• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika Pembahasan

Dalam dokumen Ulil Amri dan Relevansinya terhadap Kewa (Halaman 48-159)

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan sebuah kerangka yang benar-benar harus diperhatikan di dalam sebuah penelitian ilmiah. Hal itu penting agar penelitian tersebut menghasilkan pembahasan yang baik dan benar sesuai dengan tujuan awal

50 Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm. 263. 51 Metode deskriptif yaitu menggambarkan hasil dari penelitian yang didasarkan atas perbandingan dari berbagai sumber dan tentunya memuat pembahasan yang sama. Lihat, Winarno Surakhmad, Dasar dan Tehnik Research (Bandung Tarsito 1978), hlm. 132.

penelitian tersebut. Sebagai gambaran secara umum dalam penelitian ini, penulis akan mengulas dan memaparkan penelitian ini dengan sistematika yang tertera sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang merupakan titik awal dilakukannya penelitian ini. Bab ini mencakup latar belakang masalah yang berisi kegelisahan akademik mengapa peneliti menganggap tema ini layak, menarik, dan penting untuk dijadikan sebagai sebuah penelitian akademik. Konten selanjutnya berisi tentang rumusan masalah yang menjelaskan permasalahan-permasalahan yang penulis jelaskan dalam penelitian ini. Selanjutnya tentang tujuan dan signifikansi penelitian ini. Konten selanjutnya mengenai telaah pustaka. Hal ini untuk menjelaskan penelitian-penelitian yang terkait dengan tema yang sedang diangkat dan menentukan posisi penelitian ini. Kerangka teori berguna untuk menuntun penelitian ini hingga selesai. Konten selanjutnya pada bab ini merupakan metode penelitian yang berisikan penjelasan tentang jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data. Konten terakhir merupakan sistematika pembahasan ini.

Bab kedua menjelaskan mengenai jawaban rumusan masalah yang pertama, konteks historis dari ayat-ayat u>li> al-amr. Konteks historis berupa konteks mikro dan konteks yang lebih luas, makro. Bab ini menguak tentang asba>b al-nuzu>l, hadis-hadis yang terkait, termasuk analisis linguistik dan sastra terhadap ayat-ayat tersebut.

Kemudian, akan dipaparkan mengenai hirarki nilai yang terkadung dalam ayat u>li@ al- amr dalam Alquran yang akan digunakan untuk menentukan nilai apa yang ditekankan dalam ayat tersebut. Pada ini akan dijelaskan ayat-ayat tentang u>li> al- amr pada konteks penerima pertama dan masa pertengahan atau pra modern.

Pada bab ketiga, akan dijelaskan mengenai makna kontekstual u>li@ al-amr. Untuk langkah awalnya perlu melihat apa saja kebutuhan kontemporer dan realitas kontemporer, yang meliputi sosial, politik, dan budaya. Baru selanjutnya membawa makna kontekstual konteks u>li@ al-amr pada ke era sekarang, dengan cara membandingkan konteks pewahyuan pada masa Nabi dan konteks sekarang secara umum.

Pada bab keempat, setelah dijelaskan ayat-ayat u>li@ al-amr pada konteks historis dan kontekstualnya, selanjutnya akan dijelaskan tentang pemaknaan u>li@ al- amri dan kaitannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan di Indonesia, di era kontemporer. Di sini akan dipertimbangkan mengenai konteks-konteks yang berbeda dengan konteks sebelumnya, misal seperti sistem tatanegara Indonesia.

Bab kelima merupakan bab terkahir dalam penelitian ini. Pada bab ini, penulis menyimpulkan secara umum yang dapat diambil dari keseluruhan penjelasan dalam penelitian ini. Terakhir, bab ini juga berisi tentang usulan dan saran untuk keberlangsungan penelitian setelahnya.

34 BAB II

MAKNA U<LI@ AL-AMR DALAM PANDANGAN PENERIMA PERTAMA Menurut Abdullah Saeed, untuk melakukan penafsiran kontekstual perlu menggunakan prinsip, perangkat, dan gagasan penafsiran untuk menemukan makna teks tersebut. Dalam mengidentifikasi makna teks, perlu mempertimbangkan teks- teks tersebut dipahami oleh penerima pertama yakni pada abad ke-7, dan tentu juga bagaimana ia dipahami dalam penafsiran terhadap teks tersebut.1 Pada tahap awal, diperlukan analisis kritis terhadap teks. Analisis ini dipusatkan kepada bagaimana teks berbicara. Dalam hal ini diperlukan beberapa aspek penelusuran terhadap teks. Penelusuran tersebut meliputi analisis linguistik, konteks sastrawi, teks-teks yang berkaitan, dan konteks mikro maupun makro turunnya ayat, untuk menemukan pesan-pesan di balik teks tersebut. Aspek-aspek tersebut digunakan untuk melihat makna historis u>li@ al-amr.

A. Analisis Linguistik QS. Al-Nisa>: 59 dan 83

Analisis linguistik ini meliputi analisis terhadap bahasa teks, makna kata dan frasa, sintaksis ayat atau ayat-ayat secara umum, dan seluruh persoalan yang berhubungan dengan teks temasuk juga masalah qira>’at.2 Hal ini sangat diperlukan untuk memahami makna teks. Abdullah Saeed menyatakan bahwa kunci dari

1 Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in The Twenty-First Century: A Contextualist

Approach (New York: Routlegde, 2014), hlm. 98

penafsiran ialah membentuk pemahaman terhadap fitur-fitur teks. Ketika seorang mufasir menelaah lebih dalam teks tertentu, maka ia akan membanggun pemahaman bagaimana kata tersebut digunakan pada masanya daripada bagaimana mereka memahami di masa sekarang.3

Analisis linguistik terhadap kata u>li@ al-amr ini juga harus melibatkan keseluruhan ayat yang berbicara tentangnya. Kata u>li@ al-amr terdapat pada QS. Al- Nisa>’: 59 dan 83. Dari kedua ayat tersebut, terdapat beberapa kata yang perlu dilakukan analisis linguistik yakni kata at}i@‘u>, u>li@ al-amr, tana>za’tu>m, faruddu>hu, ta’wi>l dan la‘alimahu. Kata-kata tersebut akan dikaji secara linguistiknya.

1. QS. Al-Nisa>’: 59

a. Kalimat At}i‘u> Alla>h wa At}i‘u> al-Rasu>l wa U<li@ al-Amr ( اوعٌطأ و الله اوعٌطأ لوسّرلا

رملأا ًلوأ و )

Kalimat at}i@‘u> merupakan bentuk perintah. Lafaz Alla>h merupakan maf‘u>l atau objek dari at}i@‘u>. Kalimat wa at}i@‘u> al-rasu>l merupakan at}af dari at}i@‘u> Allah. Frasa wa u>li@ al-amr juga merupakan at}af dengan wawu dari at}i@‘u> Allah. Lafaz u>li@ merupakan

bentuk jamak, dan menjadi mud}a>f. Lafaz al-amr merupakan mud}a>f ilaih, dibaca jar dengan kasrah karena bentuk tunggal.4

Kata at}i@‘u> dalam konteks kalimat at}i@‘u> allaha wa at}i@‘u> al-rasu>l dalam QS. Al- Nisa>: 59 merupakan kata yang berbentuk perintah (fi‘l amr).5 Kata at}i@‘u> berasal dari akar kata t}a-wa-‘a (عوط). Menurut Ar-Ra>gib Al-Asfiha>ni kata at}i@‘u> dalam QS. Al-Nisa>: 59 berasal dari kata t}a>‘a-yat}u>‘u-t}au‘an.6 Kata t}awa‘a merupakan antonim dari kata al-kurh (هركلا), yang berarti benci atau tidak suka.7 Dalam kamus Maqa>yi@s al-Lugah kata tersebut menunjukkan pertentangan terhadap dengan hal yang bersifat kesukaan, menyayangi, dan hal-hal yang penuh dengan kasih sayang.8 Menurut al- Ju>hari@, kata at-t}au‘u dalam kalimat كٌدٌ ُعوط نلاف memiliki arti minqa>du yang berarti menyerah atau tunduk,9 tetapi menurut al-Zabi@di@, kata at-t}au‘u dalam konteks kalimat tersebut merupakan majaz, sama seperti dalam ungkapan ِنانعلا ُعوط ٌسرف memiliki makna ٌسلس yang berarti kuda yang terkendali.10 Sedangkan kata al-t}au‘u

4 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh (Beirut: Da>r Ibnu Kas\i@r, 1999), jilid 2, hlm. 46

5 Bajat Abd al-Wa>hid Sa>lih, Al-I‘ra>b al-Muffas}al li Kita>billah wa al-Murratal (tt: Da>r al-Fikr, 1993), jilid 2, hlm. 306

6 Abi@ Al-Qa>sim Al-Husain bin Muhammad al-Ra>gib al-Asfiha>ni, al-Mufrada>t fi@ Gari>b al-

Qur'a>n (Beirut: Mustafa Al-Ba>z, tt.), juz 1, hlm. 405

7Jamaluddi@n Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al-ʻAra>b (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), jilid 8, hlm. 285

8 Ahmad bin Faris, Maqa>yi@s al-Lugah (Beirut: Da>r Ih}ya al-Tura>s al-‘Arabi, 2001), hlm. 890 9 Abi@ Nas}r Isma>il bin H}amma>d Al-Ju>hari@, al-S{ih{ah{ Ta>j al-Lugah wa S}iha>h} al-'Arabiyyah (Qahirah: Da>r al-Hadi@s, 2009), hlm. 711-712.

10 Muhammad Murtada al-Husaini@ al-Zabi@di@, Ta>j al-'Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mus, (Kuwait: Maktabah Kuwait, 1998), juz 21, hlm. 462

(عوطلا) dalam QS. Al-Nisa>’: 59 bermakna al-inqiya>d yang berarti ketundukan, ketaatan, atau kepatuhan.11 Jadi, jika dikaitkan dengan kata Allah dan rasul, kalimat tersebut bermakna taat, tunduk, atau patuhlah kepada Allah dan Nabi Muhammad.

Frasa u>li@ al-amr terbentuk dari dua kata, yakni u>li@ dan al-amr. Kata u>li@ (ًلوُأ), menurut Ibnu Manz}ur, kata ini berasal dari kata alla-ya’illu (atau yaullu)-allan (- لَأ

لؤٌ -

ألأأ ). Kata ini dalam bahasa Arab mempunyai banyak varian makna. Kata al-allu ( لَلأا), dengan fathah, bermakna عرسأ yakni mempercepat.12 Bisa juga bermakna melantangkan suara dalam berdoa. Bisa juga bermakna pancaran atau kilauan.13 Sedangkan kata u>lu> (وُلوُأ) merupakan bentuk jamak dan tidak ada bentuk tunggalnya. Kata u>lu> (وُلوُأ), dengan alif berharakat dammah, bermakna z\awu> (و ُوذ).14 Kata z\awu> merupakan jamak dari kata z\u> (وُذ). Kata z\u> bermakna s}a>h}ib, yakni pemilik.15 Menurut Hans Wehr kata u>lu> mempunyai makna possessors yakni para pemilik.16 Kata u>lu> bermakna pemilik juga terdapat dalam QS. An-Naml: 33اوُلوُأ َو ة وُق اوُل ْوُأ ُن ْحَن

سْأَب

دٌِدَش artinya ‚kami orang-orang pemilik kekuatan dan (juga) keberanian yang

sangat‛. Kata u>lu> bermakna memiliki, juga terdapat dalam kalimat بابللأا وُلوُأ ًنءاج

11 Abi@ Al-Qa>sim al-H{usain bin Muhammad al-Ra>gib al-Asfiha>ni, al-Mufrada>t fi@ Gari>b al-

Qur'a>n, juz 1, hlm. 405

12 Jamaluddi@n Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al-ʻAra>b, jilid 11, hlm. 27 13 Jamaluddi@n Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al-ʻAra>b, jilid 11, hlm. 29 14 Jamaluddin Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al-ʻAra>b, jld. 11, hlm. 32

15 Muhammad bin Abi> bakr bin 'Abd al-Qa>dir al-Ra>zi, Mukhta>r al-S}ih{a>h} (Beirut: Maktabah Libanon, 1986), hlm. 94

16 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (New York: Spoken Language Service Inc., 1976), hlm. 35.

yang berarti ‚Orang yang berpengetahuan telah datang kepadaku‛.17 Jadi, kata u>li@ di sini tidak ada perdebatan makna yang signifikan. Kata u>li@ memiliki arti pemilik.

Kata al-amr ( ُرملأا) merupakan ism mas}dar berasal dari fi‘l ma>d}i amara-

ya’muru-amran (اأرمَأ- ُرُمأٌَ- َرَمَأ).18 Menurut Ah}mad bin Fa>ris dalam Maqa>yi@s Al-Lugah huruf ر م ا berasal dari lima bahasan. Pertama, menunjukkan sesuatu. Dalam kasus pertama ini seperti dalam kalimat ُهُتٌضر رمأ ذه yang berarti ‚saya telah menyetujui urusan ini dengannya‛. Kedua, menujukkan perintah yang berlawanan dengan larangan, seperti dalam ungkapan ٌةَعاطم ٌةَرْمَأ كٌلع ًل yang memiliki maksud ‚saya memerintah kamu dan kamu harus mematuhi saya‛. Ketiga, menujukkan suatu yang berkembang menjadi banyak dan berkah, seperti dalam kalimat ُءً شلا َرِمَأ دق yang bermakna kas\ura (رُثك) yakni sesuatu yang melimpah. Sebagaimana juga ungkapan orang arab ةرومأم ٌةَرْهُم لاملا ُرٌخ yang bermakna ‚sebagus-bagusnya harta ialah anak

kuda betina yang banyak‛. Keempat, menujukkan tanda dan waktu, hal ini terdapat pada kata ُة َرا َم َلأا yang memiki makna ةملاعلا yang berarti tanda. Sebagaimana dalam kalimat ةراَمأ كنٌبو ًنٌب ْلَعجا yang berarti ‚buatlah tanda di antara aku dan kamu‛.

Kelima, menujukkan menujukkan keajaiban atau mukjizat, sebagaimana dalam QS. Al-Kahfi: 71.19

17 . Lihat juga Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon, jilid 1, hlm. 84 18 Jamaluddin Muhammad ibn Manz}ur al-Misri@, Lisa>n al-ʻAra>b, jld. 4, hlm. 30 19 Ahmad bin Faris, Maqa>yi@s al-Lugah, hlm. 73-74

Di atas telah dijelaskan makna-makna dari amr dan derivasinya. Pertanyannya, apa makna al-amr dalam konteks QS. Al-Nisa>’: 59? Oleh karena itu, makna al-amr perlu diteliti lebih jauh secara spesifik dan detail. Kata amara (kata kerja) bermakna perintah seperti dalam kalimat اأرمع برضف اأدٌز ُترَمَأ yang artinya ‚saya memerintah Zaid, dan dia memukul Umar‛. Kata al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan kata benda dan bentuk tunggal. Bentuk jamaknya yakni al-umu>r (روملأا) ada juga yang mengatakan al-awa>mir ( ُرما َولأا).20

Menurut al-Ra>gib makna dari al-amr yakni نأشلا yang berarti perkara, persoalan, hal, ataupun urusan.21 Hal ini juga dikemukakan Hans Wehr dan Lane, bahwa kata al-amr bermakna an order, a command, dan an instruction yang berarti sebuah perintah.22 Dijelaskan oleh Ibnu Manz}ur, bahwa makna dari al-amr yakni ُدحاو رومُلأا yang berarti salah satu perkara, urusan, ataupun sesuatu. Kata al-amr juga bermakna ةَثدا َحـلا yang berarti sebuah kejadian atau peristiwa. Lebih lanjut Ibnu Manz}ur menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan z\u al-amr (رمُلأاوذ) yakni al-ami@r, bentuk pluralnya yakni umara>’.23

20 Lihat juga Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon (Beirut: Librairi Du Liban, 1968), jilid 1, hlm. 96

21 Abi@ al-Qa>sim al-Husain bin Muh}ammad al-Ra>gib al-Asfiha>ni@, al-Mufrada>t fi@ Gari>b al-

Qur'a>n, juz 1, hlm. 30

22 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, hlm. 26.

23 Seperti gubernur, pangeran, atau raja. Kata al-ami@r jamaknya yakni umara>’. Lihat Jamal al- Di@n Muh}ammad ibn Manz}ur al-Ifriqi@, Lisa>n al-ʻAra>b, jilid 4, hlm. 31. Lihat juga Edward Willam Lane, An Arabic-English Lexicon, jilid 1, hlm. 97

Menurut Khali@l ‘Abd al-Kari@m, di era awal Islam, kata al-amr dimaksudkan untuk membahas kepemimpinan dalam kekuasaan.24 Pidato pertama Umar bin Khat}t}ab setelah dibaiat menjadi pengganti Abu Bakar, menyebut Abu Bakar sebagai نٌملسملا رمأ ًلو yakni pemimpin urusan kaum muslimin. Dalam kelanjutan

pidatonya, Umar mengatakan ‚مكرومأ تٌلو ًنإ مث‛ yakni, ‚kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian‛.25 Begitu juga dengan kata al-ami@r yang berarti pemilik urusan. Penyebutan amir al-mukminin terhadap Umar bin Khat}t}ab, merupakan salah satu pembuktian bahwa al-ami@r merupakan seorang pemimpin atau orang yang mempunyai kekuasaan dalam sebuah pemerintahan.26

Jadi, pemaknaan term u>li@ al-amr juga harus memperhatikan bentuknya. Term u>li@ al-amr dalam QS. Al-Nisa>’: 59 merupakan sebuah frasa. Sebagai sebuah frasa, maka pemaknaanya mengikat satu sama lain dan lebih spesifik, tidak lagi seperti ketika kata-kata tersebut terpisah. Secara kata u>li@ berarti pemilik dan al-amr berarti urusan, tetapi jika menjadi sebuah frasa, bermakna para pemimpin yang mengurusi urusan suatu kaum.

2. Kalimat Faintana>za’tu>m fi@ Syai’in Faruddu>hu ilalla>h wa ar-Rasu>l ( ْىُتْػَساََُت ٌِئَف ُِوُّدُزَف ٍءْيَش يِف

ِلىُسهزناَو ِ هاللَّ ىَنِإ )

24 Lihat Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraish (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. 218

25 Muhammad Husain Haikal, al-Fa>ru>q ‘Umar (Qa>hirah: Muassasah al-Hindawi, 2014), hlm. 95 26 Sejarah penisbatan gelar Ami@r al-Mukmini@n terhadap khalifah ‘Umar. Silahkan lihat Muhammad Husain Haikal, al-Fa>ru>q ‘Umar, hlm. 105

Huruf fa’ (ف) dalam kata faintana>za‘tum fi@ syai’in merupakan fa’isti’na>fiyah, yakni fa’ permulaan kalimat. In (نإ) merupakan salah satu perangkat syarat}. In men- jazm-kan dua fi‘l, fi‘il syarat} dan jawab. Fungsi in yakni mengikat antara jawab dan syarat}. Tana>za’tum merupakan fi‘l syarat dan kata kerja (fi‘l ma>d{i). Fi@ syai’in

merupakan jar-majrur yang berhubungan dengan tana>za’tum.27 Kata tana>za’tum berasal dari naza’a-yanzi’u-naz’an ( أاعزَن-ع ِزنٌ-عزن). Menurut Ibnu Manz}ur, dalam konteks kalimat ُموقلا َعَزاَنَت, memiliki makna 28اوُمَصَتخا

yang berarti berseteru, berdebat, cekcok, atau berselisih.

Siapa yang berselisih dalam ayat tersebut? Menurut Ibn ‘A<syu>r, kata

tana>za’tum merupakan orang-orang beriman yang memungkinkan terjadinya perselisihan di antara mereka. Meliputi perselisihan antara sesama penguasa, sesama ulama, para wazir dengan ami@r, penguasa dengan rakyat, atau sesama warga.29 Sedangkan apa yang diperselisihkan? Penjelasannya terdapat pada kata selanjutnya, yakni fi@ syai’in. Menurut Ibn ‘A<syu>r, lafaz fi@ syai’in merupakan nakirah yang menunjukkan keumuman persoalan. Maksudnya, fi@ kulli syai’in yakni dalam setiap sesuatu atau persoalan.30 Oleh karena itu, perselisihan di sini tidaklah spesifik antara

27 Bajat Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I‘ra>b al-Muffas}al li Kita>billah wa al-Murratal, jilid 2, hlm. 306

28 Abu> Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur al-Ifri@qi>@, Lisa>n al-ʻAra>b, jilid 8, hlm. 418

29Muhammad T{a>hir ibn ‘A<syu>r, Tafsi@r al-Tahri@r wa al-Tanwi@r (Tu>nis: Da>r Sahnu>n, 1997), jilid 5, hlm. 99

siapa dengan siapa. Begitu juga dengan apa yang diperselisihkan, juga tidak spesifik persoalannya.

Huruf fa’ (ف) dalam kata faruddu>hu merupakan huruf yang menjadi tandajawab dari lafaz in (نإ) dalam faintana>za’tum. Kata ruddu> merupakan kata kerja perintah. Ila Alla>h merupakan jar-majrur dan berhubungan dengan ruddu>hu. Al- Rasu>l merupakan at}af dari lafaz Alla>h.31 Kata ruddu> (اوّدرف) merupakan kata kerja perintah (fi‘l amr). Kata ruddu>hu, i‘rab-nya sama dengan i‘rab kata at}i@’u>, yakni sebagai kata kerja perintah. Sedangkan hu (ه) adalah objeknya (maf‘u>l bih). Kata ganti hu (ه) merujuk pada syai’in. 32 Dalam bahasa Arab kata ini berasal dari akar kata radda-yaruddu-raddan (اأدر- ّدُرٌ- ّدر). Kata al-ruddu ( درلا) bermakna ءىشلا فرص هعجرو yakni mengubah sesuatu dan mengembalikannya.33 Ahmad bin Faris dalam Maqa>yi@s al-Lugah juga memaknainya dengan mengembalikan sesuatu.34 Sedangkan maksud dari ilalla>h wa al-rasu>l, menurut para mufasir yakni Alquran dan sunnah setelah Nabi Muhammad wafat.35 Oleh karena itu, kalimat faintana>za’tu>m fi@ syai’in

faruddu>hu ilalla>h wa ar-Rasu>l merupakan satu kesatuan. Kalimat tersebut merupakan perintah dan arahan Allah, apabila terdapat perselisihan (siapa dan

31 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh, jilid 2, hlm. 46 32 Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh, jilid 2, hlm. 46 33 Abu Fadl Jamaluddin ibn Manz}ur Al-Ifri@qi@>, Lisa>n al-ʻAra>b, jilid 3, hlm. 213 34 Ahmad bin Faris, Maqa>yi>s al-Lugah, hlm. 380

35 Abu> Hayya>n al-Andalusi, Tafsi@r al-Bahr al-Muhit} (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), jilid 3, hlm. 291

apapun yang diperselisihkan), maka hendaklah penyelesaiannya merujuk kepada Alquran dan sunnah.

b. Kalimat in Kuntum Tu’minu>n bi alla>h wa al-Yaum al-Akhir ( ِ هللَّاِب ٌَىُُِيْؤُت ْىُتُُك ٌِإ ِزِخ ْلْا ِوْىَيْناَو )

In (ٌإ) dalam konteks kalimat di atas merupakan huruf syarat{. Kuntum merupakan kata kerja dan ism-nya. Jumlah tu’minu>na dalam keadaan nasab, sebab menjadi khabar-nya kuntum. Sedangkan kata billa>h merupakan jar-majrur dan berhubungan dengan kuntum. Lafaz al-yaum merupakan at{af pada lafaz Alla>h. Begitu juga dengan lafaz al-akhir, yang menjadi sifat atau penjelas dari al-yaum.36 Apabila dalam kaidah syarat} harus ada jawab, maka dalam kasus ini, jawab in dibuang. Menurut Abu Hayya>n al-Andalusi@, maksudnya yang dibuang yakni faruddu>hu ilaalla>h wa al-Rasu>l. Ia menambahkan bahwa syarat dalam potongan ayat ini, berfungsi sebagai dorongan atau desakan kepada orang-orang mukmin (dalam seruan ya> ayyuha al-laz\i@na amanu>) agar mengikuti kebenaran.37

c. Kalimat z\alika Khairun wa Ah}san al-Takwi>lan ( ألاٌوأتلا ُنَسحأ و ٌرٌخ كلذ)

Kalimat z\alika khairun wa ah}san al-ta’wilan, z\alika merupakan ism isyarah. Menurut Abu Hayya>n al-Andalusi@, lafaz z\alika sebagai isyarat yang menjelaskan

36 Bajat Abd al-Wa>hid Sa>lih, Al-I‘ra>b al-Muffas}al li@ Kita>billah wa al-Murratal, jilid 2, hlm. 306. Lihat juga Muh}yiddin Al-Darwisy, I’ra>b al-Qur’a>n al-Kari@m wa Baya>nuh, jilid 2, hlm. 46

37 As\i@r al-Di@n ‘Abdullah bin Yusuf bin ‘Ali Al-Andalusi@ al-Ma ‘ruf bi Abi Hayya>n, Tafsi@r al-

‚merujuk terhadap Alquran dan sunnah‛.38 Lafaz khairun merupakan mubtada’

dibaca dammah karena bentuk tunggal. Lafaz ah}sannu merupakan at}af dari lafaz khair. Lafaz al-ta’wil merupakan tamyiz, dibaca nas}ab dengan fathah karena bentuk tunggal.39 Kata ah}sanu berasal dari mad}i hasuna-yahsunu-husnan (اأنسح-نُسحٌ-نسح). Kata ini berlawanan dengan kata حبُقلا yang berarti kejelekan. Kata Ah}sanu merupakan ism tafd}i@l yang menunjukkan suatu perkara melebihi dari perkara yang lain.40 Oleh karena itu, ah}sanu bermakna lebih baik atau sebaik-baiknya. Sedangkan kata at-ta’wi@lan menjadi hal yang menjelaskan keadaan konteks radduhu.41 Kata at-

ta’wi>l merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja awwala-yuawwilu-ta’wi>lan

Dalam dokumen Ulil Amri dan Relevansinya terhadap Kewa (Halaman 48-159)

Dokumen terkait