• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk mem-bentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, Presiden Soekarno mu-lai mencetuskan demokrasi terpimpin.

a. a.a. a.

a. Pembentukan alat-alat negaraPembentukan alat-alat negaraPembentukan alat-alat negaraPembentukan alat-alat negaraPembentukan alat-alat negara

1. Pembentukan Kabinet Kerja

Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli 1959 Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet baru. Dalam kabinet baru ini, Pre-siden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri. Sementara itu, Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Pertama. Kabinet baru ini diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet Kerja ada tiga, yaitu: kea-manan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan pangan.

2. Pembentukan MPRS

Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh karena itu, pembentukan majelis merupakan pe-menuhan dekrit tersebut.

MPRS merupakan pengganti Dewan Konstitu-ante yang telah bubar. Anggota-anggota MPRS di-tunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara la-in: setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Ta-hun 1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan kar-ya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Ga-ris-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

3. Pembentukan DPAS

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959. DPAS ini bertugas memberi jawaban atas perta-nyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepa-da pemerintah. DPAS diketuai oleh Presiden kepa-dan beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari golongan karya dan 1 orang wakil ketua.

4. DPR hasil pemilu 1955 tetap

DPR hasil Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 tetap menjalan-kan tugasnya berdasarmenjalan-kan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui perubahan-perubahan yang di-lakukan oleh pemerintah sampai DPR yang baru tersusun.

b. b.b. b.

b. Menegakkan demokrasi terpimpinMenegakkan demokrasi terpimpinMenegakkan demokrasi terpimpinMenegakkan demokrasi terpimpinMenegakkan demokrasi terpimpin

1. Penetapan Manipol sebagai GBHN

Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekar-no berpidato. Pidatonya diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupa-kan penjelasan dan pertanggungjawaban atas De-krit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Repu-blik Indonesia” (Manipol).

DPAS dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan Kem-bali Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Ha-luan Negara dan dinamakan “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”.

Gambar 2.2.9 Presiden Soekarno sedang berpidato pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI pada tanggal 17

Agustus 1959. Pidato ini kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia dan ditetapkan

sebagai GBHN.

Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 2

Presiden Soekarno menerima baik usulan ter-sebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Ma-nifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutus-kan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1960, yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato di depan sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World a New) merupakan Pedoman-pedoman Pe-laksanaan Manifesto Politik. Dalam pidato pembu-kaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Fe-bruari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari itu adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Ter-pimpin, Ekonomi TerTer-pimpin, dan Kepribadian In-donesia (USDEK).

2. Pembentukan DPR-GR

Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, ka-rena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama

kemu-Black 70

Cyan 70

dian Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden me-wakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyata-kan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanamenyata-kan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rak-yat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin.

Pada upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan membe-ri sumbangan tenaga kepada Presiden untuk me-laksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS.

rena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditang-guhkan. Alasannya adalah sebagai berikut.  Perubahan perimbangan perwakilan

golong-an-golongan dalam DPR-GR memperkuat pe-ngaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkan terja-dinya hal-hal yang tidak diinginkan.

 DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja, sehingga ti-dak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat.

 Pembaruan dengan cara pengangkatan seba-gaimana yang dipersiapkan itu adalah ber-tentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.

Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan ter-hadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq

Cokrohadi-suryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI).

Di samping itu, juga muncul reaksi keras dari Mas-yumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan te-gas menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membu-barkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang wenang. Dikatakan sewenang-wenang karena:

 ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempela-jarinya;

 ada paksaan untuk bekerja sama antara golong-an nasionalis, agama, dgolong-an komunis.

Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa par-tai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya.

Partai PNI dan PKI merupakan partai yang de-kat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.

4. Kedudukan PKI semakin kuat

Di antara partai-partai yang ada, PKI merupa-kan partai yang menempati kedudumerupa-kan istimewa di dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Di bawah pimpinan D. N. Aidit, dengan tegas PKI mendukung konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada Nasakom. PKI berhasil

Gambar 2.2.10 Pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Presiden Soekarno pada

tanggal 25 Juni 1960.

Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 2

DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno. DPR yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar de-ngan Presiden pada kenyataannya berada di ba-wah presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.

3. Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu 1955

Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu terse-but mendapat reaksi keras dari partai-partai. Pada bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendi-rikan Liga Demokrasi. Liga Demokrasi diketuai oleh

Imron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi

terdiri dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijak-sanaan Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang tidak tepat.

Liga Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh

ka-Black 71

Cyan 71

meyakinkan Presiden Soekarno bahwa tanpa PKI, Presiden Soekarno akan lemah terhadap PNI. Ikut sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia berarti menduakan Pancasila dengan suatu ideo-logi yang bertentangan. Letak pertentangannya adalah sebagai berikut.

 Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung ateis.

 Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, se-dangkan PKI berdasarkan internasionalisme.  Pancasila berasaskan kerakyatan yang

di-pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-musyawaratan perwakilan, sedangkan komu-nisme berlandaskan pertentangan antarkelas. Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, ke-dudukan PKI semakin kuat. Manipol harus dipe-gang teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan semacam ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepe-nuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup.

Sekelompok wartawan yang mempunyai keya-kinan kuat terhadap Pancasila membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dengan harapan agar Presiden Soekarno berpaling dari PKI dan menem-patkan diri di pihak pembela Pancasila. Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS dilarang kehadirannya. Di antara partai-par-tai yang masih berani meneror mental PKI adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membu-barkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup ke dalam tubuh partai-partai dan beberapa organi-sasi lain yang ada pada waktu itu. Penyusupan PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali Satroamijoyo disusupi tokoh PKI

Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar

dengan PKI. Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis se-jati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah marhaenis gadungan. Mereka ini kemudian mem-bentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan

Osa Maliki dan Usep Ranawijaya. Kemudian

dike-nal sebagai PNI Osa-Usep.

Satu-satunya kekuatan sosial politik terorgani-sasi yang mampu menghalangi PKI dalam usaha-nya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah TNI. Oleh karena itu, PKI memu-satkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara menjelek-jelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila.

Daerah-daerah, terutama yang banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-tanah orang lain un-tuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan terhadap anggota TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan harta ini sementara masih ‘didiamkan’ oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI lebih meningkat-kan aksinya. PKI menyaranmeningkat-kan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke-5. Seba-gian anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir ma-sa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI, khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri, walaupun tidak memegang departemen.

5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR

Dalam rangka menegakkan demokrasi terpim-pin, Presiden Soekarno juga membentuk lembaga-lembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet, Presiden membentuk Front Nasional, Mu-syawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), dan Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organi-sasi massa yang memperjuangkan cita-cita Prokla-masi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional diketuai Presiden Soekarno.

MPPR dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Ta-hun 1962 yang anggotanya bertugas membantu Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolu-si dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan da-rurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah para menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatan-angkatan, dan wakil dari organisasi Nasakom.

6. Penyimpangan dari UUD 1945

Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bah-wa Presiden Soekarno menjadi “pemimpin tung-gal” dan sumber pedoman kehidupan bernegara. Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh karena itu, ter-dapat kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap konstitusi.

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada awal-nya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan kembali kepada UUD 1945, bangsa dan negara Indo-nesia akan mengalami perubahan struktur politik

Black 72

Cyan 72

yang lebih baik. Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik merindukan suatu masa yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan konstitusi yang berlaku. Ketidakstabilan politik menghambat perkembangan kehidupan sosial, bu-daya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerindu-an masyarakat akkerindu-an pelakskerindu-anakerindu-an UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi. Meskipun secara tegas dalam dekrit dinyatakan bahwa bang-sa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, ke-nyataanya masih terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya.

Kebijakan Presiden Soekarno dalam penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara “mutlak” oleh pribadinya. Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revo-lusi. Hal itu untuk memperlihatkan bahwa Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak. Sedangkan, terpimpin menurut UUD 1945 artinya ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksa-naan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang dalam hal ini dipimpin oleh MPR.

Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR seba-gai mandataris MPR dan bertanggung jawab kepa-da MPR. Dengan kata lain, kedudukan presiden akepa-da di bawah MPR. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat (2), yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat de-ngan suara yang terbanyak”. Sedangkan, dalam demo-krasi terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawarat-an Rakyat Sementara ditunjuk dPermusyawarat-an diPermusyawarat-angkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.

Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung di-angkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan de-mikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden.

Menurut UUD 1945 pasal 7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali”. Sedangkan, Si-dang Umum MPRS tahun 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seu-mur hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.

c cc

cc... Politik luar negeri IndonesiaPolitik luar negeri IndonesiaPolitik luar negeri IndonesiaPolitik luar negeri IndonesiaPolitik luar negeri Indonesia

1. Landasan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi terpimpin

Pada masa demokrasi terpimpin, ada 4 doku-men yang dijadikan sebagai landasan politik luar negeri Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.

 UUD 1945

 Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Repu-blik Indonesia”. Manifesto politik ini dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal 19 November 1960.

 Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita”. Berdasar-kan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 9 November 1960 menjadi “Pedoman Pelaksa-naan Manifesto Politik Republik Indonesia”.  Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di

muka Sidang Umum PBB yang berjudul “Mem-bangun Dunia Kembali”. Pidato ini ditetapkan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Po-litik Republik Indonesia” dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19 November 1960. Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, di-nyatakan sebagai “Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia” dan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Luar Negeri Republik Indonesia”.

2. Politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif

Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar negeri yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia sarat konfrontasi karena masa itu oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap se-bagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusi-oner, diplomasi yang konfrontatif, diplomasi per-juangan, diplomasi yang mau merombak dan me-nyusun suatu suasana dan perimbangan baru an-tara negara-negara dipakai sebagai alat politik luar negeri.

Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Estab-lished Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soe-karno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit (Nefos). Im-perialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme me-ngabdi pada kekuatan lama.

Saat pemerintah Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin, cita-cita politik luar negeri yang bebas-aktif tidak tercapai. Terjadi penyim-pangan-penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas dari blok-blok negara lain, tetapi justru condong ke arah blok sosialis-komunis.

Black 73

Cyan 73

Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung berpihak ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi semakin sempit. Berikut ini adalah beberapa kebijakan luar negeri yang dilaku-kan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.  Memutuskan hubungan diplomatik dengan

Be-landa (17 Agustus 1960).

 Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pa-sukan Garuda II) ke Kongo (10 September 1960).  Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non

Blok (September 1961).  Pembebasan Irian Jaya (1962).  Konfrontasi dengan Malaysia (1963).

 Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging Forces) (1963).

 Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).  Mempraktikkan politik luar negeri yang con-dong ke negara-negara sosialis-komunis (blok timur). Indonesia membuka hubungan poros Jakarta—Peking (Indonesia—RRC) dan poros Jakarta—Pnom Penh—Hanoi—Peking— Pyongyang (Indonesia — Kamboja — Vietnam Utara—RRC—Korea Utara).

Presiden Soekarno dengan politik mercusu-arnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indo-nesia mengambil posisi sebagai pelopor dalam me-mecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia. Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, je-laslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

3. Konfrontasi dengan Malaysia

Rencana pembentukan negara Federasi Malay-sia yang diprakarsai Inggris menimbulkan perso-alan baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indone-sia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Fe-derasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Ing-gris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan federasi itu harus digagalkan.

Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk me-nuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan dilaksanakan dari bulan April - September 1963. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga ne-gara yang membahas masalah pembentukan nega-ra fedenega-rasi Malaysia.

 Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu un-tuk membicarakan masalah pembenun-tukan Fe-derasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan se-lanjutnya.

 1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya) menga-dakan pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk membicara-kan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden Filipina, baik me-ngenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara maupun rencana pem-bentukan Federasi Malaysia.

 Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan ren-cana pertemuan 3 kepala pemerintahan.  Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku

Abdul Rachman menandatangani dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.  Tanggal 3 Juli - 5 Agustus 1963. Kepala

perintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia me-ngadakan pertemuan di Manila. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Per-setujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila du-kungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.  Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi

Malaysia diresmikan, tanpa menunggu hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indo-nesia menuduh Malaysia telah melanggar De-klarasi Bersama.

 Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di

Dokumen terkait