• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Spektrofotometri Ultraviolet-Visible (UV-Vis)

Spektrofotometri adalah metode pengukuran yang didasarkan pada interaksi cahaya dengan materi. Suatu alat yang mengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet - visible yang diserap oleh sampel disebut spektrofotometer ultraviolet - visible. Ultraviolet berada pada panjang gelombang 200 − 400 nm, sedangkan visibel berada pada panjang gelombang 400 − 800 nm

(Dachriyanus, 2004).

Spektrofotometer ini merupakan peralatan yang berbiaya murah sampai sedang dan mempunyai kepekaan analisis cukup tinggi. Karena luasnya ragam bahan farmasi dan bahan biokimia yang menyerap radiasi ultraviolet - visible,

10

maka metode ini banyak dipakai dalam analisis farmasi dan analisis klinik (Munson, 1984).

Dasar analisis kuantitatif senyawa obat dengan spektrofotometri ultraviolet - visible adalah hukum Lambert – Beer. Menurut hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari, sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi. Kedua pernyataan ini dapat disimpulkan menjadi satu dalam hukum Lambert-Beer, yaitu serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel (Day dan Underwood, 1980; Roth dan Blaschke, 1981). Absorbansi senyawa yang akan dianalisis terbaca oleh spektrofotometer hendaknya berada pada rentang 0,2 − 0,8 (Gandjar dan Rohman, 2007). Dengan persamaan :

Keterangan:

A11 = serapan larutan (1% b/v) dalam kuvet 1 cm A = serapan yang diukur

b = ketebalan kuvet dalam (cm) c = konsentrasi larutan (g/100 mL)

Penyerapan energi oleh molekul terjadi jika suatu molekul dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga energi molekul tersebut ditingkatkan ke level yang lebih tinggi. Perpindahan energi dari suatu tingkat ke tingkat lain disebut transisi. Transisi-transisi elektronik yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi

sigma-sigma star (σ →σ*

); transisi n – sigma star (n →σ*

); transisi n – phi star (n →π*

) dan transisi phi-phi star (π→π*

) (Gandjar dan Rohman, 2007).

A = A

11

.b.c

11 1.Transisi sigma-sigma star (σ →σ*

)

Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak diantara UV vakum (kurang dari 180 nm) sehingga kurang bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometer ultraviolet – visible.

2. Transisi n – sigma star (n →σ*

)

Energi yang diperlukan untuk transisi ini lebih kecil dibanding transisi σ → σ*

sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang yang lebih panjang, yaitu sekitar 150-250 nm.

3. Transisi n – phi star (n →π*

)

Transisi ini sama seperti transisi π → π*

yaitu mencakup sebagian besar senyawa organik. Energi yang diperlukan untuk transisi ini dalam daerah 200-700 nm. Dengan bertambahnya kepolaran pelarut, pada transisi ini bentuk puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek (hipsokromik). 4.Transisi phi-phi star (π→π*

) Bedanya dengan transisi n → π*

pada efek pelarut, dimana transisi ini bentuk puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih panjang (batokromik) dan merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis dengan cara spektrofotometer ultraviolet – visible, sebab memiliki panjang gelombang antara 200-700 nm (Khopkar, 1985; Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.1 Instrumentasi Spektrofotometri Ultraviolet - Visible (UV-Vis)

Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet - visible terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang

12

200 – 800 nm (Cairns, 2004). Suatu diagram sederhana spektrofotometer Ultraviolet - Visible ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Diagram spektrofotometer ultraviolet - visible 1. Sumber cahaya

Sumber cahaya atau lampu yang digunakan adalah dua lampu terpisah yang digunakan secara bersama-sama, yang mencakup seluruh daerah ultraviolet - visible. Untuk senyawa yang menyerap pada daerah ultraviolet diperlukan lampu deuterium sedangkan untuk senyawa yang menyerap pada daerah visible digunakan lampu tungsten (Cairns, 2004). 2. Celah

Celah dibuat dari logam yang kedua ujungnya diasah dengan sama (Mulja dan Suharman, 1995).

3. Monokromator

Cahaya yang digunakan harus monokromatis, yaitu cahaya dengan satu panjang gelombang tertentu. Cahaya monokromatis ini didapat dengan melewatkan cahaya polikromatis pada sebuah monokromator (Cairns, 2004).

4. Tempat sampel

Kuvet yang digunakan untuk tempat sampel pada pengukuran didaerah ultraviolet - visible biasanya terbuat dari silika atau glas (Cairns, 2004).

13 5. Detektor

Peranan detekor adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1985).

2.4.2 Metode Umum Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen

Beberapa penelitian yang telah menetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dengan metode umum dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Metode Umum Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen

Berdasarkan Tabel 2.1 diatas penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dengan KCKT dilakukan oleh Damayanti, dkk., (2003); Tuani, dkk., (2014); Battu dan Reddy, (2009). Penggunaan KCKT relatif lebih mahal dan memerlukan tahap pemisahan sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Giri dan Tripathi, (2010) menggunakan metode spektrofotometri UV untuk penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dengan pelarut etanol 99%. Dibandingkan dengan pelarut metanol-air, pelarut etanol 99% menghasilkan spektrum senyawa yang tidak tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih.

Senyawa Metode Pelarut / Fase gerak Referensi

Parasetamol dan Ibuprofen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Asetonitril : dapar fosfat pH 4,5 (75:25) Damayanti, dkk., (2003) Parasetamol dan Ibuprofen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Asetonitril: dapar fosfat pH 7 (60:40) Battu dan Reddy, (2009) Parasetamol dan Ibuprofen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Metanol : dapar fosfat pH 3 (80:20) Tuani, dkk., (2014) Parasetamol dan Ibuprofen spektrofotometri UV dengan λ parasetamol 248 nm dan ibuprofen 220 nm

etanol 99,9% Giri dan

14 2.5 Spektrofotometri Derivatif

Spektofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektrum serapan pada spektrofotometri ultraviolet - visible. Dimana spektrum serapan ditransformasikan menjadi spektrum derivatif pertama, kedua atau spektrum derivatif dengan orde yang lebih tinggi (Ditjen POM, 1995).

Metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk analisis kuantitatif senyawa dalam campuran yang spektrumnya mungkin tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih dengan mengabaikan proses pemisahan zat yang bertingkat-tingkat (Nurhidayati, 2007).

Penentuan derivatif adalah dengan cara menggambarkan selisih serapan dua panjang gelombang (∆A=Aλ 21) terhadap harga rata-rata dua panjang

gelombang tersebut

Pada prinsipnya semua spektrum yang dihasilkan oleh semua spektrofotometer ultraviolet − visible jenis apapun dapat diturunkan spektrum derivatifnya secara manual maupun otomatis (Mulja dan Suharman, 1995). Profil penurunan spektrum derivatif dari spektrum serapan normal sampai derivatif keempat dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4. Profil penurunan spektrum derivatif dari spektrum serapan normal sampai derivatif keempat (a). serapan normal (b). Derivat 1 (c). Derivat 2 (d). Derivat 3 (e). Derivat 4 (Mulja dan Suharman, 1995). λ1 + λ2 2

λ

m = e d c b a

15

Efek yang tidak diinginkan dari proses derivatisasi adalah terjadinya perubahan bentuk spektrum yang kurang halus, untuk mengurangi hal tersebut dapat dilakukan dengan teknik penghalusan (smoothing) yaitu perubahan bentuk spektrum pada derivat yang sama dengan Δλ yang berbeda. Penentuan Δλ

diperoleh berdasarkan pada sampling interval pada program. Semakin meningkatnya Δλ maka spektrum akan semakin halus. Jika terlalu kasar, maka sulit untuk menentukan serapan sebenarnya, sedangkan jika terlalu halus, maka informasi yang diperlukan dapat berkurang karena adanya distorsi spektrum. Apabila distorsi spektrum terjadi, maka terjadi penurunan tinggi puncak, sedangkan lebar puncak akan meningkat (Skujins dan Varian, 1986).

2.5.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Spektrofotometri Derivatif Spektrofotometri derivatif menawarkan berbagai kelebihan yaitu :

1. Spektrofotometri derivatif ditekankan pada gambaran struktur yang lembut terhadap spektrum serapan derivatif. Gambaran ini lebih jelas bila meningkat dari derivatif pertama sampai ke derivatif keempat (Munson, 1984).

2. Dapat dilaksanakan analisis kuantitatif satu komponen dalam suatu campuran yang rumit (Munson, 1984).

3. Selain itu, metode ini juga memberikan beberapa keuntungan seperti menghemat waktu dan biaya, karena penentuan zat dalam contoh dapat dilakukan secara sederhana dan cepat (Munson, 1984).

4. Bila dibandingkan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), metode spektrofotometri derivatif tidak memerlukan tahap pemisahan dan alat yang digunakan relatif lebih murah (Ojeda dan Rojas, 2013).

16

Kekurangan dari metode ini adalah ketergantunganya pada parameter instrumentasi, seperti kecepatan pemindaian dan slit width. (Ojeda dan Rojas, 2013).

2.5.2 Teknik zero crossing

Spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV) dengan teknik zero crossing

merupakan pengembangan dari teknik spektrofotometri konvensional. Teknik ini memiliki kelebihan seperti dapat memilih puncak yang tajam di antara spektrum yang lebar, meningkatkan resolusi dari spektrum yang tumpang tindih, serta dapat menghilangkan gangguan background pada spektrum (Popovic, dkk, 2000).

Teknik zero crossing adalah prosedur yang paling umum untuk menentukan campuran biner yang spektranya saling tumpang tindih secara simultan (Nurhidayati L, 2007). Bila campuran biner memiliki panjang gelombang zero crossing lebih dari satu, maka yang dipilih untuk dijadikan panjang gelombang analisis adalah dimana panjang gelombang yang nilai serapan senyawa pasangannya dan campurannya persis sama atau hampir sama, karena pada panjang gelombang tersebut dapat secara selektif mengukur serapan senyawa pasangannya dan memiliki serapan yang paling besar. Pada serapan yang paling besar, serapannya lebih stabil sehingga kesalahan analisis dapat diperkecil (Hayun, dkk., 2006).

Bila panjanggelombang zero crossing masing-masing senyawa tidak sama, maka penetapan kadar campuran dua senyawa dapat dilakukan tanpa pemisahan terlebih dahulu. Tetapi apabila panjang gelombang masing-masing senyawa yang hampir sama atau berdekatan akan terjadi pelebaran pita, maka spektrum derivatif

17

pertama tidak akan dapat memisahkan spektranya. Sehingga akan dilanjutkan pada spektrum derivatif berikutnya (Nurhidayati, 2007). Penentuan teknik zero crossing dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Penentuan teknik zero crossing (Talsky, 1994). 2.5.3 Jenis – jenis Teknik Spektrofotometri Derivatif

Teknik lain yang umum digunakan untuk mengevaluasi spektrum serapan derivatif untuk tujuan kuantitatif adalah metode peak-peak (p1), metode

peak-tangen (t), metode peak-zero (z), metode rasio peak-peak (p1/p2), gambar jenis – jenis teknik spektrofotometri derivatif dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Jenis – jenis teknik spektrofotometri derivatif (Popovic, dkk, 2000). 2.5.4 Teknik Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen

Berbagai peneliti yang telah menggunakan spektrofotometri derivatif dengan beberapa teknik dapat dilihat pada Tabel 2.2.

18

Tabel 2.2. Berbagai Peneliti Yang Telah Menggunakan Spektrofotometri Derivatif Dengan Beberapa Teknik

Berdasarkan Tabel 2.2 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis berbagai senyawa dengan teknik yang berbeda menunjukkan akurasi dan presisi yang baik. Pada referensi Issa, dkk., (2010); Patel dan Patel, (2013) menggunakan teknik

ratio spectra. Teknik ratio spectra ini memiliki tahap yang rumit dalam pengolahan spektrumnya bila dibandingkan dengan teknik zero crossing.

Dokumen terkait