• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas, diperlukan penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut :

ldentify customer who are, or should be, served by the agency, survey the customers to determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction with existing service, post service standards and measure result against the best business, provide the customers with choice in both sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress customer complaints.

Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk

26

menentukan jenis dari kualitas pelayanan yang mereka inginkan dari untuk menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan, termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik, menyediakan berbagai pilihan sumber-sumber pelayanan kepada pelanggan dan sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.

Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme, yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut adalah :

a. Menentukan standar pelayanan;

b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya; c. Berkonsultasi dan terlibat;

d. Mendorong akses dan pilihan; e. Memperlakukan semua secara adil;

f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan; g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;

h. Inovatif dan memperbaiki; dan

i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.

Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan. upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti:

27

1. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha,

2. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

3. Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.

4. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No. 20/1996;

5. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran Mendagri No. 503/125/PUOD/1999; yang kesemuanya itu bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan.

6. Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum 7. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan

Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002 8. Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan publik.

Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.

28

Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yang dimaksud dengan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan. Serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya.

Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN, 2003) antara lain adalah:

1. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan.

2. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan

29

lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.

3. Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN (2003), kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain:

a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.

30

b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu.

c. Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.

d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.

e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan.

f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung.

g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.

31

h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.

i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia. j. Kejelasan dan Kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan

dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan.

k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, financial dan kepercayaan pada diri sendiri.

l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan memberikan perhatian secara personal.

m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang

32

digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya.

n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan. o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara

wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar.

Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah mengikuti prinsip-prinsip antara lain:

1. Diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain 2. Ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah

kabupaten/kota

3. Menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari pemerintah daerah

4. Bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah

5. Berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat mengukur pencapaian SPM.

Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada pelanggan ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian informasi kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan.

33 F.Standar Pelayanan Publik di Daerah

Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tabun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5) dinyatakan pula bahwa pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan

34

urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaran suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan

35

pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.

Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-bagi antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah

36

kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka SPM akin dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberapa prinsip yakni:

1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.

3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan wajibnya.

37

4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara merata.

5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.

6. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah, pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.

Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja pemerintah daerah, secara spesifik menetapkan kriteria SPM harus memperhatikan unsur input (tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan), output (keluaran), outcome (hasil atau wujud pencapaian kinerja), benefit (tingkat manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan impact (dampak atau pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan). Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome, benefit dan impact.

SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai

38

konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.

2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.

3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).

4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang.

5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah.

6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah.

39

7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat.

Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan perundang-undangan, yakni:

1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

3. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom;

4. PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;

5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;

6. PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

7. PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan

8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar pelayanan Minimal.

Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri,

40

Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing Departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan.

Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan.

Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di setiap Kecamatan sebagai Standar Pelayanan Minimal di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di bawah standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat

41

(departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan masing-masing departemen dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk diterapkan di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas) sektor yang dalam UU ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke pemerintah daerah, baru Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah siap melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia. Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah menginterprestasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada,

bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.

2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik. 3. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia 7-16 tahun.

42

4. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan

Dokumen terkait