BAB IV HASIL PENELITIAN
4.7. Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pola Makan Keluarga
4.7.3. Status Gizi Anak Balita (BB/TB) Berdasarkan Pola
yang meliputi tingkat konsumsi energi dan protein keluarga. Hasil lengkapnya ada pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.13. Distirbusi Status Gizi Anak Balita (BB/TB) Berdasarkan Pola Makan Keluarga di Desa Amal Tani Kecamatan Serapit Kabupaten Langkat tahun 2010
No. Pola Makan Keluarga
Status Gizi Anak Balita (BB/TB)
n %
Normal Kurus Sangat
Kurus n % n % n % 1. Konsumsi Energi : − Baik − Sedang − Kurang − Defisit 23 31 3 0 100,0 81,6 17,6 0,0 0 7 12 2 0,0 18,4 70,6 100,0 0 0 2 0 0,0 0,0 11,8 0,0 23 38 17 2 100,0 100,0 100,0 100,0 Total 57 71,2 21 26,3 2 2,5 80 100,0 2. Konsumsi Protein : − Baik − Sedang − Kurang − Defisit 13 30 13 1 100,0 90,9 48,1 14,3 0 3 14 4 0,0 9,1 51,9 57,1 0 0 0 2 0,0 0,0 0,0 28,6 13 33 27 7 100,0 100,0 100,0 100,0 Total 57 71,2 21 26,3 2 2,5 80 100,0
Status gizi (BB/TB) kurus pada anak balita dengan konsumsi energi keluarga kategori sedang sebanyak 18,4%, kategori kurang sebanyak 70,6% dan kategori defisit sebanyak 100,0%. Begitu juga dengan konsumsi protein keluarga, diperoleh sebanyak 9,1% anak balita yang memiliki status gizi kurus dengan konsumsi protein keluarga kategori sedang, sementara status gizi kurus pada anak balita dengan konsumsi protein keluarga kategori kurang sebanyak 51,9%, sedangkan pada kategori defisit sebanyak 57,1%.
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar (55,0%) keluarga memiliki pendapatan yang tinggi. Jumlah anak balita gizi kurang pada keluarga pendapatan tinggi hanya 20,5%, sementara gizi kurus pada keluarga pendapatan rendah ada 33,3%, bahkan pada pendapatan rendah tersebut ditemukan status gizi sangat kurus (5,6%) berdasarkan indeks BB/TB. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi kurus semakin meningkat pada keluarga dengan pendapatan rendah. Hasil penelitian Sarah, M. (2008) di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga kategori rendah (di bawah UMR) dengan berat badan menurut umur (BB/TB) anak balita.
Pendapatan keluarga merupakan faktor yang tidak langsung mempengaruhi konsumsi pangan, dimana terdapat hubungan yang positif antara pendapatan dan gizi karena pendapatan merupakan faktor penting bagi pemilihan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga yang berpendapatan rendah sering kali tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan sehingga kebutuhan gizi anggota keluarga kurang tercukupi (Berg 1986). Hal senada diungkapkan oleh Soehardjo (1989) bahwa jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga dipengaruhi oleh status ekonomi. Namun demikian Soehardjo (1989) menambahkan bahwa pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya
konsumsi pangan. Berg (1986) juga mengatakan bahwa peningkatan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan karena walaupun banyak pengeluaran untuk pangan, belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik.
Pada umumnya ibu bekerja di luar rumah dapat memberikan penambahan pendapatan keluarga. Namun hal ini dapat mempengaruhi pola asuh anak, karena ibu yang bekerja akan memiliki alokasi waktu yang lebih sedikit untuk keperluan anak terutama perhatian dalam konsumsi pangan anak. Oleh karena itu, walaupun ibu bekerja di luar rumah tetap tidak dapat meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga, pengasuh dan perawat anaknya (Dagun, 1990). Namun apabila ibu tidak bekerja di luar rumah, maka pendapatan keluarga akan rendah karena sebagian besar (71,3%) ayah bekerja sebagai petani. Dimana mereka miliki lahan yang tidak cukup, harga jual hasil panen yang rendah, harga beli pupuk meningkat ditambah lagi transportasi yang susah didapat karena jalannya sulit dilewati oleh kendaraan.
Status gizi anak balita berdasarkan jumlah anggota keluarga, persentase terbesar gizi kurus dari keluarga sedang (24,5%) dan (72,7%) keluarga besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua (95,0%) anak balita yang berasal dari keluarga kecil memiliki status gizi normal. Hasil penelitian Utomo, (2001) di Wilayah Kerja Puskesmas Suruh Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada
keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak- anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper, dkk., (1988), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.
Menurut Soehardjo (2003), jumlah anggota keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang tersedia di dalam keluarga. Selain itu jumlah anggota keluarga merupakan penentu dalam memenuhi kebutuhan makanan. Apabila anggota keluarga bertambah maka semakin tinggi pula kebutuhan akan pangan. Antara jumlah anggota keluarga dan kurang gizi juga mempunyai hubungan yang sangat nyata pada hubungan masing-masing keluarga. Terutama pada keluarga yang berpenghasilan rendah, pemenuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut.
Dari hasi penelitian juga diperoleh bahwa hanya sebanyak 18,4% anak balita dengan status gizi kurus pada pengetahuan gizi ibu kategori cukup, tetapi jumlah anak
balita gizi kurus meningkat pada kelompok ibu dengan pengetahuan gizi kategori kurang. Namun, pada kelompok ini juga ditemukan status gizi anak balita sangat kurus (7,7%). Banyaknya jumlah ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi kategori cukup dan kurang dikarenakan lebih dari separuh ibu (56,3%) berpendidikan SMP, bahkan masih ada (11,3%) ibu yang berpendidikan SD. Hasil penelitian Harmani, (2000) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa karakteristik ibu (umur ibu, pendidikan ibu, dan pengetahuan ibu) berhubungan dengan status gizi anak balita.
Menurut Soewondo dan Sadli (1990), pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Dengan demikian semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang maka ia akan lebih banyak menyerap pengetahuan gizi, dan hal ini akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang akan dikonsumsi.
Ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik cenderung memilih makanan yang lebih baik dari pada ibu yang berpendidikan rendah (Hardinsyah dan Suhardjo, 1987). Syarief dan Husaini (2000) menambahkan pendidikan ibu berhubungan dengan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan keluarga. Latar belakang pendidikan orangtua khususnya ibu merupakan salah satu unsur penting dalam penentuan gizi anak-anak. Dalam suatu keluarga biasanya seorang ibu yang berperan dalam pemilihan jenis pangan dan penentuan menu keluarga terutama bagi anak-anak. Peranan ini dalam pembentukan kebiasaan makan anak sangat menentukan, karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya dalam penyelenggaraan makan keluarga (Madanijah, 1994). Soehardjo (1989) menambahkan faktor kepercayaan dan
pengetahuan ibu berpengaruh terhadap jenis bahan pangan yang dikonsumsi keluarga sehari-hari.
5.2. Status Gizi Anak Berdasarkan Pola Makan Keluarga
Status gizi (BB/TB) kurus pada anak balita dengan konsumsi energi keluarga kategori sedang sebanyak 18,4%, kategori kurang sebanyak 70,6% dan kategori defisit sebanyak 100,0%. Begitu juga dengan konsumsi protein keluarga, diperoleh sebanyak 9,1% anak balita yang memiliki status gizi kurus dengan konsumsi protein keluarga kategori sedang. Sementara status gizi kurus pada anak balita dengan konsumsi protein keluarga kategori kurang sebanyak 51,9%, sedangkan pada kategori defisit sebanyak 57,1%.
Rendahnya konsumsi energi dan protein keluarga disebakan karena hampir separuh (45,0%) keluarga memiliki pendapatan kategori rendah, sehingga mempengaruhi keluarga dalam mengakses pangan yang cukup. Hal ini sesuai dengan pendapat Soehardjo, (2003) yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi balita. Dalam kaitannya dengan status gizi, pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik
Meskipun dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar (55,0%) keluarga memiliki pendapatan kategori tinggi, tetapi hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar (61,3%) keluarga memiliki jumlah anggota
keluarga kategori sedang, bahkan ada ditemukan jumlah anggota keluarga kategori besar (13,8%), maka hal tersebut dapat mempengaruhi pendistribusian pangan dalam keluarga, ditambah lagi dengan jumlah pendapatan rendah dan jumlah anggota keluarga juga banyak, maka dapat memperburuk keadaan status gizi anak balita. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo (2003) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Dimana anak- anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga lainnya dan anak yang kecil biasanya paling terpengaruh oleh kurang pangan. Sebab dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda perlu zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang lebih muda mungkin tidak diberi cukup makanan yang memenuhi kebutuhan gizi.
Dalam keluarga besar dengan keadaan ekonomi lemah, anak-anak dapat menderita oleh karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin bervariasi aktivitas, pekerjaan dan seleranya, sehingga jumlah anggota keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi yang dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Dalam hal ini faktor selera dari masing-masing anggota keluarga sangat berpengaruh, karena tidak semua anggota keluarga menyukai jenis makanan yang sama (Suhardjo, 2003).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Sebagian besar status gizi normal pada jumlah anggota keluarga yang kecil (3-4 orang), pendapatan keluarga yang tinggi dan pengetahuan gizi ibu yang baik, namun status gizi kurang, pendek dan kurus paling banyak pada jumlah anggota keluarga besar (7-9 orang) dan pengetahuan gizi ibu yang kurang.
2. Paling banyak status gizi normal ditemukan pada keluarga yang memiliki pola makan berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein yang baik, dan gizi kurang, pendek serta kurus pada tingkat konsumsi energi dan protein keluarga yang kurang dan defisit.
6.2. Saran
Perlu peningkatan pengetahuan ibu-ibu melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya tentang penyediaan makanan dalam tingkat rumah tangga yang sangat penting untuk mendukung perbaikan gizi keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2004. Analisis Perkembangan Konsumsi Pangan dan Gizi. ICASERD Working Paper No. 67.
Arikunto, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta
Ariningsih, E. 2002. Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Sebelum dan Pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Tesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Atmarita. 2006. Analisis Antropometri Balita (SUSENAS 1989 – 2005). Depkes RI.
BAPPENAS. 2004. Relevansi Paket Pelayanan Kesehatan Dasar Dalam Pencapaian Target Nasional dan Komitment Global. Jakarta.
Berg. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Rajawali. Jakarta Biro Pusat Statistik. 1999. Statistik Kesejahteraan Rakyat Indonesia. BPS. Jakarta. Catherine Lee. 1989. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta : Arcan. Dagun, S. M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rieka Cipta Bulan Bintang. Depkes RI. 2000. Makanan Pendamping ASI. Jakarta
. 2004. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta.
Gabriel A. 2008. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Serta Hidup Bersih dan Sehat Ibu Kaitannya dengan Status Gizi dan Kesehatan Balita Di Desa Cikarawang, Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi [Diktat yang tidak dipublikasikan]. Bogor : Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian. Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak,
dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ”Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004.
Harmany, A. 2000. Hubungan Antara Karakteristik Keluarga Dan Beberapa Faktor Terkait Dengan Status Gizi Baik Anak Balita Keluarga Miskin Di Kabupaten Gunung Kidul Dan Kabupaten Sukabumi Tahun 2000. Tesis UI.
Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1988. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Suhardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press.
Hasibuan, A.R. 2001. Perilaku Konsumen Mi Instan Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Makanan Pokok Beras di Yogyakarta. agrUMY IX (2): 98-104.
Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47
Madanijah, S. 1994. Masalah Makan pada Anak Sekolah. Makalah yang disajikan dalam Pelatihan dan Penyuluhan Pangan dan Gizi di Kalangan Pendidik Sekolah Dasar dan Menengah, Bandar Lampung, 24-28 Oktober
Martianto, D dan M. Ariani. 2005. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia Dalam Dekade Terakhir. Info Pangan dan Gizi. Edisi Khusus. Vol XV No. 2. Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Gizi Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehata, Jakarta.
Muhilal, I. Jus’at, H.M. Anwar, F. Djalal, dan Ig. Tarwotjo. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Dalam M.A. Rifai et al. (eds.). Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
Notoatmodjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta
Puskesmas Sekaran, 2005, Laporan Pemantauan Status Gizi Bulanan, Semarang: Puskesmas Sekaran Gunungpati Semarang.
Sajogya, dkk. 1994. Menuju Gizi Baik yang Merata dipedesaan dan di Kota. Yogyakarta : Gajah Mada Univesity Press
Sanjur, D. 1992. Social and Cultur Prespective in Nutrition. USA : Prentice Hall. Santoso, S., 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta
Sarah, Mia. 2008. Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2008. Skripsi FKM-USU.
Satoto. 1990. Pertumbuhan dan perkembangan anak, Pengamatan anak umur 0 –18 bulan di kecamatan Mlonggo Kab. Jepara. Disertasi. Universitas Diponegoro.
Sediaoetama, 2000. Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan profesi jilid I. Jakarta : Dian rakyat
Seifert, K.L & R.B. Hoffnung. 1997. Child and Addolescent Development. Houghton Mifflin Co. USA. Boston.
Simatupang, P. dan M. Ariani. 1997. Hubungan Antara Pendapatan Rumah Tangga dan Pergeseran Preferensi Terhadap Pangan. Majalah Pangan No. 33 Vol. IX.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
Soetjiningsih, 1998, Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Sri Mulyati. 1990. Penelitian Gizi dan Makanan. Puslitbang Bogor
Sugiyono. 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung : IKAPI
Suhardjo, 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhardjo.1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Edisi 1. Cetakan 1. Bumi Aksara. Jakarta
Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.
Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Syarief, H. & Husaini. 2000. Dimensi Pangan dan Gizi dalam Tumbuh Kembang Anak Balita. Makalah yang disajikan dalam Seminar Tumbuh Kembang Anak Balita. Bogor, 16 September.
Unicef. 1998. The State of the World’s Children 1998. Oxford University Press. Utomo, 2001. Studi Beberapa Karakteristik Keluarga Dan Tingkat Konsumsi
(Energi Dan Protein) Balita Yang Berhubungan Dengan Statis Gizi Balita Pada Kelompok Keluarga Miskin Di Wilayah Kerja Puskesmas Suruh Kabupaten Semarang. Undergraduate thesis, Diponegoro University. Dalam
WHO. 1995. Psysical Status: The Use and Interpretation of Anthrophometry. Report of a WHO Expert Committee. WHO Technical Report Series 854. WHO, Geneva.