• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian .1Alat penangkapan ikan

5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan

Masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara yang bergerak di sektor perikanan rata-rata kualitas sumberdaya manusianya masih rendah. Umumnya mereka mengelola usaha perikanan bersifat turun temurun dan hanya mengandalkan kemampuan fisik. Tingkat pendidikan bukan merupakan keharusan untuk menjadi nelayan, namun terpenting bagi mereka memiliki kemauan dan motivasi kerja. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap adopsi teknologi dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Akibatnya nelayan di Kabupaten Halmahera Utara masih tetap menggunakan bom ikan sesuai dengan kebiasaan yang turun-temurun dari generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Boeke (1983, bahwa aktivitas ekonomi masyarakat nelayan senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional. Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar

“prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya

diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian

semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented).

Selanjutnya, Boeke (1983) menyatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat desa yang tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka, tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.

Nelayan di Kecamatan Kao utara termasuk nelayan sambilan utama. Oleh karena itu, karakteristik usaha nelayan di lokasi penelitian ini masih tergolong skala kecil dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kehidupan masyarakat pada 3 desa ini masih bersifat tradisional dan memiliki budaya yang lebih mengagungkan orang yang lebih tua, dan sistem kekerabatan yang masih kuat berdasarkan adat istiadat setempat. Gaya hidup yang cenderung tradisional masih terlihat di Desa Bori. Dalam menjalankan kehidupannya, rata-rata masyarakat pada 3 desa ini memiliki lahan kebun yang ditanami berbagai tanaman. Tanaman yang sangat dominan di areal kebun masyarakat adalah kelapa, yang dipanen dan diolah menjadi kopra setiap 4 bulan sekali. Untuk kebutuhan makan setiap harinya, masyarakat 3 desa ini disamping membeli beras, sebagian juga mengusahakan dari hasil dari kebun seperti sagu, pisang, singkong, ubi, dan padi ladang. Untuk kebutuhan konsumsi ikan, masyarakat 3 desa dapat membeli dari anggota masyarakat desa yang menangkap ikan, atau melakukan penangkapan ikan sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam sehari, jumlah tangkapan yang dicari hanya sebatas untuk dikonsumsi harian, dan apabila lebih, dapat dijual kepada anggota masyarakat lainnya atau ke pedagang pengumpul.

Aspek sosial lainnya yang menggambarkan karektersitik masyarakat nelayan Kecamatan Kao Utara, yaitu umur, pendidikan dan pendapatan. Sebagian besar nelayan di ke-3 desa berkisar antara 40- 60 tahun. Tingkat umur responden

mayoritas antara 40-60 tahun, menunjukan profesi di sektor perikanan sebagai nelayan tidak menarik bagi kaum muda. Usaha perikanan yang memerlukan modal dan resiko tinggi menyebabkan kaum muda di tiga desa tersebut lebih memilih pekerjaan sebagai buruh di perkebunan, pelabuhan dan tukang ojek.

Salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak (Purna, 2000). Akibatnya nelayan kaum muda menganggap bahwa profesi sebagai nelayan tidak menantang dan tidak menarik. Realitas lingkaran kemiskinan nelayan yang mereka amati kaum muda juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sektor kelautan dan perikanan ini menjadi tidak menarik.

Tingkat pendidikan tertinggi masyarakat nelayan (responden) adalah tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masih di tingkat menengah ke bawah, bahkan banyak yang tidak sekolah. Kondisi ini menggambarkan bahwa SDM di ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih rendah. Begitu banyaknya nelayan tidak sekolah, menunjukkan pendidikan bagi ke tiga desa tersebut merupakan kebutuhan primer yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pada kondisi dewasa ini, biaya yang dibutuhkan untuk bersekolah pada tingkatan yang lebih tinggi memerlukan biaya cukup besar. Sehingga hal ini bisa dipahami, mengingat rata-rata pendapatan responden di tiga desa lokasi penelitian sangat rendah yaitu antara Rp.800.000.- hingga Rp.1.350.000.- perbulan.

Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip

ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuanyang rendah dari para pelakunya.

Faktor-faktor sosial budaya masyarakat nelayan yang berpengaruh terhadap pelestarian kemampuan sumber daya perikanan laut antara lain adalah sikap menyatu dengan alam atau pasrah, hal ini menyebabkan perkembangan sumber daya perikanan tidak seimbang dengan pemanfaatan perikanan oleh nelayan yang sebagian besar masih menggunakan alat tangkap bom ikan. Sedangkan apabila menggunakan alat tangkap moderen dan sikap ingin memanfaatkan sumber daya perikanan semaksimal mungkin, hal ini mungkin akan menurunkan kemampuan sumber daya perikanan yang ada. Tindakan atau kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan oleh nelayan dan petani kecil guna meningkatkan taraf hidup mereka tanpa merusak kemampuan dan kelestarian sumber daya perikanan dan sumber daya alam lainnya di wilayah pantai adalah melalui izin usaha perikanan yang diberikan kepada para pengusaha. Langkah operasional Pemerintah Daerah untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas sumber daya manusia dan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup serta pemahaman nelayan dalam bidang usahanya adalah dilakukan dengan penyuluhan-penyuluhan melalui tenaga lapangan yang ada (PPL Perikanan). Di samping hal tersebut juga para nelayan disarankan untuk masuk menjadi anggota Koperasi Unit Desa Perikanan. Keuntungannya adalah demi kelancaran pemasaran dan stabilnya harga serta yang tak kalah pentingnya adalah para nelayan dapat menikmati SHU (sisa hasil usaha) dalam bentuk uang yaitu pada masa nelayan dalam keadaan paceklik.