perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi menuju tempat-tempat yang aman. Jalan tersebut merupakan jalan koridor dari pusat kota yang dapat mengurangi titik-titik kemacetan di persimpangan jalan akibat pola jaringan jalan yang berbentuk grid dan kelebihan kapasitas jalan. Jaringan jalan pada kota yang rawan bencana gempa sebaiknya direncanakan sebagai satu kesatuan dengan rencana umum tata ruang kota. Rencana tata ruang tersebut mengarah pada

kelancaran evakuasi serentak dan besar-besaran dengan pola jaringan radial yang lebar dan dilengkapi jalan lingkar yang berlapis-lapis.

Kota yang rawan bencana harus ditata ulang dengan jaringan jalan yang mengarah ke upaya mitigasi massal yaitu pola menyebar ke arah daerah yang ditetapkan sebagai area evakuasi dengan jalan raya radial yang dilengkapi dengan jalan lingkar (ring road) secukupnya (Soehartono, 2005).

Pengertian jalan sesuai dengan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas. Pola jaringan jalan merupakan salah satu unsur terpenting dari morfologi kota. Beberapa pola jaringan jalan menurut Northam (dalam Yunus, 2004) adalah sebagaiberikut:

1. Sistem pola jalan tidak teratur, pada sistem ini terlihat adanya ketidak teraturan sistem jalan baik ditinjau dari segi lebar maupun arah jalan. Ketidakteraturan ini terlihat pada polajalan yang melingkar-lingkar, lebarnya bervariasi dengan cabang-cabang yang banyak. Ketidakteraturan ini tercipta karena keadaan topografi kota yang mengharuskan demikian. Bagi kota yang tidak mempunyai kendala medan, ketidakteraturan tersebut menunjukkan tidak adanya perencanaan untuk menertibkan unsur-unsur morfologi kotanya dan ini biasanya terjadi pada kota yang baru tumbuh. Sistem pola jalan tidak teratur seperti ditunjukkan pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Kota-kota dengan Pola Jalan Tidak Teratur Sumber: Yunus, 2004

2. Sistem pola jalan radial konsentris, dalam sistem ini ada beberapa sifat khusus yaitu mempunyai pola jalan konsentris dan radial, bagian pusatnya merupakan daerah kegiatan utama sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan, punya keteraturan geometris, serta jalan besar menjari dari titik pusat dan membentuk “asterisk shaped pattern”. Gambar 2.6 merupakan salah satu contoh ideal dari bentuk sistem pola jalan radial konsentris.

Gambar 2.6 Asterisk Shaped Pattern - Palma Nouva, 1593 Sumber: Yunus, 2004

3. Sistem pola jalan bersudut siku atau grid, pada kota dengan sistem pola jalan bersudut siku atau, bagian-bagian kotanya dibagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang pararel

longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku. Jalan-jalan utama membentang dari pintu gerbang utama kota sampai pada bagian pusat kota. Sistem ini merupakan pola yang cocok untuk pembagian lahan dan pengembangan kota akan tampak teratur dengan mengikuti pola yang telah terbentuk. Gambar 2.7 berikut adalah contoh sistem pola jalan bersudut siku atau grid.

Gambar 2.7 Kota-kota dengan Sistem Pola Jalan Bersudut Siku Atau Grid Sumber: Yunus, 2004

2.5.4 Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung

Prinsip penataan sirkulasi dan jalan penghubung mengacu kepada Peraturan Menteri No. 06/PRT/M/2006 dan Peraturan Menteri No. 30/PRT/M/2006. Dimana prinsip-prinsip penataan tersebut meliputi:

1. Kejelasan sistem sirkulasi terkait dengan jaringan evakuasi 2. Mobilitas publik menyangkut:

a. Peningkatan kaitan antar sistem pada kawasan perencanaan dengan sistem sirkulasi kawasan sekitar.

b. Penciptaan sistem sirkulasi yang mudah diakses sebesar-besarnya oleh publik termasuk penyandang cacat dan lanjut usia (difabel) sehingga memperkaya karakter dan integritas sosial para pemakainya.

2.5.5 Keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan terhadap bencana

Persyaratan keandalan bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan benanca gempa meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kemudahan dan kenyamanan. Berikut ini adalah beberapa persyaratan bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan gempa:

1. Tata letak

Tata letak bangunan rumah tinggal dan lingkungan di daerah rawan gempa:

a. Struktur bangunan rumah tinggal harus mampu memikul semua beban dan atau pengaruh yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan bangunan, termasuk pembebanan yang kritis seperti beban gempa dan beban-beban lain.

b. Tata letak bangunan rumah tinggal untuk daerah rawan bencanan gempa harus diusahakan sederhana, simetris, seragam dan satu kesatuan seperti ditunjukkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Tata Letak Bangunan Rumah Tinggal yang Simetris Sumber: Permen PU No. 29/PRT/M/2006

c. Jumlah lantai maksimum 1 lantai, didirikan di atas tanah yang stabil serta denah bangunan simetris dengan dinding penyekat merupakan kotak-kotak tertutup.

d. Deretan bangunan dalam satu blok tidak boleh bergandengan hingga lebih dari 60m, setiap 60m panjang blok bangunan harus dipisahkan dengan jalan darurat sebagai akses penyelamatan seperti terlihat pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Batas Panjang Blok Bangunan Rumah Sumber: Permen PU No. 29/PRT/M/2006 2. Bangunan dan Jalur Penyelamatan

Akibat kejadian gempa dapat menyebabkan kebakaran pada bangunan, oleh karena itu lingkungan permukiman harus memperhitungkan aspek

J A L A N 60 M

penyelamatan, baik berupa bangunan penyelamatan maupun jalur penyelamatan. Untuk bencana gempa bumi, bangunan penyelamatan dapat memanfaatkan bangunan ibadah, sekolah, balai pertemuan, perkantoran dan bangunan lainnya apabila memiliki konstruksi yang kokoh dapat dicapai dalam waktu 15 menit dan mempunyai radius pelayanan maksimum 2 km dan dapat menampung orang banyak.

Dalam konteks bangunan penyelamatan dari bencana gempa dikenal 4 jenis shelter di Jepang yang dikelompokkan ke dalam 2 bagian yakni: pertama temporary shelter, suatu tempat terbuka untuk penampungan sementara, kedua accommodation shelter, suatu tempat tertutup yang mencakup akomodasi untuk penampungan yang lebih lama, (Misumi. J, 1998).

Berdasarkan tipologi kawasan yang merupakan daerah rawan bencana khususnya bencana gempa bumi, penyediaan RTH di lingkungan permukiman sangat diperlukan sebagai lokasi evakuasi (Permen PU No. 05/PRT/M/2008). Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

No. Unit Lingkungan Tipe RTH Luas minimal Unit (m2) Luas minimal Kapita (m2) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 di tengah lingkungan RT 2 2.500 iwa Taman RW 1.250 0,5 di pusat kegiatan RW 3 30.000 jiwa Taman Kelurahan 9.000 0,3 dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan 4 120.00 jiwa Taman Kecamatan 24.000 0,2 dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008

Baik RTH publik maupun privat memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi, estetika/arsitektural. Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial seperti tempat istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain maupun evakuasi, maka RTH ini harus memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas bagi penyandang cacat. Berdasarkan tipologi kawasan, arahan fungsi RTH untuk berbagai kawasan tipologi perkotaan dijelaskan seperti pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Fungsi dan Penerapan RTH pada Beberapa Tipologi Kawasan Perkotaan Karakteristik RTH

Tipologi Kawasan

Perkotaan Fungsi Utama Penerapan Kebutuhan RTH Pantai

Pengamanan wilayah pantai Sosial budaya

Mitigasi bencana

Berdasarkan luas wilayah Berdasarkan fungsi tertentu Pegunungan

Konservasi tanah Konservasi air

Keanekaragaman hayati

Berdasarkan luas wilayah Berdasarkan fungsi tertentu Rawan Bencana Mitigasi/evakuasi bencana Berdasarkan fungsi tertentu Berpenduduk jarang s.d.

sedang

Dasar perencanaan kawasan Sosial

Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan jumlah penduduk Berpenduduk padat Ekologis Sosial Hidrologis

Berdasarkan fungsi tertentu Berdasarkan jumlah penduduk

Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008

Aksesibilitas ke lokasi RTH sangat penting, karena akan berfungsi sebagai jalur penyelamatan. Untuk konteks jalur penyelamatan, jalur penyelamatan merupakan jalur terpendek keluar lingkungan ke arah jalan lokal dan kolektor maupun ke lokasi RTH, dengan lebar minimal 6 meter. Pada jalur penyelamatan harus dilengkapi dengan rambu-rambup penandaan dan arah penyelamatan, yang mudah terlihat, kuat dan terpelihara.

Untuk antisipasi bencana kebakaran, dalam lingkungan perumahan harus disediakan jalur evakuasi berupa jalan lingkungan dengan lebar perkerasan jalan minimal 4 meter tanpa hambatan. Akses jalan lingkungan minimal masuk 45 meter ke dalam lingkungan dari jalan masuk utama, harus mudah diakses oleh kendaraan pemadam kebakaran dan sirkulasi petugas pemadam kebakaran.

Konsep Taman Rumah Tangga (RT) yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian dalam konteks pengungsian sementara dapat menerapkan konsep seperti pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Konsep Taman RT untuk lokasi evakuasi Sumber: Permen PU No. 29/PRT/M/2006

Fasilitas yang harus dilengkapi untuk Taman RT yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian dalam konteks temporary shelter dapat berupa poskamling, pos kesehatan (P3K), gudang penyimpanan tenda-tenda, sumber energi, MCK dan

Menara R. Genset & MCK 20 m 12.5m Poskamling, Poskes Pedestrian Pohon Pelindung Evacuation route

sumber air bersih, menara yang diletakkan ditengah lapangan dilengkapi sirene, peralatan telekomunikasi.

Konsep ini sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 tentang penyediaan dan pemanfaatan RTH di perkotaan berdasarkan tipologi perkotaan, dimana untuk tipologi kawasan rawan bencana maka fungsi utama RTH adalah sebagai sarana mitigasi atau lokasi evakuasi serta. Alasan lainnya mengapa konsep ini lebih tepat adalah terkait dengan kebiasaan manusia yang tidak mau berjalan atau menjangkau suatu lokasi jika lebih dari 400m dan dapat dicapai kurang dari 15 menit.

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup satu RT, khususnya untuk keperluan mitigasi bencana yakni sebagai lokasi evakuasi (evacuation area) sesuai dengan tipologi kawasan perkotaan yang rawan bencana, selain fungsi tersebut juga untuk sarana kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 meter dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70%-80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal tiga pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang (Permen PU No. 05/PRT/M/2008).

Selain bangunan penyelamatan yang dapat memanfaatkan untuk kebutuhan pengungsian yang lebih lama (accommodation shelter) berupa bangunan ibadah, sekolah, balai pertemuan, perkantoran dan fasilitas publik lainnya, konsep Taman Evakuasi Bencanadapat diterapkan.

Konsep ini dilatarbelakangi pengembangan konsep taman bale kambang yang sudah lama dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini dikembangkan sesuai kebutuhan antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan modifikasi sesuai kondisi dan bentuk lahan di setiap lokasi. Taman memiliki dua bentuk dasar taman dan bale kambang (mengambang/melayang/menggantung). Bale merupakan bentuk tradisional yang biasa digunakan untuk tempat berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah. Rancangan taman memiliki nilai artistik, prinsip optimalisasi lahan, multifungsi, menciptakan keteduhan lingkungan, ruang gerak, dan berinteraksi sosial budaya. Pengembangan taman evakuasi bencana mensyaratkan fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, evakuasi (ruang penyelamatan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi), konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan estetis. Lantai dasar taman dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu bata, ijuk, dan batu belah, seluas 75% dari luas taman. Sisanya 25% berupa tandon air untuk cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran. Untuk membangun satu unit Taman Evakuasi Bencana pemerintah cukup membebaskan lahan seluas 500 meter persegi seperti yang terlihat pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Accommodation shelter dengan konsep Taman Evakuasi Bencana Sumber: http://www.itchcreature.com

Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1m2 maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang. Pada lantai satu seluas 400m2, lantai dapat digunakan sebagai ruang evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan sosial, kegiatan ibadah, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi fasilitas dapur umum dan toilet bersama.

Pada lantai teratas berupa atap rumput seluas 250m2. Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk rumah tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran listrik mati total. Sebagian permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.