• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Resistensi terhadap Ketidakadilan Gender di Papua dalam Novel Tanah

B. Ketidakadilan Gender yang Dialami Tokoh-tokoh Perempuan Papua

2. Stereotip

Ideologi gender yang menghasilkan peran gender dan dengan adanya peran gender, maka muncul stereotip gender. Stereotip terhadap perempuan yang bersumber dari adat telah membakukan pandangan tentang bagaimana perempuan ―seharusnya‖. Stereotip tersebut muncul tanpa memberi kesempatan untuk ―keluar‖ dari ciri yang telah ditetapkan oleh masyarakat sehingga membuat seorang pribadi apabila melakukan tindakan di luar cara pandang maka ia akan merasa bersalah atau dikucilkan.

Secara umum, masyarakat Papua masih menganut sistem patriarki, dimana ada anggapan kuat bahwa seorang perempuan yang baik harus mampu menjadi ibu rumah tangga dan istri yang baik.

Stereotip pertama yang terungkap dalam novel ini ialah stereotip dalam keluarga di mana urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak perempuan. Adanya anggapan masyarakat tentang peran perempuan sebagai ibu rumah tangga sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah menyebabkan perempuan hanya diposisikan pada tugas-tugas domestik seperti yang dialami tokoh Yosi: ‖Kau ini anak perempuan atau laki-lakikah? Bantu-bantu di rumah

dan kebun saja sudah! Urus kau punya adik-adik itu juga. Sudah itu tugas

perempuan. Jangan pikir yang macam-macam‖ (Thayf, 2009:52).

Anggapan tersebut ditunjang dengan pelegitimasian adat-istiadat, tradisi, peraturan penguasa dalam masyarakat Papua sehingga dipercaya sebagai kodrat yang akhirnya membudaya. Kodrat perempuan Papua yang antara lain mengurus rumah tangga dan merawat kebun, membuat perempuan terkungkung dan sulit untuk dapat lepas dari peran tersebut. Perempuan sesungguhnya sangat dirugikan oleh stereotip yang dilekatkan pada dirinya mengenai peran dan pembagian tugas antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan ini. Worsley dalam Suharto (2005:211) menyebut hal ini sebagai domestisitas paksa. Tampak dari perkataan tokoh Mama Helda kepada tokoh Yosi bahwa Mama Helda sebagai seorang ibu masih percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga atau domestik. Pekerjaan domestik yang tidak dibayar ini telah menimbulkan pandangan masyarakat sehingga harga diri perempuan yang hanya bekerja di sektor ini menjadi turun dan otonomi perempuan menjadi hilang.

Stereotip atau anggapan selanjutnya terungkap melalui tokoh Mace yang dipandang oleh beberapa lelaki muda pengangguran penunggu pos ronda tidak subur.

Mace bertubuh kurus dan layu. Matanya pun sendu dengan binar hidup yang lesu. Membuatnya tak jauh beda dengan pohon sagu kosong dan setengah kering. Tidak menarik hati. Jauh jodoh dan rezeki, kata sekumpulan mama cerewet yang suka bergosip di ujung jalan. Pertanda tidak subur, celoteh beberapa lelaki muda pengangguran penunggu pos ronda. (Thayf, 2009:14-15)

Kutipan tersebut memperlihatkan pandangan sinis terhadap tokoh perempuan Mace yang bertubuh kurus dan layu yang memunculkan penilaian negatif bahwa Mace tidak subur. Pandangan tersebut dilestarikan melalui pengangkatan keindahan ragawi yang dijadikan atribut untuk mengukur kesuburan seorang perempuan. Kesuburan seorang perempuan dalam budaya Dani dinilai penting sebab mereka percaya bahwa perempuan adalah simbol kesuburan yang selanjutnya akan menjadi penentu kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat. Selain mendasarkan kesuburan seorang perempuan pada bentuk tubuh atau fisiknya, dalam budaya Dani perempuan juga distereotipkan subur bila dapat menganyam noken. Hal tersebut tercermin dalam perkataan tokoh Mabel kepada tokoh Leksi berikut ini.

―Sejak zaman nenek moyang dulu, setiap perempuan tanah kita harus bisa membuat noken. Noken yang bagus dan kuat berarti kesuburan dan kemakmuran yang lebih baik bagi suku si perempuan. Sebaliknya, kalau kau tidak bisa membuat noken, itu artinya kau belum dewasa dan belum siap menikah.‖ (Thayf, 2009:217)

Bukan hanya stereotip kaum laki-laki pada perempuan didasarkan pada kesuburan saja, seringkali mereka menilai perempuan dari sudut kecantikannya seperti yang terlihat berikut: ―Kau tahu, Leksi? Pemuda itu sangat tergila-gila pada Mabel-mu yang waktu itu cantiknya tak terkalahkan‖ (Thayf, 2009:150).

Pada kutipan itu, jelas terlihat bahwa kebanyakan kaum laki-laki menilai perempuan dari sudut kecantikannya atau hanya pada sisi fisik lahiriahnya semata. Dalam mitos kecantikan yang dipahami kaum laki-laki membuat kaum perempuan harus berusaha mewujudkan kualifikasi yang distereotipkan padanya sebab mereka berpandangan bahwa harga perempuan terletak pada kecantikannya. Menurut Murniati (2003:177), situasi tersebut dianggap perlu dan alamiah karena merupakan hal yang biologis, seksual, dan evolusioner. Laki-laki perkasa berkelahi demi perempuan cantik, dan perempuan cantik secara reproduktif lebih berhasil. Merujuk pada cerita novel Tanah Tabu, mitos perempuan cantik menimpa tokoh Mabel hingga terjadi perang antarsuku yang memperebutkannya.

Pada suatu hari, sekelompok lelaki dari suku lain tiba-tiba saja menculik Mabel ketika ia tengah memangkur sagu di hutan (…) Menurutku, pesona Mabel telah memikat hati salah satu penculiknya, sehingga terjadilah apa yang mungkin telah digariskan untuk terjadi. Perang antarsuku pun pecah. (Thayf, 2009:192)

Sejak sistem ini didasarkan pada seleksi seksual, sistem ini tidak dapat dihindarkan dan diubah. Kecantikan perempuan pun harus berkorelasi kepada kesuburannya. Stereotip feminin tentang kecantikan seorang perempuan semakin memperkuat asumsi bahwa kaum perempuan diharuskan memenuhi kriteria dan hal itu dikorelasikan dengan kepercayaan budaya suku Dani tentang perempuan

sebagai simbol kesuburan. Dari stereotip ini terlihat adanya ketidakadilan gender yang harus diterima pihak perempuan.

Stereotip berikutnya adalah mengenai kewajiban seorang perempuan dalam hal penguasaan pekerjaan yang berada di wilayah privat atau domestik. Stereotip ini merupakan salah satu ideologi yang paling kuat yang menghasilkan perbedaan gender yaitu dalam pembagian tugas antara wilayah publik dan privat. Wilayah publik ini menurut Mosse (2002:106) didominasi oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan dikonstruksikan berada di wilayah privat yang acapkali dinilai tidak produktif dan identik dengan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga yang harus dipikul perempuan Papua meliputi menyiapkan kebutuhan pangan, memasak, mengasuh dan membesarkan anak, juga berkebun.

Dalam novel Tanah Tabu, tokoh perempuan yang digambarkan begitu terbebani semua pekerjaan rumah tangga ialah tokoh Mabel.

Sebagai istri, Mabel tahu betul tugasnya dan senantiasa mengerjakan semuanya sebaik mungkin. Ia mengurus rumah, suaminya, Johanis, juga kebun-kebun mereka. Ia juga selalu menyempatkan diri membuat noken baru, menganyam keranjang bahkan tak pernah membiarkan tempat sagu sampai kosong. (Thayf, 2009:134-135)

Stereotip perempuan yang selalu berurusan dengan persoalan dalam rumah tangga seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Mabel di atas menyiratkan bahwa dalam konstruksi sosial masyarakat terdapat ideologi familialisme. Ideologi tersebut menurut Abdullah (1997:7) semakin menegaskan perempuan tentang peran domestik yang menjadi tanggung jawab mereka, sehingga ruang gerak

perempuan pun terkungkung dalam bidang domestik. Dengan kata lain, perempuan dituntut untuk memiliki keahlian dalam pekerjaan rumah tangga jika ingin menjadi istri yang baik bagi suami. Oleh karena itu bila seorang perempuan atau istri tidak becus mengurus rumah tangganya maka muncul penilaian negatif pada perempuan tersebut. Hal ini tercermin dalam pemikiran tokoh Yosi yang mengarahkan tokoh Mama Helda yang merupakan ibunya sebagai pihak yang patut disalahkan karena tidak bertanggung jawab atas kewajibannya.

―Menyimpan sakit dan marahku sendiri lebih kepada Mama. Dia kuanggap paling bersalah dalam hal ini. Dia tidak mampu mengurus keluarganya sendiri sehingga menimpakan beban itu kepadaku, anaknya.‖ (Thayf, 2009:52)

Penilaian negatif yang muncul dari masyarakat mengenai kegagalan seorang perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga juga dirasakan oleh tokoh Mace. Setelah kematian putra pertamanya Lukas yang diakibatkan sakit parah dan kurang gizi, Mace merasa dirinyalah yang pantas disalahkan karena tidak cakap dalam merawat anaknya seperti yang tampak pada kutipan berikut, ―Tapi sekarang Lukasnya telah mati. Aduh bagaimana ini? Aku mengaku bersalah, Mabel. Aku siap dipukulnya kalau perlu. Sungguh aku tidak pantas jadi ibu. Tidak pantas jadi istri Johanis‖ (Thayf, 2009:72).

Perasaan bersalah tokoh Mace dalam kutipan tersebut disebabkan adanya sebuah anggapan dalam masyarakat yang mengatakan bahwa jika terjadi sesuatu yang buruk pada sebuah keluarga, maka perempuan tersebut tidak pantas menjadi istri dan ibu yang baik sehingga tokoh Mace pun sampai rela jika harus menerima pukulan suaminya sebagai konsekuensi atas kelalaiannya.

Dari sini dapat diketahui bahwa dalam masyarakat terjadi kesalahpahaman dengan menganggap peran gender yang dikonstruksikan secara sosial itu sebagai kodrat perempuan yang ―seharusnya‖.

Stereotip lainnya yang ditemukan dalam novel Tanah Tabu ialah mengenai figur istri yang dikonstruksikan harus tunduk pada kemauan suami. Dalam budaya Papua, ketika seorang telah menikah dan menjadi seorang istri maka ia sudah tidak lagi mempunyai hak untuk bersuara dan memilih serta dilarang untuk melakukan sejumlah protes sebab akan dinilai telah melawan adat.

Tokoh Mama Helda dalam novel ini juga digambarkan sebagai sosok perempuan yang sesuai dengan budaya patriarki termasuk adat suku Dani.

Sebaliknya, jika suaminya telah pulang − laki-laki itu tiba di rumah sebelum malam merangkak terlalu jauh − Mama Helda menyimpan ceria kanak-kanaknya di dalam saku. Ia memaksa dirinya menjadi dewasa. Berusaha menjadi seorang istri yang dimaui suami. Penurut, penyabar, pendiam, pemaaf, dan sikap lain yang akan bertambah sesuai kebutuhan. (Thayf, 2009:66)

Sikap yang ditunjukkan tokoh Mama Helda dalam kutipan tadi memperlihatkan sosok perempuan tradisional yang penuh pengabdian dan tunduk terhadap suami. Ajaran ideologi patriarki yang tumbuh subur di Papua telah menanamkan sejumlah nilai kepantasan mengenai figur istri yang seharusnya. Hal itulah yang diyakini oleh tokoh Mama Helda sehingga ia berusaha untuk menerapkan pada dirinya. Sifat penyabar, penurut, pendiam, dan pemaaf merupakan dimensi feminin yang menandakan bahwa perempuan seperti Mama Helda berada di bawah kekuasaan suaminya. Terbukti dari kutipan di bawah ini

yang mana meski diperlakukan kasar dan tidak pantas oleh suaminya, Mama Helda masih memaafkan semua perbuatan suaminya.

―Kau tahu… sebenarnya sudah sejak lama aku merasa tidak kuat lagi. Apalagi kandunganku sudah semakin tua. Aku tidak tahan terus-menerus ditampar, dijambak, dipukul, dan ditendang. Rasanya hancur semua tulang ini, Mabel. Tapi aku mencoba tetap bertahan. Pikirku, mungkin suatu saat nanti dia akan berubah. Jadi lebih baik dan pengertian seperti diawal pernikahan dulu. Mungkin jika upahnya jadi dinaikkan, anak-anak tidak rewel di depannya, dan semua kebutuhannya sudah kusiapkan sebelum ia meminta, ia bisa bersikap lebih manis‖. (Thayf, 2009:185)

Tindakan Mama Helda yang mengalah tersebut tidak terlepas dari begitu besarnya harapan dalam diri Mama Helda jika suatu saat nanti suaminya mengalami perubahan sikap. Sebagai seorang istri yang mengalami kepahitan selama menjalani biduk rumah tangga dengan suaminya Pace Poro Boku, tidak membuat Mama Helda berhenti untuk patuh dengan perintah Pace meskipun terkadang bertentangan dengan hati nuraninya sendiri.

Stereotip bahwa seorang istri harus tunduk pada suami disebabkan posisi subordinat perempuan sehingga laki-laki cenderung memperlakukan perempuan (istri) dengan sewenang-wenangan dan semena-mena, sedangkan istri seolah-olah tidak mempunyai hak untuk melawan tindakan kasar suami. Namun kenyataannya hal itu justru semakin memperlihatkan lemahnya posisi dan bergantungnya tokoh perempuan terhadap kekuasaan tokoh laki-laki. Pengaruh lingkungan yang menciptakan perempuan sebagai makhluk pemelihara yang melayani segala

kebutuhan hidup juga turut membentuk perempuan menjadi bermental sebagai makhluk dependen.

Pola ketergantungan perempuan terhadap laki-laki ini mengukuhkan stereotip perempuan sebagai makhluk dependen dan dalam realitanya terjadi ketidakadilan gender bagi kaum perempuan. Hal itu dikarenakan tidak diberinya kesempatan yang sama untuk mengembangkan kepribadian dan seluruh potensi yang ada dalam diri perempuan.

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa di dalam novel Tanah Tabu terdapat stereotip yang telah melekat pada masing-masing tokoh perempuan yang kemudian menjadi beban mental tersendiri bagi perempuan, baik sebagai pribadi maupun dalam kelompok masyarakat. Dalam masyarakat, stereotip terhadap perempuan itu berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Pandangan stereotip tersebut membuat para tokoh perempuan menjadi sulit untuk menemukan identitas dirinya. Hal itu tentu berpotensi menghambat kemandirian perempuan, sebab perempuan selalu mendengarkan penilaian masyarakat yang tidak jarang memberi nilai negatif karena bertindak tidak sesuai kodrat. Berbagai stereotip yang melekat pada para tokoh perempuan dalam novel ini justru diciptakan oleh tokoh kontrafeminis28 dan juga pencerita.

Dokumen terkait