• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PENGETAHUAN

Dalam dokumen paper bali cultural anthropology (Halaman 35-50)

SISTEM MATA PENCARIAN HIDUP MASYARAKAT BALI TERDIRI DARI :

4. BERCOCOK TANAM MENETAP

3.5 SISTEM PENGETAHUAN

Ilmu dalam Strategi Kebudayaan Bali

WEDA Sruti, kitab suci agama Hindu itu, adalah sabda Tuhan. Dalam sabta Tuhan itu terdapat ajaran tattwa atau kebenaran dan konsepsi dasar tentang Tuhan dan segala ciptaannya. Dalam ajaran suci Weda itu ada juga diajarkan konsepsi dasar tentang hubungan manusia dengan Tuhannya (Prajapati), hubungan manusia dengan sesama manusia (Praja) dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Kamadhuk). Sabda Tuhan itu diamalkan dalam kehidupan beragama oleh umat Hindu sesuai dengan batas-batas kemampuannya. Wujud pengamalan ajaran suci Weda inilah muncul religi Hindu sebagai salah satu sistem kebudayaan Hindu. Penerapan ajaran tattwa Hindu tersebut yang diamalkan di Bali inilah yang memunculkan kebudayaan Bali. Pengamalan tattwa Hindu itu berdasarkan keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala di Bali.

Sistem ilmu pengetahuan adalah salah satu sistem kebudayaan. Ilmu pengetahuan memiliki peranan yang sangat penting dalam memadukan semua sistem kebudayaan. Kebudayaan Bali sebagai perwujudan dari pengalaman ajaran Hindu mutlak perlu mendudukkan sistem ilmu pengetahuan itu secara tepat dalam strategi kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali akan menjadi makin melemah tanpa memerankan sistem ilmu dalan strategi pengembangannya.

Ilmu sosial menurut Prof. Dr. Sondang Siagian teorinya universal. Aplikasinya yang kontekstual selalu menyesuaikan dengan keberadaan ruang, waktu dan

keadaan masyarakatnya. Demikian juga dalam kaitannya dengan kebudayaan Bali sebagai wujud empiris dari ajaran agama Hindu.

Kebudayaan Bali seyogianya dijelaskan dan diaplikasikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Karena itu, tidaklah bisa kita menjelaskan kebudayaan Hindu di Bali menurut keinginan kita masing-masing. Seperti ada yang menjelaskan makna penggunaan pisang dalam upacara agama Hindu di Bali. Kata pisang dinyatakan berasal dari kata ''sang sepi''. Ada juga yang mengartikan penggunaan sate dalam upacara agama Hindu berasal dari kata ''sat'' dan ''te''. Sat artinya kebenaran dan te artinya teguh. Kata Bhuta dalam Bhuta Yadnya diartikan tidak melihat. Kalau caru dikatakan berasal dari kata ''cara'' yang diartikan suka ngambek. Suatu saat kata ''cara'' itu diartikan berbeda-beda. Melasti dinyatakan sebagai prosesi penyucian pratima, ada juga yang mengartikan ngiring Ida Batara masiram. Padahal dalam lontar Sunarigama dan lontar Sang Aji Swamandala penjelasan tentang Melasti, Tawur Kasanga dan Nyepi sudah sangat jelas.

Galungan itu oton gumi. Dalam hal Galungan ini sudah semakin sesuai pemahaman masyarakat dengan pengertian Galungan dalam teks lontar Sunarigama. Ada pemuka agama di suatu Pura menjelaskan tujuan upacara Mamungkah itu untuk menyucikan Ida Batara. Jadinya Ida Batara yang suci itulah disucikan oleh manusia melalui upacara yadnya.

Penjelasan yang tidak berdasar itu bukanlah dijelaskan di dalam obrolan di warung kopi, di arena judian, di emper toko atau di arena dagang tuak. Penjelasan tersebut diutarakan di media yang sangat serius dan bergengsi seperti di televisi, radio, koran dan media-media lainnya. Cara menafsirkan berbagai simbol budaya agama Hindu seperti itu tentunya sulit dipertanggungjawabkan secara ilmu pengetahuan umumnya maupun ilmu pengetahuan agama Hindu khususnya.

Penjelasan-penjelasan seperti itu sudah banyak kita buktikan menimbulkan tradisi beragama yang salah kaprah. Antara konsep di kitab sastranya sangat bertentangan pengamalannya dalam kehidupan beragama. Seperti tradisi manak salah, asu mundung, alangkahi karang hulu, sistem varna yang berdasarkan Guna Karma bergeser menjadi berdasarkan wangsa. Banyak lagi tradisi pengamalan agama Hindu yang bertentangan dengan konsep atau tattwanya dalam sastra sucinya. Sesungguhnya kegiatan nyata kebudayaan

beragama Hindu di Bali pada umumnya sudah ada dijelaskan maknanya dalam lontar atau kitab petunjuknya maupun dalam naskah susastra Hindu yang tergolong sastra suci.

Kalau semua sumber ilmiah itu buntu atau tidak diketemukan maknanya, boleh kita menyatakan pendapat atau penafsiran kita sendiri secara jujur. Sendainya ada pihak lain menemukan pengertiannya yang benar dalam kitab suci atau kitab sastranya maka pengertian itulah yang dijadikan acuan untuk menafsirakannya. Seperti pengertian penggunaan pisang misalnya.

Pisang dalam banten umumnya dijadikan rakan banten. Dalam lontar Yadnya Prakerti dinyatakan ''raka-raka pinaka widyadhara-widyadhari. Dari rumusan inilah pisang sebagai rakan banten dapat kita jelaskan. Demikian juga kata caru dalam kitab Samhita Suara yang artinya cantik atau harmonis. Ini artinya tujuan macaru untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam. Kata Bhuta dalam Bhuta Yadnya, dalam bahasa Sansekerta artinya unsur-unsur alam. Karena itu ada istilah Panca Maha Bhuta yaitu pratiwi, apah, teja, bayu dan akasa. Dalam lontar Agastia Parwa Bhuta Yadnya itu dirumuskan sebagai berikut: ''Bhuta Yadnya ngaran taur muang kapujan ring tuwuh. Artinya, Bhuta Yadnya namanya mengembalikan dan melestarikan tumbuh-tumbuhan.

Dalam Bhagawad Gita III.14 dinyatakan tumbuh-tumbuhan itu sumber makanan hewan dan manusia. Jadinya upacara Bhuta Yadnya itu sebagai simbol sakral dalam wujud ritual untuk membangkitkan spiritualitas memotivasi manusia bertujuan untuk menyejahterakan alam lingkungan, baik sekala maupun niskala. Jadinya berbagai simbol Hindu itu hendaknya dijelaskan secara ilmu pengetahuan (Sastratah), untuk menyukseskan terwujudnya nilai-nilai simbol Hindu di Bali mengantarkan masyarakat umatnya menguatkan kehidupan individual, sosial dan naturalnya. Karena nilai-nilai dalam kemasan simbol kebudayaan Hindu di Bali tidak lain dari inti sari Weda. Karena sering tidak dijelaskan berdasarkan sistem ilmu pengetahuan maka banyak yang menyimpang

3.6 SISTEM RELIGI

Hindu mendominasi perkembangan sistem religi di Bali, tatanan dan norma -norma Hinduisme masih terasa sangat kental dalam aspek kehidupan bermasyarakat di pulau dewata ini. Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau

ada di mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik. Maka dari itu suasana penuh damai menjadi ciri khas Bali yang membuat pulau ini menjadi salah satu surga dunia yang terlihat nyata di bumi nusantara.

Ajaran Hindu yang penuh dengan syarat cinta kasih tanpa memandamg nilai perbedaan serta menjunjung unsur kehidupan yang seimbang dengan alam membuat kehidupan di Bali terbentuk menjadi seperti Bali yang sekarang ini, tidak hanya bernilai eksotis tapi pulau ini memiliki nilai - nilai keagamaan yang kental untuk membentuk masyarakatnya mencintai alam ciptaanNya.

Upacara keagamaan sebagai bentuk persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan manusia.

Didukung dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:

1. Dewa Yadnya

Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.

2. Pitra Yadnya

Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang

Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.

3. Rsi Yadnya

Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.

4. Manusia Yadnya

Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.

5. Bhuta yadnya

Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).

3. Sistem Mata Pencaharian

Seperti maysarakat Indonesia pada umumnya dalam masa pra sejarah masyarakat Hindu mulai mencari mata pencaharian untuk menyambung hidup dengan cara berburu, dilanjutkan dengan bercocok tanam pada masa pemerintahan Belanda, Bali juga menymbangkan komoditas hasil alamnya kepada pemerintahan kolonial. Seiring dengan perkembangan zaman yang memposisikan Bali sebagai objek wisata internasional maka banyak dari masyarakat Bali yang menggeluti usaha yang berhunhubungan dengan kelengkapan fasilitas wisata berupa usaha jasa seperti resort dan hotel,

seniman, usaha niaga untuk memasarkan benda - benda karya tangan lokal, atau usaha jasa personal sepeti pemandu wisata banyak ditemukan sebagai profesi masyarakat Bali pada umumnya.

3.7 KESENIAN

A. Seni Tari

Seni tari Bali dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu:

 Wali, yaitu seni tari pertunjukan sakral. Jenis-jenis tarian yang terdapat dalam Wali adalah Berutuk, Sanghyang Dedari, Rejang dan Baris Gede.

 Bebali, yaitu seni tari pertunjukan untuk upacara. Jenis tarian yang termasuk golongan Bebali adalah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong.

 Balih-Balihan, yaitu seni tari untuk hiburan pengunjung. Jenis tarian yang termasuk golongan ini adalah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari moderen lainnya.

a. Tari Kecak

Tari Kecak merupakan salah satu jenis tarian yang paling terkenal di Bali. Tarian ini diciptakan pada tahun 1930-an. Dimainkan oleh puluhan laki-laki yang duduk berbaris melingkar lalu menyerukan irama „cak‟ dan mengangkat kedua tangan mereka sesuai dengan irama.

Tarian ini menggambarkan kisah Ramayana yaitu saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Kecak sendiri berakar pada tarian yang dilakukan untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Kecak pada awalnya adalah tarian religius yang dilakukan selama beberapa jam pada malam-malam tertentu. Dipercaya tarian ini mampu mengusir setan. Tarian religius ini sekarang berkembang menjadi salah satu bentuk pertunjukan untuk para turis Bali.

Tari Kecak dipopulerkan pada tahun 1930an oleh pelukis dan pemain musik Jerman Walter Spies dan I Wayan Limbak. Tari Kecak kemudian menjadi sangat terkenal karena usaha Wayan Limbak yang memperkenalkan tarian ini dengan berkeliling dunia bersama para penari Bali lainnya. Walter Spies pertama kali terinspirasi untuk menciptakan tarian ini karena ai sangat tertarik

dengan cerita Ramayana. Ia ingin menciptakan sebuah tarian yang mengabungkan unsur cerita Ramayana dengan tari-tarian.

b. Tari Sanghyang

Termasuk dalam golongan Wali (tari sakral) di Bali. Sanghyang ditarikan dengan riuh karena adanya roh yang masuk ke tubuh manusia penarinya. Roh-roh tersebut sangat beragam seperti bidadari, babu hutan, monyet, dsb. Tarian ini dipercaya dapat membuka komunikasi spiritual antara manusia dengan alam gaib. Ditarikan dengan nyanyian paduan suara menyanyikan lagu-lagu pemujaan.

Terdapat tiga tahapan dalam tari ini yaitu Nusdud, yaitu upacara penyucian medium (orang) dengan asap/api. Kemudian tahap masolah yaitu masuknya roh ke tubuh medium yang lalu menari. Tahap terakhir adalah ngalinggihang, yaitu mengembalikan kesadaran medium.

c. Janger

Tarian ini adalah tarian muda-mudi yang biasanya dilakukan 10 pasang penari. Penari wanita dan pria akan menari dan bernyanyi bersahut-sahutan dengan lagu yang yang berirama gembira. Tarian ini diiringin gamelan.

Uniknya, Janger dipercaya lahir karena perkembangan tari sanghyang. Selain itu, tarian ini juga sangat bervariasi tergantung pada daerah masing-masing.

d. Barong

Barong dalam karakter mitologi Bali adalah raja dari roh-roh. Barong melambangkan kebaikan dari roh-roh ini. Sedangkan kejahatan yang merupakan lawan dari Barong adalah Rangda. Mitologi Bali ini kemudian berkembang menjadi tarian yang mengisahkan pertempuran antara Barong dengan Rangda.

Pada umumnya Barong digambarkan berwujud singa. Namun Barong sendiri sebenarnya memiliki lima bentuk, yaitu babi hutan, harimau, ular atau naga dan singa. Barong yang berbentuk singa sangat terkenal karena Barong inilah yang dijadikan tari untuk hiburan. Tarian Barong menggunakan gamelan sebagai pembukaan.

e. Tari Pendet

Tarian ini dimainkan oleh para perempuan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan secara berbarengan dengan tari Rejang di halaman Pura. Gerakannya dinamis dengan menggunakan pakaian upacara.

f. Tari Rejang

Sama seperti tari Pendet, tarian ini adalah tarian kaum perempuan. Gerekannya lemah gemulai dan dilakukan secara berkelompok di halaman pura. Tari Rejang dikelompokkan berdasarkan:

 Status sosial penari

 Cara menarikannya

 Perlengkapan tarian

g. Tari Legong

Tarian klasik Bali yang memiliki gerakan yang sangat kompleks. Legong sendiri berasal dari kata „leg‟ yang artinya luwes dan kemudian diartikan sebagai gerakan lemah gemulai. Selain „leg‟, Legong juga memiliki asal kata yaitu „gong‟ yang artinya gamelan. Hal inilah yang membuat Legong menggunakan gamelan untuk mengiringi tarian.

Ciri khas dari tari legong adalah pemakaian kipas sebagai aksesoris. Legong sendiri menggunakan lakon-lakon yang terdapat dalam kisah-kisah mitologi Bali antara lain kisah Prabu Lasem, Kisah Subali Sugriwa, Kisah Burung, dsb. Penari Legong harus dapat mengikuti suara gamelan yang disesuaikan dengan gerak tubuh mereka. Hal yang paling khas dalam tarian Legong adalah saat sang penari menggerakkan tangan dan jari mereka saat melakukan tarian dan saat mata penari bergerak dari kiri ke kanan.

Topeng merupakan salah satu bentuk dramatari di Bali yang menggunakan cerita-cerita sejarah sebagai bahan tarian. Terdapat 2 jenis topeng dalam tarian ini yaitu:

 Topeng Bungkulan, yaitu topeng yang menutup seluruh muka penari

 Topeng Sibakan, yaitu topeng yang menutup sebagian muka dari dahi hingga rahang)

Adapun jenis-jenis dramatari Topeng yang ada di Bali yaitu:

 Topeng Pajegan. Ditarikan hanya oleh satu orang yang membawakan semua peran. Topeng Pajegan memiliki hubungan yang erat dengan upacara keagamaan sehingga disebut dengan Topeng Wali.

 Topeng Panca. Ditarikan oleh empat atau lima orang penari. Masing-masing memainkan peran yang berbeda-beda.

 Topeng Prembon. Menampilkan tokokh-tokoh yang merupakan campuran dari beberapa dramatari topeng.

B. Seni Vokal

Seni vokal Bali merupakan warisan secara turun temurun dan banyak yang merupakan karya-karya baru. Seni vokal yang merupakan warisan secara turun-temurun adalah seni tembang dan seni karawitan.Terdapat 4 jenis seni tembang dalam masyarakat Bali, yaitu:

a. Gegendingan

Gegendingan merupakan kumpulan berbagai jenis lagu anak-anak yang bersifat permainan. Menggunakan bahasa Bali dan dilengkapi dengan permainan setiap kali lagu dinyanyikan. Beberapa lagu berdiri sendiri tanpa adanya permainan yang mengiringinya.

b. Sekar Agung

Adalah lagu-lagu berbahasa Kawi yang memiliki kaidah-kaidah dalam menyanyikannya. Sekar Agung dinyanyikan dalam upacara-upacara adat maupun agama. Salah satu jenis tembang dalam Sekar Agung adalah Kakawin yang meupakan puisi Bali Klasik. Puisi ini mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang diterjemahkan.

Merupakan nyanyian lagu-lagu pemujaan yang dilakukan dalam upacara adat maupun agama. Tembang-tembang dalam Sekar Madya yang paling terkenal adalah Kidung yang berasal dari Jawa abad XVI sampai XIX.

d. Sekar Alit

Sekar Alit merupakan seni tembang yang terikat oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru Wilang meruapakan ketentuan yang mengikat jumlah baris dalam lagu serta banyaknya suku kata dalam setiap barisnya. Guru dingdong adalah hukum yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata.

Dalam Sekar Alit terdapat jenis-jenis tembang yang dikategorikan berdasarkan suasana yang ingin diciptakan, yaitu:

C. Seni Instrumental

Seni instrumental di Bali dikenal dengan seni karawitan, yaitu seni mengolah bunyi benda (instrumen) tradisional Bali. Di Bali sendiri, instrumen tersebut dikenal lewat gamelan atau gambelan.

Tahun 1970 sampai dengan 1990an, seni Karawitan Bali mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dimulai dari penyebaran gamelan ke seluruh Bali lalu munculnya komposisi-komposisi Karawitan Bali yang baru, rumit dan kompleks.

Karena penyebaran gamelan ke seluruh Bali ini, muncul berbagai variasi dalam memainkan gamelan. Akhirnya, gamelan Bali pun dapat diterima di dunia Internasional. Gamelan seperti Gong Kebyar, Semar Pagulingan dan Gender

Suasana Jenis Tembang

aman, tenang, tentram Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati

gembira, riang, meriah Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatruh

sedih, kecewa, tertekan

Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung

Wayang tersebar hingga ke Eropa, Australia, Jepang, India, Canada hingga ke Amerika Serikat.

Saat ini, semakin banyak instrumen Bali yang bermunculan seperti Geguntangan. Instrumen Bali pun muncul di pertunjukan-pertunjukan besar di dalam maupun luar negeri.

Seni Karawitan pun dibedakan berdasarkan dua daerah, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Perbedaannya terdapat dalam tempo, dinamika dan ornamentasi dari masing-masing gaya.

Perbedaan antara seni Karawitan Bali Utara dan Selatan:

Daerah/Perbedaan Tempo Dinamika Ornamentasi

Bali Utara Lebih cepat Semakin lama

semakin kecil terdengarnya

Lebih rumit

Bali Selatan Lebih lambat Semakin lama

semakin keras

Lebih sederhana

Meskipun terdapat perbedaan tersebut, perkembangan seni Karawitan di Bali nampaknya akan mengalami peleburan menjadi satu. Hal ini dikarenakan para pemusik Bali sudah mulai menyatu dan mengkolaborasikan seni Karawitan ini. Di masa mendatang, akan terus bermunculan berbagai jenis instrumen Bali karena kuatnya keinginan para seniman Bali untuk terus mencoba, mencari dan menggali ide-ide baru dari budaya mereka untuk mengembangkan budaya baru yang dapat memajukan kesenian Bali pada umumnya dan seni Karawatian secara khusus. Dalam seni karawitan, gamelan merupakan alat musik utama masyarakat Bali. Gamelan dalam masyarakat Bali terdiri dari gamelan angklung, wayang, gong kebyar, jegog dan joged.

 Gamelan Angklung

Permainan gamelan angklung biasanya dilakukan saat upacara-upacara di pura Bali. Gamelan Angklung bagi masyarakat Bali memiliki arti yang sentimental dan tidak dapat tergantikan untuk memberi arti pada upacara adat Bali. Kata angklung sendiri adalah untuk menyebut alat berupa bambu yang digunakan sebagai media keluarnya bunyi-bunyian.

Jumlah angklung yang tersedia di desa-desa Bali berjumlah sekitar 1-2 gamelan per desa.

 Gamelan Wayang

Pertunjukan wayang di Bali selalu dilengkapi dengan Gamelan Wayang. Yang menarik dari gamelan wayang ini adalah sang musisi harus mengikuti cerita wayang kemudian menyesuaikan dengan nada-nada yang ia keluarkan lewat gamelan. Ia pun harus siap dengan perubahan mendadak dalam pertunjukan.

Pada pertunjukan wayang umumnya, terdapat 4 pemain gamelan yang mengiringi. Namun pada pertunjukan khusus, seperti wayang yang mengisahkan tentang Ramayana, terdapat 4 pemain gamelan disertai drum, gong berukuran besar dan gong berukuran kecil.

 Gamelan Gong Kebyar

Pertunjukan Gamelan Gong Kebyar lahir pada tahun 1920an yang terinspirasi dari kebebasan individu. Prinsip ini diciptakan oleh penari Bali bernama Maria dari desa Tabanan yang menarikan koreografer tarian yang bebas tanpa mengikuti aturan yang telah ada. Dari sinilah, muncul tari lepas, sebuah tarian yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan gerakan. Tari lepas ini kemudian diiringi dengan permainan Gamelan Kebyar Duduk. Karena perkembangan yang terus terjadi lewat tari lepas, instrumen gamelan yang mengiringinya pun makin kompleks sehingga saat ini Gamelan Gong Kebyar pun digunakan untuk mengirinya. Permainan gamelan ini biasanya dilakukan saat festival gong. Dilakukan oleh 2 grup dengan jumlah 8 pemain. Festival ini pun sudah dilakukan bertahun-tahun untuk melestarikan budaya ini.

 Gamelan Jegog

Gamelan Jegog diciptakan oleh para musisi lokal Bali dengan menggunakan bahan dasar berupa bambu. Gamelan ini menggunakan mambu dengan panjang 3 meter dan diameter 60-65 cm. Karena ukurannya yang sangat besar, pemain Gamelan Jegog harus duduk di atas instrumen ini untuk memainkannya.

Gamelan ini biasanya dimainkan saat Mabarung (kompetisi Gamelan Jegog). Permainan ini paling populer di Jembrana, desa Tegalcangkering dan Sangkaragung. Setiap malam di desa ini dapat ditemukan grup Gamelan Jegog yang sedang latihan di jalan-jalan pedesaan.

 Gamelan Joged

Asal mula dari Gamelan Joged dan melodinya adalah sebuah misteri yang belum diketahui oleh masyarakat Bali hingga sekarang, bahkan

Dalam dokumen paper bali cultural anthropology (Halaman 35-50)

Dokumen terkait