• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSEDUR PENGAJUAN GRASI KEPADA

C. Standar Baku Permohonan Grasi Dikabulkan

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi (UUD). Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau

kekuasaan eksklusif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu kedudukan resmi.

Dengan demikian, dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang- undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik.

Menurut Pompe19

1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada penafsiran yang lebih , terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi, yaitu:

19

Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984. hlm. 287-288

luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari Hoge Raad tanggal 15 Oktober 1923, N.J. 1923 W. 11113;

2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;

3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut;

4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan;

5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis.

Sedangkan menurut Van Hattum20

20

Ibid, hlm 288-289

“Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot gratieverlening.” Yang artinya:

“Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.”

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan drinya telah berubah menjadi lebih baik,maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Dalam undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Masing-masing instansi mulai dari Hakim Ketua Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung sampai Mahkamah Agung menyertakan pertimbangannya berkaitan dengan pemebrian atau penolakan grasi terhadap seorang terpidana. Dalam UU

No. 22 tahun 2002 terdapat penyederhanaan birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa presiden mempunyai kekuasaan mutlak atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945, bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus dilaksanakan.

Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan pendekatan aliran klasikdalam kriminologi, presiden harus membuat masyarakat merasakan ketentraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Keberadaan penjahat telah merusak keseimbangan sosial. Keadaan tersebut harus dipulihkan. Presiden harus menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat. Sedangkan manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.

Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden dalam memutuskan penolakan atau pengabulan permohonan grasi terpidana mati disamping melihat karakteristik dari kejahatan yang dilakukan,

juga harus memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga dapat diwujudkan manfaat bagi masyarakat banyak.

Dari uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun ketentuan-ketentuan tertulis lainnya. Namun, secara garis besar dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan;

2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik.

3. Hanya ada keadaan/faktor tertentu diluar peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima (5) keadaan, yaitu adanya kekurangan dalam peraturan perundang- undangan, ada hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi terpidana, terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga

pemasyarakatan, terpidana dipandang pantas mendapatkan grasi karena mengalami perubahan setelah menjalankan suatu masa percobaan, adanya hari besar/bersejarah sebagai cara untuk membuat terpidana mengenang dan menghargai hari itu sebagai bentuk nasionalisme/bela bangsa. Sedangkan menurut Van Hattum, disamping untuk meniadakan ketidakadilan apabila pemberlakuan hukuman itu menjurus kepada suatu ketidakadilan, kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.

4. Berdasarkan pendekatan aliran klasik dalam Kriminologi, Presiden harus membuat masyarakat merasakan ketenteraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana.

Sebelum sebuah permohonan grasi diajukan dan akhirnya dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau

melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana;

3. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun;

a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut,

b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan grasi diterima.

D. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Berdasarkan UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai berikut;21

1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama memberitahukan hak mengajukan grasi kepada terpidana sesaat setelah putusan dibacakan. Namun apabila terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan terpidana (dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa persetujuan terpidana) harus diajukan kepada Presiden setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan disampaikan kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi ini (dan salinannya) dapat pula disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana

21

menjalani pidana yang nantinya akan disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan tersebut kepada Presiden dan salinannya kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

3. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.

4. Setelah menerima permohonan yang diajukan, dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, Panitera Pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi (bila ada) kepada Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan ke Mahkamah Agung. 5. Mahkamah Agung (MA) memberikan pertimbangan-pertimbangannya

terhadap grasi yang diajukan terpidana.

6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, MA segera meneruskan berkas- berkas tersebut beserta pertimbangan yang tertulis kepada Presiden.

7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, apakah mengabulkan permohonan grasi atau menolaknya. Jangka waktu pemberian atau penolakan grai paling lambat tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian Keputusan Presiden megenai grasi tersebut disampaikan kepada terpidana paling lambat empat belas hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.

8. Salinan Keputusan Presiden (Keppres) tersebut disampaikan kepada: a. Mahkamah Agung,

b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana,

d. dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana terkait. Prosedur pengajuan grasi sebagaimana telah dipaparkan diatas merupakan prosedur pengajuan grasi yang baku yang harus dilakukan oleh terpidana maupun kuasa hukumnya baik pada pengajuan grasi yang pertama maupun pengajuan grasi yang kedua. Namun untuk dapat mengajukan permohonan grasi yang kedua, terpidana harus menunggu waktu dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama ditolak oleh Presiden.

BAB III

Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati

A. Bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi

Merujuk kepada ketentuan yang berlaku seputar pengaturan pidana mati, baik KUHP, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU No. 2/Pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati maupun UU pidana lainnya, tidak ada secara spesifik mengatur bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi. Namun melihata realita yang terjadi kepada para terpidana mati yang bahkan ada yang menunggu hingga puluhan tahun adalah suatu hal yang wajar jika terlontar pertanyaan, Bagaimanakah seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi? Pertanyaan ini bukan serta merta menginginkan para pelaku kejahatan segera dibumihanguskan melainkan sebagai pertanyaan korektif melihat banyaknya terpidana mati dalam kondisi yang tidak pasti dalam penantian menuju maut.

Pada dasarnya pidana mati dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang dilakukan terpidana (baik banding, kasasi, peninjauan kembali, maupun grasi) tidak membuahkan hasil. Berkaitan dengan faktor tertundanya pelaksanaan hukuman mati, keterkaitan peraturan perundang-undangan sangat berpengaruh dalam tertundanya hukuman mati. Antasari Azhar berkata, “Faktor utama tertundanya pelaksanaan eksekusi terpidana (dalam hal ini kejahatan narkoba_namun demikian pula halnya terjadi bagi terpidana lain termasuk pelaku

pembunuhan berencana seperti Dukun AS) terkait dengan peraturan perundang- undangan.”22

Antasari Azhar juga mengatakan selama seluruh syarat sahnya suatu eksekusi terpenuhi agar terjadi kepastian hokum, seorang eksekutor harus segera melaksanakan eksekusi tersebut. Faktor-faktor yang memungkinkan terlaksananya sebuah eksekusi hukuman mati terhadap terpidana menurut Antasari Azhar adalah:23

1. kondusifnya si terpidana, artinya syarat-syarat sahnya si terpidana utuk dapat dieksekusi terpenuhi misalnya; si terpidana tidak dalam keadaan sakit dan jika si terpidana seorang wanita tidak dalam keadaan hamil;

2. kesiapan eksekutor; 3. kesiapan regu tembak;

4. kesiapan lokasi, agar lokasi disiapkan agar tidak mengganggu ketertiban dan ketetntraman masyarakat;

5. kesiapan administrasi.

Masih menurut Antasari, factor-faktor yang dapat menghambat atau menunda terlaksananya hukuman mati terhadap terpidana yang telah mendapat keputusan hokum tetap antara lain adalah:

1. regulasi (peraturan perundang-undangan), saat ini dengan UU tentang Grasi dan UU tentang peninjauan kembali, dimana Peninjauan Kembali dapat diajukan dua (2) kali dan grasi dapat diajukan satu (1) kali. Inilah yang

22

Fajar Hari Kuncoro, Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Hukuman Mati Bagi Pelaku

Kejahatan Narkoba, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008, hlm. 54

23

menghambat terlaksananya eksekusi hukuman mati. Karena pengaturan teknisnya, kapan jarak waktu Peninjauan Kembali diajukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya hal ini dapat menghambat terlaksananya eksekusi;

2. persepsi, apakah Pengadilan Negeri yang menerima pengajuan Peninjauan Kembali dari seorang terpidana, otomatis dapat menolak jika dianggap pengajuan Peninjauan Kembali terpidana tidak relevan. Karena dalam hal ini Pengadilan Negeri tidak memiliki kapasitas dalam menolak Peninjauan Kembali. Karena dalam pengaturan hukum positif yang berlaku lembaga yang berwenang untuk itu adalah Mahkamah Agung;

3. kurangnya sosialisasi/publikasi;

4. waktu, fakta yang terjadi adalah pengajuan Peninjauan Kembali tidak dilihat dari novum (bukti baru) yang ada sementara teknis pengajuan Peninjauan Kembali menurut hukum positif yang berlaku adalah jika ditemukan bukti baru pada kasus yang ada, namun yang terjadi adalah pengajuan Peninjauan Kembali itu hanya untuk menyelesaikan haknya saja tanpa ada novum. Hal ini juga dilayani oleh Mahkamah Agung yang mana tentunya hal tersebut bertentangan dengan undang-undang sehingga proses pengambilan keputusan terkait diterima atau tidaknya Peninjauan Kembali menjadi lama.

Menurut Antasari, undang-undang tidak mengatur jarak antara Peninjauan Kembali yang pertama dengan Peninjauan Kembali yang berikutnya. Sehingga bilamana Peninjauan Kembali yang pertama ditolak sementara undang- undang tidak memberi definisi yang jelas mengenai jarak waktu antara Peninjauan

Kembali yang pertama dengan yang kedua, hal ini membuat eksekutor tidak dapat segera melakukan eksekusi.

Undang-undang juga tidak mengatur secara tegas dalam hal mana seorang terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali dan dalam hal mana pula seorang terpidana tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali, inilah yang menimbulkan kerancuan dalam sisi pihak eksekutor. Sehingga diperlukan perbaikan regulasi agar terjadi kepastian hukum dan juga untuk kepastian public serta agar si terpidana tidak terlalu lama menjalani masa hukuman di dalam penjara yang tentunya hal tersebut sudah melanggar hak asasi si terpidana.

Demikian pula halnya dalam hal sosialisai terkait peraturan perundang- undangan tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. Dimana masih ada ketidaksepahaman antara sesama penegak hukum maupun publik yaitu masyarakat secara umum, sehingga sering terjadi kerancuan manakala eksekutor masih memiliki kewenangan yaitu harus menyelesaikan instrument hukum yang harus dijalani apakah grasi atau Peninjauan Kembali. Oeh karena itu dirasa perlu adanya semacam perbaikan atau peninjauan kembali terhadap mekanisme pengajuan Grasi dan Peninjauan kembali agar terjadi kepastian hukum.24

Pada dasarnya dalam pelaksanaan pidana mati, syarat utamanya adalah perkara tersebut harus telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dalam hal ini sudah tidak ada lagi upaya hokum yang dilakukan oleh terpidana. Apabila perkara tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap,

24

maka Jaksa (Kejaksaan) belum dapat melakukan eksekusi terhadap pelaksanaan pidana mati.

Menurut Abdurachman Saleh, hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan pidana mati, antara lain:25

1. Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali waktunya sangat lama, sehingga menghambat perkara tersebut segera memperoleh kekuatan hukum tetap;

2. Keputusan Presiden atas permohonan Grasi terpidana belum diterima Kejaksaan, sehingga belum dapat dieksekusi;

3. aturan hukum mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali masih belum jelas, sehingga dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (kedua kalinya);

4. belum jelasnya aturan hukum yang mengatur apakah terpidana yang sudah mengajukan grasi dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan apakah grasi merupakan upaya hukum terpidana yang terakhir.

Sementara untuk percepatan pelaksanaan pidana mati, hal-hal yang sering dilakukan Kejaksaan antara lain:

1. meminta kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung agar putusan banding atau kasasi atau peninjauan kembali segera diterbitkan;

2. memohon kepada Presiden agar segera menerbitkan Keputusan Presiden mengenai menolak atau menerima Grasi terpidana;

25

3. memberi masukan kepada badan legislative dan instansi terkait, agar membuat aturan hukum yang jelas mengenai ketentuan Peninjauan Kembali maupun Grasi, artinya perubahan ketentuan.

Secara substansi, penyebab lamanya pelaksanaan pidana mati yaitu, bedasarkan pasal (24), (25), (26), (27), (28), (29) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan bahwa masa penahanan untuk terdakwa dengan pidana di atas sembilan (9) tahun dari mulai proses penyidikan sampai dengan keluarnya keputusan kasasi dari Mahkamah Agung adalah tujuh ratus (700) hari. Belum ditambah dengan masa peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung yang tidak dibatasi jangka waktunya, serta lamanya waktu presiden untuk mempertimbangkan keputusan grasi. Berbeda dengan peninjauan kembali yang tidak mempunyai jangka waktu, maka grasi berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Pasal 8, 9, 10, 11, 12 waktu maksimal yang dibutuhkan adalah tujuh (7) bulan sebelas (11) hari, jika grasi diajukan melalui kepala Lembaga Pemasyarakatan. Jika diajukan langsung tanpa melalui kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka jangka waktu yang ditempuh adalah tujuh (7) bulan empat (4) hari. Berdasarkan undang-undang ini, terpidana dapat mengajukan grasi kedua setelah permohonan grasi pertama ditolak, dan telah lewat waktu dua (2) tahun.

Dalam praktik, biasanya setelah permohonan kasasi ditolak, terpidana mengajukan grasi. Kemudian setelah grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan kembali. Seperti disebutkan sebelumnya, jangka waktu peninjauan kembali tidak diatur dengan jelas, sehingga diharapkan peninjauan kembali akan memakan

waktu lama, yaitu dua (2) tahun atau lebih. Pada saat itu, sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2002, maka ia sudah dapat mengajukan lagi grasi kedua. Jika kemudian grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan kembali. Sehingga ada beberapa terpidana yang telah mengajukan grasi dan peninjauan kembali berulang-ulang. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana memakan waktu yang relative lama untuk sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi.

B. Dapatkah dieksekusi selama upaya hukumnya masih berlangsung (studi kasus Dukun AS)

Pada dasarnya setiap putusan pidana dapat segera dilakukan pengeksekusian oleh pihak kejaksaan sekalipun terpidana melakukan upaya hukum atas putusan yang dijatuhkan terhadapnya. Apakah upaya hukum tersebut banding, kasasi, peninjauan kembali, maupun grasi.

Namun dalam hal putusan tersebut adalah putusan pidana mati, terdapat pengecualian. Pasal 3 Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang grasi mengatur, “Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Ketentuan dalam pasal tersebut mengisyaratkan bahwa semua putusan pidana dapat segera dieksekusi sekalipun terpidana melakukan upaya hukum, dalam hal ini banding, terkecuali untuk putusan pidana mati.

Hal yang menarik dalam kasus eksekusi terpidana mati Dukun AS, terpidana sudah dieksekusi sementara upaya hukum yang diajukannya untuk yang

terakhir kali (grasi kedua) melalui kuasa hukumnya dalam status yang masih dipertanyakan. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada saat itu, sebagai pimpinan institusi yang mengeksekusi Dukun AS, didampingi Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam pada saat itu, Tarmizi,SH, berdalih, “Grasi Dukun AS telah ditolak Presiden pada 27 November 2007. Secara hukum, pelaksanaan eksekusi itu telah sesuai prosedur dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Kemudian menambahkan, “Pelaksanaan eksekusi itu juga tidak salah meski Dukun AS mengajukan grasi kedua, karena sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi, upaya hukum itu hanya dapat dilakukan jika dalam dua tahun sejak penolakan grasi pertama kejaksaan belum melakukan eksekusi.”26

Namun bila dirujuk secara langsung kepada pasal yang dijadikan Kajatisu dan Kajari Lubuk Pakam untuk melakukan eksekusi terhadap Dukun AS,

Dokumen terkait