• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Data Mengenai Pelayanan Resep

1. Skrining resep

a. Skrining persyaratan adminitratif 1) Nama, SIP dan alamat dokter 2) Tanggal penulisan resep

3) Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep

4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien 5) Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta

6) Cara pemakaian yang jelas 7) Informasi lainnya

b. Skrining kesesuaian farmasetik

Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

c. Skrining pertimbangan klinis

Adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu mengunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

2 Penyiapan obat meliputi a. Peracikan:

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah.

Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

b. Pengetiketan

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. c. Pengemasan obat

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

d. Penyerahan obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

e. Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

f. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan atau perbekalan kesehatan lainnya.

Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

g. Monitoring obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

E. Prosedur Tetap

Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar apotek seharusnya memiliki prosedur tetap. Manfaat dari prosedur tetap adalah:

1 untuk memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; 2 adanya pembagian tugas dan wewenang;

3 memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di apotek;

4 dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; 5 membantu proses audit.

Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: 1 tujuan : merupakan tujuan protap.

2 ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

3 hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

4 persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.

5 proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.

6 sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.

(Anonim, 2004a)

Pelaksanaan proses pengorganisasian yang sukses akan membuat suatu organisasi dapat mencapai tujuannya. Proses ini tercermin pada struktur organisasi, dimana mencakup aspek-aspek penting organisasi dan proses pengorganisasian. Dalam pengelolaan apotek yang baik, organisasi yang mapan merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung keberhasilan suatu apotek. Oleh karena itu dibutuhkan adanya garis wewenang dan tanggung jawab yang jelas dan saling mengisi, disertai dengan job description yang jelas pada masing-masing bagian di dalam struktur organisasi tersebut.

Struktur organisasi apotek dapat digambarkan sebagai berikut:

Kasir Juru Resep

Karyawan Pembantu

Apoteker Pengelola Apotek (APA) Pemilik Sarana Apotek (PSA)

Tata Usaha Asisten Apoteker Pelayanan dan Peracikan

resep

Petugas Gudang Apoteker Pendamping

Bendahara

Gambar 1. Struktur organisasi apotek

F. Konseling dan Monitoring

Secara umum konseling adalah suatu teknik, ketrampilan yang digunakan untuk membantu seseorang untuk mengatasi masalah mereka dengan menggunakan sumber daya dari dirinya sendiri. Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan (Anonim, 2004a).

Dalam pelayanan obat di apotek, konseling sangat dibutuhkan terutama dalam proses menjelaskan obat yang diberikan. Hal ini perlu dilakukan karena

secara umum konsumen apotek sangat heterogen. Keanekaragaman konsumen tidak hanya terbatas dari sisi umur, tetapi juga dari sisi pengetahuan, pendidikan, daya tangkap, ekonomi, dan lain-lain.

Hal tersebut diatas membutuhkan kepekaan dari petugas dalam memahami dan melayani konsumen agar mereka merasa diperhatikan dan diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, apoteker perlu mempunyai kemampuan terutama dalam memberikan konseling. Kemampuan tersebut antara lain:

a. mendengarkan secara aktif serta kemampuan komunikasi yang efektif.

Komunikasi, baik verbal maupun non verbal, menjadi kunci utama dalam memberikan layanan yang bersifat tatap muka langsung. Dalam kaitannya dengan layanan obat, petugas tidak hanya harus mampu mengkomunikasikan cara memakai obat, dosis yang harus diminum, efek samping, dan lain-lain, tetapi juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk bertanya apakah ada hal-hal yang belum jelas. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk bertanya adalah suatu langkah yang bijaksana mengingat konsumen apotek yang beraneka ragam dan mempunyai daya tangkap yang berbeda-beda.

b. menghormati pelanggan dan masalahnya. Sikap ini sangat dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa konsumen adalah orang yang penting, sehingga mereka pantas dihormati dan dilayani dengan baik.

c. menunjukkan rasa empati. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsumen apotek adalah konsumen yang sedang mempunyai masalah kesehatan baik

dirinya sendiri maupun keluarga, sehingga sikap yang ramah dan empatik akan membantu konsumen dalam menghadapi masalahnya.

d. tunjukkan ketulusan dalam memberikan konseling. Dalam mendapatkan pelayanan konsumen akan merasakan apakah petugas melakukan dengan tulus atau sekedar formalitas. Petugas perlu memberikan waktu ekstra kalau memang diperlukan sehingga konsumen merasa betul-betul dilayani dengan baik (Anonim, 2004c)

Monitoring dapat dilakukan dengan mempelajari secara seksama data-data medik, proses pengobatan dan tujuan terapi, melakukan kunjungan rutin dan berkomunikasi secara aktif atau melakukan telepon untuk mengetahui kemajuan terapi pasien dan mendeteksi kemungkinan timbulnya masalah baru dalam terapi obat, melakukan pencatatan tentang perubahan yang meliputi kesesuaian hasil terapi dengan tujuan terapi, perubahan terapi maupun masalah yang timbul, melakukan penilaian dan perencanaan kembali terapi obat pasien jika ditemukan masalah baru, dan mendokumentasikan seluruh kegiatan dengan selalu menjaga kerahasiaan pasien (ISFI, 2004).

Menurut standar pelayanan kefarmasian di apotek dalam Kepmenkes No. 102/MENKES/SK/IX/2004, Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis. Dalam melakukan aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

G. Peran Apoteker

Peran profesi apoteker telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam dua puluh tahun terakhir ini dengan berkembangnya ruang lingkup pelayanan kefarmasian. Peran profesi apoteker yang digariskan oleh WHO (1997) yang dikenal dengan the seven stars of pharmacist meliputi:

1. care-giver

Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis analisis, teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. decision-maker

Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefisienan dan biaya efektif terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur pelayanan, dll. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pelatihan dan pendidikan yang diperlukan.

3. communicator

Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan

berkomunikasi yang baik meliputi komunikasi verbal, nonverbal mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai kebutuhan.

4. leader

Apoteker diharapkan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola keputusan.

5. manager

Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih lanjut lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. life-long learner.

Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan ketrampilannya selalu baru ( up-date ) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. teacher

Apoteker memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan melatih generasi mendatang dengan tidak hanya membagi ilmu pengetahuan satu sama lain, tetapi juga dalam kesempatan dalam memperoleh ilmu pengetahuan baru dan peningkatan

Fungsi pelayanan apoteker di farmasi komunitas pada saat ini seperti di negara maju seperti di Amerika Serikat lebih ditekankan pada edukasi terhadap pasien serta pemberian informasi yang tepat guna tentang khasiat, efek samping obat, peringatan-peringatan yang terkait dengan penggunaan obat, aturan pakai, dan cara pemakaian obat. Pemantauan serta penilaian terhadap hasil pengobatan, juga telah menjadi bagian dari pelayanan apoteker. Dengan demikian pelayanan apoteker mengalami perubahan dari drug oriented menjadi patient oriented (Donatus, 2000).

Peranan apoteker menurut fungsi apotek dibagi menjadi dua. Pertama, yaitu sebagai unit kesehatan (non profit oriented). Apotek berfungsi memberikan pelayanan kesehatan dengan menyediakan sediaan farmasi dan alat kesehatan di bawah tanggung jawab apoteker. Seorang apoteker dalam menjalankan fungsi apotek harus mengutamakan kepuasan konsumen (custumer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan kelengkapan sediaan obat dan barang yang dijual di apotek agar diusahakan tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan (Anief, 1995).

Kedua, yaitu sebagai sarana bisnis (profit oriented). Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberikan keuntungan. Apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer dengan bekal ilmu manajerial yang dimilikinya (Anief, 1995).

H. Apoteker Sebagai Suatu Profesi

Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi wewenang guna pemberian layanan kepada konsumen atau kliennya.

Profesi dapat dikaji dari dua hal berikut (Harding dkk, 1993), yaitu: 1. memiliki ciri atau karakteristik tertentu

2. memiliki peran atau fungsi sosial dalam masyarakat

Menurut Harding dkk (1993), gambaran inti dari profesi adalah sebagai berikut ini: 1. ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan jangka panjang (specialized

knowledge and lengthy training) yaitu bahwa suatu profesi memerlukan pendidikan/ pelatihan dalam jangka waktu tertentu/ lama, pengetahuan yang diterimanya bersifat sangat khusus dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi. 2. monopoli dalam praktek (monopoly of practice) yaitu bahwa hanya anggota

profesi yang berwenang untuk melakukan profesi tersebut, dan bagi yang tidak berwenang dianggap ilegal.

3. pengaturan diri (self regulation) yaitu bahwa suatu profesi berwenang untuk mengatur dirinya sendiri, namun dalam hal ini harus tetap dapat menerima atau menghargai pendapat dari pihak lain.

4. orientasi pelayanan (serve orientation) yaitu bahwa suatu profesi harus bekerja demi kepentingan klien, dan tidak semata-mata demi kepentingan pribadi.

Menurut ISFI (2003) profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatang jelas.

2. pendidikan khusus berbasis ”keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki himpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memiliki kode etik keprofesian.

6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. mroses pembelajaran seumur hidup.

8. mendapat jasa profesi.

Ciri-ciri profesi menurut Hartini dan Sulasmono, 2006:

1. unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain atau bidang yang berbeda.

2. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan mementingkan kepentingan orang lain).

3. telah mengucapkan sumpah. 4. memiliki kode etik.

5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992).

6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain).

8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional. 9. Bersifat otonomi dan independensi.

10. mertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita.

11. confidential relationship dalam pelayanannya (Sulasmono, 1997).

Berikut ini beberapa definisi tentang profesionalisme (Harding dkk, 1993): 1. suatu dasar kecendikiawanan untuk mempraktekkan suatu seni khusus. 2. suatu derajad kesejawatan yang tinggi.

3. suatu derajad kemerdekaan yang tinggi dalam mempraktekkan sesuatu sesuai pengetahuan dan keputusan praktisi.

4. suatu hubungan universal antara praktisi dan klien atas dasar kepercayaan yang tinggi.

5. suatu praktek yang sesuai dengan kode etik, dimana finansial adalah sekunder, komersialisme tidak ada dan aktifitas non profesional dikurangi.

I. Standar Profesi

Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petuntuk dalam menjalankan profesi secara baik. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan di dalam pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pada pasal 21 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi kesehatan dan pada ayat (2) disebutkan bahwa standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri. Pasal 24 ayat (1) dijelaskan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.

Penjelasan pasal 50 Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa yang dimaksud standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and profesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.

J. Keterangan Empiris

Peran Apoteker Pengelola Apotek selama ini dianggap banyak kalangan belum optimal, karena kehadirannya di apotek kurang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya ketika hadir di apotek, khususnya dalam pelayanan resep.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksploratif dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian eksploratif adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan-hubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas dan kompleks. Penelitian ini bertujuan pula untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya (Mardalis, 2006). Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang terjadi atau ada. Penelitian ini tidak untuk menguji hipotesis atau tidak mempergunakan hipotesis, melainkan mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti tanpa dianalisis/ non analitik (Mardalis, 2006).

B. Batasan Operasional Penelitian

1. Peran adalah kegiatan yang diharapkan dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek.

2. Pelayanan resep adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian yang berkaitan dengan resep yang mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

3. Persepsi merupakan gambaran subyektif internal seseorang dalam bentuk pendapat, harapan, dan lain-lain terhadap suatu hal yang dilihat, diduga, dan atau dirasakan. Persepsi dalam penelitian ini merupakan gambaran subyektif internal APA di Kota Yogyakarta terhadap perannya dalam pelayanan resep selama di apotek.

C. Bahan Penelitian

Bahan penelitian ini adalah data yang terkumpul dari hasil pengisian kuisioner oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) di apotek Kota Yoyakarta.

D. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini berupa angket/ kuisioner yang berisi:

1. deskripsi karakteristik apotek 2. deskripsi karakteristik APA

3. deskripsi mengenai persepsi peran APA dalam pelayanan resep di apotek selama kehadirannya di apotek

E. Tata Cara Pengumpulan Data 1. Penyusunan pertanyaan kuisiner

Kuisioner merupakan suatu instrumen pengumpul data dalam penelitian sosial. Dengan kuisioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden ( orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).

Kuisiner yang digunakan dalam penelitian ini memuat sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Kota Yogyakarta. Pertanyaan disusun dengan mengacu pada keputusan menteri kesehatan nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, terutama pelayanan resep.

2. Pengukuran validitas

Suatu alat ukur dikatakan valid (benar atau sahih) jika alat ukur tersebut tepat untuk mengukur konsep atau variabel yang diukur (Adi, 2004). Pengukuran validitas dari penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan dari beberapa orang yang dianggap berpengalaman, yaitu dosen pembimbing dan beberapa dosen fakultas farmasi yang bekerja di apotek kemudian dilakukan uji percontohan kepada beberapa Apoteker Pengelola Apotek di kabupaten Sleman.

3. Menentukan besarnya populasi

Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, tumbuhan, gejala atau peristiwa sebagai sumber data yang merupakan karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 1995). Berdasarkan data yang di peroleh dari Dinas Kesehatan, jumlah apotek di Kota Yogyakarta pada bulan Juni 2006 adalah 114 apotek. Penelitian ini menggunakan sampel yaitu seluruh Apoteker Pengelola Apotek yang ada di Kota Yogyakarta.

4. Penyebaran kuisioner

Penyebaran kuisioner dilakukan dengan memberikan kuisioner langsung kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk diisi atau dititipkan di apotek untuk diisi

apoteker kemudian. Penyebaran kuisioner dilakukan pada bulan Juni dimulai pada tanggal 14.

Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, diketahui bahwa jumlah apotek di Kota Yogyakarta adalah sebanyak 114 apotek. Namun ada sebagian apotek yang telah tutup karena rusak akibat gempa yaitu sebanyak 12 apotek. Ada 17 apotek yang menolak untuk menerima kuisioner. Kuisioner yang disebarkan sebanyak 83 buah tetapi tidak semua Apoteker Pengelola Apotek (APA) bersedia untuk menjadi responden.

5. Pengumpulan kuisioner

Pengumpulan kuisioner dilakukan secara langsung atau satu minggu setelah penyebaran kuisioner. Pengumpulan kuisioner ini selesai sampai tanggal 31 Juni 2006. Dari jumlah tersebut kuisioner yang dikembalikan sebanyak 58 buah. Sampel yang digunakan adalah seluruh Apoteker Pengelola Apotek (APA) pada apotek yang masih buka dan bersedia mengisi kuisioner.

6. Melakukan tabulasi data

Tabulasi dilakukan dengan cara melakukan perhitungan jawaban kuisioner dari responden yang telah mengisinya, kemudian mengelompokkan masing-masing jawaban tersebut dan menghitung persentasenya.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan metode statistik-deskriptif dengan hasil dalam bentuk persentase. Jawaban yang sama dikelompokkan dan

dijumlahkan lalu dipersentase dengan jumlah total 100%. Data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

G. Kesulitan Penelitian

Terdapat beberapa kesulitan pada penelitian ini, yaitu kurangnya partisipasi responden pada uji validitas, sehingga berpengaruh pada jawaban responden pada saat pengambilan data. Juga pada saat penyebaran kuisioner peneliti tidak bisa mendampingi setiap responden sehingga ada kemungkikan kuisioner tidak diisi sendiri oleh apoteker pengelola apotek.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dari 58 responden diolah dengan metode statistik-deskriptif dimana jawaban yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk diagram dan tabel. Berikut adalah hasil dari perhitungan data.

A. Karakteristik dari Apotek dan APA

Karakteristik dari apotek meliputi pemilik sarana apotek, bentuk kepemilikan apotek, lama rata-rata apotek buka per hari, jumlah hari buka apotek selama seminggu, ada tidaknya prosedur tetap, ada tidaknya job description tertulis, jumlah lembar resep rata-rata tiap bulan, jumlah AA, jumlah tenaga lain yang bukan tenaga kefarmasian, dan jumlah dokter praktek yang ada di apotek.

Karakteristik dari Apoteker Pengelola Apotek (APA) meliputi usia, pengalaman bekerja sebagai apoteker di apotek, penuh tidaknya bekerja sebagai APA, ada tidaknya pekerjaan lain disamping sebagai APA, punya tidaknya Apoteker Pendamping, jumlah hari bekerja di apotek selama seminggu, dan lama berada di apotek perhari kerja.

1. Pemilik sarana apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek, pada pasal 2

disebutkan bahwa fungsi apotek adalah sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. Pasal 3 menyatakan bahwa apotek dapat diusahakan oleh:

a. lembaga atau instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan di daerah;

b. perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah;

c. apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/PER/X/2002 menyebutkan bahwa untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau pihak lain.

Kerja sama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dapat dibedakan menjadi 2 bentuk kerja sama yaitu satu apoteker ikut menyertakan modal dan dua apoteker sebagai APA tetapi tidak ikut menyertakan modal. Kerja sama bentuk yang kedua ini apoteker dapat dianggap sebagai karyawan yang bekerja untuk pemilik sarana apotek. Apoteker yang tidak ikut dalam penyertaan modal dalam pendirian apotek ada kemungkinan mendapat pengaruh atau tekanan dari pemilik sarana apotek dalam pengambilan keputusannya. Keikutsertaan PSA dalam pengambilan keputusan

Dokumen terkait