• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari skema 3 tersebut di atas dijelaskan bahwa perkawinan sirri yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (dinyatakan sah) dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan

Perkawinan Sirri Anak Itsbat Nikah + Tes DNA

Perkawinan Sah dan Dicatatkan =

Anak Sah

Hubungan Perdata Ibu dan Ayah

Hak Keperdataan Penuh

Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan tertapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, atau hanya sekedar memastikan status dari anak tersebut, maka perlu untuk dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.

Dari ketiga skema tersebut diatas, Jika menghadapi kasus seperti ini penulis lebih sepakat untuk menggunakan skema 3, karena selain perkawinan sirri yang harus dicatatkan agar mempunyai kekuatan hukum dan hak-haknya terjamin, anak tersebut juga harus dipastikan mempunyai hubungan darah dengan orangtuanya terlebih ayah biologisnya. Hal tersebut nantinya berimplikasi terhadap perwalian anak tersebut jika anak tersebut perempuan dan hukum harus memastikan bahwa anak tersebut benar-benar mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya supaya tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

5.1 Simpulan

Berdasarakan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab 4 diatas, maka pada penulisan skripsi ini yang berudul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI”, pada bab 5 ini penulis mengambil simpulan sebagai berikut:

1. Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah, karena dalam pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang telah dianjurkan oleh agama Islam sebagai mana sesuai dengan bunyi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabilla dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dari bunyi Pasal diatas jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat administratif sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Implikasi dari tidak dicatatkannya perkawinan kedua orang tuanya itu maka status anak yang lahir dari perkawinan sirri tersebut statusnya menjadi anak luar kawin.

2. Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama jika dinyatakan sah maka barulah kemudian dilakukan pencatatan perkawinan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut, maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan tertapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, dan untuk memperkuat status hubungan darah anataara seorang ank dengan ayah biologisnya maka harus dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga ayahnya. Dan hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.

5.2 Saran

1. Perkawinan sirri tersebut pada dasarnya memang suatu perkawinan yang sah menurut pandangan hukum positif, akan tetapi tidak dicatatkannya perkawinan sirri tersebut berdampak kepada status hukum dari anak tersebut yang tidak jelas dan kabur terkait masalah pembuktiannya. Alangkah lebih baik dan bijaknya jika kita mensinergikan apa yang telah diatur di dalam agama dan kepercayaan kita dengan peraturan hukum

positif yang berlaku di Negara kita. Jadi kita sepatutnya melaksanakan perkawinan sesuai aturan agama dan kepercayaan yang kita anut dan setelah itu kita catatkan agar hak-hak yang kita dapatkan benar-benar terpenuhi dan mempunyai landasan hukum yang jelas.

2. Bagi Penagdilan Agama, dalam menangani hal tersebut dia atas hendaknya lebih cermat, karena walau bagaimanapun juga jika menyangkut masalah perkawinan dampaknya bukan hanya kepada seorang laki-laki dan seorang perembuan semata tetapi jauh lebih kompleks lagi dari pada hal tersebut, terutama anak, anak tersebut harus mendapatkan kejelasan status hukumnya karena secara tidak langsung hal tersebut menyangkut perkembangan anak tersebut.

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang.

Afandi, Ali. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta

akan Hak-Hak Konstitusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi. Bandung PT.Citra Aditya Bakti

Daulay,Ikhsan Rosyada Perluhutan. 2006. MAHKAMAH KONSTITUSI Memahami Keberadaannya Dalam System Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta

Effendi, Soekan dan Erniati. 1997. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. I. Surabaya: tp.

Handikusumo, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Hosen, Ibrahim. 1971. Fiqh perbandingan dalam masalah nikah, thalaq, rudjuk dan hukum kerwarisan. Jakarta: Yayasan Ihja 'Ulumiddin Indonesia.

Kanan , Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad. 2007. Ushulul Muasyarotil. Zaujiyah - Tata Pergaulan Suami Isteri. Jogjakarta: Maktab al-Jihad.

Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Prograsif

Ramulyo, MohammadIdris. 1996. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Soekanto, Sarjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta :Universitas Indonesia (UI-Press).

Soemitro, Rony Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia

Soimin. Soedaryo, 1992. Hukum orang dan keluarga : Perspektif hukum perdata barat/BW-hukum islam dan hukum adat. Jakarta: Sinar Grafika

Sutiyoso, Bambang. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman kepada Public. Jakarta: Sinar Grafika

Syukur, Aswadi. 1985. Intisari Hukum Perkawinan Dan Keluarga Dalam Fikih Islam. Surabaya: PT.Bina Ilmu.

Dari Undang-Undang:

Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Makalah Seminar

Mochtar, M. Akil. PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS. disampaikan pada Pendidikan Sespati Polri dan Pasis Sespim Polri, Lembang, 2009.

Rasyid, Chatib. ANAK LAHIR DILUAR NIKAH (SECARA HUKUM) BERBEDA DENGAN ANAK HASIL ZINA Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012. Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, IAIN Walisongo, Semarang, 2012.

Retrieval KSP “Principium”, Vol. 4 No.1, Oktober, 2012. Web

http://www.pa-semarang.go.id http://www.pa-kotabumi.go.id

Dokumen terkait