• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Sistem Perwakilan Proporsional

Sistem Representasi Proporsional atau populer disebut proporsional atau perwakilan berimbang adalah metode transfer suara pemilih ke kursi di parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih. Dibanding dengan sistem distrik, sistem proporsional lebih banyak digunakan oleh negara-negara di dunia. Pertimbangan utama negara-negara yang mempergunakan sistem ini biasanya berangkat dari keberatan terhadap sistem distrik yang tingkat disproporsionalitasnya sangat tinggi.

Cara kerja sistem PR adalah pertama, menentukan alokasi jumlah kursi pada satu distrik atau daerah pemilihan. Dalam sistem PR, daerah pemilihan ini lazimnya menggunakan dasar wilayah administrasi. Di Indonesia pada pemilihan parlemen nasional, daerah pemilihan didasarkan pada wilayah propinsi. Misalnya berapa jumlah kursi yang disediakan untuk daerah pemilihan Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dst. Jumlah kursi di masing-masing

daerah biasanya tidak sama karena didasarkan pada jumlah penduduk di wilayah masing-masing. Kedua, menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa suara yang dibutuhkan partai politik agar mendapatkan satu kursi di parlemen. Besarnya kuota pada suatu daerah pemilihan tergantung pada besarnya jumlah penduduk yang menggunakan hak suaranya dan jumlah kursi yang diperebutkan oleh partai-partai politik. Umumnya penentuan kuota didasarkan pada rumus:

m v q= dimana:

q = kuota

v = jumlah penduduk yang menggunakan suaranya

m = jumlah kursi yang tersedia

Aspek penting dari sistem ini adalah adanya hak politik yang disebut

universal suffrage. Universal suffrage diartikan bahwa setiap warga negara yang telah memenuhi syarat menurut UU, memiliki hak yang sama tanpa dibedakan suku, agama, ras, golongan dan latar belakang sosial lainnya, kecuali bagi mereka yang cabut hak-hak politiknya. Di samping itu juga bisa membangkitkan partisipasi politik warganya. Varian dari sistem proporsional representatif ini meliputi:

a. List Proportional Representation (List PR); b. Mixed Member Proportional (MMP); dan c. Single Transferable Vote (STV).

Sistem List Proportional Representative (List PR) pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu sistem daftar tertutup (closed list system) dan sistem daftar terbuka (open list system). Dalam sistem daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai

politik peserta pemilu, dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, para calon legislatif biasanya telah ditentukan dan diurutkan secara sepihak oleh partai politik yang mencalonkannya.

Sementara pada sistem daftar terbuka (open list system), para pemilih bukan hanya dapat memilih partai politik yang diminati, namun juga berkesempatan menentukan sendiri calon legislatif yang disukainya. Dengan demikian, pemilih di samping memilih tanda gambar partai juga memilih gambar kandidat legislatif. Oleh sebab itu, partai politik tidak dapat menentukan secara sepihak calon-calon dan daftar urutan calon, karena hal itu sangat bergantung pada pemilih.

Bagaimana mekanisme menstransfer suara pemilih ke dalam kursi di parlemen? Dalam sistem List PR, transfer bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu: a) berdasarkan rata-rata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi (devisor) dan b) suara sisa terbesar (largest remainder) atau lazim disebut dengan kuota12

12

Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002

Metode-Metode Penghitungan List PR

Devisor

Metode devisor ada dua jenis yaitu: formula d’Hondt dan formula Sainte-Laque. Prosedur utama kedua formula tersebut adalah bahwa kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun

berdasarkan bilangan pembagi. Prosedur ini terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis. Rata-rata yang dimaksud berbeda dengan istilah dalam statistik (mean), melainkan seperangkat bilangan pembagi.

d’Hondt, bilangan pembaginya merupakan urutan bilangan utuh  1, 2, 3, 4, 5, dst. Penggunaan formula d’Hondt lebih menguntungkan partai besar.

Sainte-Laque, bilangan pembaginya dimulai dengan pecahan 1,4 dan diikuti secara berurut bilangan ganjil  1.4, 3, 5, 7, 9, dst. Penggunaan formula Sainte-Laque lebih menguntungkan partai kecil.

Kuota

Metode kuota yang sering digunakan yaitu: kuota Hare dan kuota Droop. Langkah-langkahnya adalah menentukan kuota suara. Setelah itu menentukan besarnya kursi yang diperoleh masing-masing partai berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Sementara sisa suara yang belum terbagi akan diberikan kepada parpol yang mempunyai jumlah sisa suara terbesar.

Kuota Hare (HQ) dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah (v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (s). Penggunaan kuota Hare lebih menguntungkan partai-partai kecil

s v HQ=

Kuota Droop (DQ) dihitung dari jumlah total suara (v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (s) ditambah 1. Penggunaan kuota Droop lebih menguntungkan partai-partai besar.

1 + = s v DQ

Sumber: Asfar dkk, Materi Workshop Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia, Pusat Studi Demokrasi dan HAM, Surabaya, 2002

Dibandingkan formula list PR, perhitungan proporsionalitas Single

Transferable Vote (STV) sedikit lebih rumit. Hal ini disebabkan para pemilih

memberikan suaranya berdasarkan preferensinya berdasarkan daftar partai. Dengan begitu, para pemilih dalam sistem STV memilih para kandidat yang disukainya bahkan kemudian merankingnya. Oleh karena itu, transfer suara pemilih ke kursi di parlemen juga harus memperhitungkan peringkat suara yang diberikan oleh para pemilih. Prosedur dan penghitungan berdasarkan peringkat kandidat inilah yang tidak dijumpai pada sistem prosedur dan perhitungan list PR.

Prosedur pertama yang harus dilakukan dalam menghitung STV setelah daftar preferensi pilihan pemilih tersusun adalah menentukan besarnya kuota. Pada prinsipnya, penentuan kuota STV hampir selalu menggunakan formula kuota

Droop, yaitu DQ = v/(s + 1). Bedanya, pada kuota Droop hasil pembangian dibulatkan, sedangkan dalam STV hasil pembangian ditambah 1, jadi rumusnya:

(

)

1 1 +     + = s v DQ

Prosedur selanjutnya adalah menentukan jatah kursi untuk masing-masing kandidat berdasarkan preferensi pilihan kandidat. Caranya, kandidat yang mempunyai atau berhasil mengumpulkan preferensi pilihan pertama sebanyak (atau lebih) dari jumlah kuota pada perhitungan pertama dapat otomatis terpilih dan berhak mewakili distriknya duduk di parlemen. Pada perhitungan kedua, sisa kelebihan suara kandidat yang telah terpilih dibagi rata ke kandidat urutan 2 dan 3, dengan catatan suara hasil pembagian ini diberikan hanya kepada suara yang kandidat yang sekelompok preferensi.

Jika pada perhitungan ketiga tidak ada kelebihan suara yang dapat didistribusikan kepada kandidat-kandidat yang suaranya tidak mencapai kuota, maka penyelesaiaanya adalah dengan mengeliminasi atau mengeluarkan partai yang suaranya terkecil untuk ditransfer ke partai yang suaranya lebih besar. Namun pembagian suara ini diberikan juga kepada kandidat sekelompok preferensi.

Mixed Member Proprotional (MMP) merupakan formula yang

memberikan kompensasi kursi dari suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Misalnya, jika sebuah partai memperoleh suara 10 % secara nasional, namun ia tidak memperoleh kursi dalam suatu distrik, maka partai tersebut akan memperoleh kompensasi kira-kira sampai 10 % kursi di parlemen. Dari tujuh negara yang menerapkan sistem ini, kecuali Hungaria yang menggunakan Two-

Italia misalnya, seperempat dari kursi parlemen disediakan untuk suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Sementara itu, di Venezuela, terdapat 102 kursi (50%) yang dipilih berdasarkan sistem distrik, 87 kursi dipilih berdasarkan sistem proporsional, dan sisanya 15 kursi proportional yang disediakan sebagai kompensasi. Berikut disampaikan tabel kelemahan dan kelebihan sistem proporsional.

Tabel 7

Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional

Kelebihan Kelemahan

 Sistem ini lebih cocok diterapkan dalam masyarakat majemuk dan merupakan sistem yang inklusif, memungkin badan legislatif terdiri dari wakil rakyat yang bersal dari berbagai macam kekutan politik dalam suatu negara.

 Hubungan antara wakil rakyat dengan pemilih kurang akrab, khususnya dalam daftar tertutup, para pemilih tidak mempunyai pengaruh dalam menentukan wakilnya sehingga akuntabilitas para wakil terhadap para pemilihnya kurang..

 Suara dari partai-partai kecil dapat digabung sehingga partai kecil punya peluang untuk memiliki wakilnya di lembaga legislatif.

 Kandidat lebih memiliki hubungan kuat dengan partai daripada pemilih. Sehingga mendorong munculnya nepotisme dalam partai.

 Sistem ini dianggap lebih

representatif, karena dimugkinkan

 Sistem ini akan mendorong munculnya multipartai.

partai-partai kecil memiliki wakil di lembaga perwakilan.

 Sistem ini cenderung menghalangi adanya dominasi regional partai besar.

 Sistem ini mendorong timbulnya konflik/perpecahan dalam diri partai politik

 Beberapa bukti di negara Eropa, sistem ini ternyata juga

menghasilkan pemerintahan yang efektif.

 Mendorong bertahannya partai-partai ekstrim dan tidak mengakomodasi kandidat yang independen.

 Menciptakan sharing kekuatan dan kerjasama konkrit antara partai dan pemerintah dan cukup akurat dalam menterjemahkan proporsi suara yang dimenangkan menjadi presentase wakil yang dipilih.

 Pemerintah yang terpilih kurang bertanggungjwab dengan karena lebih sulit untuk menjatuhkan sebuah partai dari kekuasaan. Bahkan partai yang tidak populer dapat bertahan dalam koalisi pemerintah setelah pemilu.

Sumber: Sugeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Membaca Indonesia, Jakarta SSS, 2005.

Dokumen terkait