• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisi uraian mengenai latar belakang dipilihnya masalah dalam penelitian, rumusan permasalahan yang akan diteliti, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, definisi operasional, dan sistematika penulisan penelitian.

 

Bab II : Kajian literatur strategi pembangunan perumahan permukiman dan penyediaan tempat tinggal buruh industri yang berisi teori, best practise, dan kebijakan mengenai perencanaan stategis, karakteristik buruh industri, penyediaan tempat tinggal buruh industri, dan peran stakeholder dalam penyediaan tempat tinggal buruh industri.

Bab III : Karakteristik kawasan industri dan buruh industri Bergas yang meliputi gambaran umum Kecamatan Bergas, karakteristik kawasan industri Bergas, identifikasi karakteristik buruh industri Bergas, identifikasi preferensi buruh industri mengenai penyediaan tempat tinggal, identifikasi stakeholder penyediaan tempat tinggal buruh industri, serta program penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri.

Bab IV : Analisis penyusunan strategi penyediaan tempat tinggal buruh industri di kawasan industri Bergas Kabupaten Semarang meliputi analisis karakteristik buruh industri, analisis peran stakeholder, dan analisis potensi dan kendala yang dihadapi stakeholder, analisis alternatif starategi, analisis prioritas strategi, dan analisis bentuk penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri di kawasan industri Bergas.

Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi untuk stakeholder terkait serta rekomendasi studi lanjutan yang dapat dilakukan.

 

33 

BAB II

KAJIAN LITERATUR STRATEGI

PEMBANGUNAN PERUMAHAN PERMUKIMAN

DAN PENYEDIAAN TEMPAT TINGGAL BAGI

BURUH INDUSTRI

2.1 Pengertian Strategi

Istilah strategi sering kita dengar di berbagai bidang, sebut saja strategi pemasaran di dunia bisnis, strategi pertahanan di dunia militer, strategi penyerangan di dunia olah raga, dan masih banyak lagi istilah strategi yang lain. Selain dijumpai di berbagai bidang, strategi juga dilakukan oleh berbagai kalangan, mulai dari kalangan berpendidikan tinggi hingga kalangan berpendidikan rendah, misal strategi pemasaran yang dilakukan oleh seorang manajer pemasaran dan seorang penjual bakso. Hal ini menunjukkan bahwa istilah strategi memiliki cakupan yang luas dan dapat diaplikasikan oleh setiap orang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Menurut Rubin (1988: 86), istilah strategi berasal dari bahasa Yunani “strategos” yang berarti rencana yang dilatih untuk mendapatkan keuntungan dari musuh dalam suatu pertempuran dan secara harfiah diterjemahkan menjadi komandan

militer (generalship). Strategi adalah petunjuk, panduan,

pedoman, atau serangkaian tindakan ke masa depan (Morrrisey dalam Sa’idah, 2004: 37).

 

Berkaitan dengan strategi, dikenal pula istilah perencanaan strategis. Perencanaan strategis adalah suatu usaha yang dilakukan untuk menghasilkan keputusan fundamental dan tindakan untuk mempertajam dan membimbing apa itu organisasi, apa yang dilakukan organisasi, dan mengapa organisasi melakukannya (Bryson, 1988: 1). Lebih lanjut Bryson (1988: 1) menyatakan bahwa dengan adanya perencanaan strate- gis, diharapkan seorang pemimpin atau pengambil kebijakan da- pat berpikir dan bertindak secara strategis.

Sumber daya merupakan hal penting yang diperhatikan dalam perencanaan strategis. Menurut Kemp (1992: 43-45), dalam perencanaan strategis, akan diuraikan bagaimana cara mengkonsentrasikan sumber daya yang terbatas, menghadapi ancaman, dan pemanfaatan peluang. Perencanaan strategis yang dilaksanakan suatu kota besar bisa merupakan suatu rencana bagi institusi pemerintah kota besar, suatu rencana untuk keseluruhan masyarakat (publik dan swasta) atau suatu campuran diantaranya.

Seorang perencana harus memperhitungkan langkah- langkah apa saja yang harus dilakukan agar visi perencanaan dapat terwujud. Salah satu model analisis yang dapat digunakan

adalah dengan menggunakan analisis SWOT (Strenght,

Weakness, Opportunity, and Threat). Menurut Ring (1988: 77), analisis SWOT dilakukan dengan memperhitungkan faktor-faktor dari dalam dan dari luar yang berpengaruh. Perhitungan faktor dari dalam dilakukan dengan mengenali kekuatan dan kelemahan apa yang dimiliki, sedangkan perhitungan faktor dari luar

35

 

dilakukan dengan membaca peluang dan ancaman yang mungkin timbul.

2.2 Pengertian Rumah, Perumahan, dan Permukiman

Rumah pada awalnya merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia sesudah pangan dan sandang. Namun sejalan dengan peningkatan pendapatan seseorang, tingkatan kebutuhan seseorang terhadap rumah berubah menjadi beragam. Menurut Budihardjo (1998: 57), tingkat intensitas dan arti pen- ting dari kebutuhan manusia terhadap rumah bersifat berjenjang berdasarkan hirarki kebutuhan dari Maslow, dimulai dari yang terbawah adalah sebagai berikut:

1. Rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam

dan binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.

2. Rumah harus menciptakan rasa aman, sebagai tempat

menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi.

3. Rumah memberikan peluang interaksi dan aktivitas

komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitar (teman, tetangga, dan keluarga).

4. Rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri,

yang disebut Pedro Arrupe sebagai “Status Confering

Function”, kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.

 

5. Rumah sebagai aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk pewadahan kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan pribadi.

Bagi sebagian besar orang, kata rumah sering diartikan sebagai kata benda. Namun oleh John F.C Turner (1972: 151), se- lain memiliki arti sebagai kata benda, rumah juga memiliki arti sebagai kata kerja. Rumah sebagai kata benda menunjukkan bahwa tempat tinggal (rumah dan lahan) sebagai suatu bentuk hasil produksi komoditi, sedangkan sebagai kata kerja menujukkan suatu proses dan aktivitas manusia yang terjadi dalam pembangunan maupun selama proses menghuninya. Pengertian rumah sebagai produk atau komoditi lebih diarahkan pada kriteria pengukuran standar-standar fisik rumah sedangkan dalam pengertian rumah sebagai proses aktivitas kriteria pengukurannya adalah faktor kepuasan.

Lebih lanjut Turner (1972: 212-213) mengidentifikasi- kan 3 (tiga) fungsi utama rumah sebagai tempat bermukim, yaitu: 1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujud- kan pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality of shelter provide by housing). Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berlindung/ berteduh agar terlindung dari iklim setempat.

2. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity)

keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi pengaman keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan

37

 

sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan.

3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati, serta jaminan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).

Fungsi ketiganya berbeda sesuai dengan tingkat penghasilan, bagi golongan berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas, faktor identity menjadi tuntutan utama, pada masyarakat

golongan menengah faktor security yang diprioritaskan,

sedangkan pada golongan berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah faktor opportunity merupakan yang terpenting.

Istilah perumahan dan permukiman seringkali menjadi rancu karena dianggap memiliki arti yang sama, namun sebenarnya terdapat perbedaan pengertian antara perumahan dan permukiman. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, pengertian perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

 

2.3 Keterkaitan Antara Kawasan Industri dengan

Kebutuhan Tempat Tinggal Buruh Industri

Menurut Kuswartojo (2005: 8), salah satu tujuan dari penciptaan pemukiman adalah untuk menjamin kesehatan jasmani dan rohani. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pemukiman merupakan sarana dasar yang berfungsi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Produktivitas buruh industri sebagai penggerak kegiatan industri yang lebih diutamakan dari segi tenaganya dan bukan pikirannya, sangat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan tempat tinggalnya karena berkaitan dengan kesejahteraan buruh industri tersebut.

2.3.1 Pengertian Kawasan Industri

Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kawasan Industri adalah kawasan-kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Lebih lanjut, dalam Keputusan Presiden tersebut dijelaskan definisi dari kawasan peruntukan industri, yaitu bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Ketentuan ini ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 230/M/SK/1993 tentang Perubahan Surat Keputusan Nomor 291/M/SK/10/1989 tentang Tata Cara Perizinan dan Standar Teknis Kawasan Industri yang isinya

39

 

antara lain menyebutkan tentang kelengkapan sarana dan prasarana penunjang teknis untuk pembangunan kawasan industri tersebut seperti kantor pengelola, bank, kantor pos, kantor pelayanan telekomunikasi, poliklinik, kantin, sarana ibadah, dan rumah penginapan sementara.

2.3.2 Jenis Industri Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Klasifikasi jenis industri dilakukan atas beberapa dasar, yaitu berdasarkan tempat bahan baku, besar kecil modal, jenis, pemilihan lokasi, produkstivitas perorangan, serta jumlah tenaga kerja (www.organisasi.org diunduh tanggal 16 Juni 2008). Berdasarkan jumlah tenaga kerja, BPS mengklasifikasikan industri sebagai berikut:

1. Industri mikro, adalah industri dengan jumlah tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang

2. Industri kecil, adalah industri dengan jumlah tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang

3. Industri menengah, adalah industri dengan jumlah tenaga

kerja berjumlah antara 20-99 orang

4. Industri besar, adalah industri dengan jumlah tenaga kerja berjumlah 100 orang atau lebih

2.3.3 Tenaga Kerja Berpendapatan Rendah di Kawasan

Industri

Menurut Kuncoro (2007: 72), salah satu pertimbangan perusahaan dalam pemilihan lokasi industri adalah perbandingan antara biaya transportasi dan biaya input lokal. Bila biaya transportasi lebih tinggi dari input lokal, maka perusahaan akan

 

memilih dekat dengan lokasi bahan baku, namun bila biaya input lokal (misal, biaya tenaga kerja) lebih tinggi dari biaya transportasi, maka perusahaan memilih lokasi input lokal sehing- ga biaya input lokal yang tinggi dapat dihindari.

Atas dasar hal tersebut, maka pada industri yang bersifat padat karya, lokasi industri cenderung untuk mendekati lokasi modal tenaga kerja guna mandapatkan tenaga kerja yang murah. Besarnya upah yang dibayarkan oleh Perusahaan kepada buruh adalah minimal setiap bulannya sama dengan Upah Minimum Regional yang berlaku di wilayah tersebut.

2.3.4 Kebutuhan Tempat Tinggal Bagi Buruh Industri Penentuan prioritas tentang tempat tinggal bagi seseorang yang berpenghasilan rendah, termasuk buruh industri, cenderung didasarkan pada prioritas utama yaitu lokasi tempat tinggal yang berdekatan dengan lokasi kerja dengan alasan penghematan biaya transportasi yang sekarang ini semakin melambung seiring tingginya harga BBM.

Aspek lokasi akan mempunyai implikasi ekonomi karena keterkaitannya dengan tempat kerja dan fasilitas sosial. Jarak yang jauh dengan tempat kerja dan fasilitas sosial berarti akan menambah persentase pengeluaran ongkos transportasi dibandingkan seluruh pengeluaran rutin keluarga (Budihardjo, 1997: 121). Lebih lanjut Sastra dan Marlina (2006: 132) menyata- kan bahwa lokasi perumahan sebaiknya dipilih di daerah yang memberikan akses yang mudah bagi orang yang bermukim

41

 

(maksimal 30 menit dengan menggunakan alat transportasi umum) untuk menuju tempat kerja.

Turner dalam Panudju (1999: 9) menyatakan bahwa ter- dapat keterkaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Sumber : Turner dalam Panudju, 1999

GAMBAR 2.1

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEBUTUHAN TEMPAT TINGGAL DAN TINGKAT PENDAPATAN

Seiring dengan meningkatnya pendapatan, prioritas kebutuhan tempat tinggal akan berubah pula. Status kepemilikan rumah menjadi prioritas utama, karena seseorang ingin mendapatkan kejelasan tentang status kepemilikan rumah. Hal ini memberikan keyakinan bahwa dia tidak akan digusur sehingga

Mutlak Penting Biasa Tidak Penting Tidak Harus Sangat   Rendah  Rendah Menengah  Rendah  Menengah Tinggi  TINGKAT PENDAPATAN TINGKAT   KEBUTUHAN   TEMPAT  

Standar Fisik Hunian Kepemilikan 

 

dapat bekerja dengan tenang untuk menaikkan pendapatannya. Pada tahap ini, prioritas kedekatan lokasi tempat tinggal dengan lokasi kerja menjadi prioritas kedua dan standar fisik hunian tetap menjadi prioritas terakhir (Turner, 1972:166).

2.4 Tinjauan Penyediaan Tempat Tinggal Bagi Buruh

Industri

Sub bab ini akan membahas mengenai penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri ditinjau dari bentuk tempat tinggal dan aktor-aktor yang terlibat.

2.4.1 Bentuk Tempat Tinggal Bagi Buruh Industri

Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki karakteristik yang heterogen, antara lain bila ditinjau dari besarnya pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang dimiliki. Sifat heterogen lainnya yang mempengaruhi pemilihan bentuk tempat tinggal bagi buruh industri adalah preferensi lamanya tinggal di suatu tempat, ada yang berkeinginan hanya tinggal untuk sementara saja, namun ada pula yang berkeinginan untuk tinggal menetap.

Menurut Sheng (1992: 2-3), ada beberapa sub sistem pe- masaran tempat tinggal, yaitu squatter housing sub system,

worker’s housing sub system, filtered housing sub system, public housing sub system, dan rural commuter sub system, dimanapada sub sistem tempat tinggal bagi pekerja (worker’s housing sub system), penyediaan tempat tinggal lokasinya diarahkan pada atau dekat dengan tempat kerja. Lebih lanjut Sheng (1992: 3) mem- bagi sub sistem tersebut dalam 5 (lima) tipe, yaitu:

43

 

1. Work place site houses, didirikan atas ijin pemberi kerja dengan menggunakan sebagian lahan pabrik, biasanya dibuat dari kayu dan bahan material bekas, dibangun untuk pekerja dan keluarganya.

2. Factory site dormitories, biasanya berupa permukiman padat yang dihun oleh pekerja yang belum berkeluarga dengan ruang dan privasi yang terbatas.

3. Staff and servant quarters, disediakan bagi pekerja seperti pembantu rumah tangga, satpam, tukang kebun pada permukiman kalangan menengah dan kalangan atas atau pada institusi umum dan lokasi bisnis sebagai salah satu fasilitas yang disediakan oleh pemberi kerja.

4. Institutional housing, berupa barak tempat tinggal tentara atau pekerja kereta api dan keluarganya.

5. Itinerant construction worker’s housing, merupakan bangunan sementara bagi pekerja bangunan yang dibangun dari material bangunan di lokasi tersebut untuk mereka huni bersama keluarganya.

Menurut Komarudin (1996: 334), tempat tinggal seder- hana buruh industri umumnya berbentuk kamar sewa atau indekos, rumah kontrakan, rumah pribadi yang dibeli dengan cara angsuran dan asrama. Beberapa bentuk dari hunian sewa bagi karyawan perusahaan dan pekerja lainnya adalah rumah pekerja atau karyawan bergabung dengan pabrik, rumah karyawan yang disewa perusahaan untuk dihuni pekerjanya, dan kamar sewa di rumah kecil ataupun berupa asrama (Sheng, 1991: 125).

 

Menurut Koalisi untuk Perumahan Sosial (2002: 49-51), ada 2 (dua) bentuk penyediaan rumah sewa bagi buruh industri, yaitu:

1. Pondokan, berupa rumah atau kamar yang disewakan oleh

pemilik lahan di dekat kawasan industri dimana infrastruktur yang ada tidak memadai karena pengembangan pondokan tidak diakomodasikan oleh Pemerintah dalam rencana pengembangan kawasan yang terpadu.

2. Asrama buruh, berupa tempat tinggal sewa yang disediakan oleh pengusaha kawasan industri dengan bantuan subsidi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri secara garis besar dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu ditinjau dari kepemilikan dan sifat bangunan. Bila ditinjau dari kepemilikan, dikenal tempat tinggal milik dan tempat tinggal sewa. Sedangkan dari sifat bangunannya, ada tempat tinggal pribadi/ tunggal dan tempat tinggal bersama seperti asrama.

2.4.2 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penyediaan

Tempat Tinggal

Buruh industri menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal mengingat rendahnya pengahasilan yang mereka miliki. Oleh karena itu, perlu keterlibatan berbagai pihak untuk membantu mereka agar dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya. Menurut Panudju dalam Komarudin (1997: 334), penyediaan tempat tinggal bagi pekerja industri dapat di- laksanakan oleh berbagai pihak, antara lain oleh buruh industri

45

 

secara perorangan, buruh industri melalui yayasan atau koperasi, masyarakat sekitar daerah industri melalui sewa menyewa dan jual beli, perusahaan atau pemilik industri, dan pihak ketiga (Pemerintah melalui KPR BTN dan Swasta melalui REI, developer, industrial estate).

Tidak menutup kemungkinan penyediaan tempat tinggal buruh industri tersebut dilakukan secara bersama-sama mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing pihak tersebut. Misalnya, kerjasama antara perusahaan industri dengan Pemerintah, dimana biasanya perusahaan industri mengalami kesulitan dalam penyediaan lahan maka Pemerintah dapat membantu dengan penyediaan lahan. Payne dalam Panudju (1999: 120) menekankan perlunya intervensi Pemerintah dalam upaya pengadaan site and service atau kapling siap bangun bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Bentuk kombinasi kerjasama yang lain adalah antara koperasi dan perusahaan industri. Keterbatasan dalam penyediaan lahan oleh koperasi dapat dibantu oleh perusahaan dengan cara memberikan pinjaman lunak untuk digunakan koperasi membeli lahan atau lahan dibeli oleh perusahaan untuk selanjutnya dibeli koperasi dengan cicilan ringan (Komarudin, 1997: 230).

2.4.2.1 Penyediaan Tempat Tinggal Buruh Industri secara Perorangan

Buruh industri sebagai bagian dari masyarakat berpenghasilan rendah mengalami kendala dalam pengadaan tempat tinggalnya secara perorangan atau mandiri. Akibat keterbatasan tersebut, penyediaan tempat tinggal secara

 

perorangan yang dilakukan oleh buruh industri biasanya tidak memenuhi persyaratan baik dari segi fisik maupun legalitas hukum. Hal ini seperti yang terjadi di Batam dimana banyak rumah-rumah liar yang menempati lahan ilegal.

2.4.2.2 Penyediaan Tempat Tinggal Buruh Industri melalui Yayasan atau Koperasi

Tujuan umum dari pembentukan koperasi adalah untuk mensejahterakan anggota. Salah satu bentuk usaha yang dilakukan koperasi untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan keterlibatannya dalam penyediaan tempat tinggal anggotanya. Peranan koperasi dalam pengadaan perumahan diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Koperasi dan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 02/SKB/M/X/1987 dan Nomor 01/SKB/M/10/1987 tentang Penyediaan Perumahan dan Permukiman Melalui Koperasi. Keberadaan SKB ini memberikan kemudahan-kemudahan agar koperasi mampu melaksanakan pembangunan perumahan mulai dari penyiapan lahan permukiman, penyusunan perencanaan pembangunan, pembangunan fisik dan pembangunan rumah tumbuh, penyediaan dan pengelolaan dana, industri dan pengadaan bahan bangunan, hingga pengelolaan lingkungan permukiman.

Peraturan lain yang mengatur tentang peranan koperasi dalam pengadaan perumahan permukiman khusunya bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dimana buruh industri merupakan bagian di dalamnya adalah Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.11/KPTS/1989 tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan

47

 

Fasilitas KPR BTN oleh Koperasi. Peranan koperasi dalam pengadaan perumahan permukiman berdasarkan Kepmenpera tersebut adalah sebagai berikut:

1. Koperasi berperan sebagai pelaksana proyek perumahan

yang kegiatan usahanya berwujud:

a. developer untuk melayani anggotanya.

b. developer untuk melayani anggotanya dan masyarakat

umum.

2. Koperasi sebagai koordinator bagi para anggotanya untuk

membeli rumah dari developer.

3. Koperasi sebagai debitur BTN yang rumahnya kemudian

disewabelikan kepada anggotanya.

4. Koperasi sebagai penjamin bagi anggotanya untuk membeli rumah dengan fasilitas KPR BTN.

5. Koperasi yang berperan ganda sekaligus melakukan dua atau lebih peran tersebut di atas.

Bentuk peran yang dilakukan oleh koperasi seperti yang disebutkan di atas dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain karakteristik koperasi itu sendiri dimana masing-masing koperasi memiliki karakteristik yang berbeda baik dalam kemampuan pendanaan maupun dukungan perusahaan dimana koperasi tersebut berada. Beberapa contoh keterlibatan koperasi karyawan dalam penyediaan tempat tinggal adalah Koperasi Karyawan Jarum Kudus, Koperasi Karyawan PT Nasional Gobel, Koperasi Karyawan Semen Padang (Komarudin, 1997: 230).

 

2.4.2.3 Penyediaan Tempat Tinggal Buruh Industri oleh

Masyarakat Sekitar Daerah Industri melalui Sewa Menyewa dan Jual Beli

Tingginya permintaan kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri menjadi suatu peluang untuk menciptakan pendapatan tambahan melalui kegiatan sewa menyewa dan jual beli oleh masyarakat sekitar kawasan industri. Ditinjau lebih lanjut, kegiatan jual beli tidak sesemarak kegiatan sewa menyewa. Para buruh industri biasanya membayar sewa sebesar 20%-30% dari upah yang mereka terima (Koalisi untuk Perumahan Sosial, 2002: 49).

2.4.2.4 Penyediaan Tempat Tinggal Buruh Industri oleh

Perusahaan atau Pemilik Industri

Standar penyediaan tempat tinggal buruh industri oleh perusahaan industri telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 230/M/SK/10/1993 yang didalamnya antara lain mengatur kewajiban perusahaan kawasan industri untuk mencadangkan tanahnya sebesar 10-30% dari luas keseluruhan untuk penyediaan kavling perumahan (Wahyu dalam Jurnal Analisis Sosial, Oktober 2005: 66).

Penyediaan tempat tinggal bagi buruh industri dapat dilakukan oleh perusahaan industri sendiri maupun kerjasama antara perusahaan industri dengan koperasi dalam bentuk rumah sewa sederhana atau rumah sewa bertingkat sederhana (Komarudin, 1997: 220). Jika pengadaan rumah sewa dilakukan oleh perusahaan industri, selain keuntungan berupa tanah dan

r d i B p f p b o p a   rumah seba diperoleh ad Sal industri oleh Batam. Men pembanguna fasilitas pe pemecahan bangun adal oleh PT. B penunjang antara lain b Sumber : P DORM agai aset pe dalah pening ah satu co h perusahaa ngingat kete an dormitor enunjang u (Komarudin lah di Kaw BIC. Denga tersebut, p biaya tempat PT. BIC, 2008 MITORY BU INDU erusahaan, k katan produk ntoh penye an industri a erbatasan la ry berupa ru untuk buru n, 1997: 33 wasan Indust an tersedian ekerja dapa tinggal dan GAMBAR URUH INDU USTRI BAT keuntungan ktivitas buru ediaan temp adalah yang ahan di Pul umah susun h industri 36). Contoh tri Batamind nya dormito at melakuk biaya transp R 2.2 USTRI DI K TAMINDO lain yang uh industri. pat tinggal g terjadi di lau Batam, n yang dilen menjadi yang suda do yang dib ory dan fa kan penghem portasi. KAWASAN 49 dapat buruh Pulau maka ngkapi solusi ah ter- bangun asilitas matan, N

 

2.4.2.5 Penyediaan Tempat Tinggal Buruh Industri oleh

Dokumen terkait