• Tidak ada hasil yang ditemukan

SITUASI DERAJAT KESEHATAN

INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT MENURUT KELOMPOK UMUR DENGAN PREVALENSI TERTINGGI DI INDONESIA SELAMA

C. STATUS GIZI

2. Status Gizi Balita

Menurut Standar WHO 2005 status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara yang diukur melalui indeks Berat Badan menurut umur (BB/U) atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB).

Kategori yang digunakan adalah: gizi lebih score>+2 SD); gizi baik (z-score-2 SD sampai +2 SD); gizi kurang (z-score<-2 SD sampai -3 SD) dan gizi

buruk (z-score<-3SD), sedangkan Indikator status gizi menurut MDGs (Millenium Development Goals (MDGs) adalah BB/U dan angka prevalensi status

”underweight” (gizi kurang dan buruk).

Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Secara nasional, menurut Susenas tahun 1989, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000, yang berarti mengalami penurunan sekitar 34%.

Dari hasil Susenas 2001 di Indonesia, persentase balita yang bergizi baik adalah sebesar 64,14%, yang bergizi sedang 21,51% dan sisanya 9,35% adalah balita bergizi kurang/buruk atau yang dikenal dengan istilah Kurang Kalori Protein (KKP). Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, persentase balita perempuan bergizi baik relatif lebih tinggi daripada balita laki-laki, demikian pula gizi kurang/buruk lebih tinggi pada balita laki-laki dibandingkan balita perempuan.

Berdasarkan Hasil Riskesdas secara nasional prevalensi balita gizi buruk dan kurang menurun sebanyak 0,5% yaitu dari 18,4% pada tahun 2007 menjadi 17,9% pada tahun 2010, demikian pula halnya dengan prevalensi balita pendek yang menurun sebanyak 1,2% yaitu 36,8% pada tahun 2007 menjadi 35,6% pada tahun 2010 dan prevalensi balita kurus menurun sebanyak 0,3% yaitu 13,6% pada tahun 2007 menjadi 13,3% pada tahun 2010.

Secara umum prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan menurut hasil Riskesdas 2007 adalah 5,1% dan gizi buruk 12,5% dari 23 Kabupaten/Kota terdapat delapan Kabupaten/Kota di atas angka provinsi dan Sulawesi Selatan sudah mencapai target pencapaian program perbaikan gizi pada RPJM 2015 sebesar 20% sedangkan pada tahun 2010 prevalensi balita gizi kurang dan buruk menurut indikator BB/U sebanyak 25,0%, balita pendek dan sangat pendek menurut indikator TB/U sebanyak 39,0% dan prevalensi balita gizi buruk kurus dan sangat kurus menurut indikator BB/TB sebanyak 12,5%.

Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 25,6 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Sulawesi Selatan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi tinggi.

Diantara 24 kabupaten/kota, terdapat tiga kabupaten/kota termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Bone, Pangkep dan Bantaeng.

Marasmus adalah gizi buruk yang disertai tanda-tanda seperti badan sangat kurus (kulit membungkus tulang), wajah seperti orang tua (pipi kempot, mata terlihat cekung), cengeng dan rewel, iga gambang, perut cekung, tulang belakang terlihat menonjol, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada dan sering disertai penyakit infeksi serta diare.

Kasus gizi buruk jenis marasmus di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sebanyak 48 kasus, empat kabupaten/kota terbanyak antara lain Pinrang 12 kasus, Bone 11 kasus, Luwu Timur 7 kasus dan Jeneponto sebanyak 6 kasus. Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang disertai tanda-tanda klinis seperti edema di seluruh tubuh, rambut tipis, wajah membulat dan sembab. Kasus gizi buruk jenis kwashiorkor ditemukan terbanyak pada Kabupaten Wajo 5 kasus, Soppeng, Pinrang, Selayar, Bulukumba dan Bantaeng masing-masing 3 kasus.

Sedangkan gizi buruk jenis marasmus-kwashiorkor (M+K) adalah gizi buruk dengan gambaran klinis yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok. Kasus M+K di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 terbanyak di Kabupaten Enrekang 7 kasus, Pangkep 6 kasus, dan Bone 5 kasus.

Pada Gambar IIIC.2 menunjukkan kabupaten/kota yang paling tinggi (14-50) kasus gizi buruk yaitu, Makassar, Bone, Pinrang, Wajo, Maros dan Toraja Utara dan adapun kabupaten terendah (1-3) yaitu Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Takalar, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo.

Gbr. III.C.2 Pemetaan Situasi Gizi Buruk di Sulsel, 2013

Wajo

Kota Ujung Pandang Pinrang Luw u Maros Kota Palopo Barru Kota Pare-Pare Bantaeng Soppeng Luw u Utara Luw u Timur Bulukumba Takalar Sidenreng Rappang Pangkajene Kepulauan Tana Toraja Jeneponto Sinjai Bone Enrekang Selayar Gow a

Berdasarkan laporan tahunan bidang Bina Kesehatan Masyarakat tahun 2010 hasil Penimbangan balita (D/S) di posyandu di kabupaten/kota sebesar 64,3% dengan kabupaten tertinggi tingkat pencapaiannya yaitu kabupaten Soppeng 89.1% dan kabupaten terendah yaitu kabupaten Tana Toraja sebesar 31.20%. Hasil pengumpulan data pada tahun 2011 status gizi balita terdiri dari balita ditimbang sebesar 508.661 balita, gizi lebih sebanyak 10.439 balita (2,05%), gizi baik sebanyak 431.744 balita (84,88%), gizi kurang sebanyak 30.473 balita (5,99%) dan gizi buruk sebanyak 2.527 balita (0,50%).

Untuk tahun 2012 berdasarkan pengumpulan data kabupaten/kota, balita yang ditimbang 420.049, gizi lebih sebanyak 8,041 (1,91%), gizi baik sebanyak 380.393 (90,56%), gizi kurang sebanyak 28.653 (6,82%), dan gizi buruk 2,962 (0,71%). Sedangkan untuk tahun 2013 balita ditimbang Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran Tabel 47.

Secara umum upaya kesehatan terdiri atas dua unsur utama, yaitu upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan, Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat, Upaya kesehatan masyarakat mencakup upaya-upaya promosi kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pemberantasan penyakit menular, pengendalian penyakit tiudak menular, penyehatan lingkungan dan penyediaan sanitasi dasar, perbaikan gizi masyarakat, kesehatan jiwa, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan penggunaan zat adiktif dalam makanan dan minuman, pengamanan narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya, serta penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, telah dilakukan berbagai upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Berikut ini diuraikan gambaran situasi upaya kesehatan khususnya untuk tahun 2013.

A. PELAYANAN KESEHATAN DASAR

Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan cepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa upaya kesehatan ibu ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu kesehatan sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang tersebut meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Upaya pemeliharan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi akan datang yang sehat, cerdas dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Upaya Pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan sampai 18 (delapan belas tahun).

BAB IV