• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM BERDASARKAN

C. Sistem Pemilu di Indonesia

Sistem pemilu sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi dan politik negara, tentunya sangat perlu untuk mendapatkan perhatian dari kita semua yang menginginkan perbaikan demokrasi. Sistem pemilu khususnya dalam penyelenggaraan pemilu anggota DPR menjadi kajian yang perlu mendapat perhatian mengingat selama penyelenggaraan pemilhan umum anggota DPR sebanyak sebelas kali beberapa masa demokrasi

yang berbeda-beda, belum sepenuhnya mewujudkan pemilu yang benar-benar ideal bagi perkembangan demokrasi dan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang aspiratif dan benar-benar mewakil kepentingan rakyat. Sistem pemilihan umum anggota DPR yang diterapkan pada orde lama sampai dengan orde Reformasi, baik sistem proporsional tertutup maupun sistem proporsional terbuka dan menggunakan sistem suara terbanyak pada prinsipnya memiliki kelemahan juga kelebihan.

Pemilihan umum merupakan kebutuhan mutlak bagi setiap negara modern dalam rangka menegakkan dan mempertahankan sistem demokrastis. Pemilihan umum menjadi agenda penting karena sebenarnya pemilihan umum merupakan salah satu cara pelaksanaan demokratis, khususnya demorasi perwakilan. Di negara modern demokrasi langsung sudah tidak berlaku yang berlaku adalah demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Demokrasi perwakilan ini tentunya membutuhkan orang-orang yang mewakili masyarakat untuk menentukan haluan atau kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian pemilihan umum memegang peran penting dalam negara demokrasi, yaitu berfungsi sebagai alat penyaring bagi orang-orang yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Dengan demikian pemilihan umum mempeunyai hubungan erat dengan demokrasi.

Indonesia sebagai salah satu negara hukum penganut paham demokrasi, tentunya juga menempatkan pemilihan umum sebagai agenda penting yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, pemilihan umum sebagai agenda penting yang

harus dilaksanakan, dan oleh karena itu pun pemilihan umum diatur dalam konstitusi kita, yaitu dalam pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke III). Pengaturan pemilihan umum yang bebas dan dilakukan secara periodik menjadi sebuah keniscayaan di negara Indonesia11.

Gambaran Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi, secara eksplisit telah dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya diserahkan kepada MPR. Namun dalam perjalannnya lembaga MPR yang dianggap sebagai representasi dari rakyat telah mengalami berbagai macam penyimpangan dan hanya dijadikan alat legitimasi bagi pemerintah atau penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Melalui amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, dilakukan perubahan tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tidak lagi dijalankan hanya oleh MPR, tetapi pelaksanaan kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dilakukan perubahan ini, MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang ekslusif sebagai satu-satunya lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, karena disamping MPR ada pula lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakan kedaulatan rakyat, misalnya Presiden yang juga dipilih secara langsung oleh rakyat.

11 Ramlan Subekti, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu legislatif 2009, Salatiga, Yayasan Percik-Ford Foundation, 2009, Hlm. 31.

Selain hubungan erat dengan demokrasi, pemilihan umum juga berhubungan erat dengan prinsip negara hukum melalui pemilihan umum rakyat dan masyarakat dapat memilih wakil-wakilnya yang berhak membuat produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan kehendak-kehendak rakyat yang digariskan oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Jika dikaitkan dengan prinsip dasar dalam negara hukum, pemilu mempunyai hubungan erat dengan prinsip perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, persamaan di depan hukum dan pemerintahan, serta adanya pemilu yang bebas. Melalui pemilihan umum, maka hak asasi rakyat yang salah satunya adalah hak politik dapat disalurkan. Hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan pemerintahan juga mendapatkan salurannya. Begitu pula dengan adanya pemilu yang bebas, maka penyaluran hak demokrasi atau hak politik rakyat dapat mencapai tujuannya. Dengan demikian pemilu merupakan cara untuk merealisasikan prinsip negara hukum.

Secara tegas, gambaran bahwa Indonesia negara hukum dicantumkan dalam naskah Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dengan demikian Indonesia bukanlah negara kekuasaan atau machsstaat dimana aturan negara ditentukan oleh penguasa negara dan diperuntukkan untuk mempertahankan kekuasaannya. Mengenai konsep negara hukum yang dianut, Indonesia menganut konsepsi Rechstaat dan Rule of Law.

Pada dasarnya antara negara demokrasi dan negara hukum ibarat dua sisi dari satu mata uang. Tidak akan tercipta sebuah negara demokrasi tanpa ditopang oleh penegakan hukum, dan sebaliknya hukum tidak akan tegak tanpa ditopang

oleh kelangsungan kehidupan politik yang demokratis. Dengan demikian hukum dan demokrasi akan berjalan secara bersamaan dan berbanding lurus. Semakin demokratis kehidupan politik negara, maka hukum yang diciptakan akan mencerminkan aspirasi masyarakat sehingga penegakan hukum akan terwujud.

Prasyarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan kehidupan politik yang demokrastis dan terealisasinya prinsip negara hukum bagi negara adalah terwujudnya lembaga-lembaga negara yang benar-benar memperoleh legitimasi rakyat sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat. Legitimasi rakyat menjadi syarat mutlak bagi pemerintahan untuk melaksanakan pemerintahannya mengingat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), secara eksplisit kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh presiden sebagai perwakilan eksekutif, DPR sebagai perwakilan politik dan DPD sebagai perwakilan daerah. Untuk memperoleh legitimasi rakyat melalui pemilihan umum, bukan melalui pengangkatan oleh pemerintah, seperti yang pernah terjadi di masa orde baru.

Tidak adanya lagi wakil rakyat yang diangkat oleh pemerintah, diharapkan tidak terjadi lagi adanya lembaga perwakilan yang hanya menjadi alat oleh pemerintah (eksekutif) untuk mempertahankan kekuasaannya. Dan sebaliknya diharapkan akan muncul wakil-wakil rakyat yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan akan memperjuangkan apa yang menjadi aspirasai dari rakyat sesuai dengan yang telah menjadi harapan kita bersama demi menegakkan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

Indonesia negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan mengedepankan prinsip negara hukum dalam penyelenggraan negaranya, pemilihan umum yang bebas dan dilakukan secara periodik telah menjadi agenda negara yang mutlak harus dilaksanakan. Pemilihan umum adalah lembaga demokrasi untuk mengaktualisasikan aspirasi kepentingan rakyat yang menjadi perwujudan rakyat. Hal ini sejalan dengan apa yang ditetapkan International Comission f Jurists pada konferensinya di Bangkok 1965 yang salah satu isinya menyatakan bahwa adanya pemilihan umum yang bebas merupakan salah satu kriteria dari negara hukum yang dinasmis.

Pemilihan umum pertama kali dilaksanakan pada 1955 pada suatu masa demokrasi parlementer (antara tahun 1945-1959) yang diselenggarakan dalam dua tahap, yang pertama pada bulan September 1955 untuk memilih anggota DPR dan bulan desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilu selanjutnya baru dapat terlaksana di masa pemerintahan Soeharto (orde baru) pada tahun 1971 untuk memilih anggota DPR dan DPRD, namun penyelenggaraannya dianggap tidak demokrastis mengingat adanya kecenderungan dari pemerintah yang memihak kepada salah satu peserta pemilu, yaitu Golongan Karya sehingga memunculkan partai-partai politik yang mulai mengalami kemunduran atau mendekati masa surutnya.

Selama orde baru pemilihan umum telah dilakukan selama enam kali, mulai dari pemilu Tahun 1971, dialnjutkan dengan pemilu tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992, dan tahun 1997. Selama itu hampir semuanya direkayasa sehingga menghasilkan pemenang mutlak yang sama yaitu Golongan

Karya yang menyebabkan Golkar menjadi partai yang hegemonik. Dan telah menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Pada masa itu pemilu tak lebih menjadi alat legitimasi bagi rezim politik orde baru untuk melestarikan status quo otoritarianisme politik. Praktis selama orde baru pemilu tidak di dasarkan pada ide demokrasi, sementara dengan pemilu demokratislah yang akan membawa angin segar pengharapan akan tatanan politik baru yang mencerminkan aspirasi dari rakyat yang berdaulat.

Setelah masa orde baru berakhir, pada masa 1999 di masa pemerintahan transisi Presiden B.J Habibie diselenggarakan pemilihan umum dengan jumlah peserta sebanyak 48 partai dimana pemilu tersebut menuju gerbang orde reformasi. Pemilihan umum berikutnya diselenggarakan pada tahun 2004 dimana pada pemilihan umum tersebut tidak saja memilih anggota DPR tetapi juga sudah memilih DPD dan pada masa itu juga dilakukan pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pemilihan umum anggota DPR diselenggarakan dua kali yaitu pada pemilihan umum tahun 2009 dan terkahir pada pemilihan umum 2014.

Pada dasarnya demokratis tidaknya suatu penyelenggaraan pemilu ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu salah satunya yaitu sistem pemilu. Sistem pemilu memegang peranan paling penting mengingat pemilihan terhadap sistem pemilu ini akan berdampak terhadap sistem kepartaian yang ada yang berarti berdampak luas pula ada kehidupan politik dan demokrasi di negara Indonesia. Sistem pemilu juga memegang peranan yang penting dalam menentukan sukses

tidaknya pemilu sebagai sarana pasrtisipasi aktif rayat Indonesia khususnya dalam membangun Indonesia menjadi bangsa yang demokratis dan berkedaulatan rakyat12.

Sistem pemilu sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi dan politik negara tentunya sangat perlu untuk mendapat perhatian dari kita semua yang menginginkan perbaikan demokrasi. Sistem pemilu, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu anggota DPR menjadi kajian yang perlu mendapat perhatian mengingat selama penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR sebanyak 11 (sebelas) kali dari beberapa masa demokrasi yang berbeda-beda belum sepenuhnya dapat mewujudkan pemilu yang benar-benar ideal bagi perkembangan demokrasi dan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang aspiratif dan benar-benar mewakili kepentingan rakyat.

Banyak negara di dunia menggunakan sistem demokrasi dan pemilu dianggap sebagai lambang sekaligus sebagai tolak ukur dari sebuah negara yang menggunakan sistem demokrasi. Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Dengan adanya pemilu diharapkan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengerti dengan aspirasi rakyat terutama mengenai proses kebijakan publik.

Peserta pemilu adalah partai politik yang mengajukan calon yang kemudian akan dipilih oleh rakyat. Secara universal pemilu adalah instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk menentukan para wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga legisltif. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang meneragkan : “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat ini salah satunya tercermin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu tertentu.

Secara sederhana, sistem pemilu berarti instrumen untuk menterjemahkan perolehan suara dalam pemilu kedalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Adapun variabel-variabel dasar yang sering dipakai mencakup formula pemilihan (electoral formula), struktur penyuaraan (ballot structure), dan besaran distrik ( districk magnitude)13.

Mengingat variabel-variabel di dalam sistem pemilu yang ada itu cukup beragam, implikasi dari penggunaan sistem pemilu juga berbeda-beda. Secara teoritis, perbedaan itu khususnya berkaitan dengan derajat keterwakilan politik dari para wakil yang terpilih melalui pemilu, dan implikasinya terhadap stabilitas pemerintahan yang terbangun melalaui pemilu. Karena itu, sejak lama, baik

13 Kacung marjinal, Sistem politik Indonesia konsilidasi demokrasi pasca orde baru, Jakarta, Kencana, 2012, Hlm. 91.

dikalangan akademis maupun praktisi, perbedaan tentang sistem pemilu mana yang terbaik dan sesuai untuk negara tertentu selalu dilakukan.

Sejak pemilu tahun 1955 Indonesia menganut sistem proporsional. Di dalam sistem ini, alokasi jumlah kursi di lembaga perwakilan didasarkan pada perolehan suara masing-masing peserta pemilu secara proporsional. Alokasi dan distribusi kursi di dasarkan pada jumlah penduduk hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membuat keseimbangan antara wakil dari jawa yang sempit namun besar penduduknya berbeda dengan diluar jawa yang luas wilayahnya. Sedangkan metode pembagian kursinya lebih banyak menggunakan metode the largest reminder dan kuota hare14.

Sistem proporsional terbuka terbatas yang dianut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yakni sistem yang ditandai dengan penetuan calon terpilih berdasarkan nomor urut tersebut tidak dapat dilaksanakan lagi karena Mahkamah Konstitusi telah mencabut sistem proporsional daftar calon terbuka terbatas dan menggantikannya dengan sistem proporsional terbuka murni15. Lahirnya sistem proporsional terbuka murni berawal dari dikabulkannya gugatan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Pasal tersebut dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dinilai inkonstitusional karena

14 Ibid.

15 Khairul fahmi, Pemilihan umum dan kedaulatan rakyat, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011, Hlm. 266.

bertetangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 194516.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat, sehingga dalam kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang kompeten menafsirkan UUD 1945 berpendapat bahwa tujuan utama pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar konstitusi adalah dalam rangka menempatkan sedemikian rupa penghargaan dan penilaian hak suara pemilih yang membentuk wujud keadilan, tidak merupakan masalah yang tunduk pada perubahan yang timbul dari kontroversi politik di DPR, seperti menempatkan kekuasaan partai politik untuk mengubah pilihan rakyat menjadi pilihan penguasa partai politik melalui nomor urut17.

Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut menepis pendapat yang menyatakan bahwa pembuat undang-undang berdasarkan kebijaksanaannya dapat menentukan sistem pemilu apa saja yang diingini. Benar pembuat undang-undang diberikan kewenangan untuk menentukan sistem pemilu yang akan ditetapkan, namun pembuat undang-undang tidak dapat keluar dari garis ataupun prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang dianut UUD 1945 sebagai konstitusi negara18.

16 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dalam Perkar Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang-Undang-Undang Dasar, tanggal 19 Desember 2008.

17 Ibid. Hlm. 103.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk terwujudnya kondisi dimana rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih dengan cara atau berdasarkan pada perolehan suara atau dukungan rakyat paling banyak. Dengan demikian, pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 telah melanggar dua prinsip secara bersamaan, yaitu prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan yang dianut UUD 1945. Mahkamah Konstitusi juga menilai, keberadaan pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 akan mengganggu kedaulatan rakyat dan keadilan. Jika ada dua caleg yang mendapat suara yang jauh berbeda ekstrem, terpaksa caleg yang mendapatkan suara terbanyak dikalahkan caleg yang mendapat suara kecil, namun dengan nomor urut yang lebih kecil19.

Tjahjo Kumolo mengemukakan, bahwa penghapusan nomor urut itu justru akan akan membuka peluang adanya politik uang. Disamping itu, sistem demikian dianggap akan mendelegitimasi keberadaan partai, Jusuf Kalla juga menuturkan bahwa perlu tetap mempertahankan sistem semi terbuka tanpa nomor urut, bisa dilakukan secara teoritis, tapi sulit untuk dipraktikan.

Negara yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dalam pelaksanaannya merupakan satu kesatuan dengan pelaksanaan konsep negara hukum atau nomokrasi. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dimana kedaulatan berada ditangan rakyat (constitutional democray based on rule of law). ketentuan ini berdasarkan

atas pelaksanaan kedaulatan haruslah tetap berpegang asas-asas hukum agar pelaksanaan kedaulatan ini tidak menimbulkan kekacauan.

Salah satu bentuk asas kedaulatan rakyat yang berdasarkan atas hukum adalah pelaksanaan pemilu untuk memilih para wakil rakyat melalui konsep demokrasi perwakilan. Dalam diskusinya, international commision of jurist menentukan syarat-syarat representative goverment under the rule of law. Dimana salah satunya adalah pemilu yang bebas20. pemaknaan bebas disini menurut Ruppert Shick adalah bahwa para pemilih tidak dipaksa dan berada di bawah tekanan dalam penggunaan hak pilihnya. Pemilih tidak digiring ke tempat pencoblosan agar rela merestui tatanan politik yang ada dan tidak terdapat kebebasan memilih atau peluang memilih kontestan sebagaimana di negara-negara totaliter21. hal sama mengenai ketidakbebasan dalam memilih pun terjadi di negara-negara otoriter dimana rakyat diperkenankan memilih sejumlah kontestan yang telah dikebiri dan dilitsus22. dengan demikian, pelaksanaan pemilu di kedua jenis negara tersebut hanyalah bersifat formalitas belaka.

Berbicara mengenai kedaulatan, maka hal tersebut identik dengan pengertian kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Dalam membahas mengenai kedaulatan, maka akan timbul persoalan mengenai apa dan

20 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung, Citra Daya Bakti, 1989, Hlm. 12-13.

21 Pipit R Kartawidjaja dan Mulyana W Kusumah, Sistem Pemilu dan Pemilihan Presiden: Suatu

Studi Banding, Jakarta, KKIP Eropa, 2002, Hlm. 1. 22 Ibid.

siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan akhir dalam kegiatan kenegaraan23 . sehingga dalam konsep negara modern, pemegang kedaulatan berkaitan diidentikkan dengan istilah demokrasi yang menurut asal katanya bermakna rakyat yang berdaulat atau goverment or rule by the people24. sehingga pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara modern rakyat itu sendiri.

Apabila kita kembali kepada konsep teoritis, hak memilih merupakan salah satu dari hak asasi manusia yang diakui secara Internasional. Hak asasi memilih akan terpenuhi bila hak asasi manusia secara keseluruhan dihormati dan diperlakukan sebagai hak yang melekat dalam diri setiap manusia semata karena seseorang adalah manusia dan karena itu hak memilih bukan pemberian atau pinjaman negara25. sistem pemilu yang tidak mendorong aspirasi masyarakat dalam menggunakan haknya, berarti sistem pemilu tersebut mengkebiri bahkan menghilangkan penggunaan hak asasi manusia itu sendiri. Padahal pemilihan sistem pemilu ini sangat mempengaruhi komposisi badan pemerintahan terpilih (salah satunya adalah parlemen), struktur sistem partai politik, proses pembentukan opini publik dan kehendak para pemilih, kemampuan dan kapasitas

23 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, PT Buana Ilmu Populer, 2008, Hlm. 144.

24 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia, 1978, Hlm. 50.

25 J. Kristiadi, Menyelenggarakan Pemilu Yang bersifat Luber dan Jurdil, Jakarta, Center For Strategic And International Studies, 1997, Hlm. 3.

penduduk untuk berpartisipasi dalam proses politik serta akan mempengaruhi budaya politik di sebuah negara26.

Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. sejak pemilu pertama di Indonesia menganut sistem proporsional di dalam pemilu, di dalam sistem ini, alokasi jumlah kursi di lembaga perwakilan didasarkan pada perolehan suara masing-masing peserta pemilu secara proporsional untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk diparlemen artinya bahwa setiap daerah yang memiliki jumlah penduduk yang populasinya banyak akan memiliki jumlah kursi lebih banyak di DPR. Sistem pemilu (electoral system) merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting di dalam negara demokrasi untuk mewujudkan tiga persyaratan demokrasi. Pelaksanaan pemilu yang free and fair yang merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diisyaratkan guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis.

Dokumen terkait