• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stand / Kios Pedagang

Responden sido

C.   Hasil Studi

4. Stand / Kios Pedagang

Stand / kios pedagang memiliki batasan yang jelas dengan akses dan orientasi ke selasar /  koridor jalur sirkulasi didepannya. Akses ke jalur sirkulasi utama paling diminati oleh pedagang, karena  paling ramai dilewati oleh pengunjung. Untuk itu, para pedagang berusaha menarik minat pengunjung 

dengan  melakukan  ekspansi  ke  ruang  sirkulasi  tersebut.  Kecenderungan  yang  terjadi,  pedagang 

meletakkan kursi sebagai fasilitas bagi pembeli dalam melakukan transaksi atau memilih barang. Kursi  tersebut seolah‐olah merupakan penandaan teritori. Dengan demikian, terjadi perubahan nilai teritori  primer menjadi teritori sekunder. 

Bintari, B. 

    

       Gambar 8 : Sketsa ruang stand / kios pedagang     Gambar 9 : Suasana ruang stand lantai 2 

 

Tabel 1 : Aktivitas dan teritori 

Seting / Ruang  Aktivitas di  

Teritori publik  Aktivitas di  Teritori sekunder  Aktivitas di  Teritori primer  Indikasi Perubahan  seting  Koridor / selasar lt.2  Seting  ini  digunakan 

sebagai  jalur  sirkulasi  pedagang dan pembeli 

Pemanfaatan  seting 

untuk  meletakkan 

display  barang 

dagangan 

Tidak ada Ada  perubahan dari 

publik  menjaji 

sekunder  Koridor / selasar lt.3  Seting  ini  digunakan 

sebagai  jalur  sirkulasi  pedagang dan pembeli 

Pemanfaatan  seting 

untuk  meletakkan 

display  barang 

dagangan 

Tidak ada Ada  perubahan dari 

publik  menjaji 

sekunder  Hall / lobby lantai 2  Seting  ini  digunakan 

sebagai  jalur  sirkulasi  pedagang dan pembeli 

Pemanfaatan  seting 

untuk  meletakkan 

display  barang 

dagangan 

Seting  ini  digunakan  oleh pedagang informal  

Ada  perubahan dari 

publik  menjadi 

sekunder dan primer 

Stand / kios   Tidak ada  Berada di jalur sirkulasi 

di  depan  stand/kios 

sebagai tempat untuk 

melakukan  transaksi 

dengan pembeli. 

Seting  ini  digunakan  oleh pedagang 

Ada  perubahan dari 

primer  menjadi 

sekunder  

 

Dari hasil analisa terhadap keempat seting diatas, maka didapatkan adanya kecenderungan  perubahan teritori. Teritori publik berubah menjadi sekunder atau primer. Perubahan tersebut   tidak  saja  diakibatkan oleh perilaku pedagang, melainkan juga karena disain pasar yag memungkinkan 

terjadinya  penyimpangan  perilaku.  Disain  stand  yang  seragam  bentuk  dan  ukurannya,  tidak 

Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati

 

 

jenis barang dagangannya, alangkah pentingnya mengenali calon pedagang yang akan menempati 

ruang‐ruang pasar tersebut. Untuk itu studi   perilaku terkait dengan disain sangat dibutuhkan diawal 

perencanaan  sebuah  pasar.  Dengan  mengenali  budaya  terkait  perilaku  calon  pengguna  akan 

membuahkan sebuah disain yang  khas  dan unik.  Sehingga bisa jadi  disain pasar  akan  beragam  tergantung dari nilai lokalitas disamping jenis komoditas barang yang akan diperdagangkan. 

 

Kesimpulan 

Pedagang formal yang memiliki stand / kios, memiliki kesamaan perilaku yaitu memindahkan  sebagian barang dagangannya ke arah koridor / selasar yang digunakan untuk jalur sirkulasi pengunjung. 

Akibatnya  terjadi  penyempitan  jalur  dan  menghambat  gerak  pengunjung.    Perilaku  tersebut 

dimaksudkan untuk menarik pengunjung (visibilitas) untuk melihat dan membeli barang atau jasa yang  ditawarkan. Kesamaan bentuk dan ukuran stand / kios juga menjadi salah satu kendala pengenalan 

tempat  bagi  pengunjung,  sehingga  barang  dagangan  yang  digelar  di  koridor  dapat  menjadi 

penanda.Sementara  pedagang  sektor  informal,  memanfaatkan  ruang  publik  seperti  hall  untuk 

menggelar  dagangannya,  dengan  konsep teritorialitas  berupa  alas  tempat berjualan.  Posisi  yang  dianggap strategis adalah pada pertemuan jalur sirkulasi vertikal dan horisontal.   Tujuan agar mudah  dikenali (visibilitas) menjadi yang utama.  

Adanya indikasi perubahan nilai teritori hampir sebagian besar dilakukan oleh pedagang.  Teritori yang semula publik seperti ruang koridor / selasar, menjadi teritori sekunder. Teritori primer  ruang stand / kios, karena kebutuhan luasan ruang yang kurang memadai, disulap oleh pedagang  dengan mengambil sebagian ruang selasar / koridor yang ada didepan standnya menjadi teritori  sekunder. Untuk membatasi wilayahnya, maka dihadirkan benda / benda atau alas barang dagangan  sebagai batasannya. Pembiaran ini seolah menjadi hal legal dan lumrah dan tidak ada tindakan dari  pengelola pasar. Terjadinya pergeseran nilai teritori ini, menjadi sebuah keniscayaan karena tidak ada  perubahan dari hari kehari. Hal ini seolah tidak disadari oleh para pedagang, karena akibat ulahnya,  pengunjung dirugikan. Untuk itu kesadaran akan hak orang lain menjadi kunci kenyamanan beraktivitas  di ruang publik. 

Bintari, B. 

Daftar Pustaka 

Altman, Irwin [1975], The Environment and Social Behaviour : Privacy, Personal Space, Territory and  Crowding. Brooks/Cole, Monterey California. 

Deddy Halim, Ph.D [2005], Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Grasindo, Jakarta  Holahan,CJ [1982], Environmental Psikology, Random House, New York. 

Lang, Jon ;editor [1974], Designing for Human Behavior : Architecture and the Behavioral Sciences  Lang, Jon [1987], Creating Architectural Theory : The Role of the Behavior Sciences in Environmental 

design, Van Nostrand Reinhold, New York. 

Muhadjir, Noeng [2000] Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta. 

kelompok‐kelompok. 

5. Teritori berhubungan dengan kepuasan terhadap kebutuhan/ 

dorongan atas 

Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati

Surabaya, ‐ Mei

Rumah Dome New Nglepen Yogyakarta: Bukan Sebuah Pendekatan 

Perancangan yang Berempati 

 

Bertha Bintari, ST., MT., MAID 1    

Abstrak  

Suatu rancangan akan mempengaruhi perubahan perilaku penggunanya. Dan berlaku sebaliknya perilaku  pengguna akan mempengaruhi bagaimana sebuah rancangan dibuat. Perubahan perilaku seringkali merupakan  ‘pemaksaaan’ dari pada sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Proses menyesuaikan diri dan  menyelesaianterhadap masalah dalam rancangan dikarenakan pengguna yaitu manuisa adalah secara alami  merupakan mahluk yang memiliki kemampuan mengadaptasi hal‐ hal   baru. Perubahan perilaku tidak selalu  merupakan perubahan yang dapat diamati secara fisik, tetapi   sering merupakan perubahan secara psikologis.  Dengan perancangan yang memahami kebutuhan pengguna dari sisi ikut mengalami interaksi dan pengalaman –  pengalaman karena suatu rancangan, akan membantu perancang untuk merancang dengan lebih tepat terhadap  pemenuhan kebutuhan pengguna. Pendekatan perancangan dengan pemahaman akan kebutuhan pengguna  tersebut merupakan perancangan yang menggunakan pendekatan empati. Pendekatan perancangan berempati  merupakan perancangan dengan pendekatan kepada pemusatan terhadap pengguna.Aspek yang perlu diperhatikan  dalam perancangan dengan empati adalah aspek psikologis sebagai efek dari rancangan tersebut. 

 

Pendahuluan 

Merancang  dengan  empati,  adalah  merancang  dengan  menjadikan  diri  sebagai  bakal 

penggunanya.Prinsip berempati adalah ikut serta mengalami sebuah kejadian, mengamati dan tidak  langsung menghakimi dengan dalil dalil pengetahuan . Prinsip empati tidak sama dengan prinsip logika,  sebab dan akibat. Prinsip empati diawali dengan penerimaan sesuatu kejadian sebagai sebuah hal baru  yang harus dipahami dengan cara baru yang berbeda dari yang sudah pernah diketahui sebelumnya.  Tentu saja menerima sesuatu kejadian akan membuat kebingungan yang tidak nyaman. Tetapi setelah 

proses menerima , tanpa menghakimi terlalu dini akan memberikan pemahaman tentang kejadian 

tersebut, secara lebih terang. Dan memiliki kebaruan cara pandang dari sisi yang berbeda. Pada proses 

tersebut maka pemahaman awal akan memberikan peluang mendapatkan pengetahuan yang lebih 

banyak dan baru. 

       

1

Bintari, B. 

 

Metode Merancang dengan Empati  

Desain merupakan upaya memecahkan kesenjangan kebutuhan dengan   memenuhi standar 

ideal yang diharapkan. Bagian perbagian dari sebuah rancangan merupakan hasil pengolahan kreatif 

atas usaha memenuhi standar ideal tersebut. Pendekatan perancangan yang   didapatkan dengan 

penelitian melibatkan banyak aspek yang berpengaruh terhadap hasil perancangan tersebut. Penelitian  dalam sebuah desain adalah upaya melihat suatu kebutuhan dikarenakan adanya kesenjangan sehingga  suatu permasalahan pada pengguna timbul.  

Pada dasarnya manusia diberi kemampuan memecahkan masalah dengan cara yang sederhana dan 

kreatif. Kreativitas menyelesaikan masalah inilah yang perlu dikembangkan sebagai suatu metode 

perancangan yang memberikan kemungkinan pengguna mengeksplorasi kemungkinan – kemungkinan 

menyelesaikan masalah dengan penyesuaian terhadap kebutuhan masing – masing. 

Perancang seharusnya mampu menyesuaikan keseimbangan ketercapaian tujuan dan manfaat 

dengan kemungkinan pengguna mengeksplorasi , mengadaptasi dan secara kreatif menggunakan karya  desain yang dirancangnya. 

Memanusiakan manusia dengan tidak mengeksploitasi atau mengatur pengguna dalam hasil rancangan  menjadi sangat penting. Pengguna akan lebih merasa terlibat di dalam prosesnya dan akan memperkaya 

inovasi  untuk  pengembangannya  dengan  memberikan  pengujian  dan  gagasan  yang  berdasarkan 

kebutuhan mereka. 

Metode perancangan empati diperlukan untuk dapat merancang sesuai dengan penggunanya 

berdasar  pengalaman  dan  penerimaan  terhadap  suatu  fenomena  kejadian  yang  memunculkan 

kesenjangan masalah desain tersebut. Empati untuk merasakan dan memiliki pengalaman sebagaimana  pengguna akan memberikan jalan untuk mencari solusi desain secara kreatif. Hubungan kreatifitas  perancang dengan kreatifitas pengguna akan menghasilkan pengembangan desain baru yang inovatif 

dan lebih memenuhi apa yang dibutuhkan oleh penggunanya. Proses merancang dengan empati 

memerlukan waktu dan proses yang lebih panjang namun justru di akhir pencarian solusinya lebih 

memberikan kemungkinan memudahkan berpikir sistematis yang merupakan metode kreativitas dalam 

perancangan. 

Perancangan dengan empati juga merupakan perancangan yang melibatkan aspek psikologis  manusia sebagai  pengguna. Selain  melibatkan psikologis pada awal prosesnya  kelak  desain akan 

mempengaruhi  psikologis  pengguna,  perilaku  pengguna  dan  kebiasaan  pengguna.Manusia  pada 

Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati

 

 

lingkungannya. Kemampuan memodifikasi dan menyelesaikan suatu masalah dengan cerdas menjadi 

pertimbangan dalam perancangan. 

Perancangan empati pada dasarnya mempunyai tujuan untuk memusatkan tujuan perancangan  kepada kebutuhan pengguna (User centered Needs). Dengan empati maka perancang akan memahami  kondisi pengguna hasil rancangannya. Dengan pemahaman ini maka, perancangan akan lebih memenuhi  kebutuhan pengguna dan memenuhi fungsional bagi kegiatan pengguna. 

Empati , sebagai tahap paling awal dalam proses perancangan   menurut Tim Brown adalah  tahapan inspirasi.   Empati merupakan bagian penting social competency (kemampuan sosial).Empati  juga merupakan salah satu dari unsur‐unsur kecerdasan sosial. Ia terinci dan berhubungan erat dengan 

komponen‐komponen lain, seperti empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian 

sosial. Empati dasar yakni memiliki perasaan dengan orang lain atau merasakan isyarat‐isyarat emosi 

non verbal.Penyelarasan yakni mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada 

seseorang.  Ketepatan  empatik  yakni  memahami  pikiran,  perasaan  dan  maksud  orang  lain  dan 

pengertian sosial yakni mengetahui bagiamana dunia sosial bekerja (Goleman, Daniel, 2007 :114)   Dengan memahami kondisi dan situasi orang lain dalam hal ini calon pengguna, maka faktor  bias harus dihilangkan. Bias dalam hal ini adalah menghakimi sesuatu keadaan orang lain dengan  menggunakan sudut pandang   diri sendiri. Bias disebabkan karena keinginan diri terhadap sesuatu 

masalah  dengan  memberikan  solusi  secara  terburu  –  buru  sebelum  memahami  masalah  yang 

sebenarnya. Proses bias terjadi ketika sedikit gejala dalam sebuah permasalahan terburu – buru 

dihakimi  dengan  pengetahuan  –  pengetahuan  empiris  dari  sudut  pandang  diri.  Padahal  untuk 

memahami  masalah  sebenarnya  terjadi,  proses  pemahaman  harus  melalui  proses  menerima 

sepenuhnya , membiarkan diri, dan rendah hati untuk mengalami bersama.  

Penelusuran dengan pengamatan dan berinteraksi dengan calon pengguna maupun pengguna 

lama akan membantu menemukan bagaimana cara memandang masalah dari sudut pandang pengguna‐ 

pengguna tersebut.Pengamatan seringkali harus dilakukan tidak hanya oleh arsitek atau perancangnya ,  tetapi merupakan suatu kerjasama terintegrasi dari bidang keilmuan lain, seperti antropologi dan  sosiologi. 

Pengamatan  dengan  metode  partisipatoris  akan  lebih  mendapatkan  fakta  riil  tentang 

bagaimana  pengguna  berinteraksi  dengan  rancangan  tersebut.  Pengamatan  yang  detil  akan 

mengakomodasi bahkan tentang sebuah penjelasan tentang adanya masalah yang mungkin tidak 

Bintari, B. 

dilakukan sebelum tahap perancangan sebagai tahap pengidentifikasian kebutuhan pengguna maupun 

ketika suatu model atau prototype rancangan diujicobakan kepada pengguna. 

Pernyataan  masalah  terhadap  suatu  rancangan    yang  tidak  ternyatakan  dalam  suatu 

wawancara dapat diamati melalui bagaimana ekspresi, dan interaksi yang terjadi ketika pengguna tidak  sedang dikondisikan untuk penelitian, tetapi melalui pengamatan ketika pengguna melakukan kegiatan  secara normal sehari – harinya. Pengamatan juga akan melengkapi data tentang aktivitas pengguna  ketika pengguna secara alami dan intuitif melakukan pengadaptasian, atau melakukan penyesuaian  terhadap masalah yang ditemuinya dalam rancangan tersebut.Hal ini sering kali menjadikan suatu 

masalah adalah tidak masalah ketika diwawancarai. Perancangan dengan empati bertujuan untuk 

memenuhi manfaat rancangan sebaik – baiknya dengan pendekatan kepada kepentingan pemenuhan 

kebutuhan pengguna. Pemahaman terhadap Kebutuhan pengguna dengan pendekatan empati adalah 

sebuah  usaha  perancangan  yang  lebih  lengkap  melingkupi  keterpenuhan  kebutuhan  fisik  dan 

psikologisnya. Teori Arsitektur psikologis menyatakan bahwa sebuah lingkungan binaan yang dirancang  untuk memenuhi persyaratan fungsional, struktural dan estetis yang tepat  akan mempengaruhi perilaku 

dan pengalaman – pengalaman psikis penggunanya.Pengalaman‐ pengalaman psikis diperoleh dari 

stimulus didalam rancangan tersebut. Stimulus tersebut antaralain menurut  Proshansky (1974)meliputi  tidak hanya cahaya, suara, suhu, bentuk, warna dan kepadatan, terhadap obyek – obyek fisik tertentu,  tetapi merupakan kompleksitas yang terdiri dari hubungan lingkungan terhadap penghuni, interaksi  antar penghuni dan aktivitasnya.  

Pendekatan terhadap efek psikologis dari sebuah rancangan penting diperhatikan sebagai salah 

satu komponen dalam perancangan dengan empati. Bangunan yang memenuhi fungsionalnya secara 

fisik belum tentu memenuhi secara psikologis penggunanya. Perubahan – perubahan perilaku yang  diakibatkan oleh sebuah rancangan merupakan efek perubahan secara psikologis pengguna terhadap 

suatu rancangan.Pengalaman – pengalaman baru dialami oleh pengguna dalam interaksinya dengan 

rancangan.  Pengalaman  untuk  beraktivitas  dan  berinteraksi  mempengaruhi  cara  berperilaku  dan 

merespon rancangan tersebut. Empati dalam hal ini diperlukan untuk memahami pengalaman interaksi  dengan rancangan tersebut secara pengalaman psikologis karena seringkali tidak dapat terlihat langsung  secara fisik. Empati akan membantu memahami komponen – komponen psikologis yang mempengaruhi  suatu rancangan, yang tidak terlihat  dan tidak ternyatakan dalam pengamatan secara fisik. 

 

 

 

Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati

 

 

Studi Kasus Pembangunan Rumah Dome  

Pembangunan rumah untuk relokasi penduduk yang terkena Gempa Yogyakarta tanggal 26 mei  1996 di desa Ngelpen, Yogyakarta sempat menuai berbagai tanggapan.  Tanggapan datang dari berbagai  pihak yaitu arsitek, antropolog, sosiolog dan kalangan masyarakat. Perdebatan antara lain tentang 

ketidak  sesuaian  bangunan  tersebut  terhadap lokalitas budaya  ber’rumah’  jawa,  ketidaksesuaian 

arsitektur bangunan, serta ketidak sesuaian secara fisik terhadap iklim local, tropis. Pada pembahasan  tulisan ini, analisis dilakukan terhadap tanggapan pasca huni rumah dome di New Nglepen, diluar dari 

perdebatan tentang aspek bangunan arsitektur tradisional dalam budaya Jawa. Pembahasan akan 

ditekankan kepada kenyamanan hunian terhadap aspek fisik dan psikologisnya. Meskipun sebenarnya 

ketidaksesuaian  arsitektur  bangunan  juga  merupakan  aspek  yang  memepengaruhi  psikologis 

penghuninya,  namun  dalam  hal  ini  pembatasan  diperlukan  untuk  lebih  memusatkan  diri  pada 

kebutuhan pengguna dalam rangka mengadaptasi dan berinteraksi lebih baik terhdap rancangan yang  sudah ada. 

Pembangunan  rumah  dome  merupakan  bantuan  dari  Fisiknya  dikerjakan  DFTW  sedang 

biayanya disediakan WANGO. Banyak pihak menilai bahwa pada waktu pembangunannya masyarakat 

tidak diajak untuk mendiskusikan tentang kebutuhan mereka. Kondisi ‘terpaksa’ membuat masyarakat  harus menerima kondisi dan situasi tesebut. 

Beberapa hal ditemukan adalah bahwa bentuk, bahan bangunan dan arsitektur yang tidak  sesuai dengan iklim Yogyakarta membuat penghuni tidak nyaman tinggal dalam rumah tersebut. Secara  fisik bangunan dome memiliki denah bulat, dinding dilengkapi pintu dan jendela tanpa tritisan, bagian  atas dilengkapi lubang ventilasi. Bentuk konstruksi dome yang membulat menyebabkan air hujan  mengalir  langsung  di  sepanjang  dinding  dari  kubah  sampai  ke  tanah.  Ini  berarti  bahwa  pintu,  jendela, termasuk kusen yang semuanya terbuat dari kayu secara frontal terkena langsung efek dari  musim tahunan. Jika di musim penghujan seperti ini, mereka terkena terpaan angin sekaligus air yang  membasahi rumah. Di musim panas, sengatan sinar matahari akan langsung masuk ke pintu jendela itu.  Di musim penghujan rata‐ rata keluhan yang dirasakan penghuni adalah masukknya air hujan dari bagian  atas dome, merembesnya air dari sela – sela ubin lantai sampai setinggi mata kaki dan tampias air hujan  masuk melalui ventilasi / bovenlicht jendela dan pintu.Pada malam hari udara terasa pengap , namun  penduduk tidak mau membuka jendela karena serangga dan nyamuk sangat mengganggu mereka. 

     

Bintari, B. 

Tabel 1.. Jenis keluhan terhadap fisik bangunan 

No.  Jenis keluhan fisik bangunan 

1.  Atas bangunan bocor  2.   Tampias ,air  masuk rumah  3  Dinding bocor 

4  Lantai terendam rembesan air dari bawah  5  Luasan denah rumah sempit 

6  Bentuk ruang menyulitkan aktivitas  7  Dinding berembun , lembab 

Sumber: analisis penulis dari data lapangan   

Tabel 2. jenis keluhan  psikologis 

No  Jenis Keluhan psikologis  

1.   Kenyamanan suhu (panas didalam dan gersang, pengap)  2  Kenyamanan privasi (KM/WC komunal) 

3  Kenyamanan bersosialisasi (tidak dekat kerabatnya) 

4  Kenyamanan  beraktivitas  (ruang  sempit  untuk  acara  bersosialisasi, dapur tidak sesuai kebiasaan dan ekonomi)  5  Kenyamanan ekonomi (biaya hidup lebih mahal, tidak dpt 

bertani) 

6  Kenyamanan visual (silau, bentuk aneh) 

Sumber: analisis penulis dari data lapangan   

Tabel 3.Keluhan terhadap ketersediaan fasilitas dan lingkungan 

No.  Jenis Keluhan 

1  Air mudah didapatkan tapi kotor dan bau  2  Jenis tanah liat menyulitkan untuk bertanam  3  Km/wc bersama dan jauh dari rumah tinggal  4  Tidak memudahkan untuk mengawasi anak  5  Tidak memudahkan memasak  

6  Ruang kurang banyak 

7  Terlalu rapi dan teratur, tidak cocok untuk orang desa  8  Fasilitas alat saniter tidak sesuai dg kebiasaan  9  Tidak ada kandang dan gudang 

Sumber: analisis penulis dari data lapangan 

Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati

 

 

Untuk mengatasi kelemahan desain ini, beberapa rumah terlihat sudah direnovasi. Paling  banyak adalah menambahkan kanopi di pintu dan jendela. Beberapa terlihat menambahkan bangunan  dari kayu berbentuk limasan yang menempel langsung di dinding rumah dome itu. Proses adaptasi  menyeluruh  bagi warga yang menjadi penduduk permukiman tersebut berlangsung lambat. Penduduk  asli desa Sengir (ngelepen lama) lebih memilih tinggal di rumah lama mereka, selain lebih luas, lebih 

teduh, dan  lebih  dekat  dengan  sawah atau ladang  serta ternaknya.Mengingat  tradisi  bermukim 

penduduk desa yang bersifat agraris di kawasan tropis, dan lingkungan tradisi adat desa Jawa banyak  warga yang cukup kesulitan untuk tinggal di permukiman ini. Sebagai contoh, warga yang sebagian besar  pencahariannya adalah sebagai petani di sawah dan ladang, mereka membutuhkan kandang tempat  ternak mereka, dimana di perumahan ini tidak disediakan lahan yang cukup untuk kandang tersebut.  Selain itu modul rumah kubah yang sempit tidak bisa mengakomodasikan kebutuhan akan ruang‐ruang  fungsional bagi warga. Sistem struktur sosial warga pedesaan yang setiap rumah biasanya dihuni oleh  beberapa kepala keluarga yang masih dalam satu garis keturunan, kondisi rumah kubah yang sempit ini  tentu saja kurang memadai. 

 

 

Gambar.1.Lingkungan rumah Dome, Nglepen Baru (doc.penulis)   

Pengadaptasian yang berat untuk penduduk adalah tentang kegiatan memasak.Keberadaan 

dapur bersih dalam rumah dome ini kurang mengakomodasi perilaku sehari‐hari warganya. Penduduk  desa masih biasa menggunakan tungku kayu, tapi di rumah dome ini tidak ada dan tidak diperbolehkan 

untuk menggunakan alat ini. Banyak warga yang masih tetap menggunakan tungku kayu dengan 

membangun dapur kotor tambahan di halaman belakang yang menyatu dengan rumah dome, sebagai 

pengembangan bangunan itu sendiri namun dalam taraf semi permanen.Penggunaan tungku kayu 

Bintari, B. 

Tabel 4. Perubahan bangunan  No  Jenis Perubahan Bangunan 

1  Penambahan teritisan  2  Penambahan teras 

3  Penambahan bangunan untuk dapur  4  Penambahana warung 

5  Penambahan untuk cuci, km dan gudang  Sumber: analisis penulis dari data lapangan   

Permasalahan lain adalah tentang kamar mandi. Kamar mandi yang sifatnya komunal dinilai  terlalu sempit. Selain itu adalah karena kamar mandi terpisah dari rumah perkeluarga dan berjarak, akan  menyulitkan ketika malam hari dan ketika musim penghujan.Kebutuhan kamar mandi tidak hanya untuk  aktivitas mandi tetapi penduduk juga membutuhkan sebagai fasilitas untuk mencuci pakaian. 

Perkembangan pada saat ini, menunjukkan bahwa sebagian penduduk yang semula merasa 

aneh  dengan  bangunan  tempat  tinggalnya  kini  mulai bisa  beradaptasi. Dari  penelitian,  ternyata 

ditemukan bahwa kecenderungan penduduk yang mampu beradaptasi dengan lingkungan  huniannnya 

yang  baru  adalah  penduduk  pendatang  atau  bukan  penduduk  asli  dari  desa  sengir/Ngelepen 

lama.Penduduk yang beradapatasi memanfaatkan lingkungan baru tersebut yang telah dipromosikan 

sebagai daerah tujuan wisata baru, dengan membuat rumah dome sebagai warung, tempat meeting  bahkan untuk live in

Kualitas hidup manusia dalam komunitas hunian tidak hanya dipengaruhi oleh kepuasan atau  kenyaman secara fisik saja, tetapi juga sangat dipengaruhi kondisi sosial lingkungannya. Lingkungan  sekitar merupakan faktor eksternal seperti komunitas, tetangga dan kota itu sendiri sebagai penunjang  aktifitas.  Hal ini akan mempengaruhi  tingkat  kepuasan  seseorang secara  personal yang  meliputi 

pengukuran  atau  penilaian  individu  mengenai  kehidupannya,  tingkat  kepuasannya,  kenyamanan, 

kebahagiaan dan prioritas individu yang semuanya sangat tergantung dari karakteristik seseorang (Yuan,  et all, 1999). 

Menurut Kane dalam Yuan, et al, 1994:4 bahwa komponen kualitas hidup dibagi ke dalam 11  bagian : 1). Keamanan, 2). Ketenangan fisik, 3). Kepuasan, 4). Kegiatan yang bermanfaat, 5). Pola  hubungan sosial, 6). Keahlian yang bermanfaat, 7). Kedudukan, 8). Privasi, 9). Kepribadian, 10). Otonomi,  dan 11). Keimanan. 

Mengetahui efek dari suatu rancangan terhadap tujuannya merupakan sebuah evaluasi penting  akan sebuah keberhasilan rancangan. Ketika kualitas hidup adalah tujuan utama dari suatu rancangan 

Seminar Nasional – Menuju Arsitektur berEmpati

 

 

maka evaluasi efek‐ efek terhadap pengguna membantu perancang mengetahui tentang kebutuhan – 

Dokumen terkait