• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

D. Situasi HIV/AIDS di Lapas/rutan

Ditambah lagi dengan meningkatnya Napi/Tahanan narkotika Diperkirakan 28.26 % serta masih adanya napi/tahanan narkotika yang berada di Lapas Non-Narkotika. Kondisi melebihi kapasitas ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam standard minimum rules of treatment of prisoners. Standard minimal yang harus dipatuhi oleh suatu lembaga terkait dengan akomodasi tahanan adalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihuni sendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian hanyalah bagi ruangan besar untuk ditempati beberapa orang. Dan ada ruang-ruang khusus terhadap Narapidana yang terjangkit HIV/AIDS, dan mereka juga mendapat penangganan khusus dibandingkan narapidana-narapidana yang lainnya. Dari bentuk pencegahan agar tidak menularkan kepada penghuni lapas yang lain, mereka (narapidana pengidap HIV/AIDS) juga dikasi paparan atau ajaran bagaimana untuk hidup sehat. Selain itu masi banyak juga penangganan khusus lain yang diberikan kepada mereka dan hak-hak mereka sebagai narapidana.

1. Jumlah estimasi penderita HIV/ AIDS di Lapas/ rutan.

Berdasarkan data dan informasi dari Departemen Kesehatan, estimasi nasional 2006 jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sebanyak 171.000-219.000 orang, Jumlah estimasi Penasun 191.000-48.000 dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah 85.700 orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi

22

“Data UPT PAS”,

<http://Lapas.aids-ina.org/modules.php?name=Profile&op=viewprofile&pid=3>, 12 November 2010. 23

kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50%. Kelompok umur 20-29 tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77% disusul kelompok umur 30-39 tahun 26,56%. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS.

Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan (mode of transmission) terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV.24 Mengenai jumlah total kematian akibat akibat HIV melalui jarum suntik di Lapas/ rutan belum tersedia data tapi cukup memadai namun diperkirakan sekitar 1 orang per hari. Data dari Lapas dan Rutan menunjukkan meningkatnya jumlah tahanan dengan pelanggaran yang berkaitan dengan napza terjangkit HIV. Pelanggar kasus napza meningkat dari 7211 di tahun 2002 menjadi 11.973 tahun 2003 dan sampai dengan Agustus 2006 menjadi 25.096. Di samping itu ada tahanan yang bukan karena kasus napza tapi juga pengguna jarum suntik (penasun) tapi tidak ada informasi mengenainya. Adapun data mengenai surveilans HIV, yang dilaksanakan oleh Depkes RI, tahun 2004 melaporkan prevalensi HIV sebesar 24,5% di kalangan narapidana dan tahanan di Lapas/Rutan di Provinsi Angka kematian napi/tahanan dengan latar belakang HIV/AIDS relatif tinggi, di LP Cipinang angka kematian meningkat dari 76 di tahun 2004 menjadi 159 di tahun 2005, dan di Rutan Salemba dari 58 menjadi 179. Faktor penyakit yang utama menjadi penyebab kematian di Lapas/Rutan adalah TBC. Pada sisi lain kondisi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di UPT di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan belum sepenuhnya optimal.25

Penjelasan. yang tinggi dari perilaku risiko tinggi di beberapa Lapas dan Rutan termasuk seks tidak aman antar narapidana dan tahanan.

Belum ada data surveilans HIV dari Lapas/Rutan di Provinsi lain. Namun, telah ada laporan rutin kepada Direktorat Jenderal Pemasyarkatan yang menunjukan adanya kasus HIV, angka kesakitan dan angka kematian akibat HIV/AIDS di Lapas/rutan. Di samping itu, melihat tren peningkatan prevalensi HIV di kelompok populasi berperilaku risiko tinggi, dapat diperkirakan HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang serius di Lapas/rutan. Penggunaan alat dan jarum suntik “yang tidak disterilisasi” secara bergantian diakui oleh 80% pengguna narkoba suntik (penasun) di masyarakat dan kegiatan menyuntik dan berbagi juga dilaporkan terjadi juga di dalam Lapas dan Rutan. Walaupun data tersebut sulit dibuktikan, namun menunjukkan insiden Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik.

26

24

Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI no. 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang

Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS

25

“Penanggulangan HIV/ AIDS di Lapas/ Rutan”, <http://Lapas.aids-ina.org/>, 12 November 2010. 26

Ibid.

Beberapa penelitian yang dilakukan di seluruh dunia menunjukkan angka HIV dan AIDS di kalangan narapidana lebih besar apabila dibandingkan dengan angka HIV dan AIDS dalam komunitas luar di masyarakat. Terutama disebabkan karena banyak narapidana menyuntik narkoba dan melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi (misalnya menggunakan jarum suntik secara

bergantian) mereka berada di Lapas/ rutan. Penyebab lain adalah tingginya angka infeksi HIV pada pengguna narkoba suntikan (Injecting Drug User/IDU) antar sesama narapidana/tahanan.27

Tingginya sirkulasi pergantian warga narapidana/tahanan di Lapas, juga ikut mempengaruhi penyebaran HIV di masyarakat luas jika mantan narapidana tertular selama berada di Lapas/ rutan. Angka HIV dan AIDS di penjara di Eropa menunjukkan perbedaan beragam. Di Spanyol dan Italia, angka infeksi HIV tercatat masing-masing 26% dan 17%. Di AS, angka berkisar antara 1%-20%. Di Kanada angka berkisar 1%-12%. Di Afrika Selatan angka mencapai 41% sedangkan di Brazil angka berkisar dari 11%-21%. Penelitian-penelitian untuk mengukur angka infeksi HIV di kalangan Buku Saku Staff Lapas/Rutan 3 IDU di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan angka yang berkisar dari 20% sampai lebih dari 50%. Estimasi infeksi HIV pada orang dewasa Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI menghasilkan angka rata-rata infeksi HIV di kalangan narapidana sebesar 11,99%.28

Penelitian yang menunjukkan tingginya angka infeksi HIV di kalangan IDU ini tidak bisa dipungkiri, dan dengan banyaknya IDU yang dipenjarakan, maka para staf dan manajemen Lapas/rutan perlu mengetahui realita ini. Sejalan dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dalam masyarakat, terjadi pula peningkatan dalam Lapas/rutan. Seperti terdapat dalam tabel di bawah ini:29

Tabel Prevalensi HIV Pada Narapidana di Indonesia

NO Prevalensi

Prevalensi HIV Pada Narapidana

1999 2000 2001 2002 2003 1 DKI 1.69 17.53 22 7.55 17.65 2 JaBar 0.9 7 20.6 5 21.1 3 JaTim - - 0.68 - 4.23 4 Bali 18.7 - 9.6 10.2 10.7 5 Lampung - - 2.5 2.3 2.8 6 BaBel 1 - - - - 7 DIY - 2.8 - - - 8 Banten - - - 10.8 21.3 9 KalTim - - - - 0.36

Tabel di atas memperlihatkan peningkatan prevalensi HIV di lapas/rutan.

Contohnya di Lapas/Rutan DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 7,55% meningkat pada 2003 menjadi 17,65%, Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 5 % menjadi 21,1% pada tahun 2003, dan Banten pada tahun 2002 sebesar 10,8 % menjadi 21,3% pada tahun 2003. Angka HIV akan kelihatan lebih kecil apabila populasi Lapas/Rutan dilihat secara keseluruhan, namun masalah ini tetap perlu untuk diperhatikan.

27

Buku saku staff Lapas/Rutan (Program Aksi Stop AIDS(ASA), ( jakarta: Family Health International (FHI), 2007), hal. 2. 28

Ibid., hal. 3. 29

Perkiraan yang dibuat pada tahun 2002 menyatakan bahwa sekitar 8-12% narapidana/tahanan adalah HIV positif.

Kesehatan narapidana/tahanan berhubungan erat dengan kesehatan dalam masyarakat. Tanpa intervensi kesehatan masyarakat yang tepat, Lapas/rutan dapat menjadi tempat yang potensial bagi penyebaran HIV. Walaupun demikian, dengan langkah-langkah yang tepat Lapas/Rutan juga dapat menawarkan peluang pencegahan yang baik.30 Sejalan dengan tujuan strategi kesehatan masyarakat, maka Lapas/rutan pun mempunyai tujuan untuk mempromosikan, melindungi kesehatan, mengurangi tingkat penyakit dan kematian di antara narapidana/tahanan. Dengan adanya epidemi (penyebaran) ganda HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini, memunculkan tantangan baru dan penting bagi isu kesehatan masyarakat di Lapas/Rutan. Bukti-bukti yang ada dari negara-negara lain mengindikasikan bahwa tingkat infeksi HIV di kalangan narapidana/tahanan secara signifikan lebih tinggi dari pada yang ada dalam masyarakat.31

Beberapa narapidana/tahanan memang telah terinfeksi sebelum masuk Lapas/rutan, tetapi sebagian terinfeksi pada waktu mereka berada dalam Lapas/rutan. Perilaku yang membuat narapidana/tahanan rawan HIV telah umum terjadi, yaitu akibat perilaku berisiko yang meliputi praktik seksual tidak aman, penggunaan bersama peralatan suntik, tato, kekerasan lain termasuk perkosaan dan kekerasan berdarah umum. Meskipun angka penyalahgunaan narkoba suntik di Lapas/rutan lebih kecil dari penyalahgunaan di masyarakat, tetap sangat berbahaya.32

Hubungan seksual tidak aman di antara narapidana/tahanan adalah faktor penting lainnya dalam penularan HIV di antara narapidana/tahanan. Angka hubungan seksual sesama jenis di Lapas/Rutan berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seksual ini bisa dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pemaksaan, yang di dalamnya terdapat unsur perkosaan. Risiko tertular HIV pun menjadi tinggi, mengingat tidak adanya penggunaan kondom dan terjadinya luka pada waktu terjadi pemaksaan. Tato dan bentuk penusukan lain pada kulit, umum terjadi dalam Lapas/Rutan dan juga menyebabkan adanya risiko penularan HIV karena langkanya peralatan steril. Terdapat pula risiko penularan HIV dari ibu pengidap HIV ke anak, apabila narapidana/tahanan hamil dan menyusui tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Lapas/Rutan di Indonesia telah memainkan peranan yang cukup aktif dalam menghadapi HIV dan penyalahgunaan narkoba. Walaupun

Hal ini disebabkan karena adanya kelangkaan peralatan setiap kali menyuntik, dan jarum yang sama biasanya akan digunakan bersama dan bergantian. Hal tersebut sebagai faktor utama terjadinya kasus HIV baru di dalam Lapas/rutan.

30

Departemen Kesehatan, ”Estimasi Nasional Infeksi HIV Pada Orang Dewasa Indonesia, Tahun 2003". Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat JenderalPemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2003

31

UNAIDS, “UNAIDS Best Practice Collection: UNAIDS point of view on Prisons and AIDS”,(New York: United Nations), 1997.

32

The Centre for Harm Reduction and Asian Harm Reduction, ”Mengurangi Dampak Buruk narkoba di Asia, Edisi Indonesia”, (Jakarta: The Centre for Harm Reduction), 2001.

beberapa narapidana/tahanan telah berstatus HIV positif pada waktu mereka masuk ke dalam Lapas/ Rutan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penularan juga terjadi di antara narapidana/tahanan. Di Indonesia, seperti halnya juga di negara lain, penelitian yang ada menunjukkan bahwa umumnya penularan HIV di Lapas/Rutan terjadi karena adanya penggunaan bersama peralatan suntik dan melalui hubungan seksual tidak aman.33

2. Proses penyebaran HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan.

Dengan tingginya resiko penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan tentunya karena Lapas/ rutan terdapat faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penyebaran dan penularan HIV/AIDS. Lapas/rutan menempatkan orang dalam keadaan yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit karena:34

a) Tingkat hunian yang sesak, yang menyebabkan iklim kekerasan serta sanitasi yang buruk. b) Kontrol infeksi yang buruk: fasilitas kesehatan & pengawasan infeksi sangat terbatas. c) Penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bersama.

Bila ada pengguna jarum suntik di masyarakat, maka kemungkinan juga akan ada penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan. Pada keadaan yang sulit untuk memperoleh jarum suntik maka jarum suntik yang ada pun digunakan secara bergantian dan bersama-sama. Indikasi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan dapat didasarkan pada beberapa fakta, antara lain:

1) Karena beberapa narapidana/tahanan yang mengalami kondisi ketagihan sehingga berusaha memasukkan narkoba kedalam Lapas/rutan;

2) Adanya indikasi keterlibatan petugas pada kasus masuknya narkoba ke dalam Lapas/rutan; 3) Diketemukannya peralatan suntik, sabu-sabu dan ganja di dalam Lapas/rutan;

4) Hasil tes urine terhadap narapidana/tahanan yang hasilnya positif menggunakan narkoba;

5) Narapidana lebih cerdik walau secanggih alat yang dipergunakan oleh petugas mencegah masuknya narkoba.35

6) Penyuntikan yang tidak aman: peralatan menyuntik susah didapatkan dan menyebabkan narapidana menggunakan jarum suntik (atau peralatan buatan sendiri dari ujung bolpoin) secara bergantian tanpa membersihkannya terlebih dahulu.

7) Perilaku seksual yang tidak aman dan pemerkosaan: hubungan seks di antara laki laki sangat umum, namun tidak tersedia kondom.

33

Strategi Penanggulangan HIV/ AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009, (Departemen Hukum danHak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemasyarakatan), 2005, hal. 11-12.

34

Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal. 3-4.

35

Hubungan seksual antar narapidana/tahanan kerap kali menimbulkan Infeksi Menular Seksual (IMS), dulu disebut penyakit kelamin adalah penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seksual. IMS terjadi di Lapas/rutan, karena kemungkinan narapidana telah terinfeksi IMS sebelum masuk dan/atau melalui hubungan seks di dalam Lapas/rutan. Hubungan seks di dalam Lapas/rutan bisa terjadi atas dasar suka sama suka, terpaksa karena intimidasi, alasan perlindungan dan pemerkosaan. Penelitian di seluruh dunia menunjukkan hubungan seks antara pria dengan pria di dalam Lapas/rutan adalah hal yang biasa. Dan karena kondom jarang tersedia, maka risiko tertular/menularkan IMS dan HIV/AIDS merupakan suatu realitas bagi para narapidana.36

Infeksi Menular Seksual terutama sifilis, meningkatkan risiko penularan HIV 1-9 kali lipat. Di samping itu, IMS juga merupakan beban penyakit tersendiri yang dapat menimbulkan komplikasi dan efek jangka panjang seperti kemandulan, penyempitan saluran kencing pada laki-laki, serta kehamilan di luar kandungan pada wanita. Sebagian besar IMS dapat disembuhkan. Dengan menyembuhkan IMS, risiko penularan HIV diturunkan 1-9 kali lipat. Infeksi ganda HIV dan IMS meningkatkan potensi masalah HIV maupun IMS.37

8) Perilaku berisiko lain seperti tatto, tindik telinga/ kulit,pemasangan pelor ke dalam penis, dll dan biasanya alat yang dipakai tidak steril dan digunakan bergantian.

Layanan kesehatan di Lapas/Rutan akan secara aktif mengidentifikasi IMS pada narapidana/tahanan pria maupun wanita, baik yang HIV positif maupun negatif Narapidana/tahanan dengan IMS akan diobati sesuai standard pengobatan. Narapidana/tahanan dengan IMS tidak akan diperlakukan secara diskriminatif.

Dokumen terkait