• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Sistem Pengelolaan Sampah di Kota Yogyakarta

4.1.2 Sub Sistem Teknik Operasional

Sampai saat ini Bagian Kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melayani semua kelurahan yang ada di Kota Yogyakarta, sebanyak 45 kelurahan yang tersebar di 14 kecamatan. Akan tetapi tingkat pelayanan yang diberikan berbeda-beda, tergantung kondisi wilayahnya. Tingkat pelayanan yang rendah ada di daerah-daerah yang sulit untuk dijangkau dengan sarana prasarana persampahan yang ada, seperti di daerah bantaran sungai atau daerah dengan kemiringan lahan yang cukup tinggi (DLH Kota Yogyakarta, 2008).

Berdasarkan luas daerah pelayanan, jangkauan pelayanan pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta mencapai ±2.000 ha atau 80% dari luas Kota Yogyakarta. Hal ini berarti ada 20% wilayah di Kota Yogyaarta yang belum mendapatkan layanan persampahan. Daerah pelayanan dibagi menjadi 8 (delapan) sektor pelayanan, yaitu sektor Malioboro, Gunung Ketur, Kotagede, Kranggan, Krasak, Gading dan Ngasem (DLH Kota Yogyakarta, 2008)

Pada tahun 2007 jumlah timbulan sampah di Kota Yogyakarta mencapai 1.571 m3/hari. Dari jumlah sampah tersebut, sanpah yang terkelola dengan sistem yang ada sebanyak 1.334 m3/hari atau 85% dari total volume timbulan sampah. Secara keseluruhan daerah pelayanan sistem persampahan di Kota Yogyakarta tercantum dalam gambar 4.1.

Pewadahan dan Pengumpulan

Tahap pertama operasional pengelolaan sampah adalah pewadahan pada tingkat sumber timbulan (masyarakat). Pewadahan dimaksudkan untuk mencegah sampah berserakan dan mempermudah proses pengumpulan. Sesuai Perda nomor 18 tahun 2002 tentang Pengelolaan Kebersihan, tahap pewadahan dan pengangkutan sampah dari sumber hingga tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) adalah tanggung jawab setiap sumber sampah. Pada prakteknya, masyarakat menggunakan jasa tenaga penggerobak sampah untuk memindahkan sampahnya dari rumah tangga ke TPSS Wadah yang dipakai memiliki berbagai jenis dan bentuk, antara lain tong sampah, bak permanen, dan kantong plastik (Gambar 4.2)

Gambar 4.1

Peta Pelayanan Sistem Persampahan di Kota Yogyakarta Sumber: DLH Kota Yogyakarta, 2007

x x x x x x x x x x x x x xx x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x xx x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x xx x x x x x xx L L L L L L L L L L L L L L L L D D D D D D D D D D KS KS KS KS KS KS

DINAS LINGKUNGAN HIDUP x KS D L DEPO KANTOR SEKTOR LANDASAN CONTAINER TPSS PERMANEN TPSS 1M3

SEKTOR KOTA GEDE SEKTOR GUNUNG KETUR SEKTOR NGASEM-GADING SEKTOR KRANGGAN SEKTOR KRASAK SEKTOR MALIOBORO

Gambar 4.2

Macam-Macam Wadah Sampah di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

Dari hasil observasi diketahui bahwa pewadahan pada umumnya dilakukan tanpa pemisahan jenis sampah menjadi organik dan an-organik, namun sudah ada yang menyisihkan barang bekas untuk dijual atau diserahkan pada pengumpul barang-barang bekas. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha untuk menyediakan wadah sampah terpisah di pinggir-pinggir jalan untuk pejalan kaki. Akan tetapi kurangnya edukasi kepada pejalan kaki menyebabkan mereka masih mencampur antara sampah organik dan sampah anorganiknya.

Tahap berikutnya setelah pewadahan adalah tahap pengumpulan. Operasional pengumpulan sampah rumah tangga dari sumber yang terjadi di Kota Yogyakarta dilakukan dengan banyak cara. Berdasarkan sarana pemindahan yang digunakan, seperti: TPSS, container, transfer depo, dikenal beberapa pola operasional pengumpulan / pemindahan yaitu: pola individual langsung, pola individual tidak langsung, pola komunal langsung dan pola komunal tidak langsung.

Gambar 4.3

Skema Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah di Kota Yogyakarta Sumber: DLH Kota Yogyakarta, 2007

Operasional pengumpulan yang ada pada suatu kawasan pelayanan merupakan kombinasi pola-pola diatas, sesuai dengan sumber sampahnya. Pada tabel 3.3 disajikan pola operasional pengumpulan menurut sumber sampahnya.

Sistem TPSS adalah yang paling banyak dipakai saat ini. Akan tetapi untuk operasionalnya tidak mudah, karena membutuhkan sarana pengambilan sampah dan tenaga kerja yang relatif lebih banyak. Untuk saat ini, sistem yang dianjurkan adalah pola door to door dan jemput bola karena operasionalnya mudah, murah, dan cepat. Hanya saja dalam sistem ini perlu kerjasama dari petugas dan masyarakat untuk mentaati jam pengambilan sampah yang sudah ditetapkan.

Tabel. 4.1

Pola Operasional Persampahan Menurut Sumber Sampah Pola Pengumpulan dan Pemindahan Sampah Sumber Sampah

TPSS T. Depo Container Door to door Jemput Bola Pemukiman Pasar Pertokoan Perkantoran Penyapuan Jalan x x x x x x x x x x x x x x

Sumber: DLH Kota Yogyakarta, 2007

Berikut ini dipaparkan karakteristik sarana pemindahan sampah yang ada saat ini di Kota Yogyakarta:

1. Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS), yaitu bak dengan konstruksi dari bata tanpa atap yang diberi lubang pintu dengan atau tanpa pintu. Ukuran rata-rata 3 m3. Penempatannya diupayakan dekat dengan sumber timbulan sampah. Penggunaan TPSS pada umumnya tidak disukai karena alasan lingkungan, estetika, dan operasional yang tidak praktis (perlu waktu yang relatif cukup lama dan banyak tenaga).

Gambar 4.4

Bentuk TPSS di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

2. Container, yaitu bak dengan konstruksi dari kayu, besi atau baja yang diberi pintu dan jendela, dengan volume 6 m3. Karakteristik container adalah : cocok digunakan pada sumber sampah yang besar, dapat diletakkan pada banyak tempat dan dapat dipindah-pindahkan, memerlukan lahan penempatan yang luas, operasional pemindahan dan pengangkutan mudah dan cepat.

Gambar 4.5

Container di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

Dalam prakteknya, sarana ini belum digunakan dengan benar. Pemindahan sampah dari gerobak masih sulit dilakukan karena desain bak yang kurang

nyaman digunakan. Sehingga petugas membongkar sampah di luar bak, akibatnya lokasi container menjadi kotor dan tidak sehat. Diperlukan evaluasi untuk perbaikan rancang bangun container.

3. Transfer Depo, yaitu tempat pertemuan alat pengumpul dan truck pengangkut dan bukan TPSS. Ada 3 tipe transfer depo berdasarkan luas lahan yang digunakan, yaitu Tipe I (luas lahan 200 m2), Tipe II (luas lahan 50/100 m2) dan Tipe III (luas lahan 10-20 m2).

Gambar 4.6

Contoh Transfer Depo di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

Jenis transfer depo yang ada di Kota Yogyakarta, menurut ukurannya termasuk tipe II, namun beberapa depo juga dilengkapi dengan kantor/gudang seperti depo tipe I. Pada umumnya depo-depo tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya dan lebih berfungsi sebagai TPSS, hal ini disebabkan: - Pada transfer depo dengan sistem container, sampah banyak menumpuk di

luar karena operasional pemindahan sampah dari alat pengumpul (gerobak) ke dalam bak tidak praktis, sehingga petugas cenderung hanya membongkar sampah di luar bak saja. Hambatannya adalah pada desain container yang tidak nyaman digunakan untuk pemindahan sampah.

- Pada transfer depo dengan sistem tunggu dump truck, sampah banyak menumpuk karena koordinasi waktu pemindahan antara petugas pengumpul sampah dan kendaraan kurang baik.

Sistem yang fleksibel untuk diterapkan pada saat ini adalah sistem dengan container dan arm-roll truck, dengan catatan telah dilakukan modifikasi pada desain dan landasan container.

Pengangkutan Sampah

Keberhasilan penanganan sampah bisa dilihat dari efektivitas dan efisiensi pengangkutan. sampah dari sumber ke TPSA. Pengangkutan tidak boleh ditunda karena hal ini akan menambah beban pengangkutan berikutnya dan beresiko menimbulkan gangguan kenyamanan lingkungan di sekitar tempat penyimpanan. Tahap ini istimewa karena banyak porsi biaya, waktu, tenaga, dan koordinasi dibutuhkan. Evaluasi dan perencanaan terhadap jenis sarana, jadwal operasi, dan rute pengangkutan merupakan hal penting dalam pengangkutan. Ada beberapa jenis sarana pengangkutan sampah yang digunakan di Kota Yogyakarta, yaitu: 1. Truck biasa. Kendaraan jenis ini masih digunakan di Kota Yogyakarta.

Pemakaiannya tidak praktis karena proses bongkar muat sampah perlu waktu lama dan tenaga lebih banyak. Kelebihannya adalah pada kapasitas tampung yang besar (16 m3) dan harga yang relatif lebih murah dari jenis lainnya. Operasionalisasi1-2 rit/hari.

2. Dump Truck. Kendaraan ini merupakan modifikasi dari truck biasa, bak truck dapat digerakkan secara hidrolik sehingga proses bongkar sampah bisa efektif, sedangkan lama operasionalisasi sama dengan truck biasa. Bak terbuat dari baja dengan kapasitas bervariasi 8 m3, harganya relatif lebih mahal dari truck biasa dengan kapasitas operasional adalah 2-3 rit perhari. Jenis kendaraan ini digunakan pada pola operasional sistem door to door, jemput bola, transfer depo, dan juga sistem TPSS atau container yang berfungsi sebagai TPSS.

Gambar 4.7

Dump Truck di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

3. Arm-Roll Truck. Yaitu truck tanpa bak dengan lengan hidrolik untuk menggerakkan container. Dengan kendaraan ini, operasi pengangkutan dan pembuangan sampah menjadi lebih praktis. Bentuk dan ukurannya bervariasi menurut container. Harga kendaraan relatif lebih mahal dari dump truck. Kapasitas operasional adalah 4-6 rit perhari, tergantung pada jarak pengangkutan. Jenis kendaraan ini digunakan pada pola operasional sistem transfer depo dan container

.

Gambar 4.8

Arm Roll di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

4. Lain-lain (mobil pick-up, motor roda 3 dan sepeda sampah. Sarana pengangkutan lainnya yang biasa digunakan untuk pengangkutan sampah di Kota Yogyakarta adalah mobil jenis pick-up, motor roda 3 dan sepeda sampah, yang biasanya digunakan secara insidental dan untuk melayani sampah pada wilayah yang sulit dijangkau kendaraan pengangkut sampah pada umumnya.

Gambar 4.9

Sepeda dan Motor Roda 3 Pengangkut Sampah di Kota Yogyakarta Sumber: Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

sepeda motor roda tiga

Sistem Pembuangan Akhir

Sistem pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta berakhir di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPSA). Sampah dari Kota Yogyakarta, baik sampah organik maupun sampah anorganik, bahkan sampah B3 (Bahan Buangan Berbahaya), dibuang ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA). TPSA berlokasi di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul yang berjarak ±15 Km dari pusat Kota Yogyakarta ke arah tenggara. TPSA ini digunakan dan dikelola bersama antara Pemerintah Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul yang tergabung dalam sekretariat bersama (Sekber KARTAMANTUL).

Gambar 4.10 TPSA Piyungan, Bantul Sumber : Dok. DLH Kota Yogyakarta, 2007

Pemerintah Kota Yogyakarta tidak mempunyai TPSA yang dimiliki secara otonom dan dikelola secara langsung di bawah administrasinya. Hal ini karena sangat terbatasnya lahan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, sehingga pengadaan lahan yang cukup luas untuk menimbun sampah dan menjalankan konsep pengelolaan sampah berdasarkan model end of pipe, pada akhirnya sangat terbatas untuk dapat dipenuhi.

TPSA Piyungan memiliki total lahan seluas 12,5 Ha dengan kapasitas penampungan sampah mencapai 2,5 s.d. 3 juta m3. Perkiraan usia teknis TPSA ini mencapai ± 15 tahun terhitung sejak dibukanya pada tahun 1993. TPSA ini dioperasikan dengan tipe penampungan controlled landfill dimana terdapat cover soil untuk menutup tumpukan sampah yang ditimbun ke TPSA.

Dokumen terkait