• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lama Rawatan

2.3. Status Gizi

Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat didasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan. Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah (Depkes RI, 2002). 2.3.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Soekirman (2000), status gizi balita umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Penyebab Langsung, yaitu makanan balita dan penyakit infeksi yang mungkin diderita balita. Balita yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya balita yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya.

2. Penyebab tidak langsung, yang terdiri dari:

a. Ketahanan pangan dikeluarga, terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

b. Pola pengasuhan balita, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal keterdekatannya dengan balita, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang,dan sebagainya. Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental, status gizi, pendidikan, pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari ibu atau pengasuh balita.

c. Akses atau keterjangkauan balita dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti, imunisasi, pemeriksaan kehamilan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik di posyandu. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, maka makin kecil resiko balita terkena penyakit infeksi dan kekurangan gizi.

2.3.2. Status Gizi dengan Diare

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa diare adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah infeksi dan keadaan gizi yang tidak baik. Diare dan kurang gizi adalah dua hal yang memiliki hubungan timbal balik, dan sulit bagi kita untuk membedakan mana hal yang dapat terjadi terlebih dahulu.

Akan tetapi yang pasti adalah bahwa kedua masalah ini sering mempengaruhi dan memiliki dampak sangat besar terhadap anak yang mengalami dehidrasi disamping hilangnya nafsu makan dan kehilangan bahan makanan yang disebabkan oleh diare dan muntah-muntah yang akan memperburuk gizi anak. Anak yang keadaan gizinya tidak baik cenderung lebih sering menderita diare dan menyebabkan kematian, dan diare yang berulang dapat mengakibatkan kekurangan energi dan protein (Warner D, 1988).

2.3.3. Cara Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak secara teratur. Ada beberapa cara menilai status gizi, yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung. Di Indonesia, pengukuran antropometri banyak digunakan dalam kegiatan program maupun dalam penelitian salah satu adalah Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB). Objek pengukuran antropometri pada umumnya anak-anak dibawah 5 tahun. Masing-masing indeks antropometri memiliki baku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang (Depkes RI, 1999).

Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-skor sebagai batas ambang kategori. Rumus perhitungan Z-skor sebagai berikut :

Z-skor =

Nilai simpangan baku rujuk

Nilai individu – Nilai median baku rujukan

Di bawah ini adalah kategori status gizi dan batasan-batasannya yang menggunakan standar WHO 2005 :

a. Kategori BB/U: - BB normal : ≥ -2 SD s/d < 1 SD - BB kurang : ≥ -3 s/d < -2SD - BB sangat kurang : < -3 SD b. Kategori (TB/U): - Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 3 SD - Pendek : < -2 s/d ≥-3 SD - Sangat pendek : < -3 SD c. Kategori (BB/TB): - Sangat gemuk : > 3 SD - Gemuk : > 2 s/d ≤ 3 SD - Resiko gemuk : > 1 s/d ≤ 2 SD - Normal : ≥ -2 s/d < 1 SD - Kurus : < -2 s/d ≥ -3SD - Sangat kurus : < -3 SD 2.3.4. Indeks Antropometri

- Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat Badan (BB) merupakan salah satu antropometri yang memberikan gambaran tentang masa depan (otot dan lemak). Masa tumbuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya oleh karena terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang di konsumsi, berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat stabil.

Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan seimbang antara masukan dan kecukupan zat-zat gizi yang terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaiknya dalam keadaan abnormal terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal.

Berdasarkan sifat ini maka indeks berat badan dengan umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat ini (current nutrional status).

Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.

- Kelebihan indeks BB/U yaitu:

a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

b. Sensitif untuk perubahan status gizi jangka pendek, dapat mendeteksi kegemukan (overweight).

- Kelemahan indeks BB/U yaitu:

a. Dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi bila terdapat oedema. b. Memerlukan data umur yang akurat, ketepatan data umur kelompok usia ini

merupakan masalah yang belum terpecahkan di Negara berkembang termasuk Indonesia.

c. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan

d. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat (masih ada orang tua yang tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan dan sebagainya) (Supariasa, 2002).

Dokumen terkait