Responden sido
C. Hasil Studi
4. Stand / Kios Pedagang
Stand / kios pedagang memiliki batasan yang jelas dengan akses dan orientasi ke selasar / koridor jalur sirkulasi didepannya. Akses ke jalur sirkulasi utama paling diminati oleh pedagang, karena paling ramai dilewati oleh pengunjung. Untuk itu, para pedagang berusaha menarik minat pengunjung
dengan melakukan ekspansi ke ruang sirkulasi tersebut. Kecenderungan yang terjadi, pedagang
meletakkan kursi sebagai fasilitas bagi pembeli dalam melakukan transaksi atau memilih barang. Kursi tersebut seolah‐olah merupakan penandaan teritori. Dengan demikian, terjadi perubahan nilai teritori primer menjadi teritori sekunder.
Bintari, B.
Gambar 8 : Sketsa ruang stand / kios pedagang Gambar 9 : Suasana ruang stand lantai 2
Tabel 1 : Aktivitas dan teritori
Seting / Ruang Aktivitas di
Teritori publik Aktivitas di Teritori sekunder Aktivitas di Teritori primer Indikasi Perubahan seting Koridor / selasar lt.2 Seting ini digunakan
sebagai jalur sirkulasi pedagang dan pembeli
Pemanfaatan seting
untuk meletakkan
display barang
dagangan
Tidak ada Ada perubahan dari
publik menjaji
sekunder Koridor / selasar lt.3 Seting ini digunakan
sebagai jalur sirkulasi pedagang dan pembeli
Pemanfaatan seting
untuk meletakkan
display barang
dagangan
Tidak ada Ada perubahan dari
publik menjaji
sekunder Hall / lobby lantai 2 Seting ini digunakan
sebagai jalur sirkulasi pedagang dan pembeli
Pemanfaatan seting
untuk meletakkan
display barang
dagangan
Seting ini digunakan oleh pedagang informal
Ada perubahan dari
publik menjadi
sekunder dan primer
Stand / kios Tidak ada Berada di jalur sirkulasi
di depan stand/kios
sebagai tempat untuk
melakukan transaksi
dengan pembeli.
Seting ini digunakan oleh pedagang
Ada perubahan dari
primer menjadi
sekunder
Dari hasil analisa terhadap keempat seting diatas, maka didapatkan adanya kecenderungan perubahan teritori. Teritori publik berubah menjadi sekunder atau primer. Perubahan tersebut tidak saja diakibatkan oleh perilaku pedagang, melainkan juga karena disain pasar yag memungkinkan
terjadinya penyimpangan perilaku. Disain stand yang seragam bentuk dan ukurannya, tidak
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
jenis barang dagangannya, alangkah pentingnya mengenali calon pedagang yang akan menempati
ruang‐ruang pasar tersebut. Untuk itu studi perilaku terkait dengan disain sangat dibutuhkan diawal
perencanaan sebuah pasar. Dengan mengenali budaya terkait perilaku calon pengguna akan
membuahkan sebuah disain yang khas dan unik. Sehingga bisa jadi disain pasar akan beragam tergantung dari nilai lokalitas disamping jenis komoditas barang yang akan diperdagangkan.
Kesimpulan
Pedagang formal yang memiliki stand / kios, memiliki kesamaan perilaku yaitu memindahkan sebagian barang dagangannya ke arah koridor / selasar yang digunakan untuk jalur sirkulasi pengunjung.
Akibatnya terjadi penyempitan jalur dan menghambat gerak pengunjung. Perilaku tersebut
dimaksudkan untuk menarik pengunjung (visibilitas) untuk melihat dan membeli barang atau jasa yang ditawarkan. Kesamaan bentuk dan ukuran stand / kios juga menjadi salah satu kendala pengenalan
tempat bagi pengunjung, sehingga barang dagangan yang digelar di koridor dapat menjadi
penanda.Sementara pedagang sektor informal, memanfaatkan ruang publik seperti hall untuk
menggelar dagangannya, dengan konsep teritorialitas berupa alas tempat berjualan. Posisi yang dianggap strategis adalah pada pertemuan jalur sirkulasi vertikal dan horisontal. Tujuan agar mudah dikenali (visibilitas) menjadi yang utama.
Adanya indikasi perubahan nilai teritori hampir sebagian besar dilakukan oleh pedagang. Teritori yang semula publik seperti ruang koridor / selasar, menjadi teritori sekunder. Teritori primer ruang stand / kios, karena kebutuhan luasan ruang yang kurang memadai, disulap oleh pedagang dengan mengambil sebagian ruang selasar / koridor yang ada didepan standnya menjadi teritori sekunder. Untuk membatasi wilayahnya, maka dihadirkan benda / benda atau alas barang dagangan sebagai batasannya. Pembiaran ini seolah menjadi hal legal dan lumrah dan tidak ada tindakan dari pengelola pasar. Terjadinya pergeseran nilai teritori ini, menjadi sebuah keniscayaan karena tidak ada perubahan dari hari kehari. Hal ini seolah tidak disadari oleh para pedagang, karena akibat ulahnya, pengunjung dirugikan. Untuk itu kesadaran akan hak orang lain menjadi kunci kenyamanan beraktivitas di ruang publik.
Bintari, B.
Daftar Pustaka
Altman, Irwin [1975], The Environment and Social Behaviour : Privacy, Personal Space, Territory and Crowding. Brooks/Cole, Monterey California.
Deddy Halim, Ph.D [2005], Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Grasindo, Jakarta Holahan,CJ [1982], Environmental Psikology, Random House, New York.
Lang, Jon ;editor [1974], Designing for Human Behavior : Architecture and the Behavioral Sciences Lang, Jon [1987], Creating Architectural Theory : The Role of the Behavior Sciences in Environmental
design, Van Nostrand Reinhold, New York.
Muhadjir, Noeng [2000] Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta.
kelompok‐kelompok.
5. Teritori berhubungan dengan kepuasan terhadap kebutuhan/
dorongan atas
Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Surabaya, ‐ Mei
Rumah Dome New Nglepen Yogyakarta: Bukan Sebuah Pendekatan
Perancangan yang Berempati
Bertha Bintari, ST., MT., MAID 1
Abstrak
Suatu rancangan akan mempengaruhi perubahan perilaku penggunanya. Dan berlaku sebaliknya perilaku pengguna akan mempengaruhi bagaimana sebuah rancangan dibuat. Perubahan perilaku seringkali merupakan ‘pemaksaaan’ dari pada sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Proses menyesuaikan diri dan menyelesaianterhadap masalah dalam rancangan dikarenakan pengguna yaitu manuisa adalah secara alami merupakan mahluk yang memiliki kemampuan mengadaptasi hal‐ hal baru. Perubahan perilaku tidak selalu merupakan perubahan yang dapat diamati secara fisik, tetapi sering merupakan perubahan secara psikologis. Dengan perancangan yang memahami kebutuhan pengguna dari sisi ikut mengalami interaksi dan pengalaman – pengalaman karena suatu rancangan, akan membantu perancang untuk merancang dengan lebih tepat terhadap pemenuhan kebutuhan pengguna. Pendekatan perancangan dengan pemahaman akan kebutuhan pengguna tersebut merupakan perancangan yang menggunakan pendekatan empati. Pendekatan perancangan berempati merupakan perancangan dengan pendekatan kepada pemusatan terhadap pengguna.Aspek yang perlu diperhatikan dalam perancangan dengan empati adalah aspek psikologis sebagai efek dari rancangan tersebut.
Pendahuluan
Merancang dengan empati, adalah merancang dengan menjadikan diri sebagai bakal
penggunanya.Prinsip berempati adalah ikut serta mengalami sebuah kejadian, mengamati dan tidak langsung menghakimi dengan dalil dalil pengetahuan . Prinsip empati tidak sama dengan prinsip logika, sebab dan akibat. Prinsip empati diawali dengan penerimaan sesuatu kejadian sebagai sebuah hal baru yang harus dipahami dengan cara baru yang berbeda dari yang sudah pernah diketahui sebelumnya. Tentu saja menerima sesuatu kejadian akan membuat kebingungan yang tidak nyaman. Tetapi setelah
proses menerima , tanpa menghakimi terlalu dini akan memberikan pemahaman tentang kejadian
tersebut, secara lebih terang. Dan memiliki kebaruan cara pandang dari sisi yang berbeda. Pada proses
tersebut maka pemahaman awal akan memberikan peluang mendapatkan pengetahuan yang lebih
banyak dan baru.
1
Bintari, B.
Metode Merancang dengan Empati
Desain merupakan upaya memecahkan kesenjangan kebutuhan dengan memenuhi standar
ideal yang diharapkan. Bagian perbagian dari sebuah rancangan merupakan hasil pengolahan kreatif
atas usaha memenuhi standar ideal tersebut. Pendekatan perancangan yang didapatkan dengan
penelitian melibatkan banyak aspek yang berpengaruh terhadap hasil perancangan tersebut. Penelitian dalam sebuah desain adalah upaya melihat suatu kebutuhan dikarenakan adanya kesenjangan sehingga suatu permasalahan pada pengguna timbul.
Pada dasarnya manusia diberi kemampuan memecahkan masalah dengan cara yang sederhana dan
kreatif. Kreativitas menyelesaikan masalah inilah yang perlu dikembangkan sebagai suatu metode
perancangan yang memberikan kemungkinan pengguna mengeksplorasi kemungkinan – kemungkinan
menyelesaikan masalah dengan penyesuaian terhadap kebutuhan masing – masing.
Perancang seharusnya mampu menyesuaikan keseimbangan ketercapaian tujuan dan manfaat
dengan kemungkinan pengguna mengeksplorasi , mengadaptasi dan secara kreatif menggunakan karya desain yang dirancangnya.
Memanusiakan manusia dengan tidak mengeksploitasi atau mengatur pengguna dalam hasil rancangan menjadi sangat penting. Pengguna akan lebih merasa terlibat di dalam prosesnya dan akan memperkaya
inovasi untuk pengembangannya dengan memberikan pengujian dan gagasan yang berdasarkan
kebutuhan mereka.
Metode perancangan empati diperlukan untuk dapat merancang sesuai dengan penggunanya
berdasar pengalaman dan penerimaan terhadap suatu fenomena kejadian yang memunculkan
kesenjangan masalah desain tersebut. Empati untuk merasakan dan memiliki pengalaman sebagaimana pengguna akan memberikan jalan untuk mencari solusi desain secara kreatif. Hubungan kreatifitas perancang dengan kreatifitas pengguna akan menghasilkan pengembangan desain baru yang inovatif
dan lebih memenuhi apa yang dibutuhkan oleh penggunanya. Proses merancang dengan empati
memerlukan waktu dan proses yang lebih panjang namun justru di akhir pencarian solusinya lebih
memberikan kemungkinan memudahkan berpikir sistematis yang merupakan metode kreativitas dalam
perancangan.
Perancangan dengan empati juga merupakan perancangan yang melibatkan aspek psikologis manusia sebagai pengguna. Selain melibatkan psikologis pada awal prosesnya kelak desain akan
mempengaruhi psikologis pengguna, perilaku pengguna dan kebiasaan pengguna.Manusia pada
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
lingkungannya. Kemampuan memodifikasi dan menyelesaikan suatu masalah dengan cerdas menjadi
pertimbangan dalam perancangan.
Perancangan empati pada dasarnya mempunyai tujuan untuk memusatkan tujuan perancangan kepada kebutuhan pengguna (User centered Needs). Dengan empati maka perancang akan memahami kondisi pengguna hasil rancangannya. Dengan pemahaman ini maka, perancangan akan lebih memenuhi kebutuhan pengguna dan memenuhi fungsional bagi kegiatan pengguna.
Empati , sebagai tahap paling awal dalam proses perancangan menurut Tim Brown adalah tahapan inspirasi. Empati merupakan bagian penting social competency (kemampuan sosial).Empati juga merupakan salah satu dari unsur‐unsur kecerdasan sosial. Ia terinci dan berhubungan erat dengan
komponen‐komponen lain, seperti empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian
sosial. Empati dasar yakni memiliki perasaan dengan orang lain atau merasakan isyarat‐isyarat emosi
non verbal.Penyelarasan yakni mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada
seseorang. Ketepatan empatik yakni memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain dan
pengertian sosial yakni mengetahui bagiamana dunia sosial bekerja (Goleman, Daniel, 2007 :114) Dengan memahami kondisi dan situasi orang lain dalam hal ini calon pengguna, maka faktor bias harus dihilangkan. Bias dalam hal ini adalah menghakimi sesuatu keadaan orang lain dengan menggunakan sudut pandang diri sendiri. Bias disebabkan karena keinginan diri terhadap sesuatu
masalah dengan memberikan solusi secara terburu – buru sebelum memahami masalah yang
sebenarnya. Proses bias terjadi ketika sedikit gejala dalam sebuah permasalahan terburu – buru
dihakimi dengan pengetahuan – pengetahuan empiris dari sudut pandang diri. Padahal untuk
memahami masalah sebenarnya terjadi, proses pemahaman harus melalui proses menerima
sepenuhnya , membiarkan diri, dan rendah hati untuk mengalami bersama.
Penelusuran dengan pengamatan dan berinteraksi dengan calon pengguna maupun pengguna
lama akan membantu menemukan bagaimana cara memandang masalah dari sudut pandang pengguna‐
pengguna tersebut.Pengamatan seringkali harus dilakukan tidak hanya oleh arsitek atau perancangnya , tetapi merupakan suatu kerjasama terintegrasi dari bidang keilmuan lain, seperti antropologi dan sosiologi.
Pengamatan dengan metode partisipatoris akan lebih mendapatkan fakta riil tentang
bagaimana pengguna berinteraksi dengan rancangan tersebut. Pengamatan yang detil akan
mengakomodasi bahkan tentang sebuah penjelasan tentang adanya masalah yang mungkin tidak
Bintari, B.
dilakukan sebelum tahap perancangan sebagai tahap pengidentifikasian kebutuhan pengguna maupun
ketika suatu model atau prototype rancangan diujicobakan kepada pengguna.
Pernyataan masalah terhadap suatu rancangan yang tidak ternyatakan dalam suatu
wawancara dapat diamati melalui bagaimana ekspresi, dan interaksi yang terjadi ketika pengguna tidak sedang dikondisikan untuk penelitian, tetapi melalui pengamatan ketika pengguna melakukan kegiatan secara normal sehari – harinya. Pengamatan juga akan melengkapi data tentang aktivitas pengguna ketika pengguna secara alami dan intuitif melakukan pengadaptasian, atau melakukan penyesuaian terhadap masalah yang ditemuinya dalam rancangan tersebut.Hal ini sering kali menjadikan suatu
masalah adalah tidak masalah ketika diwawancarai. Perancangan dengan empati bertujuan untuk
memenuhi manfaat rancangan sebaik – baiknya dengan pendekatan kepada kepentingan pemenuhan
kebutuhan pengguna. Pemahaman terhadap Kebutuhan pengguna dengan pendekatan empati adalah
sebuah usaha perancangan yang lebih lengkap melingkupi keterpenuhan kebutuhan fisik dan
psikologisnya. Teori Arsitektur psikologis menyatakan bahwa sebuah lingkungan binaan yang dirancang untuk memenuhi persyaratan fungsional, struktural dan estetis yang tepat akan mempengaruhi perilaku
dan pengalaman – pengalaman psikis penggunanya.Pengalaman‐ pengalaman psikis diperoleh dari
stimulus didalam rancangan tersebut. Stimulus tersebut antaralain menurut Proshansky (1974)meliputi tidak hanya cahaya, suara, suhu, bentuk, warna dan kepadatan, terhadap obyek – obyek fisik tertentu, tetapi merupakan kompleksitas yang terdiri dari hubungan lingkungan terhadap penghuni, interaksi antar penghuni dan aktivitasnya.
Pendekatan terhadap efek psikologis dari sebuah rancangan penting diperhatikan sebagai salah
satu komponen dalam perancangan dengan empati. Bangunan yang memenuhi fungsionalnya secara
fisik belum tentu memenuhi secara psikologis penggunanya. Perubahan – perubahan perilaku yang diakibatkan oleh sebuah rancangan merupakan efek perubahan secara psikologis pengguna terhadap
suatu rancangan.Pengalaman – pengalaman baru dialami oleh pengguna dalam interaksinya dengan
rancangan. Pengalaman untuk beraktivitas dan berinteraksi mempengaruhi cara berperilaku dan
merespon rancangan tersebut. Empati dalam hal ini diperlukan untuk memahami pengalaman interaksi dengan rancangan tersebut secara pengalaman psikologis karena seringkali tidak dapat terlihat langsung secara fisik. Empati akan membantu memahami komponen – komponen psikologis yang mempengaruhi suatu rancangan, yang tidak terlihat dan tidak ternyatakan dalam pengamatan secara fisik.
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Studi Kasus Pembangunan Rumah Dome
Pembangunan rumah untuk relokasi penduduk yang terkena Gempa Yogyakarta tanggal 26 mei 1996 di desa Ngelpen, Yogyakarta sempat menuai berbagai tanggapan. Tanggapan datang dari berbagai pihak yaitu arsitek, antropolog, sosiolog dan kalangan masyarakat. Perdebatan antara lain tentang
ketidak sesuaian bangunan tersebut terhadap lokalitas budaya ber’rumah’ jawa, ketidaksesuaian
arsitektur bangunan, serta ketidak sesuaian secara fisik terhadap iklim local, tropis. Pada pembahasan tulisan ini, analisis dilakukan terhadap tanggapan pasca huni rumah dome di New Nglepen, diluar dari
perdebatan tentang aspek bangunan arsitektur tradisional dalam budaya Jawa. Pembahasan akan
ditekankan kepada kenyamanan hunian terhadap aspek fisik dan psikologisnya. Meskipun sebenarnya
ketidaksesuaian arsitektur bangunan juga merupakan aspek yang memepengaruhi psikologis
penghuninya, namun dalam hal ini pembatasan diperlukan untuk lebih memusatkan diri pada
kebutuhan pengguna dalam rangka mengadaptasi dan berinteraksi lebih baik terhdap rancangan yang sudah ada.
Pembangunan rumah dome merupakan bantuan dari Fisiknya dikerjakan DFTW sedang
biayanya disediakan WANGO. Banyak pihak menilai bahwa pada waktu pembangunannya masyarakat
tidak diajak untuk mendiskusikan tentang kebutuhan mereka. Kondisi ‘terpaksa’ membuat masyarakat harus menerima kondisi dan situasi tesebut.
Beberapa hal ditemukan adalah bahwa bentuk, bahan bangunan dan arsitektur yang tidak sesuai dengan iklim Yogyakarta membuat penghuni tidak nyaman tinggal dalam rumah tersebut. Secara fisik bangunan dome memiliki denah bulat, dinding dilengkapi pintu dan jendela tanpa tritisan, bagian atas dilengkapi lubang ventilasi. Bentuk konstruksi dome yang membulat menyebabkan air hujan mengalir langsung di sepanjang dinding dari kubah sampai ke tanah. Ini berarti bahwa pintu, jendela, termasuk kusen yang semuanya terbuat dari kayu secara frontal terkena langsung efek dari musim tahunan. Jika di musim penghujan seperti ini, mereka terkena terpaan angin sekaligus air yang membasahi rumah. Di musim panas, sengatan sinar matahari akan langsung masuk ke pintu jendela itu. Di musim penghujan rata‐ rata keluhan yang dirasakan penghuni adalah masukknya air hujan dari bagian atas dome, merembesnya air dari sela – sela ubin lantai sampai setinggi mata kaki dan tampias air hujan masuk melalui ventilasi / bovenlicht jendela dan pintu.Pada malam hari udara terasa pengap , namun penduduk tidak mau membuka jendela karena serangga dan nyamuk sangat mengganggu mereka.
Bintari, B.
Tabel 1.. Jenis keluhan terhadap fisik bangunan
No. Jenis keluhan fisik bangunan
1. Atas bangunan bocor 2. Tampias ,air masuk rumah 3 Dinding bocor
4 Lantai terendam rembesan air dari bawah 5 Luasan denah rumah sempit
6 Bentuk ruang menyulitkan aktivitas 7 Dinding berembun , lembab
Sumber: analisis penulis dari data lapangan
Tabel 2. jenis keluhan psikologis
No Jenis Keluhan psikologis
1. Kenyamanan suhu (panas didalam dan gersang, pengap) 2 Kenyamanan privasi (KM/WC komunal)
3 Kenyamanan bersosialisasi (tidak dekat kerabatnya)
4 Kenyamanan beraktivitas (ruang sempit untuk acara bersosialisasi, dapur tidak sesuai kebiasaan dan ekonomi) 5 Kenyamanan ekonomi (biaya hidup lebih mahal, tidak dpt
bertani)
6 Kenyamanan visual (silau, bentuk aneh)
Sumber: analisis penulis dari data lapangan
Tabel 3.Keluhan terhadap ketersediaan fasilitas dan lingkungan
No. Jenis Keluhan
1 Air mudah didapatkan tapi kotor dan bau 2 Jenis tanah liat menyulitkan untuk bertanam 3 Km/wc bersama dan jauh dari rumah tinggal 4 Tidak memudahkan untuk mengawasi anak 5 Tidak memudahkan memasak
6 Ruang kurang banyak
7 Terlalu rapi dan teratur, tidak cocok untuk orang desa 8 Fasilitas alat saniter tidak sesuai dg kebiasaan 9 Tidak ada kandang dan gudang
Sumber: analisis penulis dari data lapangan
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
Untuk mengatasi kelemahan desain ini, beberapa rumah terlihat sudah direnovasi. Paling banyak adalah menambahkan kanopi di pintu dan jendela. Beberapa terlihat menambahkan bangunan dari kayu berbentuk limasan yang menempel langsung di dinding rumah dome itu. Proses adaptasi menyeluruh bagi warga yang menjadi penduduk permukiman tersebut berlangsung lambat. Penduduk asli desa Sengir (ngelepen lama) lebih memilih tinggal di rumah lama mereka, selain lebih luas, lebih
teduh, dan lebih dekat dengan sawah atau ladang serta ternaknya.Mengingat tradisi bermukim
penduduk desa yang bersifat agraris di kawasan tropis, dan lingkungan tradisi adat desa Jawa banyak warga yang cukup kesulitan untuk tinggal di permukiman ini. Sebagai contoh, warga yang sebagian besar pencahariannya adalah sebagai petani di sawah dan ladang, mereka membutuhkan kandang tempat ternak mereka, dimana di perumahan ini tidak disediakan lahan yang cukup untuk kandang tersebut. Selain itu modul rumah kubah yang sempit tidak bisa mengakomodasikan kebutuhan akan ruang‐ruang fungsional bagi warga. Sistem struktur sosial warga pedesaan yang setiap rumah biasanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga yang masih dalam satu garis keturunan, kondisi rumah kubah yang sempit ini tentu saja kurang memadai.
Gambar.1.Lingkungan rumah Dome, Nglepen Baru (doc.penulis)
Pengadaptasian yang berat untuk penduduk adalah tentang kegiatan memasak.Keberadaan
dapur bersih dalam rumah dome ini kurang mengakomodasi perilaku sehari‐hari warganya. Penduduk desa masih biasa menggunakan tungku kayu, tapi di rumah dome ini tidak ada dan tidak diperbolehkan
untuk menggunakan alat ini. Banyak warga yang masih tetap menggunakan tungku kayu dengan
membangun dapur kotor tambahan di halaman belakang yang menyatu dengan rumah dome, sebagai
pengembangan bangunan itu sendiri namun dalam taraf semi permanen.Penggunaan tungku kayu
Bintari, B.
Tabel 4. Perubahan bangunan No Jenis Perubahan Bangunan
1 Penambahan teritisan 2 Penambahan teras
3 Penambahan bangunan untuk dapur 4 Penambahana warung
5 Penambahan untuk cuci, km dan gudang Sumber: analisis penulis dari data lapangan
Permasalahan lain adalah tentang kamar mandi. Kamar mandi yang sifatnya komunal dinilai terlalu sempit. Selain itu adalah karena kamar mandi terpisah dari rumah perkeluarga dan berjarak, akan menyulitkan ketika malam hari dan ketika musim penghujan.Kebutuhan kamar mandi tidak hanya untuk aktivitas mandi tetapi penduduk juga membutuhkan sebagai fasilitas untuk mencuci pakaian.
Perkembangan pada saat ini, menunjukkan bahwa sebagian penduduk yang semula merasa
aneh dengan bangunan tempat tinggalnya kini mulai bisa beradaptasi. Dari penelitian, ternyata
ditemukan bahwa kecenderungan penduduk yang mampu beradaptasi dengan lingkungan huniannnya
yang baru adalah penduduk pendatang atau bukan penduduk asli dari desa sengir/Ngelepen
lama.Penduduk yang beradapatasi memanfaatkan lingkungan baru tersebut yang telah dipromosikan
sebagai daerah tujuan wisata baru, dengan membuat rumah dome sebagai warung, tempat meeting bahkan untuk live in.
Kualitas hidup manusia dalam komunitas hunian tidak hanya dipengaruhi oleh kepuasan atau kenyaman secara fisik saja, tetapi juga sangat dipengaruhi kondisi sosial lingkungannya. Lingkungan sekitar merupakan faktor eksternal seperti komunitas, tetangga dan kota itu sendiri sebagai penunjang aktifitas. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang secara personal yang meliputi
pengukuran atau penilaian individu mengenai kehidupannya, tingkat kepuasannya, kenyamanan,
kebahagiaan dan prioritas individu yang semuanya sangat tergantung dari karakteristik seseorang (Yuan, et all, 1999).
Menurut Kane dalam Yuan, et al, 1994:4 bahwa komponen kualitas hidup dibagi ke dalam 11 bagian : 1). Keamanan, 2). Ketenangan fisik, 3). Kepuasan, 4). Kegiatan yang bermanfaat, 5). Pola hubungan sosial, 6). Keahlian yang bermanfaat, 7). Kedudukan, 8). Privasi, 9). Kepribadian, 10). Otonomi, dan 11). Keimanan.
Mengetahui efek dari suatu rancangan terhadap tujuannya merupakan sebuah evaluasi penting akan sebuah keberhasilan rancangan. Ketika kualitas hidup adalah tujuan utama dari suatu rancangan
Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati
maka evaluasi efek‐ efek terhadap pengguna membantu perancang mengetahui tentang kebutuhan –