• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standardisasi Alamat, Belajar dari Jepang A Fanar Syukr

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 74-79)

Kandidat Doktor Socio-Infomatics Research Laboratory, Graduate School of Information Systems, University of Electo-Communications, Tokyo Japan.

Sungguh, bukan hal yang mudah, untuk mencari suatu alamat yang belum kita kenal di Indonesia. Kita perlu banyak menyediakan waktu dan tenaga, bahkan bahan bakar bila dalam mencari alamat kita memakai kendaraan, karena harus sering-sering bertanya ke orang-orang yang kita temui di jalan, hingga dapat menemukan alamat yang kita cari. Jepang sejak 1962 telah membuat UU standardisasi alamat yang berlaku secara nasional, yang bisa kita tiru. Dengan adanya standar alamat, maka berapa banyak energi yang akan bisa dihemat, betapa lebih cepat & efisiennya servis distribusi surat dan paket akan dapat sampai ke tujuan.

Berapa Banyak Surat Dapat Diantarkan pak Pos?

Di pertengahan bulan Februari 2005 ini, penulis mengantarkan rombongan tim proyek telekomunikasi dari Indonesia, studi banding ke sebuah kantor pos di daerah pedesaan di Jepang (rural area), tepatnya di daerah Hakone-Yumoto, kabupaten (prefecture) Kanagawa, di Barat Laut Tokyo, Jepang. Rombongan sedang mengerjakan riset value-added kepada pak pos pengantar surat, agar dapat menjadi penjemput (pick-off) dan pengantar (delivery) surat-elektronik (e-mail), faks, koran internet dsb, dari jaringan global internet ke blank-spot yang belum ada akses internetnya.

Dibandingkan dengan menarik kabel telepon/internet dari kota ke desa untuk meng-online-kan desa ke dunia global internet, yang memerlukan beaya tidak sedikit; hanya dengan menambahkan servis yang lain kepada pak pos pengantar surat untuk menjadi pengangkut surat-surat dan file-file elektronik secara off-line, maka desa-desa yang blank-spot akan dapat terhubungkan ke internet. Keberadaan pak pos yang setiap hari keliling ke desa-desa, menjadi alternatif yang menarik, dan cukup murah. Proyek ini dibeayai oleh Asia Pasific Telecommunication (APT), sebuah konsorsium di Asia Pasific yang anggotanya

adalah para penyedia jasa telekomunikasi di negara-negara Asia Pasifik. Jepang menjadi penyandang dana terbesar di APT.

Salah seorang peneliti di grup adalah pegawai R&D pos Indonesia, bertanya kepada wakil kepala kantor pos kecil di Hakone-Yumoto tersebut, tentang berapa banyak surat yang dapat diantarkan oleh seorang tukang pos dalam sehari? Rata-rata 600 hingga 700 surat. Pegawai pos Indonesia

menggeleng-gelengkan kepala, terkagum-kagum. Wakil kepala pos, yang

bernama Mr.Tachibana, penasaran dengan gelengan kepala pegawai R&D pos Indonesia tersebut, “Kalau pak pos di Indonesia, berapa bisa diantarkannya dalam sehari?” Wakil kepala pos balik bertanya. “Hanya sekitar 200 surat,” kata pegawai pos tsb dengan muka sedikit ditekuk, karena merasa minder, sungguh tak bisa menjadi bahan pembanding.

Padahal, pak pos Jepang mengantar surat hanya 2 jam, dari jam 10:00 s.d. 12:00. 8:00-10:00 mereka memilah-milah surat yang akan diantarkan hari itu. Jam 12:00-13:00 dia istirahat makan siang di kantor pos, setelah itu mereka mengurusi premi asuransi dan tabungan atau servis-servis yang lain dengan mendatangi rumah-rumah, yang tadi pagi didatangi saat mengantar surat.

Dalam perjalanan pulang dari kunjungan kerja di kantor pos desa tersebut, penulis bertanya kepada wakil pos Indonesia. Kenapa pak pos di Indonesia hanya bisa mengantarkan surat 200 saja, pak? Beliau menjelaskan, bahwa alamat di Indonesia belum tersistemkan dengan baik. Belum ada standar pengalamatan. Apalagi UU alamat. Sering pemda membuat peraturan baru tentang alamat, sehingga pak pos pun bingung saat mencari alamat tujuan surat. Oh, ternyata banyak kehilangan waktu (lost-time)

di proses pencarian alamat.

Penulis yakin, bukan hanya penulis saja yang mengalami kesulitan dalam mencari alamat di tanah air. Ketika kita akan pergi ke suatu tujuan, yang alamatnya dan jalannya belum pernah kita ketahui, maka jalan satu-satunya untuk bisa selamat sampai tempat tujuan adalah bertanya ke orang-orang yang kita temui di jalan, khususnya di titik-titik persimpangan saat kita ragu mengambil jalan yang mana. Bahkan alamat di satu kota tempat tinggal kita sendiri pun, tak jarang kita masih perlu bertanya ke beberapa orang yang kita temui di jalan, sebelum kita bisa menemukannya.

Penulis pernah punya pengalaman memakai jasa travel Bandung, dari bandara Soekarno-Hatto (cengkareng, jakarta) ke Bandung. Sopirnya pun orang Bandung asli. Karena kebetulan waktunya malam dan jalan relatif sepi, Jakarta-Bandung dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam. Tetapi begitu sampai Bandung, sang sopir perlu waktu 1 setengah jam untuk bisa menemukan alamat tujuan, rumah teman saya di pinggiran kota sejuk itu.

Entah berapa banyak bensin yang terbuang percuma, karena sang sopir harus berputar-putar mengelilingi kota kelahirannya, turun dari mobilnya untuk bertanya ke tukang ojek, penjaga warung rokok, peronda, atau ke pemuda yang nongkrong di perempatan jalan. Syukur, akhirnya ketemu juga alamat teman saya di sebuah kompleks perumahan di luar kota Bandung itu, dalam waktu 50% perjalanan Jakarta-Bandung, yaitu 1 setengah jam!

Kalau 1 mobil harus membuang bensin sampai 50% waktu dan bahan bahan bakar seperti itu, berapa banyak bahan bakar yang sia-sia untuk mobil di seluruh Indonesia? Berapa banyak waktu yang terbuang percuma? Dari sudut pandang ekonomi, secara nasional, alangkah tidak efisiennya! Jangan-jangan pemerintah kita, memang belum sampai ke sana pemikirannya, karena masih banyak hal-hal mendasar yang belum terselesaikan. Apalagi hanya masalah pernik-pernik kehidupan: berindak tidak efisien dalam mencari alamat.

Bukan hanya sopir travel saja, bahkan tukang pos sendiri, yang setiap hari berkeliling mengantar surat di daerah jangkauannya, tak jarang harus bingung mencari alamat tujuan

surat, karena tidak ada standardisasi alamat, bahkan ada perubahan nama jalan yang tidak dilaporkan ke kantor pos. Entah berapa banyak bensin, waktu dan energi si tukang pos yang tersia-siakan, untuk berputar-putar menemukan alamat yang baru itu. Mungkin tak sebanding dengan harga perangko yang tertempel di surat. Bisa kita maklumi, bila dalam sehari kerja, pak pos Indonesia hanya bisa mengantarkan 200 surat (rata-rata). Jauh dari rata-rata pak pos Jepang yang bisa mengantarkan 700 surat dalam waktu 2 jam. Bahkan Gunther W. Holtorf, --pembuat peta Jakarta terlengkap di dunia--, mengakui bahwa sistem penomoran rumah di Jakarta pun tak beraturan. Sebagai contoh, di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, ada 6 rumah yang memiliki nomor sama (no.5)! Bayangkan, betapa sulit dan bingungnya tukang pos atau kurir saat mengantarkan surat atau barang, yang manakah yang memang berhak menerimanya, kata Holtorf. Penulis yakin, bukan hanya di Jakarta saja, tetapi juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia!

Aturan penomoran rumah yang relatif sudah baik, mungkin baru berjalan di kompleks perumahan-perumahan baru, karena sejak awal pengembang memang perlu memberi nomor yang berbeda, untuk rumah yang bentuknya sama atau mirip itu. Tetapi itu pun belum terstandarkan secara nasional.

Sebenarnya sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) 10/2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah, yang bertujuan untuk membakukan secara nasional atas unsur, simbol dan notasi peta, sehingga kualitas pemanfaatan ruang dalam skala nasional, wilayah, kabupatan dan kota dalam wujud rencana tata ruang dapat lebih ditingkatkan kualitasnya. Tetapi, PP tsb tak menyingung sedikit pun tentang standardisasi alamat.

Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dll, penamaan jalan pun belum ada standarnya. Bahkan ada gang-gang kecil yang diberi nama jalannya, tanpa koordinasi dengan pemda.

UU Standar Alamat di Jepang

Sejak tahun 1962, Jepang telah membuat UU alamat yang berlaku di seluruh Jepang.

Sempat mengalami revisi 3 kali di tahun 1967, 1983 dan 1985.

Beberapa alasan mengapa UU tentang alamat diperlukan Jepang, karena sebelum ada UU tersebut, masalah-masalah yang sedang kita alami di Indonesia, misalnya ada nomor rumah yang tumpang tindih, susah menemukan alamat, dsb. Kalau sekedar berkunjung kemudian bingung, alamat tidak ketemu-ketemu juga, mungkin tidak begitu menjadi masalah, tetapi saat ada gawat darurat, bagaimana bingungnya polisi, petugas kesehatan atau pemadam kebakaran menemukan alamat korban?

Teknis aturan di lapangan atas UU pengalamatan di Jepang adalah sebagai berikut:

1. Nama desa/kelurahan adalah yang mudah diucapkan dan sedapat mungkin mempunyai ikatan sejarah dengan masyarakat setempat. Sedangkan batas-batas desa/kelurahan adalah jalan, rel, sungai atau batas-batas lain, yang dalam jangka waktu lama tidak mudah berubah. Di Indonesia pun aturan ini sudah dilaksanakan. Semua desa dan kelurahan mempunyai batas yang jelas.

2. Desa/kelurahan dibagi dalam satuan blok. Di Indonesia pun sudah dibagi-bagi ke dalam RW dan RT.

3. Setiap blok dibagi lagi dalam satuan yang lebih kecil menjadi kapling dengan lebar 5 atau 10 meter (bisa disesuaikan dengan kondisi daerah). Penomoran kapling dimulai dari tanah yang paling atas sebelah kiri, memutar searah jarum jam. Sedangkan nomor rumah ditentukan berdasarkan pintu utama rumah tersebut menghadap. Dalam contoh gambar 1, nomor rumah A adalah 15. Sedangkan rumah B yang besar, walaupun dia mengangkangi beberapa nomor sekaligus, tetapi karena pintu utamanya di nomor kapling 4, maka nomor rumah B adalah 4. Teknis penomoran kapling ini yang mungkin di Indonesia baru dilakukan di kompleks perumahan-perumahan baru saja. Penomoran tergantung kepada pengembang (developer) perumahan. Sedangkan di kampung-kampung, desa ataupun kelurahan yang sudah lama ada, masih memakai penomoran RT/RW. Tetapi secara nasional belum ada standar UU-nya.

Gambar 1. Contoh penomoran alamat di Jepang

Jadi, di Jepang, bila nama kelurahan/desa di gambar 1 adalah Akane, di kota Hachioji, kabupaten Tokyo; maka contoh sistem penulisan alamat di Jepang untuk alamat rumah B adalah: “3-4 Akane Hachioji Tokyo”, kemudian ditambahkan 7 digit nomor kode pos (dibaca “kabupaten Tokyo, kota Hachioji, kelurahan Akane, blok 3, bangunan nomor 4). Sedangkan alamat rumah A adalah “3-15 Akane Hachioji Tokyo”.

Bila seandainya gedung B adalah berupa apartemen yang terdiri dari banyak kamar, maka di alamat tersebut di atas tinggal ditambahkan nama apartemen dan nomor kamarnya. Misalnya “Sunview R.510, 3-4 Akane Hachioji Tokyo” yang bisa dibaca “gedung bernama Sunview, ruang 510 (lantai 5 kamar nomor 10), di kelurahan Akane blok 3, bangunan nomor 4, di kota Hachioji kapubaten Tokyo”.

Di Jepang, seperti di Indonesia, untuk efisiensi delivery surat, sampai Februari 1998 memakai nomor kode pos 5 digit. Tetapi sejak Februari 1998, Jepang menambahkan 2 digit lagi di kode pos-nya sehingga menjadi 7 digit, karena alasan efisiensi pengiriman surat. Dengan 7 digit, setiap desa/kelurahan di Jepang mempunyai nomor kode pos tersendiri. Bahkan kantor-kantor besar, universitas dll pun dapat memperoleh nomor kode pos khusus untuk mereka.

Di jepang setiap tahun baru, hingga saat ini masih ada budaya mengirim kartu ucapan selamat tahun baru kepada keluarga, teman, kenalan, atasan dsb, yang rata-rata setiap orang mengirimkan 61 lembar. Bila penduduk

Jepang ada 120 juta, maka kantor pos Jepang di awal tahun baru saja harus mendistribusikan kartu pos sebanyak 7 milyar lebih. Tanpa sistem pengalamatan yang baku, entah bagaimana pusingnya para tukang pos di Jepang.

Dengan adanya UU standar alamat di Jepang, maka manfaat utamanya adalah sebagai berikut:

1. Memudahkan orang yang baru pertama kali datang ke rumah/alamat, dalam mencarinya.

2. Mempercepat pertolongan datang ke tempat kejadian pada saat darurat, baik dari polisi, ambulan maupun pemadam kebakaran.

3. Mempercepat & mengefisienkan

penyampaian surat-surat pos, kiriman paket maupun telegram.

4. Mengefisienkan urusan birokrasi

pemerintahan lokal, karena alamat yang jelas.

Nama Perempatan Lebih Bermanfaat Penamaan jalan di Jepang, lebih banyak dipakai untuk jalan-jalan utama, jalan besar, atau jalan-jalan yang memang sudah ada sejak jaman samurai dulu. Jaraknya pun ada yang sampai beratus kilometer. Beberapa puluh tahun terakhir, Jepang lebih suka menomori jalan-jalan yang dibangun oleh negara, dibandingkan dengan memberi nama. Mungkin meniru Amerika.

Mana yang lebih mengandung banyak informasi, nama jalan, nomor rumah ataukah nama perempatan? Jawabnya, nama perempatan! Tidak semua jalan di Jepang mempunyai nama, tetapi hampir setiap perempatannya mempunyai nama. Nama perempatan ditempel di samping lampu-lampu lalu lintas yang terpasang di perempatan. Juga tertulis di buku-buku peta jalan, termasuk peta jalan versi digital yang dipakai dalam sistem navigasi mobil. Informasi perempatan sangat lebih bermanfaat dibandingkan informasi nama jalan.

Bertanyalah kepada tiang listrik yang berdiri tegak

Untuk lebih mempermudah bagi orang asing atau pendatang baru di suatu tempat, untuk membantu mempermudah dalam

menemukan alamat, maka banyak informasi tentang nama desa/kelurahan dan nomor blok-nya yang tertempel di tiang-tiang listrik di pinggir jalan. Ukuran standar plat-nya adalah 120 x 36 cm, yang bagian atas dipakai untuk iklan, dan yang bagian bawah (20 x 36 cm) adalah informasi alamat, nama desa dan nomer bloknya. Jadi ada hubungan simbiose mutualisme antara beberapa pihak, PLN dapat memperoleh penghasilan dari pemasang iklan, pemasang iklan selain memperkenalkan produknya juga memberikan manfaat kepada orang-orang yang sedang mencari alamat di daerah sekitar itu (lihat gambar 3).

Gambar 3. Iklan dan informasi alamat di tiang listrik

ercetakan peta atau map pun akan semakin

ila memang baik, kenapa kita tidak tiru Bila kita sudah punya UU standardisasi

alamat yang berlaku (dan dilaksanakan) di seluruh Indonesia, untuk dapat menemukan alamat yang kita cari dengan cepat dan efisien, maka pepatah “Bertanyalah kepada rumput yang bergoyang” yang tak pernah memberikan jawaban, akan tergusur oleh pepatah baru “Bertanyalah kepada tiang listrik yang berdiri tegak” di setiap sisi jalan, yang akan setia memberikan informasi alamat kepada siapa pun yang memerlukannya. Dengan UU standardisasi alamat, maka pemberian nama-nama jalan yang secara masif dilakukan oleh masyarakat Indonesia sampai ke gang-gang kecil, --yang nama jalan tersebut hanya familier untuk masyarakat setempat saja— akan dapat distandarkan ke dalam aturan yang mudah untuk menemukan alamat di seluruh Indonesia.

Dengan aturan standar alamat yang jelas,

meningkat, yang akan sangat memudahkan semua orang untuk menemukan alamat yang dituju, mengefisienkan waktu, tenaga dan bahan bakar alat transpot tukang pos dan kurir dalam pendistribusian surat dan paket, juga sangat bermanfaat untuk polisi, ambulan dan pemadam kebakaran.

B

aturan standardisasi alamat di Jepang untuk dipakai di Indonesia?

TOKOH

Dalam dokumen Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta (Halaman 74-79)