• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian , keaslian Penelitian dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua akan dibahas mengenai perbuatan yang termasuk sebagai tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur dari perspektif undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan No.11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, kaitan kejahatan anak dengan kebijakan penanggulangan kejahatan serta kebijakan penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan anak di bawah umur dari perspektif UU No.35 Tahun 2009 dan UU No.11 Tahun 2012.

Pada bab ketiga akan dibahas mengenai penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum sebagai bentuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur beserta analisis kasus Putusan No.41/Pid.Sus.A/2012/PN.Psp, Putusan No.770/Pid.Sus/2011/PN.Psp. dan Putusan No.229/PidB/2012/PN.Jpr.

Bab keempat ini berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.

BAB II

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR DARI PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG

SISTEM PERADILAN ANAK

A. Kejahatan Anak Kaitannya Dengan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Politik Kriminal)

Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usaha- usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan terhadap orang dewasa. Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:61

1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial

2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun non penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan cara/upaya untuk menanggulangi kejahatan baik dengan penerapan sistem pemidanaan (kebijakan pidana/penal) maupun tanpa sistem pidana (non penal).

61

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1997, hal.75.

Hawkins menyebutkan jalannya pembuatan kebijakan didasari oleh :62

1. Ideologi: memilih pembuat kebijakan dengan hati-hati karena khawatir dalam menghukum terjadi kebijakan yang memberatkan atau terlalu meringankan. Oleh karena itu diperlukan panduan ideologi dalam sebuah kerangka (master frame) yang tepat sehingga melindungi keadilan masyarakat.

2. Pensimbolan: merupakan bentuk representatif dari harapan masyarakat bahwa kenetralan harus selalu ditegakkan oleh para pembuat kebijakan. 3. Sosial-politik: para pembuat kebijakan tidak dapat mengabaikan

peningkatan sosial dan politik yang berkembang di masyarakat. Kesesuaian kebijakan harus dilandasi pada harapan masyarakat luas.

4. Ekonomi: memikirkan biaya yang dikeluarkan dalam menangani pelaku kriminal bagi operasional persidangan apabila harus dilanjutkan dan bila mereka berada di penjara.

5. Organisasi: keterpaduan pengelolaan lembaga pembuat kebijakan sehingga mempermudah proses. Ketidakjelasan fungsi masing-masing dalam proses akan membuat perbedaan pendapat setiap pembuat kebijakan atas suatu kasus.

6. Interaksi: merupakan hubungan dengan lembaga lain yang bekerja saling berhubungan. Setiap lembaga yang berhubungan dengan penegakan hukum harus saling berkomunikasi untuk mencapai kesamaan visi putusan.

Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ialah merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio-political problems.63

62

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010, hal.24.

Kebutuhan untuk mengaitkan usaha- usaha penanggulangan kejahatan (yang nantinya terumuskan dalam suatu kebijakan Kriminal) dengan Politik Sosial adalah wajar karena pada hakikatnya

63

tujuan daripada Kebijakan Kriminal itu adalah Kesejahteraan Masyarakat, dengan kata lain, politik kriminal adalah merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, dan hukum perdata. Di Indonesia pembicaraan mengenai perlindungan hukum mulai Tahun 1977 dalam seminar perlindungan anak/remaja yang diadakan Prayuwana, menghasilkan dua hal penting yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak yaitu :64

1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang ataupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohani dan jasmani anak yang berusia 0-12 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan hidupnya seoptimal mungkin.

Diungkapkan secara tegas bahwa kepentingan anak dan kesejahteraan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan nasional, mengingat hal itu tidak lain justru akan dapat menimbulkan bentuk kesejahteraan lain atau korban lain. Dengan demikian terhadap anak delikuen yang terbukti melakukan kejahatan tetap harus mendapat perlindungan dan mendapatkan kesejahteraan, walaupun dalam kondisi anak delikuen sudah dijatuhi sanksi pidana.65

64

Marlina, Peradilan Pidana .., Op.Cit.,hal.42.

65

Asas-asas yang mendasari kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda, termasuk perilaku kejahatan anak, itu berbeda dengan kejahatan orang dewasa, maka ada satu kebutuhan untuk sedikit melakukan modifikasi langkah- langkah penal maupun nonpenal dalam konteks politik kriminal bagi kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak.66

Dalam kaitannya dengan kebutuhan akan keterpaduan (integritas) antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan politik sosial dan politik penegakan hukum, maka dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, hal ini perlu dimodifikasi, bukan hanya politik kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum, melainkan diarahkan secara khusus pada politik kesejahteraan anak dan politik perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yang menjadi korban kejahatan orang dewasa atau anak pelaku kejahatan. Berikut skematis uraian dari paparan di atas:

66

Hubungan Politik Kriminal Dengan Politik Sosial dan Politik Kesejahteraan Anak67

Dari skema tersebut, maka terlihat bahwa penanggulanagn kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:68

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penganggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”.

Dalam kaitan dengan pengguna sarana penal dan nonpenal, khusus untuk kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, kondisi tidak berbeda, hanya saja penggunaan sarana nonpenal seharusnya diberi porsi yang lebih besar daripada pengguna sarana penal. Bila saja hal ini

67

Paulus Hadisuprapto, Op.Cit., hal.73.

68

Barda Nawawi Arief, Op.Cit.,hal.6. Kebijakan Sosial Kebijakan Kesejahteraan Anak Kebijakan Perlindungan Anak TUJUAN Kebijakan Kriminal Sarana Penal

disepakati, maka berarti ada kebutuhan dalam konteks penaggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, pemahaman-pemahaman yang berorientasi untuk mencari faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. Disinilah muncul peranan kriminologi dalam melakukan penelitian baik yang bersifat klasik, positivis, maupun interaksionis, kiranya memberikan sumbangan pemahaman tentang hakikat dan latar belakang timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. Di samping perannya di bidang penelusuran dan penemuan sarana-saran non-penal, pendekatan kriminologi ini diperlukan juga dalam konteks sarana penal. Sepert diketahui bahwa dalam konteks sarana penal, dikenal adanya permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius constitutum dan ius constituendum. Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya.

Khusunya dalam kaitan dengan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi semakin penting saja, mengingat bahwa ketentuan yang tertuang dalam sistem hukum kita, masalah pidana anak dan peradilan anak masih merupakan persoalan yang cukup serius.

Lingkup kajian menempatkan anak dalam 2 (dua) posisi, yakni sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan maka hal itu berarti bahwa ada permasalahan dalam perilaku anak tersebut, maka untuk mengatasinya adpat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu melalui Sarana Penal dan Sarana Non Penal. Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberlakukan hukum positif dan tidak menutup

kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila sedelesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara kriminologik terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan sekitarnya. Pendekatan kriminologi terhadap anak baik pelaku kejahatan juga berfungsi dalam konteks sarana penal, karena melalui pendekatan kriminologi maka akan mempengaruhi hukum pidana anak dalam arti ius constitutum dan ius constituendum.

Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut digambarkan dengan skema berikut:

Lingkup Kajian Tentang Perilaku Kejahatan Anak69

69

Paulus Hadisuprapto, Op.Cit.,hal.79.

ANAK

KORBAN

PELAKU ANAK BERMASALAH

DALAM PERILAKUNYA

SARANA PENAL SARANA NON

PENAL PENDEKATAN KRIMINOLOGIK IUS CONSTITUTUM IUS CONSTITUENDUM

B. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Anak

Penyalahgunaan narkotika kerap terjadi karena berbagai faktor yang melatarbelakangainya yang kemudian terjalin menjadi satu, diantaranya:70

a. Faktor Individu

Perkembangan jiwa manusia yang terdiri dari tiga aspek (kognisi-pikiran; afeksi-emosi; dan konasi-kehendak) sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan konsep dirinya, yang pastinya berbeda dari individu lainnya. Dalam kaitannya dengan penyalahgunaan narkotika faktor-faktor yang menyebabkan seseorang dapat dengan mudah terjerumus, sedang yang lain tidak terjerumus, yakni:71

1. Adanya ganguan kepribadian; 2. Faktor usia;

3. Pandangan dan keyakinann yang keliru; 4. Religiusitas yang rendah.

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap jatuhnya seseorang ke dalam penyalahgunaan narkotika, terutama faktor keluarga, dimana keluarga merupakan wadah pembentukan karakter dan kepribadian, pertumbuhan dan perkembangan hidup seseorang tidak terlepas dari apa yang disediakan dan diberikan keluarganya. Faktor lingkungan sekitar juga merupakan sarana pembentuk kepribadian seseorang, misalnya seseorang yang tumbuh di

70

Dwy Yanny L., Narkoba Pencegahan dan Penanggulangannya, Jakarta :PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2001, hal.35.

71

lingkungan yang kurang baik akan tumbuh sebagai anak yang kurang baik pula, walaupun tidak menutup kemungkinan akan ada seseorang yang akan tumbuh menjadi baik di lingkungan yang kurang baik, ataupun seseorang tumbuh dengan tidak baik di lingkungan yang baik.Teman kelompok ataupun teman sepergaulan mempunyai pengaruh besar yang dapat menjadi pendorong ataupun pencetus seseorang menjadi penyalahguna narkotika. Pengaruh teman ini sangat besar karena menciptakan keterikatan dan kebersamaan.

c. Faktor karena Terjadinya Tindak Pidana (kejahatan) lainnya di Bidang Narkotika

Kejahatan penyalahgunaan narkotika dapat juga terjadi karena dipicu/didorong oleh terjadinya kejahatan di bidang narkotika yang lainnya, misalnya menyangkut produksi narkotika, jual beli, dan menyangkut penguasaan narkotika. Tindak pidana tersebut akhirnya membuka kesempatan bagi peredaran narkotika secara ilegal yang akhirnya menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika.

Faktor-faktor di atas merupakan faktor yang mendasari seseorang menyalahgunakan narkotika secara umum, namun faktor-faktor di atas juga dapat dikaitkan dengan anak sebagai pelaku penylahgunaan narkotika. Namun bila diidentifikasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab penyalahgunaan narkotika atau obat-obatan yang dilakukan oleh anak, terdapat beberapa teori yang dapat memberikan penjelasan tentang latar belakang mengapa anak berperilaku menyimpang, salah satunya dari persfektif kriminologi. Teori ini secara umum

dapat dibagi menjadi dua yaitu, mempergunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis.72

a. Pendekatan psikologis

Pendekatan Psikologis mengkaji hanya sebatas keadaan psokologis anak pada saat melakukan tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Sehingga lebih banyak berkaitan dengan batas umur minimum dan maksimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan agar perkembangan dan pertumbuhan fisik dan jiwanya tidak terganggu. Aspek psikologis juga mempengaruhi penyalahgunaan narkoba pada anak, hal ini disebabkan karena pada umumnya anak mengalami ketidakstabilan emosional dan adanya perubahan kepribadian, dan ini merupakan faktor yang kondusif baggi tindak penyalahgunaan narkoba. Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan narkoba pada anak adalah rendahnya harga diri, mereka memilih menggunakan narkoba sebagai saranana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka.

Mencari tahu tentang faktor yang melatar belakangi anak melakukan kejahatan tidak terlepas dari dasar sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam pandangan kriminologi. Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu:73

1. Faktor intern, adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu seperti umur, sex, kedudukan individu, pendidikan individu, masalah rekreasi/liburan individu, agama individu;

2. Faktor ekstern, adalah faktor-faktor yang berada di luar iindividu. Faktor ekstern ini berpokok pangkal pada lingkungan individu seperti waktu

72

Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif …Op.Cit.,hal.101.

73

kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan.

b. Pendekatan Sosiologis

Pada teori-teori yang mempergunakan pendekatan sosiologis maka JE. Sahetapy menyebutkan bahwa secara umum teori-teori sosiologis dapat dibagi berdasarkan pendekatan pada :74

a. Aspek konflik kebudayaan yang terdapat dalam sistem sosial bersangkutan (terdapat konflik antara kebudayaan-kebudayaan dari berbagai kelompok masyarakat yang bersangkutan, yang menyebabkan dalam masyarakat tadi tidak terdapat pedoman yang jelas mengenai benar dan salah);

b. Aspek disorganisasi sosial yang terdapat dalam daerah-daerah tertentu, di mana terdapat konflik kebudayaan tadi (karena heterogenitas penduduk, maka sebagian penduduk tidak dapat turut berpatisipasi dalam aktifitas- aktifitas masyarakat setempat dan karena itu pula tidak dapat mengontrol anak-anaknya). Kedua-duanya juga disebut dengan teori kontrol, karena mencoba menerangkan gejala delikuensi anak berdasarkan ketiadaan kontrol (pengendalian) efektif dari orangtua dan masyarakat:

a. Aspek ketiadaan norma (anomi) dalam sistem sosial dari masyarakat bersangkutan (disebabkan karena adanya jurang perbedaan yanglebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan sistem sosial bersangkutan kepada warga-warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut.

b. Aspek subbudaya (sub culture) yang terdapat dalam kebudayaan induk (domain culture) masyarakat yang bersangkutan (dan subbudaya mana mempunyai nilai dan norma yang berbeda atau kadang-kadang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan induk). Adapun teori-teori tersebut diantaranya yaitu :

a. Teori kontrol sosial

Atau sering disebut dengan teori kontrol, berangkat dari asumsi dasar, bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya untuk menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya 74

seseorang tergantung kepada masyarakatnya. Teori kontrol menggambarkan bahwa individu-individunya bebas melanggar hukum, karena mereka secara sosial tidak mampu menyesuaikan dirinya dalam masyarakat yang mematuhi norma-norma yang berlaku.

Teori kontrol memandang bahwa penyebab kenakalan terletak pada kekuatan hubungan antara seorang anak dengan individu-individu kenfensional dan kelompok-kelompok. Oleh karena itu, penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial (social bond) seseorng dengan masyarakatnya dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya penyimpangan.

b. Teori Subbkultur Delikuen

Di teori ini, memfokuskan perhatiannya kepada satu pemahaman bahwa perilaku delikuen di kalangan usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur masyarakat. Karena kondisi sosial yang ada dipandang sebagai kendala upaya mereka untuk mencapai kehidupan sesuai trend yang ada sehingga mendorong kelompok kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya, yang disebut “status frustation” . Akibatnya meningkat keterlibatan anak-anak kelas bawah itu pada kegiatan geng-geng dan berperilaku menyimpang yang sifatnya “nonutilitarian, nonmaliciaous dan

nonnegativistics”. Reaksi penolakan terhadap anak-anak kelas bawah, cenderung membawa anak-anak kelas bawah tidak punya pengakuan

akan posisi kemasyarakatannya. Hal ini yang kemudian mendorong mereka kepada perilaku corner boy atau deliquent boy.

Sementara itu latar belakang kondisi biologis yang berbeda-beda juga menyebabkan kemungkinan anak menjadi penyalahguna narkoba tidak sama. Sejumlah hal-hal yang terkait dengan faktor ini yaitu aspek organobiologis dan aspek psikologis.75

Selanjutnya Cohen membuat klasifikasi dari sub-sub budaya delikuen menjadi :

Kepekaan remaja terhadap narkoba secara psikologis yang berbeda-beda diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor konstitusional dan genetik. Siregar (1995) menyatakan bahwa pendekatan biologis makin berkembang sejak ditemukannya reseptor opiat dalam tubuh manusia (terutama di otak) dan opiat endogen (endorfin,enkafalin), lalu disusul penemuan reseptor benzo diazepin. Secara biologis mekanisme respons terhadap narkoba, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga ditentukan oleh mekanisme kerja zat reseptor, yaitu organ tubuh yang menangkap zat tersebut agar mempunyai khasiat.

1. Sub-kultur orang tua- subkultur negativistic yang diidentifikasikan ada pada diri anak-anak nakal;

2. Sub-kultur berorientasi konflik-kultur suatu geng besar yang terlibat dalam kekerasan kolektif;

3. Sub kultur pecandu obat-obatan-kelompok anak-anak muda yang kehidupannya berputar pada pembelian, penjualan, dan penggunaan narkotika; dan

75

4. Sub-kultur kelas menengah-kelompok anak-anak nakal yang timbul karena tekanan-tekanan kehidupan dalam lingkungan kelompok kelas menengah.

c. Teori Anomi

Diajukan oleh Rober K.Merton, di mana melihat keterkaitan anara tahap- tahap tertentu dari struktur sosial dengan perilaku delikuen, ia melihat bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi di mana pelanggaran terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi “normal” (jadi seolah-olah terjadi keadaan tanpa norma/anomi).

Secara garis besar ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan narkoba pada anak, yakni faktor narkobanya sendiri, faktor individual dan faktor lingkungan.

a. Faktor narkobanya sendiri menjadi faktor penting terjadinya penyalahgunaan narkoba karena pemakaiannya menimbulkan efek atau sensasi tertentu sehingga pengguna terdorong untuk mencari dan menikmati sensasi-sensasi itu.76

Seperti penjelasan sebelumnya, dengan munculnya narkoba itu sendiri, munculnya tindak pidana dibidang narkotika itu, membuka kesempatan menyalahgunakan narkotika, khususnya anak yang masih dalam tahap ingin tahu dan coba-coba yang besar, sehingga berdampak kepada pemakaian yang berkelanjutan.

76

b. Faktor individual juga merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. Faktor- faktor individual tersebut diantaranya :77

1. Pribadi yang tertutup. 2. Kepribadian yang rapuh. 3. Pergolakan jiwa remaja. 4. Sifat egoime yang lebih tinggi. 5. Ketidaksadaran akan bahaya. Faktor individu lainnya :78

1. Mempunyai harapan yang besar bahwa apa yang di konsumsinya itu bisa memberikan kenikmatan yang tiada tara.

2. Sebagai cara menunjukan bahwa sipemakai itu sudah dewasa. 3. Hanya sekedar coba-cooba.

4. Mempunyai keyakinan bahwa apa yang di konsumsinya itu bisa menghilangkan semua permasalahn yang sedang dihadapi.

5. Kurang perhatian dari orang tua.

6. Sebagai cara untuk menghilangkan rasa sakit yang sedang dihadapi. 7. Merasakan tekanan dari kelompoknya, yang memang semua

anggotanya adalah para pemakai.

8. Karena putus dengan pacar, keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang tidak memenuhi keinginannya.

c. Faktor lingkungan merupakan faktor pendukung yang paling kuat terjadi tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, diantaranya :

1. Ketidakharmonisan keluarga. 2. Tekanan kelompok.

3. Pergaulan.

Faktor lingkungan lainnya adalah :

77

Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan, Jakarta : Restu Agung, 2002,hal.38.

78

1. Berteman dengan para pemakai dan pengedar narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

2. Tempat tinggal yang berada pada lingkungan pengguna dan pengedar. 3. Lingkungan sekolah yang rawan pada peredaran dan pemakaian segala

jenis narkoba dan zat adiktif lainnya.

Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang dapat menjadi faktor pendukung seorang anak melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, antara lain :79

1. Adanya anggapan bahwa coba-coba/ iseng-iseng penggunaan sekali tidak akan menimbulkan ketagihan.

2. Mudah mengikuti gaya hidup atau tern yang up to date.

3. Besarnya rasa ingin tahu tanpa menyadari akibat yang dada dibelakangnya.

4. Rasa penasaran yang mengarah pada keinginan untuk mencoba.

5. Tidak mempunyai rasa percaya diri di dalam menghadapi penderitaan dan cobaan dalam hidup.

6. Makin mudahnya mendapatkan narkoba (harga terjangkau dengan banyaknya pengedar disetiap sudut kota).

7. Rasa ingin bersenang-senang. 8. Agar diterima oleh masyarakat.

Dokumen terkait