• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2.2 Skala Ozmidov, L O

Skala Thorpe memiliki karakteristik yang hampir sama dengan skala Ozmidov. Pada fluida terstratifikasi, suatu parsel fluida yang bergerak dalam jarak vertikal guna mengubah semua energi kinetiknya menjadi energi potensial, dapat dinyatakan dengan skala Ozmidov (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):

2 / 1 3 O N L       = ε ……...….……. (2.6) di mana ε adalah disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa, dan N adalah frekuensi apung atau frekuensi Brunt Vaisälä.

12

Dillon (1982) menguji hubungan antara skala Thorpe dengan skala Ozmidov, dan menemukan pola:

n T O aL

L = ………...….……. (2.7) dengan koefisien regresi 0,98 untuk n = 0,95. Selanjutnya, dengan melihat bahwa nilai n yang tidak jauh berbeda dengan 1, diperoleh rasio rata-rata konstanta proporsionalitas (Dillon, 1982): 8 , 0 L L a T O = = ………...….……. (2.8) Ferron et al. (1998) menemukan nilai a = 0,95 (±0,6) di zona patahan Romanche. Adapun kajian terakhir yang dilakukan oleh Stansfield et al. (2001) menemukan

LO ≈ 1,06 LT di Selat Juan de Fuca.

2.3 Percampuran Massa Air

Percampuran massa air dapat terjadi baik secara isopiknal ataupun secara diapiknal. Percampuran yang mentransfer properti fluida antarpermukaan isopiknal yang berdensitas konstan disebut dengan percampuran diapiknal, sedangkan percampuran yang mentransfer properti fluida (temperatur dan salinitas) sejajar permukaan isopiknal (tanpa perubahan densitas) disebut dengan percampuran isopiknal. Kendati demikian, percampuran secara diapiknal pada tahap selanjutnya akan menimbulkan ketidakseimbangan medan tekanan, yang pada akhirnya juga menghasilkan collapse dan penyebaran properti fluida secara isopiknal (Thorpe, 2007).

Perairan pesisir atau batas-batas lautan dengan daratan merupakan area- area utama percampuran massa air (Munk, 1966). Gregg (1987) menyatakan bahwa adanya percampuran difusif berkaitan erat dengan disipasi energi, sehingga merupakan implikasi adanya keseimbangan antara transfer energi dan modifikasi massa air. Pada perairan landas benua, di mana terdapat tebing dasar laut, terbentuknya gelombang internal dapat disebabkan oleh meningkatnya intensitas arus yang menuju tebing (Bruno et al., 2006). Dengan menggunakan nilai konstanta proporsionalitas a, maka nilai koefisien difusivitas dari skala Thorpe

13

dapat diperoleh dari persamaan semi empirik, laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε) (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):

3 2 O N L = ε ………...….……. (2.9) Wunsch dan Ferrari (2004) menyatakan bahwa tidak semua energi kinetik turbulen digunakan secara aktual untuk mencampur massa air. Sebagian besar energi kinetik turbulen ini akan terdisipasi oleh gesekan kekentalan. Hanya sejumlah fraksi γ yang digunakan untuk mencampur secara vertikal densitas fluida, dan menaikkan pusat massa. Dengan demikian, koefisien difusivitas vertikal dihitung sebagai (Park et al., 2008):

2

N

Kρ = γε ………...….……. (2.10)

di mana frekuensi buoyancy lokal atau frekensi Brunt Väisälä (N) diturunkan dari profil densitas hasil reorder. Efisiensi percampuran (γ) mengindikasikan efisiensi konversi dari energi kinetik turbulen ke energi potensial sistem, sehingga dapat bervariasi tergantung pada dinamika turbulensi. Fer et al. (2004) menetapkan γ = 0,15 dalam perhitungannya; sedangkan Osborn (1980) menetapkan γ = 0,2.

2.4 Peran Konfigurasi Topografi Perairan dalam Percampuran Massa Air

Pemahaman yang baik terhadap dinamika aliran di atas sistem celah kanal merupakan topik penting bagi kajian iklim dan sirkulasi samudera, di mana percampuran di dekat selat dan ambang memungkinkan adanya transformasi massa air. Sayangnya, kajian observasi di area-area kritis ini belum banyak dilakukan dan masih menggunakan model sirkulasi global dengan resolusi yang kasar, serta banyak penyederhanaan.

Berdasarkan kajian model yang dilakukan Ezer (2006), topografi ambang berperan vital pada percampuran karena turbulensi aliran dan dinamika arus bawah (downstream). Fenomena ini berkaitan dengan sistem kanal sempit dan asosiasinya dengan gesekan dasar dan shear. Pada akhirnya, terdapatnya fenomena percampuran ini juga memungkinkan adanya pertemuan antarmassa air secara tiba-tiba di lokasi tersebut.

14

2.5 Peran Gelombang InternaldanPasut Internal dalam Percampuran Massa Air Pergerakan-pergerakan dengan skala mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa kilometer dalam arah vertikal di lautan biasanya dikaitkan dengan gelombang internal dan turbulensi dalam tiga dimensi (Riley dan Lelong, 2000). Gelombang internal memiliki peran yang sangat penting baik dari sisi oseanografi fisik maupun ekosistem laut, melalui mekanisme seperti percampuran massa air dan transfer bahang dan nutrien kepada lapisan-lapisan yang aktif secara biologis. Fenomena ini dapat mengantarkan pada percampuran massa air, khususnya di mana terdapat interaksi antara gelombang ini dengan topografi, sehingga menghasilkan pantulan dan pecahan gelombang, yang berpotensi bagi redistribusi bahang, garam mineral, maupun nutrien-nutrien (Wallace et al., 2008).

Interaksi antara gelombang internal dengan dasar perairan dapat memicu terpecahnya gelombang, terbentuknya area dengan shear tinggi yang bersifat lokal dan memicu turbulensi; yang mengarah pada terdisipasinya energi gelombang internal tersebut (Polzin et al., 1997). Sehingga, gelombang internal memainkan peranan penting dalam termodinamika lautan. Gelombang internal akan menjalar secara spasial dan mempertukarkan energi dengan gelombang-gelombang lain melalui interaksi-interaksi gelombang non linier. Proses ini menghasilkan transfer energi dari skala besar ke skala kecil (Winters dan D’Asaro, 1997). Proses-proses serupa juga banyak dijumpai pada perairan landas benua (New, 1988; Rippeth dan Inall, 2002).

2.6 Percampuran Massa Air Arus Lintas Indonesia

Massa air Pasifik Barat bagian tengah dan tropis atau yang biasa disebut dengan massa air subtropis bawah (subtropical lower water) dikarakterisasi oleh salinitas maksimum yang dangkal (Wyrtki, 1961). Massa air Pasifik ini masuk ke lautan Indonesia sebagai bagian dari arus lintas Indonesia (Arlindo), di mana salinitas maksimumnya mengalami reduksi, dan bahkan di beberapa lokasi tidak ditemukan (Gordon, 1986). Modifikasi massa air dari Pasifik barat secara kuantitatif merupakan representasi dari percampuran vertikal. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan model adveksi-difusi memverifikasi peran percampuran

15

vertikal ini dan menemukan bahwa lautan Indonesia secara spesifik didominasi oleh massa air Pasifik Barat bagian utara, meskipun pada beberapa lokasi seperti di perairan Halmahera bagian timur, Seram, dan Banda dijumpai pula massa air Pasifik Selatan. Jalur utama Arlindo adalah melalui perairan sebelah barat, yakni Laut Sulawesi, Laut Makassar, dan Laut Flores.

Reduksi massa air salinitas maksimum Pasifik Barat berkaitan dengan efektivitas fluks salinitas cross-isopycnal. Berger et al. (1988) mengestimasi pada slope dan ambang di lautan Indonesia sebesar 5 x 10-3 m2 s-1. Ffield dan Gordon (1992) menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk mengestimasi nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m2 s-1. Hatayama (2004) menggunakan pemodelan numerik dan menghasilkan nilai maksimum difusivitas vertikal sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 di ambang Dewakang. Adapun Koch- Larrouy et al. (2007) menemukan rata-rata difusivitas vertikal perairan kepulauan Indonesia sebesar 1,5 x 10-4 m2 s-1 menggunakan model pasang-surut. Suteja (2011) mengidentifikasi difusivitas vertikal rata-rata berdasarkan data observasi di Selat Ombai sebesar 7,56 x 10-2 m2 s-1.

17

Dokumen terkait