• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPERMATOKEL Definisi

Dalam dokumen LAPTUT BLOK 3 4 MINGGU 1 (Halaman 28-36)

Skrotum dan Testis A. HIDROKEL

E. SPERMATOKEL Definisi

Spermatokel adalah suatu massa di dalam skrotum yang menyerupai kista, yang mengandung cairan dan sel sperma yang mati. Jika ukurannya besar dan mengganggu, bisa dilakukan pembedahan untuk mengangkatnya.

1. Spermatokel dapat berasal dari divertikulum rongga yang ditemukan pada caput epididimid. Sperma yang menumpuk disitu lama kelamaan akan menumpuk dan membuat suatu divertikulum pada caput epididimis.

2. Spermatokel ini diduga pula berasal dari epididimitis atau trauma fisik. Timbulnya scar pada bagian manapun di epididmis, akan menyebabkan obstruksi dan mungkin mengakibatkan timbulnya spermatokel.

Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksan fisik menunjukkan adanya massa di dalam skrotum yang: - Unilateral (hanya ditemukan pada salah satu testis)

- Lunak

- Licin, berkelok-kelok atau bentuknya tidak beraturan - Berfluktuasi, berbatas tegas atau padat.

Penatalaksanaan

Kista kecil pada spermatokel dapat dihilangkan ataupun dibiarkan bila dia tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik. Hanya kista yang menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dan pembesaran kista yang merupakan indikasi spermatocelectomy.Mungkin paska operasi akan dirasakan sensasi nyeri.Operasi ini biasanya menggunakan general ataupun local anastesi.

Prognosis

Bagi pasien yang menjalani operasi spermatocelectomy akan mengakibatkan kemandulan atau infertilitas.

b. Kelainan Kongenital Sistem Genitalia Wanita 1. Himen imperforata

Himen imperforata adalah suatu kelainan kongenital dimana himen tidak memiliki lubang (hiatus himenalis) sama sekali. Kelainan ini biasanya tidak menimbulkan keluhan sebelum menarche. Setelah menarche, penderita akan mengalami menstruasi secara normal, namun darahnya tidak dapat keluar karena tertutup oleh himen imperforata. Dengan demikian, pasien akan mengeluhkan nyeri di perut yang muncul siklik setiap bulannya, namun tidak ada darah yang keluar dari vagina. Jika dilakukan pemeriksaan, akan tampak

himen yang berwarna kebiru-biruan dan menonjol kelaur yang menandakan adanya darah yang terkumpul di vagina (hematokolpos). Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka dapat terjadi penumpukan darah sampai ke uterus (hematometri) atau bahkan sampai ke tuba Fallopii (hematosalping). Hematosalping ini dapat teraba dari dinding luar pelvis sebagai tumor kistik di kanan kiri atas simfisis.

Penatalaksanaan untuk kelainan ini adalah penyayatan untuk membuat lubang pada himen imperforata tersebut (himenektomi) dan pemberian antibiotik. Penyayatannya dilakukan secara silang (membentuk huruf X) lalu masing-masing ujung sayatan dijahitkan ke pangkal setiap sisi himen. Pemberian antibiotik dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi. Setelah tindakan himenektomi, penderita dibarengkan dalam keadaan Fowler sehingga darah dapat mengalir keluar.

2. Atresia Kedua Labium Minus

Atresia kedua labium minum adalah keadaan dimana kedua labium minus menyatu yang disebabkan oleh membran urogenitales yang tidak menghilang. Pada kelainan ini, meatus uretra eksternus dan orifisium vagina tetap terbuka sehingga tidak mengganggu pengeluaran urine dan darah menstruasi serta koitus. Namun untuk melakukan partus, diperlukan sayatan di garis tengah yang cukup panjang untuk melahirkan anak. Pada beberapa kasus, atresia kedua labium minus justru dapat terjadi setelah partus, dimana terjadi peradangan sehingga kedua labium minum melekat. Penatalaksanaan untuk kelainan ini adalah dengan melakukan penyayatan untuk melepaskan perlekatan dan menjahit luka yang timbul (ke arah dalam).

3. Septum Vagina

Septum vagina adalah suatu kelainan yang ditandai dengan ditemukannya sekat sagital di bagian atas vagina. Kelainan ini sering dibarengi dengan kelainan pada uterus. Penyebab dari kelainan ini adalah adanya gangguan dalam fusi atau kanalisasi kedua duktus Mulleri. Pada umumnya oenderita tidak mengalami keluhan apapun, dan biasanya ditemukan pada pemeriksaan ginekologi. Darah haid juga dapat keluar secara normal. Pada partus, septum akan robek spontan atau jika tidak bisa maka diperlukan penyayatan. Penyayatan juga diindikasikan untuk keadaan dipareuni.

Supernumerary ovary adalah suatu kelainan yang ditandai dengan terdapatnya jaringan ovarium yang multiple atau lebih dari jumlah normal (2 buah). Biasanya ovarium yang banyak tersebut tersebar dalam beberapa lokasi berbeda yang cukup berjauhan. Jaringan ovarium yang banyak tersebut berasal dari gonadal ridge yang berbeda dari ovarium yang normal. Kelainan ini jarang ditemukan.

5. Ectopic Ovary

Ectopic ovary adalah suatu kelainan dimana ovarium terletak di lokasi yang abnormal, biasanya terletak di atas daerah pembuluh darah illiac communis. Kelainan ini disebabkan karena adanya gangguan ada proses penurunan ovarium ke lokasi normalnya. Ovarium ektopik ditemukan sebanyak 20% pada penderita absent uterus dan 42% pada uterus unikornuate. Manifestasi klinik dari kelainan ini antara lain: amenorea primer, dismenorea, dan rasa nyeri/berat di dalam rongga abdomen.

6. Accecory Ovary

Accecory ovary adalah suatu kelainan dimana terdapat sebuah jaringan ovarium lain di dekat ovarium normal. Kelainan ini disebabkan karena terpisahnya gonadal ridge pada masa janin sehingga terbentuk suatu jaringan ovarium di luar ovarium normal. Perbedaan antara accecory ovary dan supernumerary ovary adalah pada accecory ovary, jaringan ovarium tambahan terseut berasal dari gonadal ridge yang sama dengan ovarium yang normal, sedangkan pada supernumerary ovary berasal dari gonadal ridge yang berbeda.

7. Unilateral Ovary Absence

Unilateral ovary absence adalah suatu kelainan dimana hanya terdapat 1 ovarium pada tubuh seorang wanita. Kelainan ini sering menyebabkan infertilitas, walaupun tidak menimbulkan keluhan lainnya. Komplikasi dari kelainan ini adalah lebih pendeknya masa reproduksi penderita daripada wanita normal karena jumlah folikelnya lebih sedikit.

c. Disorders of Sex Differentiation

1. Gangguan differensiasi dan perkembangan gonad

a. Seminiferous Tubule Dysgenesis (Sindroma Klinefelter) Definisi

Sindrom Klinefelter merupakan suatu kelainan genetik pada laki-laki yang ditandai dengan kelebihan 1 kromosom X sehingga kromosomnya menjadi 47 XXY. Bentuk variasi

lain dari sindroma ini adalah seseorang dengan kromosom 46 XY pada sebagian sel tubuhnya dan 47 XXY pada sebagian sel tubuhnya yang lain. Bentuk variasi ini disebut dengan mozaik.

Epidemiologi

Terdapat pada 1/1000 – 1/500 orang laki-laki. Etiologi

Kelebihan kromosom X terjadi akibat nondisjungsi miosis kromosom seks selama proses gametogenesis pada salah satu orang tua. Nondisjungsi miosis adalah kegagalan sepasang kromosom seks untuk memisah (disjungsi) selama proses miosis terjadi, sehingga sepasang kromoson tersebut akan diturunkan kepada sel anaknya. Dengan demikian, akan terjadi kelebihan kromosom seks pada anak. Sebesar 40% nondisjungsi miosis terjadi pada ayah dan 60% padan ibu.

Manifestasi Klinis

Pada sindroma klinefelter, tubulus seminiferus penderita dapat mengalami degenerasi dan digantikan oleh hialin. Sel germinal testis dan sel interstitial yang gagal berkembang secara normal. Hal ini mengakibatkan ukuran testis menjadi lebih kecil daripada normal. Kadar testosteron yang disekresikan oleh sel Leydig biasanya rendah dan testis tidak dapat menghasilkan sperma (azoospermia). Hal ini menyebabkan terjadinya infertilitas, kecuali pada bentuk variasi klinefelter mozaik, dimana sel normal (46 XY) masih memiliki kemampuan untuk berkembang biak sehingga penderita masih fertil, tapi memiliki risiko untuk menurunkan sindrom klinefelter kepada anaknya. Selain itu, juga terdapat ciri-ciri seksual sekunder wanita pada tubuh penderita, seperti ginekomastia dan sedikitnya rambut yang tumbuh pada wajah dan tubuh.

Penderita klinefelter juga mengalami gangguan koordinasi gerak badan, seperti kesulitan mengatur keseimbangan dan gerakan motor tubuh yang lambat. Penderita klinefelter biasanya memiliki IQ yang lebih rendah daripada rata-rata serta kepribadian yang kakuk, pemalu, dan kurang percaya diri. Kecenderungan lain yang dialami oleh penderita adalah keterlambatan dan kekurangan kemampuan verbal serta menulis.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Sindrom Klinefelter sebaiknya dilakukan sebelum anak memasuki usia sekolah agar anak tidak mendapatkan beban psikologis karena identitas gendernya yang tidak jelas. Deteksi dini penting untuk dilakukan agar penderita dapat segera ditangani dengan terapi hormonal dan terapi psikologi. Prenatal detection sebaiknya dilakukan untuk kelompok risiko tinggi, seperti anak dari penderita Sindrom Klinefelter. Terapi androgen dapat diberikan dengan cara pemberian hormon testosteron pada usia 11-12 tahun untuk

mencegah keterbelakangan perkembangan karateristik seksual sekunder. Penatalaksanaan lainnya adalah terapi fisik dan kemampuan mendengar serta melihat untuk mengatasi masalah motorik dan keterlambatan bicara penderita Sindrom Klinefelter.

b. Mixed Gonadal Dysgenesis

Mixed Gonadal Dysgenesis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perkembangan gonad yang tidak normal dan asimetris. Kromosom dari penderita Mixed Gonadal Dysgenesis ini biasanya berupa mozaik, yaitu 45 XO/46 XY. Karena terdapat kromosom 45 XO, Mixed Gonadal Dysgenesis juga disebut sebagai bentuk variasi dari Sindrom Turner (45 XO). Biasanya penderita memiliki fenotip wanita tapi perkembangan gonad serta duktus genitalianya abnormal dan asimetris, yaitu disgenesis testis unilateral dengan tuba Fallopii ipsilateral. Adanya jaringan disgenesis testis tersebut meningkatkan risiko gonadoblastoma, sehingga sebaiknya segera dilakukan gonadektomi pada testis tersebut.

c. 46 XY Complete Gonadal Dysgenesis

Kelainan ini disebut juga dengan Sindrom Swyer, yaitu suatu keadaan hipogonadism pada individu dengan kromosom 46 XY. Etiologi dari kelainan ini adalah adanya disfungsi pada gen SRY. Secara fenotip, penderita terlihat seperti perempuan, namun memiliki streak gonad. Sebagian besar kasus ditemukan pada remaja putri yang mengeluhkan tidak kunjung mengalami pubertas. Streak gonad yang dimilikinya berisiko tinggi untuk menjadi germ cell tumor (± 30% pada usia 30 tahun) sehingga sebaiknya segera diangkat (gonadektomi). Penatalaksanaan selanjutnya adalah dengan terapi pengganti hormon dengan pemberian hormon wanita.

d. Hermaphrodit Sejati

Hermaphrodit sejati merupakan suatu DSD yang dicirikan dengan adanya testis dan ovarium fungsional pada individu yang sama. Bentuk yang paling sering adalah kedua gonad bergabung dalam struktur ovotestis (kedua jaringan dibedakan secara histologis). Selain itu, kedua gonad tersebut juga dapat terletak pada kedua sisi tubuh yang berbeda. Sebagian besar pasien (± 60%) dibesarkan sebagai perempuan karena secara reproduksi potensial sebagai perempuan. Diferensiasi struktur internal dan eksternal sangat bervariasi, tergantung pada kadar testosteron yang dihasilkan.

Kelainan ini disebut juga dengan Sindrom de la Chapelle, yaitu suatu kelainan kromosom sex yang jarang. Kelainan ini ditemukan pada 4 – 5 per 100.000 orang. Biasanya, kelainan ini disebabkan oleh pindah silang yang tidak seimbang antara kromosom X dan kromosom Y selama miosis sel gamet ayah, sehingga terdapat kromosom X yang mengandung gen SRY. Jika kromosom X ini bergabung dengan kromosom X normal dari ibu pada saat fertilisasi, maka anak hasil fertilisasi tersebut akan memiliki kromosom XX male.

f. Turner‟s Syndrome

Sindrom Turner (disebut juga sindrom Ullrich-Turner, sindrom Bonnevie-Ullrich, sindrom XO, atau monosomi X) adalah suatu kelainan genetik pada wanita karena kehilangan satu kromosom X sehingga penderita sindrom Turner memiliki kromosom 45 XO. Bentuk lain dari sindrom Turner adalah 45 XO/46 XX, disebut juga dengan bentuk variasi mozaik. Hal ini terjadi karena satu kromosom hilang saat nondisjungsi atau selama gametogenesis (pembentukan gamet) atau pun pada tahap awal pembelahan zigot.

Penderita sindrom Turner mengalami disgenesis gonad sehingga tidak dapat menghasilkan estrogen dan menjadi infertil. Namun, seseorang yang menderita sindrom Turner variasi mozaik masih memiliki kemungkinan untuk bereproduksi (fertil) karena masih ada selnya yang memiliki kromosom normal.

Penderita sindrom Turner memiliki kecenderungan ciri fisik tertentu seperti bertubuh pendek, kehilangan lipatan kulit di sekitar leher (webbed neck), edema pada tangan dan kaki, jarak antara kedua papila mammae lebar sehingga keduanya terlihat mengarah ke axilla. Beberapa penyakit cenderung menyerang penderita sindrom ini, di antaranya adalah penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal dan tiroid, kelainan rangka tulang seperti skoliosis dan osteoporosis, obesitas, serta gangguan pendengaran dan penglihatan.

Sebagian besar penderita sindrom ini tidak memiliki keterbelakangan intelektual, namun dibandingkan wanita normal, penderita memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita keterbelakangan intelektual.Sebagian penderita sindrom Turner memiliki kesulitan dalam menghafal, mempelajari matematika, serta kemampuan visual dan pemahaman ruangnya rendah. Perbedaan fisik dengan wanita normal juga membuat penderita sindrom Turner cenderung sulit untuk bersosialisasi.

Untuk mendeteksi adanya kelainan pada janin selama kehamilan berlangsung, dapat dilakukan USG. Analisis kromosomal juga dapat dilakukan ketika bayi masih di dalam kandungan ataupun saat telah dilahirkan. Untuk analisis kromosom diperlukan paling sedikit

20 sel untuk memastikan diagnosis dan sel yang diambil pun harus dari 2 sel yang berbeda, misalnya sel darah dan sel kulit.

Penatalaksanaan untuk sindrom ini adalah dengan pemberian suntikan hormon pertumbuhan sejak usia dini agar penderita dapat meningkatkan tinggi badan pada saat dewasa. Selain itu juga diberikan terapi pengganti hormon estrogen yang dimulai pada usia 12 tahun untuk memulai perkembangan payudara, memelihara siklus bulanan agar uterus tetap sehat, dan mencegah osteoporosis.

2. Virilisasi pada genetik perempuan a. Congenital Adrenal Hyperplasia

Congenital adrenal hyperplasian (CAH) merupakan suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan sekresi hormon androgen yang berlebihan pada seseorang akibat defek dari salah satu enzim yang terlibat dalam sintesis kortisol dan aldosteron, yaitu enzim 21-hidroksilase. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal, yaitu hormon kortisol, aldosteron, dan androgen, berasal dari zat prekursor yang sama, yaitu kolesterol yang selanjutnya diubah menjadi pregnenolone. Enzim 21-hidroksilase dibutuhkan untuk mengkonversi zat prekursor ini menjadi hormon kortisol dan aldosteron. Sedangkan konversi pregnenolone menjadi androgen tidak membutuhkan enzim tersebut. Dengan demikian, defisiensi enzim ini dapat menyebabkan kurangnya sintesis kortisol dan aldosteron, sehingga terjadi mekanisme umpan balik negatif yang merangsang sekresi hormon ACTH oleh hipofisis. Hormon ACTH ini selanjutnya merangsang kembali konversi pregnenolone menjadi kortisol. Ransangan yang terus-menerus ini tetap tidak dapat menkonversi pregnenolone menjadi kortisol maupun aldosteron karena memang enzim yang penting dalam proses konversi tersebut tidak adekuat. Dengan demikian, rangsangan yang terus-menerus tersebut menyebabkan seluruh pregnenolone dialihkan untuk dikonversi menjadi hormon androgen, sehingga mengakibatkan kadar hormon androgen yang berlebihan pada tubuh seseorang.

Kadar androgen yang berlebihan ini akan mengakibatkan pubertas prekoks pada seorang pria. Sedangkan pada wanita, hal ini dapat mengakibatkan maskulinisasi atau perkembangan genitalia eksterna dan ciri-ciri seks sekunder ke arah pria, walaupun masih memiliki ovarium. Maskulinisasi tersebut dapat berupa megaloklitoris, labia mayora yang membesar dan menghitam seperti skrotum, serta tumbuhnya rambut yang berlebihan di beberapa bagian tubuh. Kelainan ini merupakan DSD yang paling sering ditemukan pada wanita. Kasus ini terjadi dengan insiden 1:5000-15.000 di Eropa.

Penatalaksanaan kelainan ini adalah dengan memberikan suntikan terapi pengganti estrogen.

3. Undervirilisasi pada genetik laki-laki a. Androgen Insensitivity Syndrome

Androgen insensitivity syndrome (AIS) merupakan suatu kelainan kongenital yang dicirikan dengan berkurang atau hilangnya kesensitivan reseptor-reseptor androgen yang terdapat di berbagai jaringan target terhadap androgen. Kelainan ini menyebabkan androgen tidak dapat menjalankan fungsinya walaupun telah disekresikan dalam jumlah yang adekuat, sehingga terjadi gangguan pada perkembangan genitalia interna, eksterna, dan ciri-ciri seks sekunder pada seorang pria. Penderita mengalami feminisasi, sehingga seringkali justru dianggap sebagai wanita sejak lahir. Biasanya penderita memiliki tubuh yang tinggi, kulit mulus, dan memperlihatkan beberapa ciri wanita lainnya.

Terdapat dua klasifikasi dari AIS ini, yaitu AIS komplit dan AIS inkomplit. Pada AIS komplit, sama sekali tidak ada satupun reseptor androgen yang berfungsi sehingga penderita memang benar-benar tumbuhnya layaknya seorang wanita. Karena hormon androgen sama sekali tidak berperan dalam perkembangannya, maka biasanya penderita AIS komplit ini akan tetap diperlakukan sebagai wanita untuk seterusnya. Biasanya kelainan ini baru terdeteksi pada saat penderita mengeluhkan tidak amenorea primer. Untuk jenis AIS komplit ini, biasanya dilakukan gonadektomi terhadap testis yang tidak berfungsi (karena hormon yang dihasilkannya tidak berguna) untuk mencegah terjadinya keganasan. Selain itu juga diberikan terapi pengganti hormon estrogen, karena memang untuk selanjutnya pasien ini tetap akan diperlakukan sebagai wanita.

Pada AIS inkomplit, masih ada sedikit reseptor androgen yang berfungsi sehingga androgen masih dapat sedikit berpengaruh terhadap perkembangan genitalia penderita. Oleh karena itu, untuk perkembangan selanjutnya, biasanya penderita dapat bertukar gender dari wanita menjadi pria. Penatalaksanaan untuk AIS inkomplit adalah dengan memberikan hormon testosteron untuk merangsang perkembangan ke arah pria.

Dalam dokumen LAPTUT BLOK 3 4 MINGGU 1 (Halaman 28-36)

Dokumen terkait